Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 25 Juni 2014
-----------------------------
Pesan
Penting
Untuk JOKOWI: -- (1)
“LUKA BANGSA LUKA KITA”
*
* *
“Luka Bangsa Luka Kita – Pelanggaran HAM Masa Lalu dan
Tawaran Rekonsiliasi” adalah judul buku DR BASKARA T.
WARDAYA, SJ. Terbit tahun ini. Penerbit GALANG PUSTAKA,
Yogyakarta. Aku memperolehnya melalui sahabatku Sutriyanto, di
Jakarta.
Baskara
menyatakan
bahwa bukunya tsb ditulis “Untuk para pejuang kemanusiaan
di segenap penjuru tanah air”.
Dalam
pembukaan
buku berikut ini pesan Editor: “Buku ini mengingatkan kembali
masyarakat akan pentingnya Laporan Komnas HAM . . . untuk terus
dipelajari, dan selanjutnya untuk dijadikan acuan bagi
kerja-kerja kemanusiaan dalam rangka menuntaskan berbagai bentuk
pelanggaran HAM masa lalu”.
*
* *
Dalam
rangka
kampanye pilpres 2014, Jokowi berjanji bahwa masalah pelanggaran
HAM harus diurus . . . Buku Romo Baskara ini merupakan
'handbook' yang baik sekali, khususnya untuk Jokowi dan Jusuf
Kala, sebagai capres dan wacapres. Bila terpilih Jokowi
diharapkan tidak melupakan komitmennya untuk mengurus masalah
pelanggaran HAM masa lampau. Amat disarankan agar capres Jokowi
dan cawapres Jusuf Kala, mempelajari dengan seksama buku Romo
Baskara ini.
Mengapa
Jokowi
harus membaca buku ini? Karena, untuk memulai REVOLUSI MENTAL
yang merupakan fundamen dan titik tolak program pemerintahnya,
pertama-tama mengenai masalah HAM dan Rekosiliasi Bangsa harus
jelas dan jernih terlebih dahulu. Ini terutama bagi pemerintah,
lembaga hukum serta aparatnya. Untuk selanjutnya
disosialisasikan ke masyarakat.
Revolusi
Mental
tidak akan mungkin dilakukan dengan baik selama masalah LUKA
BANGSA, masalah REKONSILIASI tidak difahami, ditangani dan
dituntaskan dengan seksama.
*
* *
Dalam pengantar bukunya tsb,
Romo Baskara menulis sbb:
“Pembaca budiman, ketika pada
bulan Juli 2012 Komisi Nasional Hak-phak Azasi Manusia ( Komnas
HAM) mengumumkan laporan hasil penyeledikan Tim Ad Hoc-nya
tentang pelanggaran HAM yang terkait dengan pembunuhan masal
tahun 1965 -1966, masyarakat menyambut gembira. Baik di dalam
maupun di luarnegeri, baik di media masa cetak maupun
elektronik, sambutan gembira itu sangat terasa. Hampir semuanya
memandang laporan ini sebagai sebuah langkah maju, bahkan
sebagai sebuah babak baru dalam perjalanan bangsa Indonesia,
ketika sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara telah berani
untuk secara serius melakukan penyelidikan mengenai pelanggaran
HAM berat masa lalu. Apalagi tim Komnas HAM tak segan-segan
menghabiskan waktu selama empat tahun (2008-2012) untuk
menyelidikinya. Pada akhir penuyelidikan tersebut, Komnas HAM
bahkan telah bersedia menyusun laporan yang jumlahnya mencapai
ratusan halaman.
Apa boleh buat, kegembiraan itu
tak berlangsung lama. Ketika laporan hasil penyelidikan itu
disampaikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaaan Agung, tanggapan
yang muncul (sebagaimana sudah dicurigai) amat mengecewakan.
Dengan alasan teknis yang tidak mudah dimengerti, Kejaksaan
Agung mengembalikan laporan itu ke Komnas HAM. Alasannya, karena
belum lengkap. Tak terlalu jelas apa yang dimaksud dengan
kebelum-lengkapan itu, yang mengakkibatkan laporan itu ditolak
dan dikembalikan. Yang jelas, laporan itupun berhenti sebagai
laporan. Tidak ada tindak lanjut. Dua rekomendasi penting yang
disampaikan di akhir laporan itupun terbang ke udara tanpa
seorangpun tahu kapan akan mendarat kembali ke bumi. Bahkan
setahun setelah laporan itu diumumkan ke publik, tidak ada
sesuatupun yang berarti yang telah dilakukan sebagai tindak
lanjut dari laporan dan rekomendasi Komnas HAM itu. Sedikit demi
sedikit orang mulai melupakannya.
Situasi demikian tentu membuat
banyak pihak merasa kecewa. Pada saat yang sama, situasi
ke-mandeg-an atau stagnan seperti inilah yang justru diharapkan
oleh pihak-pihak tertentu, yakni pelanggaran HAM pada masa lalu
- khususnya berkaitan dengan kekerasan dan pembunuhan masal
tahun 1965-1966 (Tragedi '65) – tak akan pernah diselesaikan
secara tuntas. Mungkin pihak-pihak ini khawatir jika masaalah
ini dbuka dan dibahas secara publik, mereka akan dirugikan.
Padahal kekhawatiran seperti itu tidak selalu beralasan. Situasi
ini memberi kesan seakan-akan sia-sialah para anggota komnas HAM
yang selama tiga tahun telah menghabiskan waktu, pikiran, dan
tenaganya untuk berkeliling ke Nusantara guna melakukan
penyelidikan dan menyusun laporan.
Buku Anda ini dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kerja keras para anggota Komnas HAM itu
tidaklah sia-sia. Buku ini akan menunjukkan, apa yang telah
mereka hasilkan melalui kerja keras dalam jangka waktu yang lama
itu akan terus hidup dan menjadi acuan bagi penuntasan masalah
pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia ini. Buku ini ingin
kembali mengingatkan masyarakat akan pentingnya Laporan Komnas
HAM tersebut untuk terus dipelajari, dan selanjutnya untuk
dijadikan acuan bagi kerja-kerja kemanusiaan sekarang dan pada
masa depan. Mengingat laporannya sendiri yag asli dan lengkap
belum bisa diakses oleh publik (sebab secara legal, dokumen ini
belum memiliki status sebagai dokumen pubik), apa yang bisa
disampaikan untuk Anda disini hanyalah Ringkasan Eksekutif dari
laporan tersebut. Ringkasan Eksekutif telah menjadi dokumen
publik karena pernah dijadikan bahan untuk konferensi pers.
Meskipun bentuknya hanya Ringkasan Eksekutif, kita berharap
bahwa darinya kita bisa mendapatkan gambaran yang cukup mengenai
apa yang telah dilakukan oleh tim Komnas HAM dan apa yang
ditemukannya berkaitan dengan Tragedi '65 itu.
Dengan maksud untuk memperkaya
pemahaman kita atas Ringkasan Eksekutif tersebut, serta untuk
meletakkannya dalam konteks yang lebih luas, dalam buku ini
disertakan dokumen serupa, yakni hasil penelitian dan laporan
yang pernah dilakukan oleh sebuah tim penyelidik pelanggaran HAM
berat pada masa pemerintahan Presiden Suharto (2003).
Ditambahkan pula dalam buku ini tulisan-tulisan lain yang
terkait, seperti tulisan mengenai konteks domestik dan
internasional yang melatarbelakangi terjadi Tragedi '65; dan
mengenai upaya-upaya konkret dalam rangka rekonsiliasi atas
kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lampau.
Diharapkan dengan terbitnya
buku ini, Anda dan kita semua bisa dapat gambaran yang lebih
jelas mengenai pelangga 1965-1966, sejauh hal itu tercermin
dalam Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Komnas HAM tersebut dan
tulisan-tulisan lain yang menyertainya. Selanjutnya diharapkan
pula bahwa kita akan menjadi lebih mengerti apa yang sebenarnya
yang terjadi pada waktu itu, sejauh mana dampak dari peristiwa
itu terhadap masyarakat, serta hal apa saja yang kiranya bisa
dan perlu kita lakukan dalam rangka memperjuangkan hak-hak azasi
setiap warga negara di negeri yang kita cintai bersama ini.
Ucapan terima kasih ingin kami
sampaikan kepada semua pihak yang telah berkenan terlibat dalam
penerbitan ini, khususnya kepada teman-teman kami di Komnas HAM
periode 2007-2012 maupun periode 2012-2017 yang telah memberikan
dukungan bagi penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepda kontributor yang telah meluaskan waktu, tenaga
dan pikirannya untuk menulis dan mengirimkan tulisan untuk buku
ini. Secara khusus, terima kasih kami sampaikan kepada Dr Asvi
Warman Adam yang telah menyerahkan naskah Laporan Akhir Tim
Pengkajian Pelanggaran Ham Berat Suharto (Sub-Tim Pengkajian
Kasus 1965) untuk
disertakan dalam buku ini . Tak lupa, terima kasih
sebesar-besarnya kami tujukan kepada teman-teman kami di
Penerbit Galang Pustaka Yogyakarta yang selain menyumbang
gagasan awal juga telah bersedia memberikan dukungan tenaga
dan biaya sehingga buku Anda ini menjadi kenyatan.
Semoga niat dan usaha baik yang yang telah kita tempuh
bersama ini menghasilkan buah yang berguna bagi sebanyak
mungkin orang di negeri ini. Terutama, semoga berguna bagi
mereka yang masih memiliki harapan atas ditegakkannya
kebenaran dan keadilan di Indonesia. Semuanya tentu demi masa
depan bersama yang lebih baik.
Baskara T. Werdaya SJ, Editor.
* * *
“Ketika Soeharto dipaksa turun dari jabatannya (1998)
banyak dari saksi maupun korban mulai berani membuka suara dan
berbicara tentang apa yang mereka alami. Namun demikian, ada
jauh lebih banyak lagi yang belum berani membuka diri. Oleh
sebab itu, mereka ini perlu dibantu agar berani dan rela
menceritakan pengalaman dan keasaksian mereka untuk membantu
memahami Tragedi '65 di Indonesia secara lebih utuh”.
--Baskara T. Werdaya, SJ.
* * *
No comments:
Post a Comment