Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, , 19 Juni 2014
------------------------------
JANGAN
SEKALI-KALI BIARKAN LALU CANANG ITU!
*
* *
Tulisan
berikut ini bermaksud mengajak pembaca menyoroti -- dua masalah
teramat penting. Dua masalah tsb bisa diikuti di media. Menjadi
perhatian karena muncul (lagi) sehubungan dalam kampanye pilpres
2014,
Masalah
Yang pertama, -- Ialah sebuah canang
disiarkan oleh Editorial s.k berbahasa Inggris, ''The Jakarta
Post”, tentang bahaya FANATISM. “The
Jakarta Post”, menyatakan bahwa bangsa ini
mengidap pandangan “Fanatisme” yang meracuni kehidupan
berbangsa
Kedua,
ialah tentang 'cakap-angin' (cerita
dusta) yang
dilontarkan oleh Suhardi,
Ketua Umum Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra).
Ia berucap
bahwa masalah HAM , adalah
masalah lampau
yang sudah sangat basi.
Isu hak asasi manusia dalam debat capres-cawapres sudah
sangat basi
untuk dibahas, kata
Suhardi
* * *
Mengenai
isu pertama: Masalah FANATISME. Siapa saja yang punya
akses ke
media internet, bisa membaca sebuah kiriman dari Abdillah
Toha.
Ingat nama itu? Belum lama ia bikin gempar dunia kampanye
pilpres,
dengan tulisannya: --- Mengapa ia memilih Jokowi.
Soalnya, -- Abdillah Toha
adalah salah seorang pendiri parpol PAN,
Partai Amanah Nasional. Pimpinannya, Hatta Rajasa berkoalisi
dengan
calpres Probowo Subianto, Ketua Dewan Pembina GERINDRA.
Kiriman
itu adalah sebuah editorial s.k. Berbahasa Inggris di Jakarta,
“The Jakarta Post”. Judul editorial amat menggelitik yang
membacanya: “Are we all bigots”? Di Indonesiakan secara bebas: “Apakah kita-kita ini semuanya kaum fanatikus?”.
Editorial
'The Jakartga Post' mempersoalkan sikap penguasa dan juga publik
serta persnya terhadap kampanye-fitnah anti-Jokowi yang
menggunakan
isu SARA. Fitnah itu disebarkan a.l di pesantren, lewat siaran
'Obor
Rakyat'. Diuar-uarksn bahwa 'Jokowi adalah turunan Cina dan
beragama Kristen.
Menurut
'The Jakarta Post', respons publik, sekadar menyatakan bahwa
kampanye-fitnah/SARA itu, adalah suatu 'kampanye-hitam'.
Padahal jelas sekali kampanye anti-Jokowi itu sarat dengan
RASIALISME. Reaksi publik demikian itu, menunjukkan bahwa publik
sudah
keracunan pandangan 'fanatisme' agama.
Editorial
kemudian mencanangkan bahwa masyarakat kita jangan sampai tidak
peka
terhadap isu rasialisme dan fanatisme agama.
Andaikata
benar Jokowi adalah turunan-Cina dan beragama Kristen, lalu 'mau
apa', tanya Editorial. Bukankah negeri ini punya falsafah
Bhinneka
Tunggal Ika. Bukankah Wagub DKI, Ahok, adalah asal
etnis-Tionghoa dan
beragama Kriseten? Lalu mau apa? Begitu ditegaskan lebih lanjut
oleh
Editorial.
* * *
Masalah
kedua, kasus HAM di Indonesia. Apakah benar seperti yang
diuarkan
oleh Ketua Gerindra, Suhardi, bahwa masalah HAM itu 'sudah
sangat
basi untuk dibahas'?
Siapa
yang tidak tahu tentang Rekomendaasi KomnasHam 22 Juli 2012.
Laporan
dan Rekomendasi KomnasHam yang mencanangkan tentang keterlibatan
aparat, tentara dan polisi, dalam pelanggaran HAM berat sekitar
Peristiwa 1965”. Siapa yang tidak terkejut, kecewa dan marah
ketika
Kejaksaan Agung RI, dengan alasan administratip, proseduril dan
macam-macam dalih lainnya, TELAH MENOLAK REKOMENDASI KOMNASHAM
tsb?
Sudah
menjadi perhatian umum bahwa sampai saat ini pembunuhan atas
aktivis
terkemuka untuk HAM dan Hak-Hak Demokrasi, Moh. Munir,
dimana
tersangkut aparat intel negeri, sampai detik ini masih belum
memperoleh perlakuan hukum yang adil. Siapa tidak tahu, bahwa
janji
Presiden SBY untuk menangani soal Munir, sampai detik ini, masih
merupakan janji kosong belaka.
Siapa
pula yang tidak tahu, bahwa sekitar 20 juta keluarga Korban
Perisiwa
Pembantaian 1965, masih belum direhabilitsi nama baik dan
hak-politik, hak-hukum dan hak sipil mereka. Bahwa para KORBAN
1965,
sampai sekarang hakikatnya masih didiskriminasi . . .
Selain
itu masih ada serentetaan masalah pelanggaran HAM, dimana
pelakunya
adalah aparat keamanan negeri, yang terjadi di Aceh, Timor
Timur,
Papua dll tempat, dan masalah pelanggaran HAM di sekitar Peristiwa
Mei
1998, yang melapuk dan penuh debu di dalam laci-laci
dekomuntasi penguasa militer dan sipil.
* * *
Salah
satu isu besar yang merupakan 'cacad fatal' calpres Prabowo
Subianto, adalah resord pelanggaran HAM dimana ia terlibat
langsung.
Dalam
kasus Timor Timur, kasus Papua, dan kasus Mei 1998, teristimewa
kasus
penculikan, penghilangan dan pembunuhan 13 orang aktivis
Reformasi/Demokrasi.
Jusuf
Kala, sesungguhnya juga amat naif telah memberikan pujiannya
terhadap Pemuda Pancasila. Seperti diberitakan Pemuda Pancasila
terlibat langsung dalam pembunuhan/pembantaian sekitar
Pertistiwa
1965 di Sumatra-Utara (Lihat film 'THE ACT OF KILLING', produksi
Joshua Oppenheimer, dengan tokoh peran utamanya, sang jagal
Anwar
Congo) – Namun, belakangan JK menyatakan bahwa Prabowo sudah
mengakui sekitar keterlibatannya dengan pelanggaran HAM. Ia
sudah
mengakuinya, kata JK, seperti pernah diberitakan media.
* * *
Masalah
pelanggaran HAM dimana calpres Prabowo terlibat telah
menyebabkan
Prabowo, seperti dikatakan oleh tokoh pendidikan, Rektor
Universitas
Paramadina, Anies Baswedan , sebagai tokoh yang 'punya
masalah'.
KONTRAS, --- LSM - HAM, khusus
mengenai orang-orang hilang, berkali-kali
mengingatkan masyarakat, tentang keterlibatan Prabowo dengan
pelanggaran HAM, dalam penculikan dan penghilangan para aktivis
Reformasi dan Demokrasi, sekitar Mei 1998.
* * *
Dihadapkan
pada kenyataan dipeti-eskannya oleh penguasa masalah pelanggaran
HAM
di negri ini, menunjukkn bahwa ocehan Ketua Gerindra, Suhardi,
bahwa masalah HAM sudah basi, adalah 'cerita bohong' yang
dimaksudkan semata-mata untuk mengecoh dan menipu
masyarakat.
* * *
Marilah, --- Jangan
sekali-kali membiarkan lalu canang tsb diatas!
* * *
No comments:
Post a Comment