Kolom
IBRAHIM
ISA
Selasa, 01 Juli 2014-----------------------------
"INDONESIA, ISLAM Dan
DEMOKRASI”
(Tema
Seminar
Prof. Azyumardi di Universitas Leiden)
Tema
menarik
yang dikemukakan diatas, “INDONESIA, ISLAM Dan DEMOKRASI;
Sebuah Comparative Perspective Dengan Dunia Arab”, adalah
kertas kerja yang disampaikan oleh Prof Dr Azyumardi Azra,
pada tgl 26 Juni, 2014, di ruangan kuliah Gedung Lipsius
Universitas Leiden.
Seminar
diselenggarakn
bersama oleh KITLV- Leiden, KBRI Den Haag, dan INS
(Indonesia-Netherlands Society). Yang hadir – menurut ukuran
Belanda – cukupan. Kira-kira limapuluhan.
Sayang,
untuk
seminar penting demikian hanya sebegitu saja yang datang. Juga
disayangkan, dari kalangan masyarakat Indonesia tidak banyak.
Ketika Dr Harry Poeze meluncurkan bukunya tentang sejarah TAN
MALAKA, yang hadir paling tidak tiga kali lipat banyaknya.
Suasanaya juga lebih hangat dan menarik. Rupanya tema seminar
sekitar Tan Malaka lebih dapat perhatian, terutama dari
mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Belanda.!
Pada
seminar
Kemis kemarin itu, kulihat hadir dari masyarakat Indonesia di
belanda, a.l. Ciska Pattipilohy, DIAN; Aboepriyadi Santoso
(Tossi), mantan jurnalis Indonesia di Ranesi – Radio Nederland
Seksi Indonesia – bersama istri dan putrinya dan Denny
Gerberding. Untunglah Denny Gerberding (koresponden TEMPO),
khusus memanggil aku untuk memperoleh teks uraian Prof Azyumardi
yang tercetak dalam bahasa Inggris. Juga tampak Yayah Siegers
dari KITLV, yang rajin dan sibuk ngatur-ngatur. Kalau tidak
membaca teks tsb, tidak banyak yang bisa kudengar masalah yang
diseminarkan. Terima kasih kepada Denny Gerberding, yang
membagikan kertas kerja Prof Azyumardi.
Soalnya:
–
– Ruangan seminar cukup luas. Tapi pengeras suaranya kurang pol.
Maklumlah, bagi orang Indonesia, seperti aku ini, yang
pendengarannya juga sudah tidak lagi seperti pendengaran orang
muda , -- terkadang tidak mudah memahami bila orang Indonesia
bicara dalam bahasa Inggris, apalagi melalui pengeras suara,
yang kedengarn berdengung dan sayup-sayup sampai.
*
* *
Siapa Prof Dr Azyumardi Arza? Beliau dikenal sebagai ahli
sejarah, sosial dan intelektual Islam. Sebagai Rektor pada
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, ia melakukan terobosan besar terhadap institusi
pendidikan tsb. Mei 2002 IAIN berubah nama menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, hal mana
merupakan kelanjutan ide Rektor Prof Dr Harun Nasution yang
menginginkan lulusan IAIN haruslah orang yang berpikiran
rasional, modern, demokratis dan toleran (sumber Wikipedia).
Memang penting tema yang
dikemukakan pada seminar tsb. Untuk menyiapkan kertas
kerjanya, Prof Azyumardi mengemukakan daftar bibliografi tidak
kurang dari 31 buku dan kertas kerja serta artikel.
Dikemukakan oleh Prof Azyumardi,
a.l . . bahwa, di kalangan para Islamis, ada kecenderungan
menganggap Indonesia bukan Islam yang sesungguhnya. Menurut mereka, kata Azyumardi,
Islam yang sesungguhnya adalah Islam yang di daerah
Arab atau bagian lain dunia Muslim.
Azyumardi membantah
dengan menyatakan bahwa bicara soal keyakinan dan praktek,
kaum Muslim Indonesia tidak sedikitpun kurang ke-Islamannya
dibandingkan dengan kaum Muslim di tempat lain.
Kemudian Azyumardi menandaskan,
bahwa, ia akan tunjukkan, bahwa Islam Indonesia,
punya sifat istimewa yang memberikan lahan subur untuk
berakarnya demokrasi.
* * *
ISLAM DI
NEGERI-NEGERI ARAB DAN LAINNYA.
Menurut Azyumardi di
dunia Arab terdapat resistensi (perlawanan) kuat terhadap
diberlakukannya perubahan demokratis. Sejak awal 1970-an, disaat
gelombang besar historis demokratisasi dimulai, di dunia Islam
dengan teristimewa Arab sebagai intinya, terdapat sedikit
kemajuan yang berarti dalam hal keterbukaan politik, respek
terhadap hak-hak manusia dan transparansi. Gap
demokrasi antara dunia
Islam dan dunia selebihnya sungguh dramatis.
Hakikat banyak negara di dunia
Arab menyebabkan ada yang menyamakan negara-negara Arab yang
modern itu, sebagai negara-negara 'Lubang
Hitam' ('Black Hole').
Di negara-negara seperti ini bagian eksekutif dari pemerintah
sama dengan suatu 'lubang hitam', yang mengubah keadaan sosial
sekelilingnya menjadi suatu setting, dimana tidak ada gerak
samasekali dan darimana tidak ada yang lolos. Demikian
Azyumardi.
* * *
Lanjut Azyumardi a.l :
Di bidang legeslatif, dewasa ini
di semua negeri Arab, kecuali di Saudi Arabia, terdapat
parlemen yang secara keseluruhan ataupun sebagian dipilih.
Namun, hak untuk ambil bagian dalam (kehidupan) politik
sering-sering tidak lebih dari ritual belaka. . .
Dalam kebanyakan hal, pemilihan
menghasilkan sesuatu yang secara salah mewakili kehendak
pemilih dan di tingkat bawah mewakili hal yang kebalikannya.
Karena itu, pemilihan-pemilihan tsb tidak memainkan peranan
yang harus dilakukannya sebagai alat untuk adanya kekuasaan
alternatif secara damai. Pemilihan-pemilihan tsb
umumnya menghasilkan kembalinya kekuasaan elite yang sama.
Azyumardi: -- Menoleh kembali ke
pengalaman Arab, ketidak-cocokkan (incompatibility) antara
Islam dn demokrasi, banyak disebabkan oleh faktor kultur
terbanding oleh Islam. Kultur Arab pada dasarnya
merupakan kultur-yg didominasi kaum lelaki, yang menempatkan
kesetiaan pada suku (tribe) dan keluarga – halmana menyebabkan
sedikit sekali ruang bagi tumbuhnya demokrasi. Yang juga tidak
kalah pentingnya ialah, sektarisme agama, sosial dan politik
yang kuat, menyebabkan sulitnya demokrasi memperoleh ruang.
* * *
ISLAM
INDONESIA
PADA DASARNYA MODERAT DAN TOLERAN
Menurut
Azyumardi,
ISLAM INDONESIA pada dasarnya MODERAT. Pada ujung lainnya
dari dunia Muslim, Islam Indonesia, tak diragukan, sejak periode
dini sejarah pada akhir abad ke-XII, adalah Islam yang moderat
dan toleran. Ini bukan saja karena transisi dan tersebarnya
Islam secara damai di kepulauan Indonesia, tetapi juga
disebabkan oleh sistim sosial dan budaya rakyat Indonesia.
Oleh karena itu,
ekspresi sosial, budaya dan politik Islam di Indonesia
merupakan hal yang khusus sekali, bila membandingkannya dengan
Islam di tempat lain.
Meskipun
terdapat
kekhususan budaya, sosial dan politik, Islam Indonesia tidak
kurang ke-Islamannya dibandingkan dengan Islam di dunia Muslim.
Muslim Indonesia mengkhayati kepercayaan fundamental yang
sama dengan Islam yang berdasarkan Al Qur'an dan tradisi Nabi
Muhammad.
Oleh
karena
itu adalah keliru menganggap bahwa Islam Indonesia, secara
teologis, doktrin, dan ritual (ada di pinggiran) peripheral, . .
. . semacam Islam yang tidak murni, atau “Islam yang buruk” atau
semacam itu. Pendapat semacam itu tidak bisa lagi dipertahankan.
Penegasan
Azyumadi:
Islam Indonesia kaya sekali, tidak hanya dibidang ekspresi
budaya dan sosial, tetapi juga di bidang kelembagaan.
Islam Indonesia memiliki dua cabang aliran utama (mainstreams).
Yaitu Muhammadiyah (didirikan 1921) dan NU (Nahdatul Ulama)
didirikan 1926. Sejak berdirinya mereka melakukan kegiatn yang
dinamakan 'Islam
budaya' –sebagai lawan dari 'Islam politik'. Mereka tepat
sekali mewakili mainstream Islam di Indonesia.
Secara
politik,
jelas sekali, Indonesia bukan negara Islam. Islam juga bukan
merupakan agama resmi negara. Indonesia adalah negara
Pancasila. Pilar pertama adalah kepercayaan pada Tuhan
YME. Pilar selanjutnya adalah kemanusiaan, kesatuan Indonesia,
demokrasi dan keadilan sosial.. Itulah sebabnya Indonesia
bukan negara teokratis juga bukan negara sekular.
*
* *
ISLAM
INDONESIA
DAN DEMOKRASI
Pemilihan
yang
adil, bebas dan damai menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia --
sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia – bahwa Islam Indonesia
memang cocok (compatible) dengan demokrasi. Tetapi harus diakui
bahwa warganegara Indonesia memiliki pengetahuan dan pengalaman
sedikit sekali dengan demokrasi yang nyata dan yang
sesungguhnya. Demikian lanjut Azyumardi.
Suksesnya
Indonesia
mengadakan pemilihan umum secara damai seharusnya membungkam
kaum skeptik yang secara salah percaya bahwa demokrasi tidak
bisa punya akar kuat di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya
beragama Islam.
Berbeda dengan negri
lain, pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa tidak benar
dikatakan Islam itu secara inheren tidak demokratis atau tidak
kompatibel dengan demokrasi.
*
* *
KESALAHAN BESAR DAN
FUNDAMENTAL
Prof
Azyumardi
juga bicara soal Islam dan Transformasi Politik. Sesungguhnya
cukup menarik. Tetapi pada kesempatan ini tidak kita singgung.
Mungkin kali lain bisa kita bicarakan lagi.
Ada
satu
hal yang TIDAK DISINGGUNG -- APALAGI DISOROTI dalam seminar.
Ketika membicarakan masalah DEMOKRASI DI INDONESIA,
Azyumardi seolah-olah sambil lalu saja bicara sekitar Demokrasi
Terpimpin Presiden Sukarno dan Demokrasi Pancasila Presiden
Suharto. Juga sambil lalu, menyatakan baik Demokrasi Terpimpin
Sukarno maupun Demokrasi Pancasila Suharto, sama-samna
OTORITER. Tidak demokratis!
Adalah suatu
SUATU KESALAHAN BESAR dan fandamental menilai sama,
Demokrasi Terpimpin Sukarno, dengan Demokrasi Pancasila
Suharto.
Presiden
Sukarno
mendeklarasikan Demokrasi Terpimpin sebagai alternatif atas
demokrasi parlementer model Barat yang berlangsung di Indonesia
ketika itu., yang menyebbkan pemerintah Indonesia silih berganti
dalam waktu singkat. Sehingga tidak mampu meneruskan perjuangan
untuk pembebasan Irian Barat. Tidak mampu menghadapi tekanan dan
subversi kolonialisme dan imperialisme. Apalagi menangani
pembangunan ekonomi nasional.
Demokrasi
Terpimpin
Sukarno diberlakukan setelah Konstituante gagal mencapai kata
sepakat mengenai dasar dan sistim kenegaraan Republik Indonesia
selanjutnya. Terdapat kemacetan yang membahayakan kelanjutan
eksistensi negara.
Pada
penghujung
tahun 1956 – - kondisi dan situasi politik Indonesia semakin
memburuk dan kacau. Daerah-daerah semakin bergejolak. Muncul
aksi-aksi separatis yang didukung Barat, dengan dibentuknya
Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Manguni dan
Dewan Lambung Mangkurat. Dengan dukungan finansil dan militer
imperialisme, kaum separatis itu mendirikan pemerintahan PRRI
dan PERMESTA sebagai pemberontakan terhadap pemerintah pusat.
Menghadapi
tantangan
krisis nasional ini Presiden Sukarno (termasuk atas
desakan kuat fihak militer) dan dengan persetujuan parpol-parpol
besar, memberlakukan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden
5 Juli 1959.
Proses sejarah ini
seratus-delapanpuluh derajat bertolak belakang dengan
situasi terbentuknya Demokrasi Pancasila Jendral Suharto.
Memanfaatkan kegagalan G30S, ---
Jendral Suharto memulai kudeta merangkaknya terhadap negara
dan pemerintah Republik Indonesia di bawah Presiden \Sukarno.
Dimulai dengan pembangkangan terhadap Presiden Sukarno,
Suharto menyalahgunakan Supersemar, melakukan pembantaian
masal yang membawa korban sejuta lebih warga Indonesia yg tak
bersalah. Memenjarakan puluhan ribu dan mengasingkan sepuluh
ribu ke Pulau Buru. Membubarkan PKI kemudian
menggulingkan Presiden Sukarno, ----- adalah tujuan utama
Jendral Suharto sejak semula.
Proses sejarah itu, merupakan
bagian penting dari perkembangan bangsa Indonesia dalam
perjuangannya untuk hak-hak demokrasi dan HAM. Kekuatan yang
menghancurkan proses demokratisasi Indonesia selama tidak
kurang 32 tahun (selama rezinm Orde Baru), adalah kudeta
Jendral Suharto dan kekuatan militer serta parpol yang
mendukungnya. Proses demokratisasi Indonesia
mengalami kemunduran besar-besaran justru selama priode rezim
Orde Baru.
*
* *
Pelajaran sejarah tsb diataa tidak
boleh di- 'skip' begitu saja seperti yang dilakukan oleh Prof
Azyumardi, didalam uraian seminarnya di Leiden.
Inilah
kekurangan
utama uraian Prof Azyumardi Arza, yang seolah-olah melupakan
pelajaran sejarah mundurnya proses demokratisasi Indonesia
selama berkuasanya rezim Orde Baru. * * *
No comments:
Post a Comment