IBRAHIM ISA - Catatan Partikeliran
Selasa, 29 Desember 2009
------------------------------------------------------------
PRITA BEBAS
BERKAT KUATNYA DUKUNGAN MASYARAKAT
Hari ini terbetik berita CERAH menjelang akhir tahun 2009. Sebuah berita BBC (oleh Sri Lestari) : melaporkan bahwa PRITA DIVONIS BEBAS!
Mungkin judul berikut ini lebih mencerminkan realita:
PRITA MULYASARI BEBAS, BERKAT DUKUNGAN MASYARAKAT!
Kasus Prita Mulyasari menunjukkan satu hal penting! Terutama, rasa keadilan dan sadar-hukum, di kalangan masyarakat kita, khususnya di kalangan wartawan muda, media, mengalami peningkatan penting. Dengan dukungan masyarakat dan media, terkumpul dana lebih dari Rp 800 juta untuk membantu Prita. Terkumpulnya dana sebesar itu, adalah berkat simpati dan solidaritas masyarakat terhadap Prita Mulyasari.
Di satu fihak kita saksikan betapa Rumah Sakit Omni, yang memperlakukan pasien Prita secara sewenang-wenang, diksriminatif serta memberikan diagnosis yang salah. Di lain fihak munculnya keberanian dan kesigapan Prita Mulyasari, didorong oleh semangat melawan kewenang-wenangan, melakukan protes. Dengan cara menulis surat elektronik (e-mail) kepada teman-temannya. Yang kemudian gugatan tsb tersebar luas di kalangan masyrakat. Selanjutnya sikap arogansi mendorong RS Omni untuk membungkam dan menghukum Prita yang dianggapnya begitu 'berani' melakukan kritik terbuka. Kita saksikan pula betapa fihak kepolisian ikut membela elite (RS Omni). Prita ditahan polisi selama 21 hari. Lalu Pengadilan Negeri menunjukkan pula pengabdiannya terhadap elite dengan vonisnya menghukum denda Prita sejumlah Rp 204 juta. Yang harus dibayarnya kepada RS Omni.
Puaslah RS Omni atas 'kemenangannya'!
Tetapi kalangan elite tsb termasuk Polisi dan Pengadilan Negeri, samasekali buta terhadap perkembangan kesadaran akan keadilan di kalangan masyarakat. Mereka Juga mensepelekan keberanian dan semangat Prita yang terus berlawan.
Kesewenanga-wenangan elite, keberfihakan Polisi dan Pengadilan pada elite, ---- telah membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap RS Omni, Polisi dan Pengadilan. Mulailah meluncur gelombang protes dan sekaligus tindakan solidair pengumpulan dana dikalangan masyarakat. Hasilnya sungguh membesarkan hati dan mendorong semangat membela keadilan.
Dimulai dengan langkah RS Omni yang memcabut kembali 'gugatan-nya bahwa Prita melakukan pencemaran 'nama baik' mereka, akhirnya diikuti oleh keputusan Pengadilan Negeri Tanggerang yang memvonis bebas Prita Mulyasari.
* * *
Selain gejala nyata bahwa kesedaran membela keadilan, kesadaran hukum masyarakat nyata meningkat, -- kasus Prita ini juga menunjukkan bahwa mengahadapi perlawanan masyarakat yang tegas dan konsisten, akhirnya Pengadilan Negeri juga tak punya pilihan lain, kecuali mengambil langkah mundur.
Apakah kasus PRITA MULYASARI ini merupakan pertanda bahwa, lembaga hukum Indonesia, dalam hal ini Pengadilan Negeri Tanggerang, sudah mulai berubah? Sudah ada sedikit kemajuan? Hal ini masih harus kita lihat lagi. Kenyataan dan perkembangan selanjutnyalah yang akan membuktikannya.
Yang jelas, ialah, bahwa masyarakat telah memperoleh pelajaran penting: PERJUANGAN YANG ADIL AKHIRNYA MENCAPAI KEMENANGAN!
* * *
LAMPIRAN BERITA:
Prita Mulyasari divonis bebas
Sri Lestari Wartawan BBC
Prita Mulyasari disambut para pendukung usai vonis bebas
Pengadilan Negeri Tangerang membebaskan Prita Mulyasari dari tuduhan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni International Alam Sutra Tangerang.
Ketua Majelis Hakim Arthur Hangewa menyatakan terdakwa Prita Mulyasari tidak terbukti bersalah telah melakukan tindakan pidana sebagaimana dakwaan kesatu, kedua dan ketiga.
Arthur Hangewa menyatakan, "Kedua, membebaskan dari semua dakwaan tersebut."
"Ketiga memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya," katanya.
Dikatakan juga, menetapkan barang bukti berupa satu eksemplar berita di Yahoo email dengan subjek penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang tanggal 22 Agustus 2008.
"Satu eksemplar email from Prita Mulyasari sent Friday August 15, 2008 subjek Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang, tetap terlampir dalam berkas perkara," katanya.
Jaksa penuntut menyatakan pikir-pikir dulu selama 14 hari.
Tanggapan Prita
Sementara itu seusai sidang, Prita langsung bersalaman dengan anggota Majelis Hakim.
Pendukung Prita .Para pendukung Prita Mulyasari hadir di pengadilan
Prita menyatakan, "Alhamdulillah, nggak tahu mau ngomong apa. Ini Kuasa Tuhan. Subhanallah, hati nurani Majelis Hakim yang mulia banget luar biasa kepada kami rakyat Indonesia."
"Harapan untuk kasus perdata? Kuasa hukum saya dan keluarga tetap membuka perdamaian, kita selesaikan secara bijaksana," katanya.
Prita dituntut hukuman enam bulan penjara karena menyebarkan email yang dituduh mencemarkan nama baik rumah sakit itu dalam sidang yang dimulai 4 Juni 2009.
Dalam proses pengadilan, Prita pernah ditahan selama 21 hari sehingga memicu perhatian masyarakat.
Akhirnya Prita dilepaskan dari tahanan selama proses pengadilan.
Dalam tuntutannya jaksa menyatakan pengiriman surat elektronik (email) kepada 20 alamat email teman Prita, merupakan bukti pelanggaran Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ITE dan pencemaran nama baik.
Jaksa menyebutkan, email itu berisi penghinaan dan pencemaran nama baik rumah sakit itu.
Prita dijerat Pasal 27 dan Pasal 45 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Selain kasus pidana ini, Prita juga telah divonis denda Rp 204 juta dalam pengadilan perdata.
Namun karena simpati masyarakat yang tinggi telah terkumpul dana lebih dari Rp 800 juta untuk membantu Prita.
* * *
__
Tuesday, December 29, 2009
Monday, December 28, 2009
PERLAWANAN SEMAKIN MELUAS
Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 26 Desember 2009
--------------------------------
PERLAWANAN SEMAKIN MELUAS
-- ISSI Akan Menempuh Jalur Hukum Menggugat Kejagung
-- Buku John Roosa disebarluaskan gratis!
* * *
Di berbagai kalangan masyarakat bermunculan perlawanan terhadap pelarangan lima buku oleh Kejagung R.I. Bertambah dan meningkatnya perlawanan tsb adalah pertanda bahwa kesadaran masyarakat mengenai hak-hak demokrasi, kebebasan menyatakan pendapat dan hak memperoleh informasi, berangsur-angsur meningkat.
Baik diingat kembali judul-judul lima buku yang dilarang beredar oleh Kejagung:
1.
Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, oleh John Roosa
2.
Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri, oleh Cocratez Sofyan Yoman
3.
Lekra Tak Pernah Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965, oleh Rhoma Dewi Aria Yuliantri dan Muhidin Dahlan
4.
Enam Jalan Menuju Tuhan, oleh Darmawan MM,dan
5.
Mengungkap Misteri Keberagaman Agama, oleh Syahrudin Ahmad.
* * *
Larangan Kejagung tsb punya efek kontra-produktif bagi lembaga hukum tsb; dan bagi mereka-mereka yang masih bermimpi akan mampu memberangus suara-suara yang tidak berkenan dengan pandangan politik mereka. Tradisi Orba membungkam suara masyarakat yang menentang penguasa masih berlangsung terus. Larangan Kejagung tsb hanyalah meningkatkan kesadaran pejuang-pejuang dan aktivis-aktivis reformasi, demokrasi dan HAM, bahwa kewaspadaan terhadap sisa-sisa kekuatan Orba tsb serta perlawanan tegas dan konsisten terhadapnya, tak boleh kendur sedikitpun.
Dalam tulisan kali ini difokuskan pelawanan yang dilakukan oleh INSTITUT SEJARAH SOSIAL INDONESIA (ISSI) < Jakarta, 24 Desember, I Gusti Agung Ayu Ratih, Direktur, 0811-156-315 -- Hilmar Farid, Ketua Dewan Pembina , 0811-156-306> --terhadap pelarangan lima buku oleh Kejagung RI.
Diangkat perlawanan ISSI tsb karena inspiratif serta memperbesar semangat juang.
Pertama-tama ISSI membeberkan sekitar buku John Roosa, “DALIH PEMBUNUHAN MASSAL. GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO”. Penerbit buku John Roosa tsb adalah ISSI dan Hasta Mitra.
Diuraikan oleh ISSI, bahwa buku John Roosa adalah -- “sebagai sumbangan terhadap studi sejarah kontemporer Indonesia, khususnya peristiwa G-30-S. Dalam buku ini John Roosa menunjukkan sikap ilmiah yang terpuji sebagai sejarawan: ia mengungkapkan sumber-sumber baru mengenai G-30-S yang belum pernah digunakan sebelumnya, menelaah setiap sumber yang ada mengenai peristiwa itu secara teliti, lalu menghadirkan argumentasi dan kesimpulan berdasarkan temuannya itu. Pelarangan oleh Jaksa Agung jelas menghalangi perkembangan studi sejarah pada khususnya dan kerja ilmiah pada umumnya.
Selanjutnya ISSI:
“Buku DALIH PEMBUNUHAN MASSAL sudah beredar selama satu tahun dan sembilan bulan, dan justru mendapat sambutan baik dari dalam maupun luar negeri. Buku ini masuk nominasi buku terbaik dalam International Convention of Asian Scholars, perhelatan ilmiah terbesar untuk bidang studi Asia pada 2007. Tinjauan terhadap buku ini dimuat dalam berbagai berkala ilmiah internasional. Di Indonesia sendiri, buku ini disambut baik oleh para ahli sejarah, guru sekolah dan masyarakat umum dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah yang digelar selama ini”.
Sehingga Pelarangan itu tidak saja bertentangan dengan prinsip umum hak asasi manusia tapi juga amanat UUD 1945 untuk ‘memajukan kecerdasan umum.’
Sikap ISII tegas dan kongkrit yaitu:
Menuntut agar
1. Kejaksaan Agung segera mencabut surat keputusan tersebut dan menghentikan praktek pelarangan secara umum. Perbedaan pandangan mengenai sejarah hendaknya diselesaikan secara ilmiah, bukan dengan unjuk kuasa menggunakan hukum warisan rezim otoriter.
2. Pemerintah dan DPR segera mencabut semua aturan hukum yang mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Warisan kolonial dan rezim otoriter yang ingin mengatur arus informasi dan pemikiran sudah sepatutnya diakhir
Akhirnya ISSI menegaskan bahwa, ISSI juga akan mengajukan somasi kepada Kejaksaan Agung dan meminta agar larangan itu dicabut. Jika tidak dipenuhi, ISSI akan menempuh jalur hukum dan menggugat keputusan Jaksa Agung tersebut.
* * *
Yang jadi penggerak difokuskannya tulisan ini pada pernyataan ISSI tsb a.l, ialah perlawanan ISSI yang bisa jadi teladan bagi penerbit lainnya. ISSI menyatakan:
“melepas 'copyright'atas buku 'Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto' karya John Roosa kepada publik sehingga dapat disebarluaskan melalui berbagai media. ISSI juga akan mengajukan somasi kepada Kejaksaan Agung dan meminta agar larangan itu dicabut. Jika tidak dipenuhi, ISSI akan menempuh jalur hukum dan menggugat keputusan Jaksa Agung tersebut.
Kontan, salah seorang mailist kenalan baik pro-demokrasi, memforwardkan selururh buku John Roosa tsb di media internet. Dengan pengantar sbb:
“Bagi teman-teman yang berminat, di bawah ini adalah sejumlah 'pautan' untuk mengunduh secara gratis, buku John Roosa berjudul "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto". sebagai salah satu penerbit buku termaksud, issi telah mengalihkan 'copyright' menjadi 'copyleft', demikian ujar seorang kawan dengan nada simpatik.
Silahkan mengunduh:
http://www.megafileupload.com/en/file/171640/DalihPembunuhanMassal-pdf.html
http://www.speedyshare.com/files/19969927/DalihPembunuhanMassal.pdf
http://www4.speedyshare.com/data/269970334/19969927/87622403/DalihPembunuhanMassal.pdf... See More
http://www.2shared.com/file/10231267/e43ed81e/DalihPembunuhanMassal.html
http://sejarahsosial.googlepages.com/DalihPembunuhanMassal.pdf
* * *
Itulah 'jasa' Kejaksaan Agung RI melarang buku John Roosa. Sekarang, bagi yang memiliki computer yang sesuai, bisa mengakses dari internet buku John Roosa tsb tanpa ongkos.
Mudah-mudahan masing-masing penerbit empat buku lainnya yang terkena larangan Kejagung RI itu, terdorong oleh teladan yang diberikan oleh ISSI. Melepaskan copyright mereka, dan mentayangkan buku-buku tsb selengkapnya di media internet. Agar dengan demikian pembaca/peminat dapat mengakses dan membacanya.
Akhir kata, -- Patut dinyatakan penghargaan kepada ISSI atas insiatif unik dalam perlawanan bersama terhadap tindakan Kejagung R.I. Yang anti-demokratis dan anti- UUD 1945 RI.
SELAMAT TAHUN BARU 2010!
SEMOGA SUKSES MENYERTAI PERJUANGAN MEMBELA DEMOKRASI!
* * *
No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.5.430 / Virus Database: 270.14.119/2586 - Release Date: 12/25/09 09:33:00
Sabtu, 26 Desember 2009
--------------------------------
PERLAWANAN SEMAKIN MELUAS
-- ISSI Akan Menempuh Jalur Hukum Menggugat Kejagung
-- Buku John Roosa disebarluaskan gratis!
* * *
Di berbagai kalangan masyarakat bermunculan perlawanan terhadap pelarangan lima buku oleh Kejagung R.I. Bertambah dan meningkatnya perlawanan tsb adalah pertanda bahwa kesadaran masyarakat mengenai hak-hak demokrasi, kebebasan menyatakan pendapat dan hak memperoleh informasi, berangsur-angsur meningkat.
Baik diingat kembali judul-judul lima buku yang dilarang beredar oleh Kejagung:
1.
Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, oleh John Roosa
2.
Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri, oleh Cocratez Sofyan Yoman
3.
Lekra Tak Pernah Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965, oleh Rhoma Dewi Aria Yuliantri dan Muhidin Dahlan
4.
Enam Jalan Menuju Tuhan, oleh Darmawan MM,dan
5.
Mengungkap Misteri Keberagaman Agama, oleh Syahrudin Ahmad.
* * *
Larangan Kejagung tsb punya efek kontra-produktif bagi lembaga hukum tsb; dan bagi mereka-mereka yang masih bermimpi akan mampu memberangus suara-suara yang tidak berkenan dengan pandangan politik mereka. Tradisi Orba membungkam suara masyarakat yang menentang penguasa masih berlangsung terus. Larangan Kejagung tsb hanyalah meningkatkan kesadaran pejuang-pejuang dan aktivis-aktivis reformasi, demokrasi dan HAM, bahwa kewaspadaan terhadap sisa-sisa kekuatan Orba tsb serta perlawanan tegas dan konsisten terhadapnya, tak boleh kendur sedikitpun.
Dalam tulisan kali ini difokuskan pelawanan yang dilakukan oleh INSTITUT SEJARAH SOSIAL INDONESIA (ISSI) < Jakarta, 24 Desember, I Gusti Agung Ayu Ratih, Direktur, 0811-156-315 -- Hilmar Farid, Ketua Dewan Pembina , 0811-156-306> --terhadap pelarangan lima buku oleh Kejagung RI.
Diangkat perlawanan ISSI tsb karena inspiratif serta memperbesar semangat juang.
Pertama-tama ISSI membeberkan sekitar buku John Roosa, “DALIH PEMBUNUHAN MASSAL. GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO”. Penerbit buku John Roosa tsb adalah ISSI dan Hasta Mitra
Diuraikan oleh ISSI, bahwa buku John Roosa adalah -- “sebagai sumbangan terhadap studi sejarah kontemporer Indonesia, khususnya peristiwa G-30-S. Dalam buku ini John Roosa menunjukkan sikap ilmiah yang terpuji sebagai sejarawan: ia mengungkapkan sumber-sumber baru mengenai G-30-S yang belum pernah digunakan sebelumnya, menelaah setiap sumber yang ada mengenai peristiwa itu secara teliti, lalu menghadirkan argumentasi dan kesimpulan berdasarkan temuannya itu. Pelarangan oleh Jaksa Agung jelas menghalangi perkembangan studi sejarah pada khususnya dan kerja ilmiah pada umumnya.
Selanjutnya ISSI:
“Buku DALIH PEMBUNUHAN MASSAL sudah beredar selama satu tahun dan sembilan bulan, dan justru mendapat sambutan baik dari dalam maupun luar negeri. Buku ini masuk nominasi buku terbaik dalam International Convention of Asian Scholars, perhelatan ilmiah terbesar untuk bidang studi Asia pada 2007. Tinjauan terhadap buku ini dimuat dalam berbagai berkala ilmiah internasional. Di Indonesia sendiri, buku ini disambut baik oleh para ahli sejarah, guru sekolah dan masyarakat umum dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah yang digelar selama ini”.
Sehingga Pelarangan itu tidak saja bertentangan dengan prinsip umum hak asasi manusia tapi juga amanat UUD 1945 untuk ‘memajukan kecerdasan umum.’
Sikap ISII tegas dan kongkrit yaitu:
Menuntut agar
1. Kejaksaan Agung segera mencabut surat keputusan tersebut dan menghentikan praktek pelarangan secara umum. Perbedaan pandangan mengenai sejarah hendaknya diselesaikan secara ilmiah, bukan dengan unjuk kuasa menggunakan hukum warisan rezim otoriter.
2. Pemerintah dan DPR segera mencabut semua aturan hukum yang mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Warisan kolonial dan rezim otoriter yang ingin mengatur arus informasi dan pemikiran sudah sepatutnya diakhir
Akhirnya ISSI menegaskan bahwa, ISSI juga akan mengajukan somasi kepada Kejaksaan Agung dan meminta agar larangan itu dicabut. Jika tidak dipenuhi, ISSI akan menempuh jalur hukum dan menggugat keputusan Jaksa Agung tersebut.
* * *
Yang jadi penggerak difokuskannya tulisan ini pada pernyataan ISSI tsb a.l, ialah perlawanan ISSI yang bisa jadi teladan bagi penerbit lainnya. ISSI menyatakan:
“melepas 'copyright'atas buku 'Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto' karya John Roosa kepada publik sehingga dapat disebarluaskan melalui berbagai media. ISSI juga akan mengajukan somasi kepada Kejaksaan Agung dan meminta agar larangan itu dicabut. Jika tidak dipenuhi, ISSI akan menempuh jalur hukum dan menggugat keputusan Jaksa Agung tersebut.
Kontan, salah seorang mailist kenalan baik pro-demokrasi, memforwardkan selururh buku John Roosa tsb di media internet. Dengan pengantar sbb:
“Bagi teman-teman yang berminat, di bawah ini adalah sejumlah 'pautan' untuk mengunduh secara gratis, buku John Roosa berjudul "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto". sebagai salah satu penerbit buku termaksud, issi telah mengalihkan 'copyright' menjadi 'copyleft', demikian ujar seorang kawan dengan nada simpatik.
Silahkan mengunduh:
http://www.megafileupload.com/en/file/171640/DalihPembunuhanMassal-pdf.html
http://www.speedyshare.com/files/19969927/DalihPembunuhanMassal.pdf
http://www4.speedyshare.com/data/269970334/19969927/87622403/DalihPembunuhanMassal.pdf... See More
http://www.2shared.com/file/10231267/e43ed81e/DalihPembunuhanMassal.html
http://sejarahsosial.googlepages.com/DalihPembunuhanMassal.pdf
* * *
Itulah 'jasa' Kejaksaan Agung RI melarang buku John Roosa. Sekarang, bagi yang memiliki computer yang sesuai, bisa mengakses dari internet buku John Roosa tsb tanpa ongkos.
Mudah-mudahan masing-masing penerbit empat buku lainnya yang terkena larangan Kejagung RI itu, terdorong oleh teladan yang diberikan oleh ISSI. Melepaskan copyright mereka, dan mentayangkan buku-buku tsb selengkapnya di media internet. Agar dengan demikian pembaca/peminat dapat mengakses dan membacanya.
Akhir kata, -- Patut dinyatakan penghargaan kepada ISSI atas insiatif unik dalam perlawanan bersama terhadap tindakan Kejagung R.I. Yang anti-demokratis dan anti- UUD 1945 RI.
SELAMAT TAHUN BARU 2010!
SEMOGA SUKSES MENYERTAI PERJUANGAN MEMBELA DEMOKRASI!
* * *
No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.5.430 / Virus Database: 270.14.119/2586 - Release Date: 12/25/09 09:33:00
Wednesday, December 23, 2009
ITULAH SUARA PROGRESIF RAKYAT BELANDA
Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 23 Desember 2009.
--------------------------------
'INDONESIA MERDEKA TH 1945. AKUI INI!
Itulah suara Rakyat Belanda progresif!
Sore ini ketika membuka ruangan penerimaan e-mail, kujumpai sebuah kiriman dari sahabat karib kami, S.M.Siauw. Ia selalu memforwardkan berita-berita penting yang diterimanya.
Kali ini, yang dikirimkan S.M. Siauw, adalah sebuah artikel penting sekali dalam catatan hubungan Indonesia-Belanda. Artikel yang dimaksud adalah sebuah pernyataan sejumlah tokoh-tokoh ilmuawan, budayawan masyarakat Belanda.
Dimuat di NRC-Handelsblad, tanggal 23 Desember 2009.
Judul dalam bahasa aslinya:
INDONESIË WERD ONAFHANKELIJK IN 1945, ERKENT DIT.
Diterjemahkan bebas, sbb:
INDONESIA MERDEKA TH 1945. AKUI INI!
Adalah sepenuhnya benar dan wajar, menilai pernyataan tsb sebagai suara rakyat Belanda yang sesungguhnya. Perryataan tsb mewakili sikap yang sudah sejak lama ada pada rakyat Belanda yang progresif. Itu bertolak belakang dengan sikap politik pemerintah Belanda. Yang sampai sekarang resminya menganggap bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 27 Desember 1949. Di saat mana pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, sesuai dengan Persetujuan KMB.
Artikel historis tsb ditulis oleh Adriaan van Dis, Nelleke Noordervliet, Geert Mak dll. Seluruhnya sbb:
Peter de Reuver, Nico Schulte Nordthold, Adriaan van Dis, Joty ter Kulve, Claudine Hellerman, Rorbert van den Berg, Jan Hendrik Peters. (Comité van aanbeveling):
Hans Blom, Theo van Boven, Peter Broekvelt, Frances Couda, Rudy Kousbroek, Susan Legème, Ad vam Liempt, Geert Mak, Ull d´Ollveira, Cert Oostindie, Parnela Pattynama, Henk Schulte Nordtholt, Erry Stoové, Elsbeth Locher-Sholten.
Terhadap sikap dan pernyataan terbuka oleh tokoh-tokoh terkemuka masyarakat Belanda itu, yang mencakup cendekiawan, wartawan, penulis dan budayawan, tak ada lain yang dapat kita katakan:
B R A V O !
Pernyataan tsb mengajukan usul kongkrit kepada pemerintah Belanda sekarang ini supaya secara terbuka dan tegas, mengakhiri sikap kolonial pemerintah-pemerintah
Belanda selama ini. Yaitu yang menolak mengakui kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama ini pemerintah Belanda menganggap hari kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 27 Desember 1949.
* * *
Dinyatakan a.l dalam pernyataan terbuka Adriaan van Dis, Nelleke Noordervliet, Geert Mak dkk, sbb:
“Sudah waktunya untuk menyatukan dua garis -- (yaitu garis sebagian dalam masyarakat Belanda progresif. Mereka menganggap Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus. Dan sikap serta pendirian pemerintah Belanda serta yang mendukungnya, bahwa kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 27 Desember 1949, sesuai Persetujuan KMB, -- I.Isa )-- , dan memberikan tempat dalam sejarah bersama, yang memperhitungkan hak suatu bangsa untuk menentukan sendiri momen kapan dinyatakannya kemerdekaannya. Oleh karena itu, kami mengajukan permintaan kepada pemerintah Belanda, yang berbunyi sbb:
Pemerintah! Akui 17 Agustus 1945 sebagai datum Kemerdekaan Indonesia!
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
* * *
Selanjutnya pernyataan tsb.:
“Akhir tahun ini adalah genap 60 th yang lalu Nederland menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Saat itu adalah saat yang bagus sekali, untuk selanjutnya melihat 27 Desember 1949 sebagai datum juridis kedaulatan tsb. Dengan itu sepenuhnya mengakui bahwa kemerdekaan – Indonesia – adalah pada tanggal 17 Agustus 1945, yang secara politik sudah merupakan kenyataan. Dengan demikian kita menganggap bahwa proklamasi oleh Sukarno dan Hatta sebagai suatu tindakan politik yang adil, rakyat Indonesia telah menentukan sendiri kapan ia merdeka.
* * *
Lampiran:
Indonesië werd onafhankelijk in 1945. Erken dit !
Gepubliceerd: 22 december 2009 14:39 | Gewijzigd: 22 december 2009 14:54
Nog steeds is Nederland officieel van oordeel dat Indonesië pas in 1949 onafhankelijk werd. Maar Indonesiërs denken daar zelf anders over. Kom hen toch eens tegemoet.
Door Adriaan van Dis, Nelleke Noordervliet, Geert Mak e.a.
Over de gebeurtenissen in Indonesië in de jaren 1945-1949 en de gevolgen daarvan is in de afgelopen zestig jaar in Nederland een officiële verhaallijn gevolgd, gebaseerd op de beslissing van de toenmalige regering om de Republiek Indonesië niet te erkennen en te trachten de soevereiniteit van Nederland met militaire middelen te handhaven. Behalve die officiële verhaallijn is er een ander verhaal: dat van de tegenstanders van het regeringsbeleid, het verhaal van de bevolkingsgroepen die door de gebeurtenissen tussen wal en schip vielen, het verhaal van discriminatie en uitsluiting, het verhaal van gruwelijkheden aan beide kanten, het verhaal van het zoeken naar de waarheid.
Het is tijd om die twee lijnen bijeen te brengen en een plaats te geven in de gezamenlijke geschiedenis, een plaats die rekening houdt met het recht van een volk zelf te beslissen over het moment de eigen onafhankelijkheid af te kondigen. Daarom hebben wij een verzoek aan de Nederlandse regering opgesteld, dat als volgt luidt:
Regering! Erken 17 augustus 1945 als de datum van de Indonesische onafhankelijkheid!
Op 17 augustus 1945 proclameerden Soekarno en Hatta de onafhankelijkheid van Indonesië.
De soevereiniteitsoverdracht door Nederland vond vier jaar later plaats op 27 december 1949 in het Paleis op de Dam en in het paleis van de gouverneur-generaal aan het Koningsplein te Jakarta. In de tussenliggende jaren voerde Nederland een steeds uitzichtlozer politiek en militair offensief.
Op 17 augustus 2005 sprak minister Bot, toenmalig minister van Buitenlandse Zaken, aanwezig bij de viering in Jakarta van 60 jaar onafhankelijkheid, een spijtbetuiging uit, die door de Indonesische regering is opgevat als een impliciete erkenning door Nederland van deze datum als de datum van onafhankelijkheid. De Nederlandse regering echter heeft tot op de dag van vandaag deze slechts politiek en moreel geaccepteerd.
Het ontbreken van volledige politieke erkenning door Nederland is een historische nalatigheid die wij onrechtvaardig achten jegens het Indonesische volk. Het feit dat de Indonesische regering zelf met begrip voor Nederlandse gevoeligheden niet aandringt op politieke erkenning, neemt die onrechtvaardigheid niet weg.
Veel Nederlanders, vooral uit de generaties die nog nauwe banden hebben met Indonesië, willen deze al zestig jaar bestaande nalatigheid wegnemen. Als het niet gedurende hun leven plaatsvindt, zal het in de vergetelheid raken en door jongere generaties als afgedaan worden beschouwd.
De gevoeligheid van de veteranen voor deze kwestie is zeer begrijpelijk; zij hebben zware offers gebracht in opdracht van de toenmalige Nederlandse regering.
Eind dit jaar is het zestig jaar geleden dat Nederland de soevereiniteit aan de Verenigde Staten van Indonesië overdroeg. Dat is een uitstekend moment om 27 december 1949 voortaan te zien als de datum waarop de soevereiniteit haar juridisch beslag kreeg, daarbij volledig erkennend dat de onafhankelijkheid al vanaf 17 augustus 1945 een politiek feit is. Wij beschouwen daarmee de proclamatie van Soekarno en Hatta als een rechtmatige politieke daad; het Indonesische volk heeft immers zelf bepaald wanneer het onafhankelijk is geworden.
Met expliciete politieke erkenning nu kan ook het gevoel weggenomen worden dat het Nederland van nu zich nog steeds identificeert met de opstelling van de Nederlandse regering toen.
De betrekkingen tussen Indonesië en Nederland zijn goed en ontwikkelen zich voorspoedig. De president van Indonesië zal ons land komend voorjaar bezoeken. Bij die gelegenheid zou de expliciete politieke erkenning door Nederland van 17 augustus 1945 als onafhankelijkheidsdatum een passend welkom zijn. Dat kan natuurlijk ook 65 jaar na dato, op 17 augustus 2010.
Peter de Reuver, Nico Schulte Nordholt, Nelleke Noordervliet, Adriaan van Dis, Joty ter Kulve, Claudine Helleman, Norbert van den Berg, Jan Hendrik Peters. Comité van aanbeveling: Hans Blom, Theo van Boven, Peter Broekveldt, Frances Gouda, Rudy Kousbroek, Susan Legêne, Ad van Liempt, Geert Mak, Ulli d’Oliveira, Gert Oostindie, Pamela Pattynama, Henk Schulte Nordholt, Erry Stoové, Elsbeth Locher-Scholten.
* * *
Rabu, 23 Desember 2009.
--------------------------------
'INDONESIA MERDEKA TH 1945. AKUI INI!
Itulah suara Rakyat Belanda progresif!
Sore ini ketika membuka ruangan penerimaan e-mail, kujumpai sebuah kiriman dari sahabat karib kami, S.M.Siauw. Ia selalu memforwardkan berita-berita penting yang diterimanya.
Kali ini, yang dikirimkan S.M. Siauw, adalah sebuah artikel penting sekali dalam catatan hubungan Indonesia-Belanda. Artikel yang dimaksud adalah sebuah pernyataan sejumlah tokoh-tokoh ilmuawan, budayawan masyarakat Belanda.
Dimuat di NRC-Handelsblad, tanggal 23 Desember 2009.
Judul dalam bahasa aslinya:
INDONESIË WERD ONAFHANKELIJK IN 1945, ERKENT DIT.
Diterjemahkan bebas, sbb:
INDONESIA MERDEKA TH 1945. AKUI INI!
Adalah sepenuhnya benar dan wajar, menilai pernyataan tsb sebagai suara rakyat Belanda yang sesungguhnya. Perryataan tsb mewakili sikap yang sudah sejak lama ada pada rakyat Belanda yang progresif. Itu bertolak belakang dengan sikap politik pemerintah Belanda. Yang sampai sekarang resminya menganggap bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 27 Desember 1949. Di saat mana pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, sesuai dengan Persetujuan KMB.
Artikel historis tsb ditulis oleh Adriaan van Dis, Nelleke Noordervliet, Geert Mak dll. Seluruhnya sbb:
Peter de Reuver, Nico Schulte Nordthold, Adriaan van Dis, Joty ter Kulve, Claudine Hellerman, Rorbert van den Berg, Jan Hendrik Peters. (Comité van aanbeveling):
Hans Blom, Theo van Boven, Peter Broekvelt, Frances Couda, Rudy Kousbroek, Susan Legème, Ad vam Liempt, Geert Mak, Ull d´Ollveira, Cert Oostindie, Parnela Pattynama, Henk Schulte Nordtholt, Erry Stoové, Elsbeth Locher-Sholten.
Terhadap sikap dan pernyataan terbuka oleh tokoh-tokoh terkemuka masyarakat Belanda itu, yang mencakup cendekiawan, wartawan, penulis dan budayawan, tak ada lain yang dapat kita katakan:
B R A V O !
Pernyataan tsb mengajukan usul kongkrit kepada pemerintah Belanda sekarang ini supaya secara terbuka dan tegas, mengakhiri sikap kolonial pemerintah-pemerintah
Belanda selama ini. Yaitu yang menolak mengakui kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama ini pemerintah Belanda menganggap hari kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 27 Desember 1949.
* * *
Dinyatakan a.l dalam pernyataan terbuka Adriaan van Dis, Nelleke Noordervliet, Geert Mak dkk, sbb:
“Sudah waktunya untuk menyatukan dua garis -- (yaitu garis sebagian dalam masyarakat Belanda progresif. Mereka menganggap Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus. Dan sikap serta pendirian pemerintah Belanda serta yang mendukungnya, bahwa kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 27 Desember 1949, sesuai Persetujuan KMB, -- I.Isa )-- , dan memberikan tempat dalam sejarah bersama, yang memperhitungkan hak suatu bangsa untuk menentukan sendiri momen kapan dinyatakannya kemerdekaannya. Oleh karena itu, kami mengajukan permintaan kepada pemerintah Belanda, yang berbunyi sbb:
Pemerintah! Akui 17 Agustus 1945 sebagai datum Kemerdekaan Indonesia!
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
* * *
Selanjutnya pernyataan tsb.:
“Akhir tahun ini adalah genap 60 th yang lalu Nederland menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Saat itu adalah saat yang bagus sekali, untuk selanjutnya melihat 27 Desember 1949 sebagai datum juridis kedaulatan tsb. Dengan itu sepenuhnya mengakui bahwa kemerdekaan – Indonesia – adalah pada tanggal 17 Agustus 1945, yang secara politik sudah merupakan kenyataan. Dengan demikian kita menganggap bahwa proklamasi oleh Sukarno dan Hatta sebagai suatu tindakan politik yang adil, rakyat Indonesia telah menentukan sendiri kapan ia merdeka.
* * *
Lampiran:
Indonesië werd onafhankelijk in 1945. Erken dit !
Gepubliceerd: 22 december 2009 14:39 | Gewijzigd: 22 december 2009 14:54
Nog steeds is Nederland officieel van oordeel dat Indonesië pas in 1949 onafhankelijk werd. Maar Indonesiërs denken daar zelf anders over. Kom hen toch eens tegemoet.
Door Adriaan van Dis, Nelleke Noordervliet, Geert Mak e.a.
Over de gebeurtenissen in Indonesië in de jaren 1945-1949 en de gevolgen daarvan is in de afgelopen zestig jaar in Nederland een officiële verhaallijn gevolgd, gebaseerd op de beslissing van de toenmalige regering om de Republiek Indonesië niet te erkennen en te trachten de soevereiniteit van Nederland met militaire middelen te handhaven. Behalve die officiële verhaallijn is er een ander verhaal: dat van de tegenstanders van het regeringsbeleid, het verhaal van de bevolkingsgroepen die door de gebeurtenissen tussen wal en schip vielen, het verhaal van discriminatie en uitsluiting, het verhaal van gruwelijkheden aan beide kanten, het verhaal van het zoeken naar de waarheid.
Het is tijd om die twee lijnen bijeen te brengen en een plaats te geven in de gezamenlijke geschiedenis, een plaats die rekening houdt met het recht van een volk zelf te beslissen over het moment de eigen onafhankelijkheid af te kondigen. Daarom hebben wij een verzoek aan de Nederlandse regering opgesteld, dat als volgt luidt:
Regering! Erken 17 augustus 1945 als de datum van de Indonesische onafhankelijkheid!
Op 17 augustus 1945 proclameerden Soekarno en Hatta de onafhankelijkheid van Indonesië.
De soevereiniteitsoverdracht door Nederland vond vier jaar later plaats op 27 december 1949 in het Paleis op de Dam en in het paleis van de gouverneur-generaal aan het Koningsplein te Jakarta. In de tussenliggende jaren voerde Nederland een steeds uitzichtlozer politiek en militair offensief.
Op 17 augustus 2005 sprak minister Bot, toenmalig minister van Buitenlandse Zaken, aanwezig bij de viering in Jakarta van 60 jaar onafhankelijkheid, een spijtbetuiging uit, die door de Indonesische regering is opgevat als een impliciete erkenning door Nederland van deze datum als de datum van onafhankelijkheid. De Nederlandse regering echter heeft tot op de dag van vandaag deze slechts politiek en moreel geaccepteerd.
Het ontbreken van volledige politieke erkenning door Nederland is een historische nalatigheid die wij onrechtvaardig achten jegens het Indonesische volk. Het feit dat de Indonesische regering zelf met begrip voor Nederlandse gevoeligheden niet aandringt op politieke erkenning, neemt die onrechtvaardigheid niet weg.
Veel Nederlanders, vooral uit de generaties die nog nauwe banden hebben met Indonesië, willen deze al zestig jaar bestaande nalatigheid wegnemen. Als het niet gedurende hun leven plaatsvindt, zal het in de vergetelheid raken en door jongere generaties als afgedaan worden beschouwd.
De gevoeligheid van de veteranen voor deze kwestie is zeer begrijpelijk; zij hebben zware offers gebracht in opdracht van de toenmalige Nederlandse regering.
Eind dit jaar is het zestig jaar geleden dat Nederland de soevereiniteit aan de Verenigde Staten van Indonesië overdroeg. Dat is een uitstekend moment om 27 december 1949 voortaan te zien als de datum waarop de soevereiniteit haar juridisch beslag kreeg, daarbij volledig erkennend dat de onafhankelijkheid al vanaf 17 augustus 1945 een politiek feit is. Wij beschouwen daarmee de proclamatie van Soekarno en Hatta als een rechtmatige politieke daad; het Indonesische volk heeft immers zelf bepaald wanneer het onafhankelijk is geworden.
Met expliciete politieke erkenning nu kan ook het gevoel weggenomen worden dat het Nederland van nu zich nog steeds identificeert met de opstelling van de Nederlandse regering toen.
De betrekkingen tussen Indonesië en Nederland zijn goed en ontwikkelen zich voorspoedig. De president van Indonesië zal ons land komend voorjaar bezoeken. Bij die gelegenheid zou de expliciete politieke erkenning door Nederland van 17 augustus 1945 als onafhankelijkheidsdatum een passend welkom zijn. Dat kan natuurlijk ook 65 jaar na dato, op 17 augustus 2010.
Peter de Reuver, Nico Schulte Nordholt, Nelleke Noordervliet, Adriaan van Dis, Joty ter Kulve, Claudine Helleman, Norbert van den Berg, Jan Hendrik Peters. Comité van aanbeveling: Hans Blom, Theo van Boven, Peter Broekveldt, Frances Gouda, Rudy Kousbroek, Susan Legêne, Ad van Liempt, Geert Mak, Ulli d’Oliveira, Gert Oostindie, Pamela Pattynama, Henk Schulte Nordholt, Erry Stoové, Elsbeth Locher-Scholten.
* * *
Monday, December 21, 2009
KASUS PRITA MULYASARI – -JEBOLAN Penting terhadap 'IMPUNITY'
IBRAHIM ISA – Catatan Partikeliran
Senin, 21 Desember 2009
--------------------------------------------------
KASUS PRITA MULYASARI – – –
JEBOLAN Penting terhadap 'IMPUNITY'
Media Indonesia, hari ini a.l memberikan komentar sbb:
'Kabar gembira bagi publik'.
Benar! Menjelang Hari Natal dan Tahun Baru, kalau mau dibilang ada berita gembira, maka itu adalah berita kemenangan PRITA MULYASARI. Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga 'biasa' (32th) dengan dua anak. Yang menonjol ialah bahwa warga Serpong ini, berani membela keadilan serta kebenaran yang ia yakin ada padanya. Ia menggugat salah diagnosia, serta mengecam rumah sakit Omni Internasional Serpong. Ketika ia pasien di situ Prita mendapat perlakuan buruk RS Omni Internasional tsb.
Prita Mulyasarsi memulai gugatannya sbb:
“Sabtu, 30/08/2008 11:17 WIB
RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif
Prita Mulyasari – suaraPembaca
“Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Gugataan Prita diakhiri dengan kalimat-kalimat berikut:
“Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
* * *
Keluhan dan gugatan Prita Mulyasari itu disampaikannya dalam sepucuk surat elektronik (e-mail) kepada teman-temannya. Pada gilirannya teman-temannya yang menerima berita itu tersentak oleh kesewenang-wenangan dan arogansi RS Omni Internsional. Dari situ timbul rasa simpati dan solidaritas mereka dengan Prita. Lalu 'mensosialisasikan' gugatan Prita itu. Sehingga tersebarlah kasus tsb di kalangan masyarakat. Timbul berbagai pernyataan protes. RS Omni Internasional Serpong marah, merasa terpojok dan kehilangan muka.
Lalu, ---- Lagi-lagi dengan sikap arogan melaporkan Prita kepada Polisi serta menggugat Prita ke pengadilan. Perita Mulyasari dituduh mencemarkan 'nama baik' RS Omni Internasional Serpong.
* * *
Fihak RS Omni Internasional Serpong merasa, bahwa fihak kepolisian dan pengadilan ada di fihaknya. Karena, bukankah semua tau, bahwa di negeri kita, sejak rezim Orba sudah biasa polisi dan pengadilan itu membela yang punya uang. Berfihak pada 'elit' yang kuasa atau ada kaitan dengan penguasa. Dan sudah biasa penguasa mempersekusi 'wong cilik'. Maka RS Omni Internasional dengan mudah saja 'mengadukan' Prita Mulyasari ke Pengadilan.
Betul saja! Tidak lama kemudian Polisi menahan Prita. Ia disekap sampai sebulan lamanya. Dan Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang lalu menjatuhkan 'vonis dendá' tidak kurang dari Rp. 204 juta. Jumlah itu harus dibayar Prita kepada RS Omni Internasional Serpong.
Mana bisa, warga biasa seperti Prita Mulyasari akan mampu membayar 'denda' sebesar itu. Lagipula keputusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang itu oleh masyarakat dianggap samasekali tidak adil. Peristiwa Prita Mulyasari menggugat RS Omni Internasional, bahwa kemudian Prita ditahan polisi, diajukan ke pangadilan kemudian Pengadilan Negeri Tanggerang, memutuskan Prita harus membayar 'ganti rugi' kepada RS Omni, ------ Itu cepat tersebar di kalangan masyarakat. Publik menganggap bahwa tindakan polisi dan pengadilan merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan menyatakan pendapat.
MASYRAKAT KONTAN BERREAKSI. Reaksinya adalah dilancarkannya aksi solidaritas membantu Prita dengan mengumpulkan uang recehan. Aksi itu terkenal dengan nama gerakan 'KOIN KEADILAN UNTUK PRITA”.
Penting sekali bahwa dalam gerakan ini, media internet, kalangan pers (tidak semua) ambil bagian aktif dalam kampanye membela Prita Mulyasari. Halmana menunjukkan bahwa rasa keadilan masyarakat terkoyak-koyak mendengar keputusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang yang memvonis Prita Mulyasari membayar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional .
Publik menyaksikan betapa lapisan masyarakat yang luas, tidak saja di pusat, tetapi juga di berbagai penjuru negeri terlibat dalam gerakan “KOIN KEADILAN UNTUK PRITA”. Aksi itu diikuti mulai kaum pemulung, warganegara biasa, sampai pekerja kantoran. Menurut berita terakhir koin yang terkumpul berjumlah tidak kurang dari Rp 825 juta. Suatu prestasi yang jarang terjadi. Luar biasa!
Namun yang lebih hebat lagi, bukan sekadar jumlah uang yang terkumpul! Yang luar biasa adalah k e b a n g k i t a n r a s a k e a d i l a n dan sadar akan haknya di kalangan masyarakat luas, termasuk kalangan luas media.
* * *
Gerakan “KOIN KEADILAN UNTUK PRITA” telah memberikan tekanan masyarakat begitu besar dan berat kepada RS Omni Internasional Serpong. Akhirnya tidak ada jalan lain bagi mereka, selain mengambil langkah mundur. Diberitakan di media bahwa RS Omni Internasional Serpong memutuskan mencabut gugatann terhadap Prita Mulyasari.
* * *
Peristiwa sekitar kasus PRITA MULYASARI menggugat RS Omni Internasional Serpong, yaitu: Sikap dan tindakan sewenang-wenang Polisi menahan Prita sampai sebulan; serta keputusan Pengadilan Negeri Tanggerang memvonis Prita dengan denda Rp 204 juta, -- menunjukkan bahwa arogansi dan kesewenang-wenangan elite (RS Omni Internasional), aparat (polisi ) dan lembaga hukum negeri (Pengadilan Negeri Tanggerang), – – - masih saja berlangsung terus. Situasi IMPUNITY -ketiadaan hukum dan ketiadaan keadilan masih terus saja!
Namun,
Di lain fihak: Sikap tegas membela keadilan seorang ibu rumah tangga biasa, rakyat kecil, seperti Prita Mulyasari, serta pula keberanian membela keadilan, merupakan benih-benih kesadaran keadilan dan warganegara akan haknya sebagai warganegara. Sikap tegas dan berani inilah yang menyulut rasa simpati dan solidaritas teman-temannya. Dan akhirnya berkembang meluas ke solidaritas kongkrit lapisan masyrakat luas, termasuk persnya.
Kasus Prita Mulyasari dan sukses gerakan 'KOIN KEDILAN UNTUK PRIT', menunjukkan SUATU JEBOLAN PENTING terhadap situasi dan keadaan IMPUNIY, tanpa hukum, dari negeri kita.
Juga sepenuhnya wajar tumbuhnya optimisme, bahwa 'hasil kecil', dan kesadaran hukum yang menginspirasi 'AKSI KEADILAN UNTUK PRITA', berangsur-angsur akan tumbuh dan berkembang menjadi arus besar. Yang akhirnya akan mampu mengalahkan arogansi dan kesewewang-wenangan elite, aparat dan lembaga pengadilan negeri.
* * *
LAMPIRAN : SURAT ELEKTRONIK PRITA MULYASARI.
Sabtu, 30/08/2008 11:17 WIB
RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif
Prita Mulyasari – suaraPembaca
Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
prita.mulyasari@yahoo.com
081513100600
Senin, 21 Desember 2009
--------------------------------------------------
KASUS PRITA MULYASARI – – –
JEBOLAN Penting terhadap 'IMPUNITY'
Media Indonesia, hari ini a.l memberikan komentar sbb:
'Kabar gembira bagi publik'.
Benar! Menjelang Hari Natal dan Tahun Baru, kalau mau dibilang ada berita gembira, maka itu adalah berita kemenangan PRITA MULYASARI. Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga 'biasa' (32th) dengan dua anak. Yang menonjol ialah bahwa warga Serpong ini, berani membela keadilan serta kebenaran yang ia yakin ada padanya. Ia menggugat salah diagnosia, serta mengecam rumah sakit Omni Internasional Serpong. Ketika ia pasien di situ Prita mendapat perlakuan buruk RS Omni Internasional tsb.
Prita Mulyasarsi memulai gugatannya sbb:
“Sabtu, 30/08/2008 11:17 WIB
RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif
Prita Mulyasari – suaraPembaca
“Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Gugataan Prita diakhiri dengan kalimat-kalimat berikut:
“Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
* * *
Keluhan dan gugatan Prita Mulyasari itu disampaikannya dalam sepucuk surat elektronik (e-mail) kepada teman-temannya. Pada gilirannya teman-temannya yang menerima berita itu tersentak oleh kesewenang-wenangan dan arogansi RS Omni Internsional. Dari situ timbul rasa simpati dan solidaritas mereka dengan Prita. Lalu 'mensosialisasikan' gugatan Prita itu. Sehingga tersebarlah kasus tsb di kalangan masyarakat. Timbul berbagai pernyataan protes. RS Omni Internasional Serpong marah, merasa terpojok dan kehilangan muka.
Lalu, ---- Lagi-lagi dengan sikap arogan melaporkan Prita kepada Polisi serta menggugat Prita ke pengadilan. Perita Mulyasari dituduh mencemarkan 'nama baik' RS Omni Internasional Serpong.
* * *
Fihak RS Omni Internasional Serpong merasa, bahwa fihak kepolisian dan pengadilan ada di fihaknya. Karena, bukankah semua tau, bahwa di negeri kita, sejak rezim Orba sudah biasa polisi dan pengadilan itu membela yang punya uang. Berfihak pada 'elit' yang kuasa atau ada kaitan dengan penguasa. Dan sudah biasa penguasa mempersekusi 'wong cilik'. Maka RS Omni Internasional dengan mudah saja 'mengadukan' Prita Mulyasari ke Pengadilan.
Betul saja! Tidak lama kemudian Polisi menahan Prita. Ia disekap sampai sebulan lamanya. Dan Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang lalu menjatuhkan 'vonis dendá' tidak kurang dari Rp. 204 juta. Jumlah itu harus dibayar Prita kepada RS Omni Internasional Serpong.
Mana bisa, warga biasa seperti Prita Mulyasari akan mampu membayar 'denda' sebesar itu. Lagipula keputusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang itu oleh masyarakat dianggap samasekali tidak adil. Peristiwa Prita Mulyasari menggugat RS Omni Internasional, bahwa kemudian Prita ditahan polisi, diajukan ke pangadilan kemudian Pengadilan Negeri Tanggerang, memutuskan Prita harus membayar 'ganti rugi' kepada RS Omni, ------ Itu cepat tersebar di kalangan masyarakat. Publik menganggap bahwa tindakan polisi dan pengadilan merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan menyatakan pendapat.
MASYRAKAT KONTAN BERREAKSI. Reaksinya adalah dilancarkannya aksi solidaritas membantu Prita dengan mengumpulkan uang recehan. Aksi itu terkenal dengan nama gerakan 'KOIN KEADILAN UNTUK PRITA”.
Penting sekali bahwa dalam gerakan ini, media internet, kalangan pers (tidak semua) ambil bagian aktif dalam kampanye membela Prita Mulyasari. Halmana menunjukkan bahwa rasa keadilan masyarakat terkoyak-koyak mendengar keputusan hakim Pengadilan Negeri Tanggerang yang memvonis Prita Mulyasari membayar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional .
Publik menyaksikan betapa lapisan masyarakat yang luas, tidak saja di pusat, tetapi juga di berbagai penjuru negeri terlibat dalam gerakan “KOIN KEADILAN UNTUK PRITA”. Aksi itu diikuti mulai kaum pemulung, warganegara biasa, sampai pekerja kantoran. Menurut berita terakhir koin yang terkumpul berjumlah tidak kurang dari Rp 825 juta. Suatu prestasi yang jarang terjadi. Luar biasa!
Namun yang lebih hebat lagi, bukan sekadar jumlah uang yang terkumpul! Yang luar biasa adalah k e b a n g k i t a n r a s a k e a d i l a n dan sadar akan haknya di kalangan masyarakat luas, termasuk kalangan luas media.
* * *
Gerakan “KOIN KEADILAN UNTUK PRITA” telah memberikan tekanan masyarakat begitu besar dan berat kepada RS Omni Internasional Serpong. Akhirnya tidak ada jalan lain bagi mereka, selain mengambil langkah mundur. Diberitakan di media bahwa RS Omni Internasional Serpong memutuskan mencabut gugatann terhadap Prita Mulyasari.
* * *
Peristiwa sekitar kasus PRITA MULYASARI menggugat RS Omni Internasional Serpong, yaitu: Sikap dan tindakan sewenang-wenang Polisi menahan Prita sampai sebulan; serta keputusan Pengadilan Negeri Tanggerang memvonis Prita dengan denda Rp 204 juta, -- menunjukkan bahwa arogansi dan kesewenang-wenangan elite (RS Omni Internasional), aparat (polisi ) dan lembaga hukum negeri (Pengadilan Negeri Tanggerang), – – - masih saja berlangsung terus. Situasi IMPUNITY -ketiadaan hukum dan ketiadaan keadilan masih terus saja!
Namun,
Di lain fihak: Sikap tegas membela keadilan seorang ibu rumah tangga biasa, rakyat kecil, seperti Prita Mulyasari, serta pula keberanian membela keadilan, merupakan benih-benih kesadaran keadilan dan warganegara akan haknya sebagai warganegara. Sikap tegas dan berani inilah yang menyulut rasa simpati dan solidaritas teman-temannya. Dan akhirnya berkembang meluas ke solidaritas kongkrit lapisan masyrakat luas, termasuk persnya.
Kasus Prita Mulyasari dan sukses gerakan 'KOIN KEDILAN UNTUK PRIT', menunjukkan SUATU JEBOLAN PENTING terhadap situasi dan keadaan IMPUNIY, tanpa hukum, dari negeri kita.
Juga sepenuhnya wajar tumbuhnya optimisme, bahwa 'hasil kecil', dan kesadaran hukum yang menginspirasi 'AKSI KEADILAN UNTUK PRITA', berangsur-angsur akan tumbuh dan berkembang menjadi arus besar. Yang akhirnya akan mampu mengalahkan arogansi dan kesewewang-wenangan elite, aparat dan lembaga pengadilan negeri.
* * *
LAMPIRAN : SURAT ELEKTRONIK PRITA MULYASARI.
Sabtu, 30/08/2008 11:17 WIB
RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif
Prita Mulyasari – suaraPembaca
Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
prita.mulyasari@yahoo.com
081513100600
Sunday, December 20, 2009
Radio Hilversum Memperingati “60TH K.M.B”
IBRAHIM ISA – Catatan Partikeliran
Sabtu, 19 Desember 2009
----------------------------------------------------------------
Radio Hilversum Memperingati “60TH K.M.B”
< Konferensi Meja Bundar : Belanda-Indonesia (1949)>
Beginilah ceritanya:
Radio Hilversum – RNW, Radio Nederland Wereldomroep, dengan RANESI-nya, diberitakan, menyelenggarakan 'peringatan 60 th KMB'. Dalam kesempatan itu mereka a.l mengundang wartawan senior Indonesia ROSIHAN ANWAR. Katanya, Rosihan Anwar adalah satu-satunya wartawan Indonesia yang masih hidup yang sempat meliput Konferensi Meja Bundar antara fihak Indonesia dan Belanda, di Den Haag, -- Agustus-Desember 1949. Yang kuketahui, ketika itu wartawan Antara, almarhum Sukrisno juga hadir untuk meliput. Sukrisno kemudian menjabat Dubes RI di Bucharest lalu di Hanoi. Sesudah G30S, oleh klik militer Suharto paspornya dicabut. Jadilah Sukrisno salah seorang 'yang terhalang pulang' . Sampai ia meninggal dunia di Amsterdam.
Dikatakan bahwa Rosihan Anwar ketika itu menentang KMB, maka tidak diundang oleh fihak Indonesia untuk ikut ke Belanda meliput KMB. Namun, ia sempat juga meliput KMB, karena, katanya diundang oleh pemerintah Belanda. Sampai dimana benar tidaknya berita tsb wallahualam! Sepengetahuanku, wartawan Antara Sukrisno bukanlah wartawan yang pro-KMB. Tokh diajak oleh Delegasi Indonesia ikut ke Den Haag. Dalam beberapa kali cakap-cakap dengan Sukrisno jelas sekali bahwa ia punya kritik keras sekali terhadap persetujuan KMB. Terutama yang menyangkut keharusan Indonesia membayar hutang Hindia Belanda pada tahun-tahun konflik dengan Republik Indonesia. Hutang itu a.l adalah ongkos perang Nica untuk melikwidasi Republik Indonesia. Sukrisno juga menentang dikembalikannya semua 'aset Belanda' di Indonesia kepada 'pemiliknya'. Sukrisno menentang digabungkannya TNI dengan eks-tentara KNIL menjadi APRIS, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat; serta ditempatkannya MMB, Misi Militer Belanda di Indonesia.
Satu lagi yang ditentang Sukrisno ialah ketentuan KMB, bahwa dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda. Kenyataan bahwa Irian Barat masih diduduki oleh kolonialisme Belanda, merupakan bom waktu yang dipasang Belanda di wilayah Indonesia.
Pendirian Sukrisno ini sering dikemukakannya dalam diskusi-diskusi yang sering kami adakan. Apa yang dikemukakan Sukrisno itu, sesungguhnya adalah pendirian bangsa Indonesia. Bahwa sejak 17 Agustus 1945, bangsa kita telah merdeka dan telah menegakkan negara Republik Indonesia, yang berwilayah dari Sabang sampai Merauké.
Jadi, apa benar, Rosihan Anwar ketika itu tidak diundang Delegasi Indonesia ikut meliput KMB, karena menentang KMB?
* * *
Yang penting bagiku, bukan kedatangan Rosihan Anwar ke Den Haag, atas undangan Radio Hilversum. Yang penting ialah, menelusuri kembali kasuss sekitar KMB. Bagaimana memahami dan tau benar, apa sebenarnya KMB itu? Mengapa ada KMB? Dan bagaimana perkembangan selanjutnya sesudah KMB. Apa jadinya dengan KMB? Itu semua sudah berlalu. Sudah jadi sejarah. Namun, dengan meneliti dan menstudi kembali sejarah, kita dapat menarik pelajaran positif untuk hari depan. Khususnya bagi generasi muda harapan bangsa.
* * *
Belum jelas bagaimana fihak Belanda memandang kembali ke KMB. Apakah itu sekadar saat lahirnya Republik Indonesia Serikat (RIS)? Bahwa ssaat itu adalah saat ketika berlangsungnya 'penyerahan kedaulatan' Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda kepada RIS, 27 Desember 1949? Bahwa saaat itulah yang dianggap lahirnya di Hindia Belanda sebuah NEGARA INDONESIA. Bahwa, sejak itulah Indonesia merdeka. Begitukah pamahamannya? Dalam waktu cukup panjang, bagi pemerintah Belanda, merdekanya Indonesia, adalah pada tanggal 27 Desember 1949.
* * *
Setelah berdirinya RIS, suatu komplotan militer di bawah pimpinan Kapten KNIL Westerling, dengan mengumandangkan Gerakan Ratu Adil, berkomplot untuk merebut kekuasaan negara di Indonesia. Usaha Indonesia untuk menangkap Westerling gagal. Westerling bisa lolos menyelamatkan diri ke negeri Belanda. Belum lama, di Holland ramai pers memberitakan bahwa Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana ketika itu, dikatakan terlibat dalam komplotan Westerling itu. Dikatakan juga bahwa Pangeran Bernhard berkeinginan untuk menjadi semacam 'Raja Belanda (onderkoning) di Indonesia'.
Suatu fakta dalam sejarah kita: Tidak lama sesudah berdirinya negara Repbulik Indonesia Serikat, sebagai hasil KMB, pemerintah Indonesia ketika itu melikwidasi negara Republik Indonesia Serikat, RIS. Dan menghidupkan kembali REPUBLIK INDONESIA. Tindakan pemerintah Indonesia tsb adalah sesuai dengan gerakan luas massa rakyat Indonesia, yang menuntut dibubarkannya RIS. Beberapa tahun kemudian di bawah Presiden Sukarno seluruh Persetujuan KMB itu dibatalkan secara sefihak oleh Indonesia.
Selanjutanya semua modal dan aset Belanda dinasionalissi oleh Indonesia dalam suatu gerakan massa rakyat yang luas kampanye PEMBEBASAN IRIAN BARAT. Indonesia memutuskan hubungan dengan Belanda karena pemerintah Belanda berkeras menduduki terus Irian Barat. Irian Barat berhasil dibebaskan dari kolonialisme Belanda melalui perjuangan semesta rakyat Indonesia. Jajak pendapat oleh PBB di Irian Barat semata-mata merupakan formalisasi kembalinya Irian Barat di pangkuan Ibu Pertiwi.
Indonesia mencapai kemerdekaan nasionalnya adalah berkat perjuangan jangka panjang sejak sebelum Perang Dunia II. Terutama setelah Proklamasi Kemerdekaan, melalui perang kemerdekaan seluruh rakyat melawan tentara Inggris dan Belanda, --- dengan berkordinasi dengan perjuangan diplomasi di diunia internasional. Tidak boleh dilupakan pula, solidaritas kuat bangsa-bangsa Asia dan Afrika; termasuk dukungan kuat kaum progresif di pelbagai negeri, khususnya simpati dan dukungan kaum progresif Belanda sendiri dan Australia.
* * *
Mengenai situasi Indonesia, sesudah agresi kedua Belanda (akhir 1948), di saat ketika pemimpin-pemimpin RI ditangkap dan ditaha Belanda di Bangka; lalu keadaan menjelang KMB, -- Presiden Sukarno di dalam bukunya 'An Autobiography As Told To Cindy Adams'(1965), mengemukakan, al.(terjemahan bebas), sbb:
“Di satu fihak Belanda menduduki kota-kota, tentara kami menguasai jalan-jalan menuju ke kota-kota tsb serta kota-kota sekitarnya, bahan makanan yang menuju ke mereka. Kami mengasai desa-desa, jalan-jalan sampingannnya, keseluruhannya merupakan Indonesia. Kota-kota mereka, dengan demikian terkepung, sehingga hanya beberapa kota saja yang bisa disuplai melalui udara. Bila malam tiba kaum gerilyawan melakukan inflitrasi masuk kota, menyerang posisi musuh, meledakkan kereta api dan konvoi-konvoi mereka, membakar perseduaan makanan mereka. Musuh harus bertempur untuk survive, hanya untuk bisa hidup malam itu. Jalan yang mereka reparasi pada siang hari, malamnya dihancurkan. Belanda menjadi kacau. Mereka tidak tahu dimana kami akan menyerang. Mereka tidak punya cukup tentara untuk melindungi seluruh lapangan. Semua pasukan mereka terpaksa dipusatkan di kota-kota besar. Pada malam hari kota-kota mereka dikepung. Pada siang hari kota-kota mereka terancam oleh bentuk kehancuran yang lain.
“Sabot dan hancurkan, itulah semboyan kami. Setiap bocah usia enam tahun merupakan sabotir potensiil. Tambahan lagi, taktik kami ialah melancarkan politik non-koperasi (menolak kerjasama). Tidak satupun pegawai negeri Indonesia yang mau bekerja di kantor-kantor Belanda atau jawatan transpor Belanda. Tidak satupun buruh perkebunan Indonesia yang bekerja di perkebunan Belanda. Sampai-sampai kantor adminstraasi pamongpraja Belanda tidak bisa brfungsi.
“Dalam pada itu Republik tetap berfungsi. Pemerintahan lokal melakukan pekerjaannya di bawah langit biru, atau di balik rumpun bambu. Kaum gerilya membuka sekolah-seklah dan pusat-pusat perdagangan. Perwira-perwira didikan PETA, melakukan kursus yang setiap tiga bulan menghasilkan lebih banyak lagi prajurit umur belasan tahun . . . .
“Saya berada di Bangka beberapa bulan saja, ketika situasi semakin buruk bagi Belanda. Mereka mengisyaratkan mau musaywarah. Mereka terpaksa bicara dengan saya karena mereka mengalamai kekalahan dalam pertempuran dimana-mana. Angka korban kematian mereka meningkat terus setiap malam. Menjadi jelas, tak peduli betapapun banyaknya uang dikucurkan, atau betapa banyakpun pasukan yang mereka kirimkan, adalah samasekali tidak mungkin bagi mereka untuk memenangkan perang (melawan kami). Mereka tak punya harapan. Situasi ini bisa berlarut-larut tanpa kesudahan, untuk bertahun-tahun lamanya, dan korban yang mereka derita berat, tanpa ada harapan mereda. Holland menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka harus menyerah segera.
“Meskipun mereka tidak suka ide itu, tapi mereka sadari bahwa betapapun keinginan mereka untuk masyawarah dengan pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi pejuang-pejuang di lapangan – jendral-jendral, gerilyawan, massa yang luas – tak akan beranjak bila (perintah itu) tidak datang langsung dari Sukarno. Jawaban saya ialah, “Pulihkan Republik Indonesia. Kembalikan Sukarno sebagai Presiden Republik, barulah saya akan musyawarah. Tidak sebelumnya.
'Demikianlah, dimulai suatu prosesi panjangdiplomat dan kurir ke kota timah yang tenang Montok, di Bangka. Kompromi fihal persetujuan Rum-Royen tercapai di meja dapur saya di pesanggerahan buruh tambang dimana saya tinggal. Van Royen, yang mewakili Belanda, setuju bahwa mereka akan memulihkan pemimpin-pemimpin Republik. Mr Moh Rum, sebagai wakil Indonesia, setuju kami akan merecall gerilyawan kami. Dan kedua belah fihak setuju untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag untuk membicarakan transfer kedaulatan kepada Republik.
“Konferensi Meja Bundar diselenggarakan dalam bulan Agustus. Kengototan Belanda berkurang berangsur-angsur. Musyawarah beralaru-larut. Tetapi bagi kolonialisme masa akhirnya telah tiba. Kami setuju untuk membayar hutang yang dibuat oleh pemerintah Hindia Timur Belanda , yang berjumlah kira-kira 1.130.000.000 dolar. Membebani sebuah negeri koloni terbelakang yang menderita pengrusakan luas sekali akibat 3 tahun pendudukan dan empat tahun revolusi, dengan jumlah hutang demikian besar -- adalah t i d a k a d i l . Tetapi imbalannya mereka setuju tanpa syarat, tanpa bisa diubah, dan segera mengakui kedaulatan kami atas keseluruhan bekas Hindia Timur Belanda, terkecuali Irian Barat.
* * *
Persetujuan KMB, sebagaimana halnya Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renbille yang mendahuluinya, adalah persetujuan yang berat sebelah dan tidak adil. Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville dilanggar sendiri oleh fihak Belanda dengan Agresi pertama dan kedua terhadap Republik Indonesia. Sedngkan mengenai Persetujuan KMB, adalah fihak Republik Indonesia yang membatalkannya secara sefihak, karena persetujuan tsb berat sebelah dan tidak adil.
Perkembangan hubungan Indonesia-Belanda baru mencapai titik normalisasi hubungan wajar dan setara antara dua negeri yang berdaulat, ketika pemerintah Belanda, melalui pernyataan Menteri Luarnegeri Ben Bot, yang menghadiri Hari Perayaan dan Perigatan Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2005, di Jakarta. Secara implisit Menlu Belanda itu mengakui Hari Kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 17 Agustus 1945. Yaitu, pada saat Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.
Adalah ketika pemerintah Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia, hubungan Indonesia-Belanda memasuki periode hubungan saling menhormati, saling menghargai dan saling menguntungkan, yang didasarkan atas prinsip sama derajat dan sama hak.
* * *
Baik kita nantikan, bagaimana caranya Radio Hilversum memperingat 60 Th KMB.
* * *
Sabtu, 19 Desember 2009
----------------------------------------------------------------
Radio Hilversum Memperingati “60TH K.M.B”
< Konferensi Meja Bundar : Belanda-Indonesia (1949)>
Beginilah ceritanya:
Radio Hilversum – RNW, Radio Nederland Wereldomroep, dengan RANESI-nya, diberitakan, menyelenggarakan 'peringatan 60 th KMB'. Dalam kesempatan itu mereka a.l mengundang wartawan senior Indonesia ROSIHAN ANWAR. Katanya, Rosihan Anwar adalah satu-satunya wartawan Indonesia yang masih hidup yang sempat meliput Konferensi Meja Bundar antara fihak Indonesia dan Belanda, di Den Haag, -- Agustus-Desember 1949. Yang kuketahui, ketika itu wartawan Antara, almarhum Sukrisno juga hadir untuk meliput. Sukrisno kemudian menjabat Dubes RI di Bucharest lalu di Hanoi. Sesudah G30S, oleh klik militer Suharto paspornya dicabut. Jadilah Sukrisno salah seorang 'yang terhalang pulang' . Sampai ia meninggal dunia di Amsterdam.
Dikatakan bahwa Rosihan Anwar ketika itu menentang KMB, maka tidak diundang oleh fihak Indonesia untuk ikut ke Belanda meliput KMB. Namun, ia sempat juga meliput KMB, karena, katanya diundang oleh pemerintah Belanda. Sampai dimana benar tidaknya berita tsb wallahualam! Sepengetahuanku, wartawan Antara Sukrisno bukanlah wartawan yang pro-KMB. Tokh diajak oleh Delegasi Indonesia ikut ke Den Haag. Dalam beberapa kali cakap-cakap dengan Sukrisno jelas sekali bahwa ia punya kritik keras sekali terhadap persetujuan KMB. Terutama yang menyangkut keharusan Indonesia membayar hutang Hindia Belanda pada tahun-tahun konflik dengan Republik Indonesia. Hutang itu a.l adalah ongkos perang Nica untuk melikwidasi Republik Indonesia. Sukrisno juga menentang dikembalikannya semua 'aset Belanda' di Indonesia kepada 'pemiliknya'. Sukrisno menentang digabungkannya TNI dengan eks-tentara KNIL menjadi APRIS, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat; serta ditempatkannya MMB, Misi Militer Belanda di Indonesia.
Satu lagi yang ditentang Sukrisno ialah ketentuan KMB, bahwa dibentuk Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda. Kenyataan bahwa Irian Barat masih diduduki oleh kolonialisme Belanda, merupakan bom waktu yang dipasang Belanda di wilayah Indonesia.
Pendirian Sukrisno ini sering dikemukakannya dalam diskusi-diskusi yang sering kami adakan. Apa yang dikemukakan Sukrisno itu, sesungguhnya adalah pendirian bangsa Indonesia. Bahwa sejak 17 Agustus 1945, bangsa kita telah merdeka dan telah menegakkan negara Republik Indonesia, yang berwilayah dari Sabang sampai Merauké.
Jadi, apa benar, Rosihan Anwar ketika itu tidak diundang Delegasi Indonesia ikut meliput KMB, karena menentang KMB?
* * *
Yang penting bagiku, bukan kedatangan Rosihan Anwar ke Den Haag, atas undangan Radio Hilversum. Yang penting ialah, menelusuri kembali kasuss sekitar KMB. Bagaimana memahami dan tau benar, apa sebenarnya KMB itu? Mengapa ada KMB? Dan bagaimana perkembangan selanjutnya sesudah KMB. Apa jadinya dengan KMB? Itu semua sudah berlalu. Sudah jadi sejarah. Namun, dengan meneliti dan menstudi kembali sejarah, kita dapat menarik pelajaran positif untuk hari depan. Khususnya bagi generasi muda harapan bangsa.
* * *
Belum jelas bagaimana fihak Belanda memandang kembali ke KMB. Apakah itu sekadar saat lahirnya Republik Indonesia Serikat (RIS)? Bahwa ssaat itu adalah saat ketika berlangsungnya 'penyerahan kedaulatan' Hindia Belanda oleh pemerintah Belanda kepada RIS, 27 Desember 1949? Bahwa saaat itulah yang dianggap lahirnya di Hindia Belanda sebuah NEGARA INDONESIA. Bahwa, sejak itulah Indonesia merdeka. Begitukah pamahamannya? Dalam waktu cukup panjang, bagi pemerintah Belanda, merdekanya Indonesia, adalah pada tanggal 27 Desember 1949.
* * *
Setelah berdirinya RIS, suatu komplotan militer di bawah pimpinan Kapten KNIL Westerling, dengan mengumandangkan Gerakan Ratu Adil, berkomplot untuk merebut kekuasaan negara di Indonesia. Usaha Indonesia untuk menangkap Westerling gagal. Westerling bisa lolos menyelamatkan diri ke negeri Belanda. Belum lama, di Holland ramai pers memberitakan bahwa Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana ketika itu, dikatakan terlibat dalam komplotan Westerling itu. Dikatakan juga bahwa Pangeran Bernhard berkeinginan untuk menjadi semacam 'Raja Belanda (onderkoning) di Indonesia'.
Suatu fakta dalam sejarah kita: Tidak lama sesudah berdirinya negara Repbulik Indonesia Serikat, sebagai hasil KMB, pemerintah Indonesia ketika itu melikwidasi negara Republik Indonesia Serikat, RIS. Dan menghidupkan kembali REPUBLIK INDONESIA. Tindakan pemerintah Indonesia tsb adalah sesuai dengan gerakan luas massa rakyat Indonesia, yang menuntut dibubarkannya RIS
Selanjutanya semua modal dan aset Belanda dinasionalissi oleh Indonesia dalam suatu gerakan massa rakyat yang luas kampanye PEMBEBASAN IRIAN BARAT. Indonesia memutuskan hubungan dengan Belanda karena pemerintah Belanda berkeras menduduki terus Irian Barat. Irian Barat berhasil dibebaskan dari kolonialisme Belanda melalui perjuangan semesta rakyat Indonesia. Jajak pendapat oleh PBB di Irian Barat semata-mata merupakan formalisasi kembalinya Irian Barat di pangkuan Ibu Pertiwi.
Indonesia mencapai kemerdekaan nasionalnya adalah berkat perjuangan jangka panjang sejak sebelum Perang Dunia II. Terutama setelah Proklamasi Kemerdekaan, melalui perang kemerdekaan seluruh rakyat melawan tentara Inggris dan Belanda, --- dengan berkordinasi dengan perjuangan diplomasi di diunia internasional. Tidak boleh dilupakan pula, solidaritas kuat bangsa-bangsa Asia dan Afrika; termasuk dukungan kuat kaum progresif di pelbagai negeri, khususnya simpati dan dukungan kaum progresif Belanda sendiri dan Australia.
* * *
Mengenai situasi Indonesia, sesudah agresi kedua Belanda (akhir 1948), di saat ketika pemimpin-pemimpin RI ditangkap dan ditaha Belanda di Bangka; lalu keadaan menjelang KMB, -- Presiden Sukarno di dalam bukunya 'An Autobiography As Told To Cindy Adams'(1965), mengemukakan, al.(terjemahan bebas), sbb:
“Di satu fihak Belanda menduduki kota-kota, tentara kami menguasai jalan-jalan menuju ke kota-kota tsb serta kota-kota sekitarnya, bahan makanan yang menuju ke mereka. Kami mengasai desa-desa, jalan-jalan sampingannnya, keseluruhannya merupakan Indonesia. Kota-kota mereka, dengan demikian terkepung, sehingga hanya beberapa kota saja yang bisa disuplai melalui udara. Bila malam tiba kaum gerilyawan melakukan inflitrasi masuk kota, menyerang posisi musuh, meledakkan kereta api dan konvoi-konvoi mereka, membakar perseduaan makanan mereka. Musuh harus bertempur untuk survive, hanya untuk bisa hidup malam itu. Jalan yang mereka reparasi pada siang hari, malamnya dihancurkan. Belanda menjadi kacau. Mereka tidak tahu dimana kami akan menyerang. Mereka tidak punya cukup tentara untuk melindungi seluruh lapangan. Semua pasukan mereka terpaksa dipusatkan di kota-kota besar. Pada malam hari kota-kota mereka dikepung. Pada siang hari kota-kota mereka terancam oleh bentuk kehancuran yang lain.
“Sabot dan hancurkan, itulah semboyan kami. Setiap bocah usia enam tahun merupakan sabotir potensiil. Tambahan lagi, taktik kami ialah melancarkan politik non-koperasi (menolak kerjasama). Tidak satupun pegawai negeri Indonesia yang mau bekerja di kantor-kantor Belanda atau jawatan transpor Belanda. Tidak satupun buruh perkebunan Indonesia yang bekerja di perkebunan Belanda. Sampai-sampai kantor adminstraasi pamongpraja Belanda tidak bisa brfungsi.
“Dalam pada itu Republik tetap berfungsi. Pemerintahan lokal melakukan pekerjaannya di bawah langit biru, atau di balik rumpun bambu. Kaum gerilya membuka sekolah-seklah dan pusat-pusat perdagangan. Perwira-perwira didikan PETA, melakukan kursus yang setiap tiga bulan menghasilkan lebih banyak lagi prajurit umur belasan tahun . . . .
“Saya berada di Bangka beberapa bulan saja, ketika situasi semakin buruk bagi Belanda. Mereka mengisyaratkan mau musaywarah. Mereka terpaksa bicara dengan saya karena mereka mengalamai kekalahan dalam pertempuran dimana-mana. Angka korban kematian mereka meningkat terus setiap malam. Menjadi jelas, tak peduli betapapun banyaknya uang dikucurkan, atau betapa banyakpun pasukan yang mereka kirimkan, adalah samasekali tidak mungkin bagi mereka untuk memenangkan perang (melawan kami). Mereka tak punya harapan. Situasi ini bisa berlarut-larut tanpa kesudahan, untuk bertahun-tahun lamanya, dan korban yang mereka derita berat, tanpa ada harapan mereda. Holland menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka harus menyerah segera.
“Meskipun mereka tidak suka ide itu, tapi mereka sadari bahwa betapapun keinginan mereka untuk masyawarah dengan pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi pejuang-pejuang di lapangan – jendral-jendral, gerilyawan, massa yang luas – tak akan beranjak bila (perintah itu) tidak datang langsung dari Sukarno. Jawaban saya ialah, “Pulihkan Republik Indonesia. Kembalikan Sukarno sebagai Presiden Republik, barulah saya akan musyawarah. Tidak sebelumnya.
'Demikianlah, dimulai suatu prosesi panjangdiplomat dan kurir ke kota timah yang tenang Montok, di Bangka. Kompromi fihal persetujuan Rum-Royen tercapai di meja dapur saya di pesanggerahan buruh tambang dimana saya tinggal. Van Royen, yang mewakili Belanda, setuju bahwa mereka akan memulihkan pemimpin-pemimpin Republik. Mr Moh Rum, sebagai wakil Indonesia, setuju kami akan merecall gerilyawan kami. Dan kedua belah fihak setuju untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag untuk membicarakan transfer kedaulatan kepada Republik.
“Konferensi Meja Bundar diselenggarakan dalam bulan Agustus. Kengototan Belanda berkurang berangsur-angsur. Musyawarah beralaru-larut. Tetapi bagi kolonialisme masa akhirnya telah tiba. Kami setuju untuk membayar hutang yang dibuat oleh pemerintah Hindia Timur Belanda , yang berjumlah kira-kira 1.130.000.000 dolar. Membebani sebuah negeri koloni terbelakang yang menderita pengrusakan luas sekali akibat 3 tahun pendudukan dan empat tahun revolusi, dengan jumlah hutang demikian besar -- adalah t i d a k a d i l . Tetapi imbalannya mereka setuju tanpa syarat, tanpa bisa diubah, dan segera mengakui kedaulatan kami atas keseluruhan bekas Hindia Timur Belanda, terkecuali Irian Barat.
* * *
Persetujuan KMB, sebagaimana halnya Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renbille yang mendahuluinya, adalah persetujuan yang berat sebelah dan tidak adil. Persetujuan Linggajati dan Persetujuan Renville dilanggar sendiri oleh fihak Belanda dengan Agresi pertama dan kedua terhadap Republik Indonesia. Sedngkan mengenai Persetujuan KMB, adalah fihak Republik Indonesia yang membatalkannya secara sefihak, karena persetujuan tsb berat sebelah dan tidak adil.
Perkembangan hubungan Indonesia-Belanda baru mencapai titik normalisasi hubungan wajar dan setara antara dua negeri yang berdaulat, ketika pemerintah Belanda, melalui pernyataan Menteri Luarnegeri Ben Bot, yang menghadiri Hari Perayaan dan Perigatan Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2005, di Jakarta. Secara implisit Menlu Belanda itu mengakui Hari Kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 17 Agustus 1945. Yaitu, pada saat Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.
Adalah ketika pemerintah Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia, hubungan Indonesia-Belanda memasuki periode hubungan saling menhormati, saling menghargai dan saling menguntungkan, yang didasarkan atas prinsip sama derajat dan sama hak.
* * *
Baik kita nantikan, bagaimana caranya Radio Hilversum memperingat 60 Th KMB.
* * *
Thursday, December 17, 2009
PERINGATAN 10 TH TIMOR LESTE DI KITLV
Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 05 September 2009
---------------------------------
PERINGATAN 10 TH TIMOR LESTE DI KITLV
Bersama Cisca Pattipilohy, dua senioren ini, memberanikan diri menerjang angin kencang dan hujan rintik-rintik. Tambah lagi suhu mulai menurun. Dikuduk terasa silir-silir. Tokh kami memerlukan pergi ke Leiden. Menganggap perlu hadir di seminar yang diselenggarakan KITLV bersama Universiteit Leiden dan IIAS, untuk ‘Commemorate the 10th anniversary of East Timor ’s vote on self-determination, 30 August 1999’ . Begitulah seperti diumumkan dalam undangan yang dikirimkan drs Siegers ari KITLV.
Tidak dimaksudkan di sini ceritera panjang-lebar. Sekadar mengajak pembaca mengikuti yang paling berkesan, apa yang kualami pada hari Jum'at tanggal 3 September itu.
Sungguh terasa beruntung sekali, karena dapat dua sahabat baru. Mereka itu: Dua orang pemuda Timor Leste. Tegap, berser-seri dan penuh semangat. Langsung datang dari negerinya. Mereka di Belanda, untuk melanjutkan studi – antropologi – di Universitas Tilburg. Di sini belum disebutkan nama-nama mereka masing-masing. Soalnya belum bicara bahwa akan diulis sedikit tentang seminar, dan akan a.l menyebut nama mereka.
Ternyata mereka bukan mahasiswa biasa. Di Timor Leste sudah berfungsi sebagai dosen universitas. Mungkin di sini akan menambah studi untuk memperoleh Ph.D.
* * *
Acara peringatan cukup padat. Sesudah penjelasan Gerry van Klinken yang menjadi moderator. Berikutnya bicara Irene Cristalis, seorang jurnalis Belanda yang pernah berpangkalan di Hongkong, Beijing, Bangkok, New Delhi dan Timor Timur.
Pokoknya Irene membawakan cerita yang telah dituannya di dalam bukunya 'EAST TIMOR, A Nationá Bitter Dawn' – (Reedited and updated – June 2009).
Di situ diceriterakan terciptanya secara teraumatik negara Asia yang termuda. Timor Timur, yang sedang berjunag untuk membangun kembali negeri sejak Indonesia dengan segan mundur dalam tahun 1999. Ireen mengisahkan situasi pada hari-hari terakhir pendudukan Indonesia atas Timor Timor. Semua ceriteranya itu didasarkan pada riest tahunan dan wawancara langsung dengan para pemimpin Timor Timur, para pendeta, biarawati, mahasiswa dan pejuang-pejuang gerilya. Ia juga menunjukan pada kerumitan di intern-politik Timor Timur.
MENJADIKAN MEREKA ORANG-ORANG INDONESIA. ANAK-ANAK TIMOR YANG DIKIRIM KE INDONESIA.
Bicara selanjutnya seorang sarjana Australia, Helen van Klinken. Ia menyampaikan cerita memilukan. Betapa penguasa Indonesia berusaha mengubah anak-anak Timor Timur menjadikannya orang-orang Indonesia. Anak-anak itu diperoleh dari a.l penculikan oleh tentara. Sebagai korban perang agresi dan pendudukan yang dilancarkan Indonesia, terhadap kaum gerilya Timor Timur.
Alasan perikemanusiaan yang disampaikan Indonesia mengirimkan anak-anak yatim itu untuk diadopsi oleh keluarga-keluarga Indonesia, tak sesuai dengan kenyataan. Banyak dari anak-anak itu akhirua dipaksa menjadi semaca budak. Diperas. Sebagian lagi dikirimkan ke pesantren-pesantren Islam. Padahal seperti diketahui penduduk Timor Leste, tentunya termasuk orangtua anak-anak tsb, adalah pemeluk agama Katolik.
* * *
KOLABORATOR BERGABUNG DNG PEJUANG KEMERDEKAAN
Yang paling menarik ialah dipertunjukkannya sebuah dokumenter. Gerry van Klinken menjelaskan sebelumnya bahwa dokumenteR itu adalah wawancara dengan seorang k o l a b o r a t o r Timor Timur, yang pada awal kerjasama dengan fihak Indonesia. Setelah pengalaman pahit, dipenjarakan dan disiksa karena menuampaikan surat pengaduan kepada Presiden Suharto. Pengaduan itu hakikatnya gugatan terhadap tindakan sewenang-wenang TNI dan aparat pendudukan RI terhadap rakyat Timor Timur. Juga menggugat janji-janji kosong fihak Indonesia terhadap rakyat Timor Timur.
This book tells the story of the traumatic creation of Asia's youngest country, East Timor, which has been struggling to rebuild itself ever since the mayhem of Indonesia's reluctant withdrawal in 1999. The author, one of a mere handful of journalists who refused to be evacuated in the final days of the Indonesian occupation, gives a vivid first-hand account of the lives of individual Timorese during the occupation, their struggle for freedom and their endeavors to rebuild their homeland. Based on years of research, and lengthy interviews with East Timor 's leaders, priests, nuns, students and guerrilla fighters, this moving and extremely readable book is at the same time also an exploration of the complexities of the country's internal politics.
*Kolom IBRAHIM ISA*
*-----------------*
*Rabu, 01 Desember 2005.*
*TIMOR TIMUR, HAM & politik "Hubungan baiknya" dengan INDONESIA.*
Kemarin, Rabu 30 November, koran pagi Amsterdam, "de Volkskrant",
menyiarkan sebuah berita AP dari Dili, ibu kota Timor Timur.
Asal sedikit saja ada kepedulian terhadap masalah pemberlakuan HAM di
negeri yang rakyatnya begitu gagah-berani memperjuangkan kemerdekaannya
terhadap kolonialisme Portugis, dan kemudian melawan agresi, pendudukan
dan aneksasi Orba Indonesia,--- maka berita AP dari Dili itu pasti
membikin hati dan fikiran jadi gundah, marah, kecewa dan prihatin.
Meurut berita tsb Presiden Timor Lorosae, Xanana Gusmao, telah
menyisihkan sebuah laporan komisi mengenai pelanggaran hak-hak azasi
manusia (ketika Timor Timur) berada di bawah kekuasaan Indonesia. Xanana
Gusmao menganggap bahwa 'rekonsiliasi' dengan Indonesia lebih penting
ketimbang keadilan bagi para korban yang telah jatuh selama 24 tahun
Timur Timor berada di bawah pendudukan Indonesia. Xanana Gusmao juga
tidak mau mengambil oper saran-saran komisi untuk ganti-rugi yang harus
dibayar oleh negeri-negeri, yang pada tahun-tahun itu telah menyokong
Indonesia, seperti Amerika Serikat. Padahal Komisi Untuk Penerimaan,
Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah badan yang dibentuk oleh administrasi
interim-PBB. Jelas, laporah tsb terdiri dari 2500 halaman berisi
kritik-kritik keras sekali terhadap Indonesia.
Di sini bisa dilihat bagaimana sebuah negeri kecil yang terjerembab
dalam posisi yang sangat tidak mudah, karena terpaksa berbaikan dengan
tetangganya; yang jauh lebih besar dan yang angkara murka, seperti rezim
Orba Indonesia. Tambahan lagi rezim angkara murka tsb didukung oleh Barat.
Meskipun negeri kecil, --- namun kasus Timor Timur, selama lebih dari 20
tahun, menjadi sorotan media dunia, dan menjadi agenda penting kegiatan
banyak NGO yang berkepedulian dengan hak bangsa-bangsa untuk menentukan
nasib sendiri dan pemberlakukan HAM di mancanegara. Timor Timur menjadi
salah satu pusat perhatian media dunia, karena negeri kecil yang
rakyatnya mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1975, dengan
pelbagai dalih telah diagresi oleh rezim Orba Indonesia dibawah Jendral
Suharto, diduduki dan kemudian dianeksasi. Agresi, pendudukan dan
aneksasi yang dilakukan Orba Indonesia telah menimbulkan ratusan ribu
korban di fihak rakyat Timor Timur (menurut taksiran inernasional jumlah
korban di fihak rakyat Timor Timur berkisar di sekitar angka 200.000),
dan juga ribuan prajurit TNI menemui ajalnya di bumi Timor Timur. Para
prajuti TNI itu dindoktrinasi bahwa mereka berkorban demi kepentingan
bangsa Indonesia. Padahal jelas itu agresi, pendudukan dan aneksasi
dengan kekerasan.
Yang mengenaskan ialah sikap sementara elite politisi Orba yang
ikut-ikutan secara absurd menganggap dan melakukan kampanye bahwa Timor
Timur adalah bagian dari Republik Indonesia. Argumentasi mereka juga
sepenuhnya atas dasar rekayasa. Mereka mimpi bahwa adalah rakyat Timor
sendiri yang berhasrat untuk bergabung dengan Indonesia. Tidak jelas
apakah sikap para elite Orba itu untuk mencari muka pada presiden
Suharto ketika itu, ataukah memang ideologi 'nasionalisme-sempit' mereka
sudah begitu merosotnya, sehingga menganggap agresi, pendudukan militer
dan aneksasi sebagai tindakan yang 'halal' demi 'kebesaran' Indonesia.
Sudah tidak ada lagi bau-baunya nasionalisme yang sehat, nasionalisme
yang patriotik dan adil. Sudah demikian merosotnya sikap dan pendirian
chauvinis sementara elite, politisi, media dan cencekiawan Orba tsb,
sehingga tidak bisa membedakan lagi tindakan begaimana yang adalah
agresi, dan mana yang merupakan penggabungan dua wilayah dua negeri,
yang benar-benar didasarkan atas kehendak rakyatnya masing-masing.
Rezim Orba, TNI telah melakukan pelanggaran HAM luar biasa di Timor
Timur. Dunia internasional mengutuknya, dan pengadilan mengenai
pelanggaran HAM di Timor Timur oleh Orba/tentara, khususnya pada periode
"referendum" juga diadakan. Entah bagaimana hasilnya dan follow-upnya
sedikit diketahui umum.
Agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh Indonesia, jelas
disokong oleh Barat, terutama oleh Amerika Serikat dan Australia.
Meskipun apa yang dilakukan Indonesia terhadap Timor Timur sejak 1975
itu melanggar hukum internasional, melanggar prinsip-prinsip PBB, namun,
tokh disokong sepenuhnya oleh fihak Barat, karena itu adalah demi
kepentingan 'strategi Perang Dingin' mereka. Gembar gembor mereka
mengenai keuniversilan hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri yang
ada di bawah kekuasaan atau pengaruh Uni Sovyet ketika itu, adalah suatu
omong kosong besar dan munafik. Bila itu menyangkut Tibet yang ada di
bawah RRT atau negeri-negeri Baltik yang ada di bawah kekuasaaan Sovyet
ketika itu, maka mereka menabuh genderang meneriakkan keharusan
dilaksanakannya prinsip PBB 'hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib
sendiri' . Tapi begitu terlibat kasus Timor Timur dimana lebih
diutamakan kepentingan strategi 'perang dingin' mereka, maka segala
prinsip hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri, dibuang di keranjang
sampah. Rezim Orba yang melakukan pelanggaran tsb malah disokong, secara
ekonomi,finansil, politik dan militer.
Berkali-kali kita menyaksikan betapa fihak Barat dan yang sefaham dengan
sikap Barat tsb, mentrapkan sikap 'double standard' bila itu menyangkut
HAM. Bisa dilihat dalam contoh sbb: Ambillah apa yang terjadi di
Kampuchea atau di Tibet. Sikap mereka amat garang menghadapi penggunaan
kekerasan militer oleh penguas di situ. Bukan main suara protes yang
datang dari jurusan Barat dan yang sefaham dengan mereka itu. Tapi, bila
itu menyangkut korban di Indonesia (1965-1966) yang meliputi lebih
sejuta orang yang tidak bersalah, atau menghadapi masalah kudeta Jendral
Pinnochet di Chili yang mengakibatkan korban besar dan terbunuhnya
presiden Allende, maka kalangan yang berkuasa di Barat dan mereka-mereka
yang sefaham dengan Barat itu, seperti bisu-tuli saja lahyaknya.
Sebabnya? Karena di Kampuchea atau di Tibet, yang menjadi pelaku
kekerasan adalah kekuasaan yang dianggap komunis. Sebaliknya di
Indonesia atau di Chili, yang menjadi korban kekerasan itu adalah
golongan komunis dan Kiri. Pelakunya adalah yang anti-Komunis. Semacam
ada suatu prinsip misterius yang mereka pegang, yaitu, MEMBUNUH GOLONGAN
KIRI, MEMBUNUH KOMUNIS tidak melanggar HAM, itu boleh-boleh saja. Makin
banyak komunis atau golongan kiri yang jatuh korban makin baik adanya.
Begitulah sikap dan logika mereka-mereka itu. Keuniversilan HAM yang
mereka gembar-gemborkan itu adalah MUNAFIK!
'Double standard' dalam bersikap terhadap pelanggaran HAM ini masih
berlaku terus sampai dewasa ini, baik secara internasional, maupun di
Indonesia.
Tampaknya fihak Barat, khususnya Amerika Serikat dan Australia,
sebagaimana halnya dulu mereka tutup telinga dan tutup mulut terhadap
agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh rezim Orba Jendral
Suharto, --- sekarangpun kiranya mereka akan membisu juga menghadapi
kenyataan bahwa laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk
adminstrasi-interim PBB di Timor Timur, begitu saja dimasukkan ke dalam
laci.
Memang dalam hal ini, situasinya serba sulit bagi Presiden Timor Timur
Xanana Gusmao. Sebagai negeri kecil yang menghadapi begitu banyak
masalah pasca-kemerdekaan, mengatasi pengangguran, pendidikan, kesehatan
dan perumahan rakyuat, -- yang menyangkut masalah nasional pembangunan
ekonomi dan keamanan, memang memerlukan situasi yang 'stabil' dalam
hubungannya dengan Indonesia. Suatu Indonesia, yang sudah tidak lagi
dipimpin oleh Jendral Suharto, sudah mengalami masa reformasi dan
demokratisasi tertentu, namun, masih menganggap bahwa tindakan-tindakan
kekerasan militer fihak Orba Indonesia, sebagai akibat dari agresi,
pendudukan dan aneksasi terhadap Timor Timur, -- adalah sebagai suatu
tindakan yang demi mempertahankan 'kebesaran' Indonesia. Mereka masih
menganggap bahwa referendum di Timor Timur di bawah naungan
internasional/PBB, yang hasilya adalah 'lepasnya Timor Timur dari
Republik Indonesia, sebagai suatu 'kerugian' bagi Republik Indonesia.
Mereka-mereka itu, para pendukung dan penyangga Orba masih belum mawas diri.
Kantor Berita Associatied Press juga menulis bahwa Timor Timur hampir
tidak memiliki kekayaan alam sebagai sumber tambahan, dan tercatat
sebagai negeri yang paling miskin di Asia. Itulah sebabnya maka Timor
Timur masih berat tergantung dari Indonesia, partnernya dalam
perdagangan. Itu pulalah sebabnya Presiden Gusmao tidak mau bikin marah
Indonesia dengan permintaan gantirugi bagi korban-korban dan keluarga
mereka dan peringatan ke alamat Jakarta agar orang-orang militer
Indonesia yang bersalah diberikan hukum yang setimpal.
Analisis AP tsb punya dasar. Tentu sebab musabab utama mengapa Presiden
Gusmao sampai mengambil sikap demikian itu, ialah, karena ia menyadari
betul bahwa di Indonesia militer masih punya suara menentukan, baik
mengenai masalah-masalah yang menyangkut masalah nasional, apalagi yang
bersangkutan dengan masalah keamanan.
Sikap Presiden Xanana Gusmao yang menganggap lebih penting punya
hubungan 'tetangga baik' dengan RI, ketimbang memperjuangkan keadilan
bagi para korban yang jatuh akibat Orba Indonesia, dengan sendirinya --
bisa difahami.
Meskipun situasi politik di Indonesi sudah mengalami perubahan sejak
jatuhnya Suharto, dan kini presidennya adalah hasil pilihan langsung
rakyat, namun, ---- pandangan politik luarnegerinya, khusus menghadapi
masalah Timor Timur, hakikatnya masih sama. * * *
THE LEIDEN SOUTHEAST ASIA SEMINAR
We kindly invite you to attend the following seminar:
‘Commemorate the 10th anniversary of East Timor ’s vote on self-determination, 30 August 1999’
Date: Thursday 3 September 2009
Time: 14.30 - 17.00
Venue: Room 228 (second floor), Lipsius building, University of Leiden , Cleveringaplaats 1, 2311 BD Leiden.
Please register if you wish to attend : kitlv@kitlv.nl
The Leiden Southeast Asia Seminar is a cooperation of the KITLV, IIAS, VVI and the Departments of Languages and Cultures of Indonesia and of Cultural Anthropology & Development Sociology, Leiden University
To have your address removed from the KITLV database, please contact Yayah Siegers at kitlv@kitlv.nl
drs. S.R. (Yayah) Siegers-Samaniri
Directiesecretaris / Director's Office and Supporting Staff
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde / Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies
Reuvensplaats 2, 2311 BE Leiden
PO box 9515 , 2300 RA Leiden
The Netherlands
Phone +31 (0)71 527 2295, fax +31 (0)71 527 2638
E-mail: siegers@kitlv.nl / kitlv@kitlv.nl
www.kitlv.nl
Sabtu, 05 September 2009
---------------------------------
PERINGATAN 10 TH TIMOR LESTE DI KITLV
Bersama Cisca Pattipilohy, dua senioren ini, memberanikan diri menerjang angin kencang dan hujan rintik-rintik. Tambah lagi suhu mulai menurun. Dikuduk terasa silir-silir. Tokh kami memerlukan pergi ke Leiden. Menganggap perlu hadir di seminar yang diselenggarakan KITLV bersama Universiteit Leiden dan IIAS, untuk ‘Commemorate the 10th anniversary of East Timor ’s vote on self-determination, 30 August 1999’ . Begitulah seperti diumumkan dalam undangan yang dikirimkan drs Siegers ari KITLV.
Tidak dimaksudkan di sini ceritera panjang-lebar. Sekadar mengajak pembaca mengikuti yang paling berkesan, apa yang kualami pada hari Jum'at tanggal 3 September itu.
Sungguh terasa beruntung sekali, karena dapat dua sahabat baru. Mereka itu: Dua orang pemuda Timor Leste. Tegap, berser-seri dan penuh semangat. Langsung datang dari negerinya. Mereka di Belanda, untuk melanjutkan studi – antropologi – di Universitas Tilburg. Di sini belum disebutkan nama-nama mereka masing-masing. Soalnya belum bicara bahwa akan diulis sedikit tentang seminar, dan akan a.l menyebut nama mereka.
Ternyata mereka bukan mahasiswa biasa. Di Timor Leste sudah berfungsi sebagai dosen universitas. Mungkin di sini akan menambah studi untuk memperoleh Ph.D.
* * *
Acara peringatan cukup padat. Sesudah penjelasan Gerry van Klinken yang menjadi moderator. Berikutnya bicara Irene Cristalis, seorang jurnalis Belanda yang pernah berpangkalan di Hongkong, Beijing, Bangkok, New Delhi dan Timor Timur.
Pokoknya Irene membawakan cerita yang telah dituannya di dalam bukunya 'EAST TIMOR, A Nationá Bitter Dawn' – (Reedited and updated – June 2009).
Di situ diceriterakan terciptanya secara teraumatik negara Asia yang termuda. Timor Timur, yang sedang berjunag untuk membangun kembali negeri sejak Indonesia dengan segan mundur dalam tahun 1999. Ireen mengisahkan situasi pada hari-hari terakhir pendudukan Indonesia atas Timor Timor. Semua ceriteranya itu didasarkan pada riest tahunan dan wawancara langsung dengan para pemimpin Timor Timur, para pendeta, biarawati, mahasiswa dan pejuang-pejuang gerilya. Ia juga menunjukan pada kerumitan di intern-politik Timor Timur.
MENJADIKAN MEREKA ORANG-ORANG INDONESIA. ANAK-ANAK TIMOR YANG DIKIRIM KE INDONESIA.
Bicara selanjutnya seorang sarjana Australia, Helen van Klinken. Ia menyampaikan cerita memilukan. Betapa penguasa Indonesia berusaha mengubah anak-anak Timor Timur menjadikannya orang-orang Indonesia. Anak-anak itu diperoleh dari a.l penculikan oleh tentara. Sebagai korban perang agresi dan pendudukan yang dilancarkan Indonesia, terhadap kaum gerilya Timor Timur.
Alasan perikemanusiaan yang disampaikan Indonesia mengirimkan anak-anak yatim itu untuk diadopsi oleh keluarga-keluarga Indonesia, tak sesuai dengan kenyataan. Banyak dari anak-anak itu akhirua dipaksa menjadi semaca budak. Diperas. Sebagian lagi dikirimkan ke pesantren-pesantren Islam. Padahal seperti diketahui penduduk Timor Leste, tentunya termasuk orangtua anak-anak tsb, adalah pemeluk agama Katolik.
* * *
KOLABORATOR BERGABUNG DNG PEJUANG KEMERDEKAAN
Yang paling menarik ialah dipertunjukkannya sebuah dokumenter. Gerry van Klinken menjelaskan sebelumnya bahwa dokumenteR itu adalah wawancara dengan seorang k o l a b o r a t o r Timor Timur, yang pada awal kerjasama dengan fihak Indonesia. Setelah pengalaman pahit, dipenjarakan dan disiksa karena menuampaikan surat pengaduan kepada Presiden Suharto. Pengaduan itu hakikatnya gugatan terhadap tindakan sewenang-wenang TNI dan aparat pendudukan RI terhadap rakyat Timor Timur. Juga menggugat janji-janji kosong fihak Indonesia terhadap rakyat Timor Timur.
This book tells the story of the traumatic creation of Asia's youngest country, East Timor, which has been struggling to rebuild itself ever since the mayhem of Indonesia's reluctant withdrawal in 1999. The author, one of a mere handful of journalists who refused to be evacuated in the final days of the Indonesian occupation, gives a vivid first-hand account of the lives of individual Timorese during the occupation, their struggle for freedom and their endeavors to rebuild their homeland. Based on years of research, and lengthy interviews with East Timor 's leaders, priests, nuns, students and guerrilla fighters, this moving and extremely readable book is at the same time also an exploration of the complexities of the country's internal politics.
*Kolom IBRAHIM ISA*
*-----------------*
*Rabu, 01 Desember 2005.*
*TIMOR TIMUR, HAM & politik "Hubungan baiknya" dengan INDONESIA.*
Kemarin, Rabu 30 November, koran pagi Amsterdam, "de Volkskrant",
menyiarkan sebuah berita AP dari Dili, ibu kota Timor Timur.
Asal sedikit saja ada kepedulian terhadap masalah pemberlakuan HAM di
negeri yang rakyatnya begitu gagah-berani memperjuangkan kemerdekaannya
terhadap kolonialisme Portugis, dan kemudian melawan agresi, pendudukan
dan aneksasi Orba Indonesia,--- maka berita AP dari Dili itu pasti
membikin hati dan fikiran jadi gundah, marah, kecewa dan prihatin.
Meurut berita tsb Presiden Timor Lorosae, Xanana Gusmao, telah
menyisihkan sebuah laporan komisi mengenai pelanggaran hak-hak azasi
manusia (ketika Timor Timur) berada di bawah kekuasaan Indonesia. Xanana
Gusmao menganggap bahwa 'rekonsiliasi' dengan Indonesia lebih penting
ketimbang keadilan bagi para korban yang telah jatuh selama 24 tahun
Timur Timor berada di bawah pendudukan Indonesia. Xanana Gusmao juga
tidak mau mengambil oper saran-saran komisi untuk ganti-rugi yang harus
dibayar oleh negeri-negeri, yang pada tahun-tahun itu telah menyokong
Indonesia, seperti Amerika Serikat. Padahal Komisi Untuk Penerimaan,
Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah badan yang dibentuk oleh administrasi
interim-PBB. Jelas, laporah tsb terdiri dari 2500 halaman berisi
kritik-kritik keras sekali terhadap Indonesia.
Di sini bisa dilihat bagaimana sebuah negeri kecil yang terjerembab
dalam posisi yang sangat tidak mudah, karena terpaksa berbaikan dengan
tetangganya; yang jauh lebih besar dan yang angkara murka, seperti rezim
Orba Indonesia. Tambahan lagi rezim angkara murka tsb didukung oleh Barat.
Meskipun negeri kecil, --- namun kasus Timor Timur, selama lebih dari 20
tahun, menjadi sorotan media dunia, dan menjadi agenda penting kegiatan
banyak NGO yang berkepedulian dengan hak bangsa-bangsa untuk menentukan
nasib sendiri dan pemberlakukan HAM di mancanegara. Timor Timur menjadi
salah satu pusat perhatian media dunia, karena negeri kecil yang
rakyatnya mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1975, dengan
pelbagai dalih telah diagresi oleh rezim Orba Indonesia dibawah Jendral
Suharto, diduduki dan kemudian dianeksasi. Agresi, pendudukan dan
aneksasi yang dilakukan Orba Indonesia telah menimbulkan ratusan ribu
korban di fihak rakyat Timor Timur (menurut taksiran inernasional jumlah
korban di fihak rakyat Timor Timur berkisar di sekitar angka 200.000),
dan juga ribuan prajurit TNI menemui ajalnya di bumi Timor Timur. Para
prajuti TNI itu dindoktrinasi bahwa mereka berkorban demi kepentingan
bangsa Indonesia. Padahal jelas itu agresi, pendudukan dan aneksasi
dengan kekerasan.
Yang mengenaskan ialah sikap sementara elite politisi Orba yang
ikut-ikutan secara absurd menganggap dan melakukan kampanye bahwa Timor
Timur adalah bagian dari Republik Indonesia. Argumentasi mereka juga
sepenuhnya atas dasar rekayasa. Mereka mimpi bahwa adalah rakyat Timor
sendiri yang berhasrat untuk bergabung dengan Indonesia. Tidak jelas
apakah sikap para elite Orba itu untuk mencari muka pada presiden
Suharto ketika itu, ataukah memang ideologi 'nasionalisme-sempit' mereka
sudah begitu merosotnya, sehingga menganggap agresi, pendudukan militer
dan aneksasi sebagai tindakan yang 'halal' demi 'kebesaran' Indonesia.
Sudah tidak ada lagi bau-baunya nasionalisme yang sehat, nasionalisme
yang patriotik dan adil. Sudah demikian merosotnya sikap dan pendirian
chauvinis sementara elite, politisi, media dan cencekiawan Orba tsb,
sehingga tidak bisa membedakan lagi tindakan begaimana yang adalah
agresi, dan mana yang merupakan penggabungan dua wilayah dua negeri,
yang benar-benar didasarkan atas kehendak rakyatnya masing-masing.
Rezim Orba, TNI telah melakukan pelanggaran HAM luar biasa di Timor
Timur. Dunia internasional mengutuknya, dan pengadilan mengenai
pelanggaran HAM di Timor Timur oleh Orba/tentara, khususnya pada periode
"referendum" juga diadakan. Entah bagaimana hasilnya dan follow-upnya
sedikit diketahui umum.
Agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh Indonesia, jelas
disokong oleh Barat, terutama oleh Amerika Serikat dan Australia.
Meskipun apa yang dilakukan Indonesia terhadap Timor Timur sejak 1975
itu melanggar hukum internasional, melanggar prinsip-prinsip PBB, namun,
tokh disokong sepenuhnya oleh fihak Barat, karena itu adalah demi
kepentingan 'strategi Perang Dingin' mereka. Gembar gembor mereka
mengenai keuniversilan hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri yang
ada di bawah kekuasaan atau pengaruh Uni Sovyet ketika itu, adalah suatu
omong kosong besar dan munafik. Bila itu menyangkut Tibet yang ada di
bawah RRT atau negeri-negeri Baltik yang ada di bawah kekuasaaan Sovyet
ketika itu, maka mereka menabuh genderang meneriakkan keharusan
dilaksanakannya prinsip PBB 'hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib
sendiri' . Tapi begitu terlibat kasus Timor Timur dimana lebih
diutamakan kepentingan strategi 'perang dingin' mereka, maka segala
prinsip hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri, dibuang di keranjang
sampah. Rezim Orba yang melakukan pelanggaran tsb malah disokong, secara
ekonomi,finansil, politik dan militer.
Berkali-kali kita menyaksikan betapa fihak Barat dan yang sefaham dengan
sikap Barat tsb, mentrapkan sikap 'double standard' bila itu menyangkut
HAM. Bisa dilihat dalam contoh sbb: Ambillah apa yang terjadi di
Kampuchea atau di Tibet. Sikap mereka amat garang menghadapi penggunaan
kekerasan militer oleh penguas di situ. Bukan main suara protes yang
datang dari jurusan Barat dan yang sefaham dengan mereka itu. Tapi, bila
itu menyangkut korban di Indonesia (1965-1966) yang meliputi lebih
sejuta orang yang tidak bersalah, atau menghadapi masalah kudeta Jendral
Pinnochet di Chili yang mengakibatkan korban besar dan terbunuhnya
presiden Allende, maka kalangan yang berkuasa di Barat dan mereka-mereka
yang sefaham dengan Barat itu, seperti bisu-tuli saja lahyaknya.
Sebabnya? Karena di Kampuchea atau di Tibet, yang menjadi pelaku
kekerasan adalah kekuasaan yang dianggap komunis. Sebaliknya di
Indonesia atau di Chili, yang menjadi korban kekerasan itu adalah
golongan komunis dan Kiri. Pelakunya adalah yang anti-Komunis. Semacam
ada suatu prinsip misterius yang mereka pegang, yaitu, MEMBUNUH GOLONGAN
KIRI, MEMBUNUH KOMUNIS tidak melanggar HAM, itu boleh-boleh saja. Makin
banyak komunis atau golongan kiri yang jatuh korban makin baik adanya.
Begitulah sikap dan logika mereka-mereka itu. Keuniversilan HAM yang
mereka gembar-gemborkan itu adalah MUNAFIK!
'Double standard' dalam bersikap terhadap pelanggaran HAM ini masih
berlaku terus sampai dewasa ini, baik secara internasional, maupun di
Indonesia.
Tampaknya fihak Barat, khususnya Amerika Serikat dan Australia,
sebagaimana halnya dulu mereka tutup telinga dan tutup mulut terhadap
agresi, pendudukan dan aneksasi Timor Timur oleh rezim Orba Jendral
Suharto, --- sekarangpun kiranya mereka akan membisu juga menghadapi
kenyataan bahwa laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk
adminstrasi-interim PBB di Timor Timur, begitu saja dimasukkan ke dalam
laci.
Memang dalam hal ini, situasinya serba sulit bagi Presiden Timor Timur
Xanana Gusmao. Sebagai negeri kecil yang menghadapi begitu banyak
masalah pasca-kemerdekaan, mengatasi pengangguran, pendidikan, kesehatan
dan perumahan rakyuat, -- yang menyangkut masalah nasional pembangunan
ekonomi dan keamanan, memang memerlukan situasi yang 'stabil' dalam
hubungannya dengan Indonesia. Suatu Indonesia, yang sudah tidak lagi
dipimpin oleh Jendral Suharto, sudah mengalami masa reformasi dan
demokratisasi tertentu, namun, masih menganggap bahwa tindakan-tindakan
kekerasan militer fihak Orba Indonesia, sebagai akibat dari agresi,
pendudukan dan aneksasi terhadap Timor Timur, -- adalah sebagai suatu
tindakan yang demi mempertahankan 'kebesaran' Indonesia. Mereka masih
menganggap bahwa referendum di Timor Timur di bawah naungan
internasional/PBB, yang hasilya adalah 'lepasnya Timor Timur dari
Republik Indonesia, sebagai suatu 'kerugian' bagi Republik Indonesia.
Mereka-mereka itu, para pendukung dan penyangga Orba masih belum mawas diri.
Kantor Berita Associatied Press juga menulis bahwa Timor Timur hampir
tidak memiliki kekayaan alam sebagai sumber tambahan, dan tercatat
sebagai negeri yang paling miskin di Asia. Itulah sebabnya maka Timor
Timur masih berat tergantung dari Indonesia, partnernya dalam
perdagangan. Itu pulalah sebabnya Presiden Gusmao tidak mau bikin marah
Indonesia dengan permintaan gantirugi bagi korban-korban dan keluarga
mereka dan peringatan ke alamat Jakarta agar orang-orang militer
Indonesia yang bersalah diberikan hukum yang setimpal.
Analisis AP tsb punya dasar. Tentu sebab musabab utama mengapa Presiden
Gusmao sampai mengambil sikap demikian itu, ialah, karena ia menyadari
betul bahwa di Indonesia militer masih punya suara menentukan, baik
mengenai masalah-masalah yang menyangkut masalah nasional, apalagi yang
bersangkutan dengan masalah keamanan.
Sikap Presiden Xanana Gusmao yang menganggap lebih penting punya
hubungan 'tetangga baik' dengan RI, ketimbang memperjuangkan keadilan
bagi para korban yang jatuh akibat Orba Indonesia, dengan sendirinya --
bisa difahami.
Meskipun situasi politik di Indonesi sudah mengalami perubahan sejak
jatuhnya Suharto, dan kini presidennya adalah hasil pilihan langsung
rakyat, namun, ---- pandangan politik luarnegerinya, khusus menghadapi
masalah Timor Timur, hakikatnya masih sama. * * *
THE LEIDEN SOUTHEAST ASIA SEMINAR
We kindly invite you to attend the following seminar:
‘Commemorate the 10th anniversary of East Timor ’s vote on self-determination, 30 August 1999’
Date: Thursday 3 September 2009
Time: 14.30 - 17.00
Venue: Room 228 (second floor), Lipsius building, University of Leiden , Cleveringaplaats 1, 2311 BD Leiden.
Please register if you wish to attend : kitlv@kitlv.nl
The Leiden Southeast Asia Seminar is a cooperation of the KITLV, IIAS, VVI and the Departments of Languages and Cultures of Indonesia and of Cultural Anthropology & Development Sociology, Leiden University
To have your address removed from the KITLV database, please contact Yayah Siegers at kitlv@kitlv.nl
drs. S.R. (Yayah) Siegers-Samaniri
Directiesecretaris / Director's Office and Supporting Staff
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde / Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies
Reuvensplaats 2, 2311 BE Leiden
PO box 9515 , 2300 RA Leiden
The Netherlands
Phone +31 (0)71 527 2295, fax +31 (0)71 527 2638
E-mail: siegers@kitlv.nl / kitlv@kitlv.nl
www.kitlv.nl
CATATAN TENTANG BUKU
IBRAHIM ISA - CATATAN PARTIKELIRAN - II.
Jum'at, 04 September 2009
------------------------------------------------------------
BUKU (I)
Adakah seseorang atau sebuah lembaga yang mendaftar, misalnya: Selama periode tahun lalu, tahun 2008. Berapa banyak buku yang sudah diterbitkan di dunia ini. Mungkin belum ada orang atau lembaga yang melakukannya. Dan dalam bahasa apa buku-buku yang terbanyak diterbitkan?
Entah berapa juta buku yang sudah diterbitkan tahun lalu. Puluhan atau bahkan ratusan juta? Atau lebih. Siapa tau. Kalau ada yang tau mohon diinformasikan untuk umum, demi memperkaya pengetahuan dan horizon masyarakat manusia. Dunia pengetahuan kita sudah memasuki abad komunikasi, pencatatan dan dokumentasi digital. Maka tidak mustahil, semua itu bisa dicatat dan disimpan. Coba saja tanyakan pada 'Google.Com', 'Yahoo.Com', atau Wikipidia.
Selain itu, pertanyaan ini: Ada berapa banyak jumlah penerbit dan toko-toko buku di dunia ini. Ambil saja penerbit-penerbit dan toko buku yang terkenal. Batasi tahun 2008 dulu. Sebutkan dalam bahasa yang banyak dikenal di dunia ini. Misalnya bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol . . . Jangan lupa bahasa Tionghoa. Di dunia ini dari 4 penduduknya , satu orang adalah orang Tionghoa. Begitu pernah diberitakan.
Pernah aku baca buku yang paling banyak diterbitkan dalam pelbagai bahasa adalah Kitab Injil dan Al Qur'an. Sayangnya tak ada catatan berapa banyak saja yang benar-benar pernah membacanya dalam bahasa yang dimengertinya! Kebanyakan yang membeli, hanya untuk disimpan di lemari buku saja.
Sebagai legitimasi bahwa pemiliknya adalah Kristen atau Muslim. Seperti orang yang memakai kalung dengan tanda Salib, atau yang menggunakan kopiah haji atau jilbab.
Kiranya tak ada yang akan bantah, bahwa, salah satu sumber terpenting pengetehuan dan budaya manusia ada tercatat dalam buku-buku. Pernah dicatat di bahan yang namanya 'papyrus'. Bangsa kita pernah menggunakan daun lontar. Juga dipelbagai candi ada catatan itu. Orang Tionghoa memang pandai. Dulu mereka mencatat di buku batu-batu. Supaya tahan lama. Mulai batu biasa, sampai yang sebesar gajah. Kalau ingin liat yang spektakuler kunjungi musium di Sian, Tiongkok. Tentu semua itu dituis dalam huruf 'hanzi'.
Begitu orang menilai dan memelihara catatan dalam buku.
Sungguh memalukan bahwa di dunia ini ada penguasa yang melakukan pembakaran buku-buku untuk menghapuskan catatan atau pengetahuan yang tidak disukainya atau dianggap bahaya. Antara lain, kaisar Tiongkok Chin Shi Huang dan Orbanya Presiden Suharto. Mereka berilusi bisa membasmi ilmu dan pengetahuan yang tak berkenan dihati mreka dengan cara membakarnya. Sampai sekarang masih ada yang punya pikiran seperti itu. Melarang dan membakar buku. Termasuk di antara penguasa di negeri kita ini.
BUKU II
Kemarin ketika di Leiden, dalam rangka menghadiri seminar yang diadakan KITLV untuk memperingati '10 TAHUN TIMOR LESTE, kutemui buku baru di toko buku AKO di stasiun Leiden Centraal. Tak salah buku baru itu berjudul: Dit Mooie Land. Karya KADER ABDOLLAH. Profilfotonya menghias seluruh kulit muka buku. Ia penulis Iran yang suaka di Belanda. Sesudah 8 tahun belajar bahasa Belanda, ia menulis banyak novel, artikel dan kolom DALAM BAHASA BELANDA. Salah satu bukunya pernah bestseller di Belanda. Aku selalu bilang kepada teman-temank, Kader Abdollah adalah salah seorang Iran yang integrasi baik sekali di negeri Belanda. Tapi, tapi, dengan teguh mempertahankan cinta dan kepeduliannya pada negerinya Iran.
Buku Kader Abdollah yang baru terbit ini adalah bundel/kumpulan yang ke-empat, dari tulisannya di s.k. 'de Volkskrant', sebuah harian nasional Belanda. Meliputi periode 2003 - 2008. Menarik:
Dalam kata pengantarnya ditulisnya antar lain, bahwa menulis kolom setiap minggu merupakan suatu latihan mempraktekkan demokrasi. . . Terkadang saya mlihat bajangan diktatur di layar computer saya. Jangan teruskan sampai sini saja, begitu diingatkannya.
Ada satu prinsip yang saya pegang selalu, kata Kader. Apapun yang terjadi kau harus tetap adalah kamu sendiri. 'Wat er ook gebeurde, ik moest mezelf blijven'. Dan bila saya berkaca, saya harus bisa mengatakan: Saya tidak berdusta terhadap pembaca saya.
Sungguh suatu prinsip yang patut diteladani. Bukankah banyak dilakukan penulis, khususnya jika menulis tentang otobiografi atau memoir-nya, lalu memulas fakta, merekayasa cerita , alias NGIBUL.
Aku bermaksud nanti menulis lagi tentang Kader Abdollah dan karya-karyanya.
BUKU (III)
Ada dua penulis buku yang ingin kusinggung di sini. Dua buku yang ditulis oleh Barack Obama: The Dreams From My Father, dan, The Audicity of Hope, Thoughts on Reforming The American Dream.
Dua buku ini telah selesai kami baca. Aku bilang 'kami'. Buku-buku itu kami baca bersama, istriku Murti bersama aku. Aku yang membacakannya dan Murti mendengar.Terkadang disela tukar fikiran.
Cara ini kami lakukan sejak dua-tiga tahun lalu. Dengan cara ini telah 12 buku selesai kami baca. Antara lain Kitab Injil, Al Qur'an dan Hadits Nabi. Suatu cara yang efektif. Dua kali sehari kami baca. Pagi dan malam menjelang tidur.
Dua buku Barack Obama, harus dibaca habis. Kalau hendak mengenal visi dan misi presiden dari negara yang adikuasa sekarang ini. Tetapi lebih penting ialah bahwa visi dan misi Obama adalah REFORMASI Amerika. Selain itu ia menulis sedikitnya 12 halaman mengenai INDONESIA. Negeri dimana ia pernah berdomisli 4 tahun lamanya bersama ibu dan bapk tirinya orang Indonesia. Maya, adiknya dari bapak tiri Indonesianya, lahir di Jakarta.
Aku juga bermaksud hendak menulis sedikit tentang buku-buku Barack Obama tsb.
BUKU (IV)
Masih ada satu lagi buku penting. Juga belum lama kubeli: 'Prisoner of the State: The Secret Journal of Premier Zhao Ziyang'. Buku ini adalah transkrip rekaman suara mantan PM Zhao yang dibuatnya selama tahanan rumah yang dikenakan terhadap dirinya. Selama tahanan itu ia tidak tinggal diam. Ia mencatat sekitar masalah ' Peristiwa LAPANGAN TIAN AN MEN' yang banyak dikomentari itu. Kaset yang dibuatnya itu disembunyikannya di ruangan kamar kerjanya, di tumpukan mainan anak-anak cucunya.
Lalu melalui via-via diselundupkan keluar Tiongkok.
Bao Pu, Renee Chiang dan Adi Ignatius, mentranskrip dan mengeditnya menjadi buku. Menjadikannya dekumen yang amat berharga. Dibuat oleh mantan Perdana Menteri RRT yang sudah jadi tahanan negara. Ada berita mengatakan bisanya rekaman Zhou Ziyang sampai bisa keluar. Itu a.l. adalah juga bantuan 'orang-orang dalam' yang masih simpati dan dalam batas tertentu punya fikiran sama dengan mantan PM itu. Sampai sekarang Beijing tidak memberikan komentar apapun mengenai terbitnya buku itu.
Kami, Murti dan aku mulai membacanya awal bulan ini. Buku yang ada yang ada padaku adalah yang edisi Belanda. Apakah buku itu bukan pemalsuan? Setelah mulai membacanya, kesan kami, buku itu otentik.
Siapa saja yang ada keinginan untuk punya input, mencoba memahami apa yang terjadi sekitar peristiwa Tian An Men, patut membaca buku ini. Dari buku itu juga bisa diketahui ide-ide Zhao mengenai reformasi ekonomi Tiongkok sekarang, dan selain reformasi ekonomi juga perlunya reformasi politik. Selama ini diktakan bahwa bapak reformasi ekonomi Tiongkok adalah Deng Xiao-ping. Dari buku ini bisa dibaca bahwa ide reformasi ekonomi Tiongkok adalah Zhao Ziyang.
Bukan saja ide, ia telah mempraktekkanya lebih dulu di propinsi-propinsi yang dulu dipimpinnya.
Ia ditarik Den Xia-ping ke Beijing, justru karena ide-ide reformasi ekonomi, yang didukung oleh Deng Xiao-ping.
Lain kali kita sambung lagti CATATAN PARTIKELRIAN ini.
Amsterdam, 04 September 2009.
* * *
Jum'at, 04 September 2009
------------------------------------------------------------
BUKU (I)
Adakah seseorang atau sebuah lembaga yang mendaftar, misalnya: Selama periode tahun lalu, tahun 2008. Berapa banyak buku yang sudah diterbitkan di dunia ini. Mungkin belum ada orang atau lembaga yang melakukannya. Dan dalam bahasa apa buku-buku yang terbanyak diterbitkan?
Entah berapa juta buku yang sudah diterbitkan tahun lalu. Puluhan atau bahkan ratusan juta? Atau lebih. Siapa tau. Kalau ada yang tau mohon diinformasikan untuk umum, demi memperkaya pengetahuan dan horizon masyarakat manusia. Dunia pengetahuan kita sudah memasuki abad komunikasi, pencatatan dan dokumentasi digital. Maka tidak mustahil, semua itu bisa dicatat dan disimpan. Coba saja tanyakan pada 'Google.Com', 'Yahoo.Com', atau Wikipidia.
Selain itu, pertanyaan ini: Ada berapa banyak jumlah penerbit dan toko-toko buku di dunia ini. Ambil saja penerbit-penerbit dan toko buku yang terkenal. Batasi tahun 2008 dulu. Sebutkan dalam bahasa yang banyak dikenal di dunia ini. Misalnya bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol . . . Jangan lupa bahasa Tionghoa. Di dunia ini dari 4 penduduknya , satu orang adalah orang Tionghoa. Begitu pernah diberitakan.
Pernah aku baca buku yang paling banyak diterbitkan dalam pelbagai bahasa adalah Kitab Injil dan Al Qur'an. Sayangnya tak ada catatan berapa banyak saja yang benar-benar pernah membacanya dalam bahasa yang dimengertinya! Kebanyakan yang membeli, hanya untuk disimpan di lemari buku saja.
Sebagai legitimasi bahwa pemiliknya adalah Kristen atau Muslim. Seperti orang yang memakai kalung dengan tanda Salib, atau yang menggunakan kopiah haji atau jilbab.
Kiranya tak ada yang akan bantah, bahwa, salah satu sumber terpenting pengetehuan dan budaya manusia ada tercatat dalam buku-buku. Pernah dicatat di bahan yang namanya 'papyrus'. Bangsa kita pernah menggunakan daun lontar. Juga dipelbagai candi ada catatan itu. Orang Tionghoa memang pandai. Dulu mereka mencatat di buku batu-batu. Supaya tahan lama. Mulai batu biasa, sampai yang sebesar gajah. Kalau ingin liat yang spektakuler kunjungi musium di Sian, Tiongkok. Tentu semua itu dituis dalam huruf 'hanzi'.
Begitu orang menilai dan memelihara catatan dalam buku.
Sungguh memalukan bahwa di dunia ini ada penguasa yang melakukan pembakaran buku-buku untuk menghapuskan catatan atau pengetahuan yang tidak disukainya atau dianggap bahaya. Antara lain, kaisar Tiongkok Chin Shi Huang dan Orbanya Presiden Suharto. Mereka berilusi bisa membasmi ilmu dan pengetahuan yang tak berkenan dihati mreka dengan cara membakarnya. Sampai sekarang masih ada yang punya pikiran seperti itu. Melarang dan membakar buku. Termasuk di antara penguasa di negeri kita ini.
BUKU II
Kemarin ketika di Leiden, dalam rangka menghadiri seminar yang diadakan KITLV untuk memperingati '10 TAHUN TIMOR LESTE, kutemui buku baru di toko buku AKO di stasiun Leiden Centraal. Tak salah buku baru itu berjudul: Dit Mooie Land. Karya KADER ABDOLLAH. Profilfotonya menghias seluruh kulit muka buku. Ia penulis Iran yang suaka di Belanda. Sesudah 8 tahun belajar bahasa Belanda, ia menulis banyak novel, artikel dan kolom DALAM BAHASA BELANDA. Salah satu bukunya pernah bestseller di Belanda. Aku selalu bilang kepada teman-temank, Kader Abdollah adalah salah seorang Iran yang integrasi baik sekali di negeri Belanda. Tapi, tapi, dengan teguh mempertahankan cinta dan kepeduliannya pada negerinya Iran.
Buku Kader Abdollah yang baru terbit ini adalah bundel/kumpulan yang ke-empat, dari tulisannya di s.k. 'de Volkskrant', sebuah harian nasional Belanda. Meliputi periode 2003 - 2008. Menarik:
Dalam kata pengantarnya ditulisnya antar lain, bahwa menulis kolom setiap minggu merupakan suatu latihan mempraktekkan demokrasi. . . Terkadang saya mlihat bajangan diktatur di layar computer saya. Jangan teruskan sampai sini saja, begitu diingatkannya.
Ada satu prinsip yang saya pegang selalu, kata Kader. Apapun yang terjadi kau harus tetap adalah kamu sendiri. 'Wat er ook gebeurde, ik moest mezelf blijven'. Dan bila saya berkaca, saya harus bisa mengatakan: Saya tidak berdusta terhadap pembaca saya.
Sungguh suatu prinsip yang patut diteladani. Bukankah banyak dilakukan penulis, khususnya jika menulis tentang otobiografi atau memoir-nya, lalu memulas fakta, merekayasa cerita , alias NGIBUL.
Aku bermaksud nanti menulis lagi tentang Kader Abdollah dan karya-karyanya.
BUKU (III)
Ada dua penulis buku yang ingin kusinggung di sini. Dua buku yang ditulis oleh Barack Obama: The Dreams From My Father, dan, The Audicity of Hope, Thoughts on Reforming The American Dream.
Dua buku ini telah selesai kami baca. Aku bilang 'kami'. Buku-buku itu kami baca bersama, istriku Murti bersama aku. Aku yang membacakannya dan Murti mendengar.Terkadang disela tukar fikiran.
Cara ini kami lakukan sejak dua-tiga tahun lalu. Dengan cara ini telah 12 buku selesai kami baca. Antara lain Kitab Injil, Al Qur'an dan Hadits Nabi. Suatu cara yang efektif. Dua kali sehari kami baca. Pagi dan malam menjelang tidur.
Dua buku Barack Obama, harus dibaca habis. Kalau hendak mengenal visi dan misi presiden dari negara yang adikuasa sekarang ini. Tetapi lebih penting ialah bahwa visi dan misi Obama adalah REFORMASI Amerika. Selain itu ia menulis sedikitnya 12 halaman mengenai INDONESIA. Negeri dimana ia pernah berdomisli 4 tahun lamanya bersama ibu dan bapk tirinya orang Indonesia. Maya, adiknya dari bapak tiri Indonesianya, lahir di Jakarta.
Aku juga bermaksud hendak menulis sedikit tentang buku-buku Barack Obama tsb.
BUKU (IV)
Masih ada satu lagi buku penting. Juga belum lama kubeli: 'Prisoner of the State: The Secret Journal of Premier Zhao Ziyang'. Buku ini adalah transkrip rekaman suara mantan PM Zhao yang dibuatnya selama tahanan rumah yang dikenakan terhadap dirinya. Selama tahanan itu ia tidak tinggal diam. Ia mencatat sekitar masalah ' Peristiwa LAPANGAN TIAN AN MEN' yang banyak dikomentari itu. Kaset yang dibuatnya itu disembunyikannya di ruangan kamar kerjanya, di tumpukan mainan anak-anak cucunya.
Lalu melalui via-via diselundupkan keluar Tiongkok.
Bao Pu, Renee Chiang dan Adi Ignatius, mentranskrip dan mengeditnya menjadi buku. Menjadikannya dekumen yang amat berharga. Dibuat oleh mantan Perdana Menteri RRT yang sudah jadi tahanan negara. Ada berita mengatakan bisanya rekaman Zhou Ziyang sampai bisa keluar. Itu a.l. adalah juga bantuan 'orang-orang dalam' yang masih simpati dan dalam batas tertentu punya fikiran sama dengan mantan PM itu. Sampai sekarang Beijing tidak memberikan komentar apapun mengenai terbitnya buku itu.
Kami, Murti dan aku mulai membacanya awal bulan ini. Buku yang ada yang ada padaku adalah yang edisi Belanda. Apakah buku itu bukan pemalsuan? Setelah mulai membacanya, kesan kami, buku itu otentik.
Siapa saja yang ada keinginan untuk punya input, mencoba memahami apa yang terjadi sekitar peristiwa Tian An Men, patut membaca buku ini. Dari buku itu juga bisa diketahui ide-ide Zhao mengenai reformasi ekonomi Tiongkok sekarang, dan selain reformasi ekonomi juga perlunya reformasi politik. Selama ini diktakan bahwa bapak reformasi ekonomi Tiongkok adalah Deng Xiao-ping. Dari buku ini bisa dibaca bahwa ide reformasi ekonomi Tiongkok adalah Zhao Ziyang.
Bukan saja ide, ia telah mempraktekkanya lebih dulu di propinsi-propinsi yang dulu dipimpinnya.
Ia ditarik Den Xia-ping ke Beijing, justru karena ide-ide reformasi ekonomi, yang didukung oleh Deng Xiao-ping.
Lain kali kita sambung lagti CATATAN PARTIKELRIAN ini.
Amsterdam, 04 September 2009.
* * *
Mau MENARIK PELAJARAN Dari Sejarah
IBRAHIM ISA – Catatan PARTIKELIRAN
Rabu, 02 September 2009
--------------------------------------------------------------------------
(Sejarah I)
Mau MENARIK PELAJARAN
Tetapi Interpretasinya Masih Simpang-Siur
Perang Dunia II meletus 70 tahun yang lalu (1September, 1939). Diawali penyerbuan Jerman Nazi terhadap Polandia. Mulai kemarin diperingati. Hari ini dilanjutkan. Hadir di situ Putin dari Rusia dan Kanselir Jerman Mercel. Masuk akal bahwa peringatan itu dilakukan di Polandia. Karena dari situ dimulai Perang Dunia II. Dimulainya Perang Dunia II diceriterakan kembali. Dianalisis kembali. Hendak menarik pelajaran. Agar tidak terulang lagi. Bagus! Soalnya, tiba pada analisis dan interpretasinya (seperti biasa) muncul lagi perbedaan. Memang sejak dulu sudah ada. Aneh? Tidak heran. Itu wajar!. Bahkan logis. Maka oang ttidak usah ikut-ikut jadi resah. Mengenai peristiwa sejarah selamanya terdapat pelbagai rekonstruksi, interpretasi, analisis dan kesimpulan.
Yang gawat ialah, bahwa, justru para politisi dan negarawan, melibihi pakar, sejarawan, yang interpretasinya bertolak belakang. Ambil contoh mengenai apa penyebab Perang Dunia II. Itu yang paling bertolak belakang. Kalau diliat pemberitaan Barat, jelas sekali arah tudingan 'biang keladi' asal muasal dimulainya Perang Dunia II ialah: Uni Sovyet di bawah Stalin ketika itu.
Belakangan PM Rusia Putin, mundur dari sikap Moskow selama ini. Moskow selalu menganggap bahwa persetujuan Molotov-Ribbentrop, sepenuhnya benar. Tujuannya mencegah Inggris/Peranis berkoalisi dengan Hitler dan diarahkannya ujung tobak ke Uni Sovyet. Dalam sebuah tulisannya di sebuah majalah Polandia, PM Putin berpendapat bahwa ada cukup alasan untuk mengutuk persetujuan Sovyet/Jerman tsb. Tulisan Putini itu tampaknya untuk meredakan ketegangan antara Rusia dan Polandia, menyangkut masalah sejarah.Tapi Putin juga menyatakan bahwa setahun sebelumnya Inggris/Perancis juga mengadakan persetujuan dengan Hitler. Tindakan Barat itu telah menhancurkan harapan terbentuknya koalisi Barat/Sovyet untuk menghadapi Jerman Hitler. Chamberlain (PM Inggris) waktu itu menyatakan persetujuan Inggris/Jerman itu adalah demi 'perdamaian' di Eropah. Di lain fihak sekarang presiden Polandia menyatakan bahwa persetujuan Sovyet-Jerman tsb adalah 'tikaman dari belakang' terhadap Polandia.
Masih ada serenetan lagi masalah yang diperdebatkan baik mengenai kejadian-kejadian menjelang Perang Dunia II, semasa dan sesudahnya. Termasuk apa yang menjadi penyebab mulainya 'Perang Dingin'. Dikatakan bahwa 'Perang Dingin' menimbulkan amat banyak korban fisik dan mental. Bahkan mungkin lebih besar dari korban Perang Dunia II. Ada pakar yang menyimpulkan bahwa Perang Korea dan Perang Vietnam, sepenuhnya adalah korban 'Perang Dingin'. Hitung saja berapa korban dua perang tsb! Juga pembunuhan masal oleh Jendral Suharto di Indonesia, di TimorTimur dan di Chilli, adalah juga korban 'Perang Dingin'.
Dalam situasi demikian, sungguh tak mudah untuk menarik pelajaran dari Perang Dunia II. Dn juga 'Perang Dingin' Ini seyogianya akanl ebih kuat mendorong kalangan sejarawan dan seluruh dunia ilmu sosial, lebih gairah melakukan studi dan analisis. Lebih berjuang untuk transparansi. Agar lebih banyak dokumen-rahasia terkait dibuka untuk umum. Dari para sejarawan dan peminat, serta pemeduli dituntut keberanian berfikir sendiri. Berfikir independent. Jangan biarkan fikiran sendiri dikungkung oleh pemikiran dan kesimpulan orang lain. Tentu harus terbuka terhadap apa yang orang lain fikir dan simpulkan.
(Sejarah II)
SBY DAN SUPERSEMAR – APA BELIAU NGERTI APA ITU SEJARAH?
Baru-baru ini SBY bicara aneh mengenai Supersemar. Di satu fihak seolah-olah tiba-tiba ia mulai bicara mengenai dokumen Supersemar. Padahal SBY sudah lima tahun memimpin negeri ini. Misteri Supersemar dibiarkan saja tetap misteri. Dimana letak dokumen otentik Supersemat itu saja barau sekarang ini saja dibicarakannya.
Padahal masalah Supersemar dan misteri serta akibat penyalahgunaannya oleh Jendral Suharto semua orang tau dan merasakan akibatnya. Kelanjutan dari Supersemar: Presiden Sukarno digulingkan, PKI dan Kiri dibasmi, dan Jendral Suharto jadi Presiden.
Kenyataannya begitu gamblang! Akibatnya sama-sama dirasakan. Kok baru sekarang ngomong? Parahnya ialah SBY tidak ingin polemik Supersemar terulang! Sepanjang ingatan tak pernah ada polemik yang benar-benar polemik mengenai Supersemar. Dari dulu sekitar Supersemar terus saja misterius. Apakah dengan sarannya itu SBY, sebagai seorang sarjana PH.d, menolak diskusi ilmiah bersifat sejarah yang mengambil tema Supersemar? Kalau dilihat keadaan sekarang masih simpang-siurnya sekitar Supersemar yang begitu gawat dan parah akibatnya itu, yang diperlukan bukankah malah suatu penjernihan. Supaya bagi kita semua, bagi generasi mendatang, menjadi jelas duduk perkaranya. Dan supaya seluruh bangsa ini ikut memikirkan sesuatu yang menyangkut masa lampau dan haridepannya.
Sungguh disayangkan, disesalkan presiden baru terpilih, yang diajukannya malah menolak usaha untuk menjernihkan peristiwa sejarah yang begitu besar seperti masalah sekitar SUPERSEMAR.
Masalah sekitar Supersemar, bukan sekadar soal dimana dokumen sejarah itu sekarang? Bukan sekadar, bila ditemukan, supaya disimpan baik-baik. Disimpan baik-baik untuk apa? Bangsa ini tokh bukan semata-mata disuruh menyimpan barang-barang antik sejarah saja? Yang bener aja dong!
(Sejarah III)
BRAVO UNTUK PEJUANG HAM CHILI
Tahun 1975 Jendral Pinochet mengguligkan kekuasaan Presiden Allende dan merebut kedudukan presiden Chilli bagi dirinya sendiri. Itu terjadi melalui pembunuhan besar-besaran. Melalui kampanye pengejaran, pemenjaraan, penyiksaaan dan penghilangan terhadap kekuatan Partai Sosialis Allende dan kekuatan kiri dan patriotik Chilli lainnya.
Perjuangan demokratis di Chille telah menggulingkan presiden Pinnochet dan siap-siap untuk mengadili mantan presiden Chilli tsb. Didirikan pemerintah parlementer melalui pemilu. Diperjuangkan dan dipersiapkan proses pelanggaran kemanusiaan terhadap Pinnochet. Tetapi ia keburu mati.
Namun kekuatan HAM dan pro-demokrasi Chilli tidak tinggal diam. Mereka berjuang terus. Sejumlah anggota aparat lama, opsir, intel dan sementara birokrat diseret ke muka pengadilan sehubungan dengan kejahatan kemanusiaan. Dan telah divoni pula. Ceriteranya tidak selesai sampai di situ.
Kemarin bisa dibaca berita bahwa SEMUA TERTUDUH YANG DULU BEKERJA UNTUK JAWATAN INTEL AKAN DIKENAKAN TAHANAN! Mereka akan dituntut karena membantu Jendral Pinnochet untuk 'membersihkan' pengkritisi rezim Pinnochet. 129 orang tertuduh itu sebagian besar dulu berkerja untuk jawatan polisi rahasia. Mereka dituduh ambil bagian dalam pembunuhan dan penghilangan lusinan orang-orang kiri dan aktivis penentang rezim.
Para aktivis HAM dan masa luas mrnuntut agar mereka-mereka yang terlibat dengan penyiksaan, penghilangan dan pembunuhan di masa pemerintahan rezim militer Jendral Pinnochet itu diberikan hukuman setimpal.
Bravo! Bravo untuk para pejuang dan aktivis HAM di Chilli
Perkmbangan di Chilli ni pasti menginspirasi pejuang HAM dan aktivis pro-dem di negeri kita.
* * *
Rabu, 02 September 2009
--------------------------------------------------------------------------
(Sejarah I)
Mau MENARIK PELAJARAN
Tetapi Interpretasinya Masih Simpang-Siur
Perang Dunia II meletus 70 tahun yang lalu (1September, 1939). Diawali penyerbuan Jerman Nazi terhadap Polandia. Mulai kemarin diperingati. Hari ini dilanjutkan. Hadir di situ Putin dari Rusia dan Kanselir Jerman Mercel. Masuk akal bahwa peringatan itu dilakukan di Polandia. Karena dari situ dimulai Perang Dunia II. Dimulainya Perang Dunia II diceriterakan kembali. Dianalisis kembali. Hendak menarik pelajaran. Agar tidak terulang lagi. Bagus! Soalnya, tiba pada analisis dan interpretasinya (seperti biasa) muncul lagi perbedaan. Memang sejak dulu sudah ada. Aneh? Tidak heran. Itu wajar!. Bahkan logis. Maka oang ttidak usah ikut-ikut jadi resah. Mengenai peristiwa sejarah selamanya terdapat pelbagai rekonstruksi, interpretasi, analisis dan kesimpulan.
Yang gawat ialah, bahwa, justru para politisi dan negarawan, melibihi pakar, sejarawan, yang interpretasinya bertolak belakang. Ambil contoh mengenai apa penyebab Perang Dunia II. Itu yang paling bertolak belakang. Kalau diliat pemberitaan Barat, jelas sekali arah tudingan 'biang keladi' asal muasal dimulainya Perang Dunia II ialah: Uni Sovyet di bawah Stalin ketika itu.
Belakangan PM Rusia Putin, mundur dari sikap Moskow selama ini. Moskow selalu menganggap bahwa persetujuan Molotov-Ribbentrop, sepenuhnya benar. Tujuannya mencegah Inggris/Peranis berkoalisi dengan Hitler dan diarahkannya ujung tobak ke Uni Sovyet. Dalam sebuah tulisannya di sebuah majalah Polandia, PM Putin berpendapat bahwa ada cukup alasan untuk mengutuk persetujuan Sovyet/Jerman tsb. Tulisan Putini itu tampaknya untuk meredakan ketegangan antara Rusia dan Polandia, menyangkut masalah sejarah.Tapi Putin juga menyatakan bahwa setahun sebelumnya Inggris/Perancis juga mengadakan persetujuan dengan Hitler. Tindakan Barat itu telah menhancurkan harapan terbentuknya koalisi Barat/Sovyet untuk menghadapi Jerman Hitler. Chamberlain (PM Inggris) waktu itu menyatakan persetujuan Inggris/Jerman itu adalah demi 'perdamaian' di Eropah. Di lain fihak sekarang presiden Polandia menyatakan bahwa persetujuan Sovyet-Jerman tsb adalah 'tikaman dari belakang' terhadap Polandia.
Masih ada serenetan lagi masalah yang diperdebatkan baik mengenai kejadian-kejadian menjelang Perang Dunia II, semasa dan sesudahnya. Termasuk apa yang menjadi penyebab mulainya 'Perang Dingin'. Dikatakan bahwa 'Perang Dingin' menimbulkan amat banyak korban fisik dan mental. Bahkan mungkin lebih besar dari korban Perang Dunia II. Ada pakar yang menyimpulkan bahwa Perang Korea dan Perang Vietnam, sepenuhnya adalah korban 'Perang Dingin'. Hitung saja berapa korban dua perang tsb! Juga pembunuhan masal oleh Jendral Suharto di Indonesia, di TimorTimur dan di Chilli, adalah juga korban 'Perang Dingin'.
Dalam situasi demikian, sungguh tak mudah untuk menarik pelajaran dari Perang Dunia II. Dn juga 'Perang Dingin' Ini seyogianya akanl ebih kuat mendorong kalangan sejarawan dan seluruh dunia ilmu sosial, lebih gairah melakukan studi dan analisis. Lebih berjuang untuk transparansi. Agar lebih banyak dokumen-rahasia terkait dibuka untuk umum. Dari para sejarawan dan peminat, serta pemeduli dituntut keberanian berfikir sendiri. Berfikir independent. Jangan biarkan fikiran sendiri dikungkung oleh pemikiran dan kesimpulan orang lain. Tentu harus terbuka terhadap apa yang orang lain fikir dan simpulkan.
(Sejarah II)
SBY DAN SUPERSEMAR – APA BELIAU NGERTI APA ITU SEJARAH?
Baru-baru ini SBY bicara aneh mengenai Supersemar. Di satu fihak seolah-olah tiba-tiba ia mulai bicara mengenai dokumen Supersemar. Padahal SBY sudah lima tahun memimpin negeri ini. Misteri Supersemar dibiarkan saja tetap misteri. Dimana letak dokumen otentik Supersemat itu saja barau sekarang ini saja dibicarakannya.
Padahal masalah Supersemar dan misteri serta akibat penyalahgunaannya oleh Jendral Suharto semua orang tau dan merasakan akibatnya. Kelanjutan dari Supersemar: Presiden Sukarno digulingkan, PKI dan Kiri dibasmi, dan Jendral Suharto jadi Presiden.
Kenyataannya begitu gamblang! Akibatnya sama-sama dirasakan. Kok baru sekarang ngomong? Parahnya ialah SBY tidak ingin polemik Supersemar terulang! Sepanjang ingatan tak pernah ada polemik yang benar-benar polemik mengenai Supersemar. Dari dulu sekitar Supersemar terus saja misterius. Apakah dengan sarannya itu SBY, sebagai seorang sarjana PH.d, menolak diskusi ilmiah bersifat sejarah yang mengambil tema Supersemar? Kalau dilihat keadaan sekarang masih simpang-siurnya sekitar Supersemar yang begitu gawat dan parah akibatnya itu, yang diperlukan bukankah malah suatu penjernihan. Supaya bagi kita semua, bagi generasi mendatang, menjadi jelas duduk perkaranya. Dan supaya seluruh bangsa ini ikut memikirkan sesuatu yang menyangkut masa lampau dan haridepannya.
Sungguh disayangkan, disesalkan presiden baru terpilih, yang diajukannya malah menolak usaha untuk menjernihkan peristiwa sejarah yang begitu besar seperti masalah sekitar SUPERSEMAR.
Masalah sekitar Supersemar, bukan sekadar soal dimana dokumen sejarah itu sekarang? Bukan sekadar, bila ditemukan, supaya disimpan baik-baik. Disimpan baik-baik untuk apa? Bangsa ini tokh bukan semata-mata disuruh menyimpan barang-barang antik sejarah saja? Yang bener aja dong!
(Sejarah III)
BRAVO UNTUK PEJUANG HAM CHILI
Tahun 1975 Jendral Pinochet mengguligkan kekuasaan Presiden Allende dan merebut kedudukan presiden Chilli bagi dirinya sendiri. Itu terjadi melalui pembunuhan besar-besaran. Melalui kampanye pengejaran, pemenjaraan, penyiksaaan dan penghilangan terhadap kekuatan Partai Sosialis Allende dan kekuatan kiri dan patriotik Chilli lainnya.
Perjuangan demokratis di Chille telah menggulingkan presiden Pinnochet dan siap-siap untuk mengadili mantan presiden Chilli tsb. Didirikan pemerintah parlementer melalui pemilu. Diperjuangkan dan dipersiapkan proses pelanggaran kemanusiaan terhadap Pinnochet. Tetapi ia keburu mati.
Namun kekuatan HAM dan pro-demokrasi Chilli tidak tinggal diam. Mereka berjuang terus. Sejumlah anggota aparat lama, opsir, intel dan sementara birokrat diseret ke muka pengadilan sehubungan dengan kejahatan kemanusiaan. Dan telah divoni pula. Ceriteranya tidak selesai sampai di situ.
Kemarin bisa dibaca berita bahwa SEMUA TERTUDUH YANG DULU BEKERJA UNTUK JAWATAN INTEL AKAN DIKENAKAN TAHANAN! Mereka akan dituntut karena membantu Jendral Pinnochet untuk 'membersihkan' pengkritisi rezim Pinnochet. 129 orang tertuduh itu sebagian besar dulu berkerja untuk jawatan polisi rahasia. Mereka dituduh ambil bagian dalam pembunuhan dan penghilangan lusinan orang-orang kiri dan aktivis penentang rezim.
Para aktivis HAM dan masa luas mrnuntut agar mereka-mereka yang terlibat dengan penyiksaan, penghilangan dan pembunuhan di masa pemerintahan rezim militer Jendral Pinnochet itu diberikan hukuman setimpal.
Bravo! Bravo untuk para pejuang dan aktivis HAM di Chilli
Perkmbangan di Chilli ni pasti menginspirasi pejuang HAM dan aktivis pro-dem di negeri kita.
* * *
JOESOEF ISAK ON MISLEADING IMAGE OF SUKARNO
By : Joesoef Isak *)
A Misleading Image of Sukarno
I ntroduction
In view of a possible state-visit by Queen Beatrix to Indonesia to commemorate the Fiftieth Anniversary of Indonesia's Independence, I suggested the idea that the Queen lay a wreath on the grave of Indonesia's founder, Sukarno, in Blitar-East Java. It was my hope that such a gesture would strengthen relations between Indonesia and the Netherlands, and would once and forever put an end to the old prevailing hostilities. The Dutch public was divided in its reaction to this suggestion. Some people heartily approved the strengthening of relations between the two countries, but many objected to laying a wreath on the grave of Sukarno. Rudy Kousbroek for instance summed up his objections as follows : Sukarno was a bigger disaster for Indonesia than the military Suharto. Sukarno was a megalomaniac, who during his time, brought the famous belt of emeralds at the equator to the brink of political and economic catastrophe. The people were living in desperate poverty, the Constitution was torpedoed to introduce Guided Democracy, and the democratic opposition to Sukarno was imprisoned.
There were also other reactions, some of which seemed to maintain that Sukarno should be considered as solely responsible for the romusha, those forced labourers who were exploited as slaves by the Japanese. In my article in the Nieuw Rotterdamsche Courant (28-9-'94), I limited myself to the state-visit and purposely avoided dragging up old issues. But I have noticed, that among the Dutch public there still existed opinions - in particular in relation to Sukarno - which according to my viewpoint were based not only on ignorance, but even more so on prejudice and an oversimplification of historical matters. With this essay, I will attempt to inform your readers of certain often overlooked facts, so that they might form a more considered opinion about Sukarno and his period of administration. I believe that this is still a relevant issue if we are to seriously revive relations of solid friendship between the Netherlands and Indonesia.
With or without Sukarno and Hatta's collaboration with Japan during the war, the employment of romusha was structurally a part of Japanese fascism. Not only in Indonesia, but throughout the entire Southeast Asian region, including the Philippines, Malaysia, Thailand and Burma, Japan launched the horrific romusha campaign with its occupied Southeast Asians as slaves labourers. The best known case, the infamous bridge across the Kwai-river, for instance, was constructed by allied forces p.o.w.'s, who were treated as common romusha, irrespective of their rank. For Japan it was a given that the population of all occupied countries would work for their war plans, including those war prisoners. Should the British and Australian commanders involved in the construction of the notorious bridge be then called Japanese collaborators?
Sukarno has always been held responsible. Hatta was purposely not mentioned in relation to romusha, whereas together with Mr. Wilopo he was actually the head of the Romusha-Kyoku, Office for Romusha Affairs. Further, Syahrir was always praised as "the rational non-collaborator". All of this has everything to do with what we have for centuries experienced of the old colonial devide et impera politics in connection with our leaders and ethnic groups in Indonesia.
The romusha issue was for the colonial rulers at that time a useful pretext to blacken Sukarno and to push him aside. In fact, the Dutch politicians at that time were not honestly concerned about the romusha. The colonialists faced the gloomy prospect of loosing their beloved Indies that rich belt of emeralds on the equator, taken away just like that, from the lap of the motherland, and at such an unfortunate moment in history. After all, The Netherlands greatly needed "de Indische Baten" (the Indies benefits) for the reconstruction of their country after the war. The slogan "the Indies gone, disaster born" clearly demonstrates Dutch fear of losing the Indies. The fact that the Indies after the second world war might not return back into Dutch property was unthinkable. There lies the very essence of the romusha argument.
Therefore, a sly political game to divide Indonesian leaders was launched, a game whereby Syahrir had to be played off against Sukarno. It was impossible to speak with Sukarno - actually with Hatta, too - not because they were "collaborators", but because they had already proclaimed Indonesia as fully independent, without any political affiliation whatsoever with The Netherlands. The proclamation of Indonesia's independence and the constitution of the new Republic, were quite definite about that.
So, for any possible negotiation another figure had to be found. In Syahrir, the Dutch politicians at that time saw a man kindly disposed to Holland - the good compromise figure - but Syahrir himself in the end was victimized by the slyness of the Dutch colonial small trader mentality. Even a beneficial compromise for the Dutch like the Linggajati-Agreement, which was accepted by the Indonesian Republicans, was difficult for Dutch politicians to accept. The version of the Linggajati-Agreement adopted by the Dutch Parliament, was not in conformity with the original text. The fact that Syahrir - the architect of Linggajati - was a "romusha-free" politician, suddenly seemed completely irrelevant. There we have the real face of the colonials! The proclamation of independence by Sukarno had to be abrogated at all costs. The question of collaboration with Japan and the accompanying romusha issue was nothing but a puff up of a futile political issue.
During the tense situation of 1945-'50, the romusha issue was probably still relevant for The Netherlands at least as a political manoeuvre, but to speak about this issue now, after half a century, and on the eve of Queen Beatrix's state-visit, was shameful. They should have been more tactful, and expressed themselves more discreetly on such matters, especially as Dutchmen, our former colonizers. Didn't the Dutch, since the infamous Cultuurstelsel ** , exploit, misuse, and oppress our people by making them forced labourers or romusha in sugar, tobacco and other plantations, and weren't we sold by them like cows and buffaloes? Wasn't it the Dutch rulers, who launched an enormous scale romusha campaign during the construction across Java of the 1000 km Great Post-highway of governor-general Daendles, and this on behalf of so-called European civilization, too; while all this occurred outside the framework of war. And didn't the "firm boys and robust lads of Jan de Wit" in 1942 easily transfer we the Indonesian people, just like that, to the Japanese rulers?
So, ever since that time, the Dutch have not had any moral right to question how far and in which manner, we should deal with the Japanese occupants. We did not know, what the British commanders could have accomplished with the construction of the notorious bridge across the Kwai-river. However we knew very well, that during the Japanese occupation, Sukarno succeeded in carrying out an essential task, to which tirelessly had dedicated his efforts since his youth. He was a freedom fighter, one who succeeded in political mass-education, and who brought about national consciousness, not just among the intelligentsia, but throughout various strata across the entire nation, thereby preparing the people for a free fatherland! But, in The Netherlands they still are writing about Sukarno, as if during the occupation he was doing nothing but organizing romushas.
Indonesian freedom fighters, in November 1945 , had been able to launch a very courageous struggle against the powerful allied troops in Surabaya which is still commemorated as the "November Tenth Day of Heroes". This heroic event was in part due to the "collaboration" of the Indonesian pemuda's (youth) with the Japanese communists in the Japanese army. Thousands of carbines, mitralleurs and grenades were taken over from the Japanese army by the pemuda's in bloody fights, but in other cases also in staged battles, which was the fruit of collaboration between our pemuda's and the Japanese communist soldiers. Admiral Maeda, who lent his house in Jakarta for a meeting of our leaders one day before the proclamation of independence, was just a sympathizer of the communists, while the leader of the Japanese communists in Surabaya was none other then a sergeant. The communist from the Indonesian side, Amir Syarifuddin, was the illegal leader who worked together with Sukarno. So one can see that our people and leaders during the years of Japanese occupation launched a plethora of activities, all of were necessary to further the national interest. It is evident that these activities were diametrically opposed to Dutch interests, because our energies were most decidedly directed to the independence of our homeland! I write about this to clarify once more, that the conduct of our leaders in connection with the occupying forces, was completely our problem. I urge the Sukarno-haters, to seriously try to discover the real historical facts.
We don't accept any insult to injure Sukarno, and certainly not from the Dutch side, either from the conservative, or the so called ethical viewpoint. It seems that there exists, even today, a latent colonial mentality, which appears from time to time under the guise of pseudo progressiveness. We see this in particular among the older generation, who "worry about Indonesia, the good old Indies, purely out of love". All of this sentimentality is always expressed in a paternalistic manner, as if they know everything, even what's right for Indonesia, and of course with the tried-and-true technique to sow dissension among our people and or leaders. Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Hatta and Syahrir were our freedom-fighters, republicans, who contributed respectively, each in his own way, to our independence. But Sukarno was the embodiment of free Indonesia to the entire Indonesian people, the nationalists, Moslems, socialists and communists, the intellectuals, the common people, all of whom had joined the struggle for a free Indonesia.
"... But it does not eliminated the fact, that Sukarno has been a bigger catastrophe for Indonesia than General Suharto", wrote Rudy Kousbroek. "Everything was in pieces, the population lived in the deepest poverty", he added. Yes, I vividly remember that sometimes we had to stand in line for rice and gasoline. But for us Indonesians, we didn't feel shabby at all. It was precisely during the time of Sukarno, when Indonesia was still our property, when land and soil, air and water, oil sources and mines, forest and plantations, seas and rivers, all of those, exactly all, were still our own, when we could say very proudly of ourselves: we are the masters of our own house.
Many Dutch people didn't respond further to the question: who in fact had the power in their hands, when Sukarno was branded as a dictator by politicians like MacCarthy, Foster Dulles and Joseph Luns? In this regard, a small hint: by whom was Syahrir actually arrested during the period of guided democracy? Was it really Sukarno who imposed silence upon the opposition? A serious investigation could answer who actually held power in their hands during the "dictator's period" of Sukarno.
One of Syahrir's right-hand men for instance, who still goes around in Jakarta, healthy and well, could say something noteworthy about it. Further, it would also be interesting to know, who in fact was responsible for the arrests of Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Subadio Sastrosatomo, Poncke Princen and others, during the 60's. The inclusion of Pramoedya's name on the same list as Mochtar Lubis challenges the uninitiated and unprejudiced observer to contemplate who indeed had the power during the guided democracy of Sukarno. Guided Democracy?! Sukarno didn't even have sufficient time to put the concept into practice. With sixty political parties, a fallout from Syahrir's views impressing the West of our democratic Indonesia, we experienced at one time the changing of cabinets every month. Indeed, Sukarno was not able to actualize his guided democracy as fully as it should have been.
The military Suharto, on the contrary, has been completely successful to practice his brand of guided democracy in all aspects of our political existence. He has given his version a special name, the "Pancasila Democracy", but of course, minus the communists. Now "Guided Democracy" has become nothing other than a collective label to malign Sukarno's policies, for as a political concept Sukarno's Guided Democracy could not have come into full fruition. Time was too short for that. An accurate investigation of the said period led us only to the source of the present New Order power machinations, power which the military actually had in their hands since 1957, when the State of Emergency was launched in connection with the West Irian campaign. This occurred of course during Sukarno's administration.
For those who are seriously interested, it should be beneficial to notice, that since Sukarno as a young student started to fully commit himself to the independent national movement - in hundreds of his well known deliberations, and even in the years after he became President -, he never raised the idea of "Guided Democracy". Even in his most important Pancasila Speech on June 1st, 1945, which was directly adopted as the official ideology of the new republic, not a single word ever occured which can be indicated that he was in favour of guided democracy ideas. It was never in the mainstream of Sukarno's political ideals or theoretical framework. Rather than just easily label him as a "dictator" or "totalitarian", one might inquire as to why Sukarno was not able to keep on his preferred course. The birth of Sukarno's Guided Democracy was clearly a deed born out of political necessity to respond to the severe political instability of the time. A tumultuousness which was caused, in large part, by the legacy of our "good liberal democratic era" in which sixty political parties arbitrarily dominated the country, not to mention, of course, the covert manoeuvres of the cold war superpowers.
Sukarno was responsible for playing people and groups off against each others, wrote Rudy Kousbroek, who with his reaction to my article actually was explicitly busy himself in playing Indonesian leaders off against each other. He fully agreed to lay a wreath, he said, not on the grave of Sukarno, but on the graves of Syahrir and Hatta. In Indonesia we have an expression for such behaviour: "maling teriak maling", the pot calling the kettle black (literally: a thief calling someone else thief); blaming somebody else while he himself clearly is hard at work of playing off our leaders. This is typical with prejudiced scholars and journalists, becoming instant paltry writers whenever they start writing about Sukarno.
Playing off people? For Sukarno, it meant nothing else then doing the utmost to attain a harmonious social balance. It was for Sukarno a political necessity, but surely not his goal. He had to face powers, diverse and conflicting powers, which were ready to beat one another to death: factionalized power groups such as the army, the communist party and the Moslems. Sukarno, the great unificator of Indonesia, had to deal with and solve such pressing problems, and for that he was accused of playing off people! It had become a catastrophe for Sukarno indeed; General Suharto did it much better, more efficiently. He simply eliminated one of the parties, imprisoned its members, and shot them to death. With that, one no longer needed the "playing off people policy", which so deeply offended Rudy Kousbroek
Everything became stable and quiet and the economic reconstruction about which Rudy Kousbroek worried very much, began. Now we have only to deal with one power, the New Order of General Suharto. Thank God, Sukarno was not without conscience. He remained a consistent democrat, one who strove to give all parties, including the communists, a chance to operate within the political system. To this democratic ideal of inclusion, he finally sacrificed his political career, and his life.
Sukarno had about six to eight years of effective power (1957-1965), and in the last years as he was a dictator according to people like MacCarthy and Rudy Kousbroek. In 1959, he abrogated the Constituent Assembly and tried to introduce "Guided Democracy". I summarize as follows the tumultuous conditions, in which Sukarno had to work during those 8 years.
1. the inheritance of "the good democratic period" with sixty political parties, each with its own program and political demands.
2. the 12 long years of Luns's stubborn, treacherous New Guinea politics, and as a counterbalance the confiscation of the "big five", the five big Dutch Trading Companies in the Indies under management of the Indonesian army. By that, consequently, the army not only dominated political power but the economy of the country as well.
3. the Republic of South Maluku movement, an inheritance of the colonial dissension policy, which left a time-bomb by preventing the ethnic Ambonnese people from taking the side of their own countrymen, and which settled them in The Netherlands while making "pie-in-the sky" promises.
4. the Daroel Islam uprisings in West Java, South Sulawesi and Aceh, which aimed to set up an Islamic state of Indonesia.
5. the PRRI-Permesta uprisings in Sumatra and North Sulawesi, which were supported by the United States, and which had as its stated purpose seccession from the central government of President Sukarno.
6. at least five assassination attempts against Sukarno's life.
7. British intervention, which led to the "Malaysian Confrontation". No efforts have been made to investigate the exact historical backgrounds. Both confrontations - Malaysia and West Irian - were in fact just reactive deeds, not by design or precipitated political manoeuvre.
8. the continuous covert interventions in Indonesian domestic politics by Eisenhower, Foster Dulles, MacCarthy and all succeeding American governments. Declassified CIA documents now, after more than 30 years, are starting to publicly expose what Sukarno was up against. From these documents it is proven to what extent the interests of the Western cold war conspirators had made Sukarno's life a burden. It started directly in 1945 and continued up until 1965!
9. when the Americans didn't succeed by instigating local uprisings, they chose a more sinister but effective tactic, namely, close cooperation with the Indonesian army. "The Manikebu" (Cultural Manifesto), which Kousbroek naively believe to be a pure aesthetic and cultural movement, was in fact just a small part of the big conspiracy. The banned ideals of "Manikebu" were not revived after the fall of Sukarno. Why? Mission accomplished!
10. the army, with its "dual function ideology" participated actively in politics and had as its ultimate goal the total destruction of the communists, and the subsequent implementation of their own power base. They used a clever and specifically Indonesian military political concept, called "penguasaan teritorial" (territorial control), an effective means of military surveillance of every aspect of life, right down to the village level.
11. on the other side of the fence, the well-organized communist party of Indonesia (PKI) clearly articulated their own political goals, and through various strategies wanted to get into power too.
12. the communist bloc with its KGB, the Intelligence Service of the Soviet Union, did everything to involve Indonesia in its sphere of influence, as part of the cold war between east and west.
And all of this are just the plain facts, which we as a nation easily remember, because what was happening was transparent, and could be followed through the newspapers. What occured beneath the surface, was a swarm of conspiracies of a different calibre. The fact that Sukarno in such a situation was still able to govern, and we Indonesian people could still speak proudly about "our own Indonesia", was a wonder. Shouldn't the question arise, how did Sukarno, in such an intensely conflicting situation, manage to keep Indonesia from starving to death?
Remember then, we were not supported by a "Marshall-plan" after the second world war, on the contrary, we were still involved in a five year battle against the colonial rulers, who wanted to regain their colony and who stubbornly tried to hold on to Papua, the west part of New Guinea. Most crucial: Indonesia was one of the most stormy political battlefields of the cold war era and Sukarno was at that time the most prime target of both blocs. Was it so difficult to understand, why Sukarno took the initiative to organize the third world countries into an independent force, in order to form a united front of nonaligned power against the conflicting world powers? According to Western cold war ideology of that time, it was immoral and megalomaniacal.
Then let us bring forth all the various economic experts to tell us how, in such a strained political situation, Sukarno was able to launch an acceptable economic policy and to feed daily eighty million Indonesian people?
Meanwhile, Hatta had indeed put distance between himself and Sukarno, because as a strong anticommunist he did not succeed in moving Sukarno away from the communists. As the great unificator of Indonesia, Sukarno upheld the principle of the unity and totality of Indonesia. The unification of all revolutionary forces was always consciously his dynamic political motive. Therefore, Soekarno and Hatta were politically estranged from each other, but this was played out in a respectable way, between the two greatest Indonesian leaders.
The negative image of Sukarno by the Western people in general and by the Dutch people in particular was caused in part by the tendentious comparisons between Sukarno, and Hatta-Syahrir. Sukarno got the title of dictator with all of the attendants negative adjectives, such as agitator, megalomaniac, tyrant, etc. Hatta and Syahrir on the other hand, were praised as unquestionable democrats. It was unthinkable that Sukarno wanted to fight against the powerful West and that he nurtured megalomaniac ideas about a world confrontation between the NEFO (New Emerging Forces) and OLDEFO (Old Established Forces). Further, it was completely incomprehensible, that he had not been able to appreciate the "strings-attached" development aid from America ("go to hell with your aid!") to fill the stomach of those hungry Indonesians and to realize the economic fortification of the country.
Why didn't he just simply stand in the same ranks with the West? Instead, he walked around with "megalomaniacal" ideas to establish a more just world organization, in addition to the existing United Nations. On the contrary, Hatta and Syahrir were great democrats with a politician's inherent personal characteristics: solid, honest, and rational, and they expressed themselves with a demure persona. These perceptions in regard to Sukarno, Hatta and Syahrir were typical images, and standardized references, which were taken as the truth.
Certain categories of writers used a criterion, never openly acknowledged, but which was in fact the decisive guide in forming their opinion about Hatta and Syahrir on one side, and Sukarno on the other. The first were anticommunists, therefore it goes without saying that they were sound and full of virtuousness; the other was not anti communist and must therefore be approving of communism, and that was definitely very wrong. Indeed. Hatta and Syahrir were clearly anti communists and had been so since their years of study in Holland. Their political attitude against communism proceeded in various domestic political conflicts immediately after our independence in 1945. They did everything to oppose the communists, and in some cases even to eliminate them.
Sukarno, a nationalist like Hatta and Syahrir, was on the contrary, not an anti communist. He had already recognized in an early arena of his political career the importance of cooperation with the communists as well as cooperation with all the other myriad forces in the Indonesian social and political constellation. Unity above all! And that was then the biggest sin of Sukarno. Not to be anticommunist meant thus to be a fellow traveller of the communists! In particular, after the fall of communism in the world and also in Indonesia, Sukarno was in every way wrong and bad. Right now, all honours are presented to politicians, who have been against Sukarno or communism; they receive official honorifics such as "Maha Putera" (The Great Sons of the Country). When anti communists make serious offences against the principles of democracy by suppressing people of another opinion, they still are able to be considered great democrats, because the people or political groups which were eliminated were just communists or their sympathizers, something less than fully human. This dividing line as a criterion is the very essence of all analyses on Sukarno, and was in fact the accepted method of dividing the "good" from the "bad" politicians. A real inheritance of Mac Carthyism indeed. This stupid manner of analyzing is up to the present time still valid among many journalists, professionals and amateur politicians. Only a small stratum of university circles is probably not yet infected by these cold war standards of categorizing Indonesian matters and top political figures.
I am very conscious of the existing differences between Sukarno, Hatta, and Syahrir, but I remain respectful towards those three leaders, who in spite of their different opinions were able to complement each other and dedicate each in their own way their great services for the freedom of our country and people.
On this very point lies the conflict between myself and all those other writers, who have manipulated very consciously the differences among the three leaders in order to besmirch and belittle Sukarno. The real background of it was nothing else other than the fact that Sukarno had "treacherously" cooperated with the communists and therefore it was justified to knock him down. Such are the facts and it goes as simple as that. It is indeed easy, and shows an acute shortsightedness, to simplify the problems concerning Sukarno, as well as the complicated political situation in Indonesia at that time.
Sukarno stood at that time in front of the choice to sell Indonesia to the big international capital or to become a satellite of the communistic eastern bloc. Whatever choice you would make, in order to be able to govern properly, the opposition has to be broken. According to Foster Dulles there was no middle-road. But Sukarno's political conscience didn't let him carry out both options. The public seems hardly to be aware, that the NON ALIGNED MOVEMENT, and all subsequent concepts developed on a global scope (like OPEC, and the south-south countries meetings) which today's world has to consider and of which Suharto currently is the chairman, was the work of the same megalomaniacal Sukarno! The deed had passed, but the result is there!
Visionary ideas are unfortunately no "instant meal". The results have to be awaited a long time, in Sukarno's case in particular, because everything was been broken off by mass-murders which were carried out by the New Order forces of Suharto in 1965/1966. People like Snouck Hurgronje, De Jonge, Beel and Luns said that Indonesia and the Indonesians were not ripe for democracy. Sukarno seemed not to disagree with them completely, as he had become wise by bitter experiences, at least in regard to western concepts, such as the free market and the free expression of opinions. So we were not yet as ripe as that. That's why Sukarno looked for a form of democracy, which could reflect the specifics of an Indonesian identity and character. He called his experiment, in a term suitable to modern concepts on state : Guided Democracy.
Were Sukarno just half as unscrupulous as Suharto, the situation would have looked different. Sukarno would have made it much easier if he had chosen the West: eliminating the communists (but is that democracy?), and initiating a complete open door policy in relation to foreign investments. Now, for the sake of our annual high economic growth percentage, let us indeed not have any objection whatsoever to the tragic low salaries of the workers! Compliments of the World Bank and I.M.F. were surely guaranteed with that kind of economic policy, and that is what probably was meant by "taking care of the economy", which according Rudy Kousbroek, was greatly neglected by Sukarno. In accordance with the accusation that Sukarno did not pay enough attention to the country's economy, one probably completely forgets that in 1962-1963 (thus immediately after the end of the 12 long years of misery caused by Joseph Luns and his New Guinea politics), Sukarno had decided that political stability was sufficiently ripened for an profound tackling of the economy; he was assisted in his plans by economic experts like Ali Wardhana, and Widjojo Nitisastro, who later also played a decisive role in the economic policies of Suharto. In the background was the decision of the PSI of Syahrir (the Subadio-Sudjatmoko faction), not the PSI-group of Prof. Sumitro, to cooperate with Sukarno to handle the rebuilding of the country, politically and economically.
Do we still remember the DEKON, or Economic Declaration, the complementary better half of MANIPOL, or Political Manifest? Sudjatmoko, Ir. Sarbini and Ali Wardhana cum su'is were the brains behind those concepts. Why was it not launched earlier, and how was it possible that economic technocrats and the liquidated PSI wanted to cooperate with Sukarno?
The reason was that the PSI followed a new course in order to thwart the relation between Sukarno and the PKI. According to PSI circles, there were quite a sufficient number of army officers - except General Yani - and also mysterious members among the PKI leadership, who had pretended loyalty towards their own fatherland, their President, and towards their direct superiors. Actually their royalty was directed somewhere else, that is to say toward their own real employers, the "dalang" mastermind, who worked with ingenious remote controls. The army and the PKI competed at that time, to launch on behalf of Sukarno - but without his knowledge - all sorts of manoeuvres for their own political benefit. The cold war forces indeed succeeded in penetrating deeply into the Indonesian army and the PKI, into individuals who let themselves be used as agents, and therewith were able to manipulate Indonesia's internal problems.
Due to the events leading up to 1965, Guided Democracy did not get the necessary time to develop itself and naturally still time less to realize an economic policy, where results could be expected only after the long term. One could easily and blindly believe that Sukarno was never interested in economic matters. It is really too easy, whenever you just want to slander Sukarno in all possible manners, to fall back on this pet subject of the conservative press and quasi Indonesian experts like Rudy Kousbroek.
Is it therefore not surprising, the wide spread misleading image in relation to Sukarno in Holland? In fact, The Netherlands had already lost Indonesia by making an inexcusable error when Dutch politicians put their support to Syahrir in order to play him off against Sukarno. It was tragically unlucky for The Netherlands, and also had unfortunate effects for Syahrir himself. This error could actually be repaired in the following years by the existing relations, but the opposite occured: the Dutch government and the conservative press opened a systematic offensive to discredit Sukarno by any means available.
The Dutch choice fell then on Sutan Syahrir. With his esthetic, impressive and brilliant book "Indonesische Overpeinzingen" (Indonesian Reflections) he had revealed his true character. Syahrir was unquestionably a great freedom fighter. None-the-less he was as intellectual and a politician, and culturally speaking more European, or more accurately, more Dutch, than Indonesian nationalist, and therefore he was not a man of the masses. He was a thinker, a man who was always busy meditating politics. He would be a very suitable man of science, or a worthy dean of a university. The choice of Syahrir meant that The Netherlands drew only a few intellectuals and quasi intellectuals to their circles, in any case, certainly not the Indonesian people.
Sukarno was surely no less intellectually formed, but he was, in the first place, a man of the people. The choice of Sukarno meant a choice for the heart and sympathy of the Indonesian people. Whether it is considered pleasant or not in The Hague, it was Sukarno and nobody else, who was the spokesman of the people's heart, "the extension of the people's tongue" as he literally liked to call himself. I certainly do not make the allegation that the choice of Sukarno after the second world war would return the Indies safe and well to the lap of the motherland. No, but The Netherlands could have won the heart of the Indonesian people together with Sukarno, which would have been very important for the foundation of a new kind of solid friendship between the two sovereign states, which for centuries had cultural and historical ties behind them. In my article about the then forthcoming state-visit of Queen Beatrix to Indonesia, I wrote that the opportunity in that direction had turned up again. Unfortunately, the heresy on Sukarno is being continued in The Netherlands.
In closing, a simple wish: try to understand Indonesia of the time before 1965, objectively, without prejudice, and certainly without a Kousbroek pedantic air of knowing everything concerning Indonesian matters, even better than Indonesians themselves. Against such pathological prepossession, we are powerless.
Jakarta, October 1994
Versi Bahasa Belanda
*) Joesoef Isak, prior to 1965, was a journalist, chief editor of the Indonesian newspaper Merdeka, and the general secretary of the Association of Afro-Asian Journalists. He was arrested without charge and detained as a political prisoner without trial for about 10 years. He is now publisher (Hasta Mitra) and editor of Pramoedya Ananta Toers's books.
A Misleading Image of Sukarno
I ntroduction
In view of a possible state-visit by Queen Beatrix to Indonesia to commemorate the Fiftieth Anniversary of Indonesia's Independence, I suggested the idea that the Queen lay a wreath on the grave of Indonesia's founder, Sukarno, in Blitar-East Java. It was my hope that such a gesture would strengthen relations between Indonesia and the Netherlands, and would once and forever put an end to the old prevailing hostilities. The Dutch public was divided in its reaction to this suggestion. Some people heartily approved the strengthening of relations between the two countries, but many objected to laying a wreath on the grave of Sukarno. Rudy Kousbroek for instance summed up his objections as follows : Sukarno was a bigger disaster for Indonesia than the military Suharto. Sukarno was a megalomaniac, who during his time, brought the famous belt of emeralds at the equator to the brink of political and economic catastrophe. The people were living in desperate poverty, the Constitution was torpedoed to introduce Guided Democracy, and the democratic opposition to Sukarno was imprisoned.
There were also other reactions, some of which seemed to maintain that Sukarno should be considered as solely responsible for the romusha, those forced labourers who were exploited as slaves by the Japanese. In my article in the Nieuw Rotterdamsche Courant (28-9-'94), I limited myself to the state-visit and purposely avoided dragging up old issues. But I have noticed, that among the Dutch public there still existed opinions - in particular in relation to Sukarno - which according to my viewpoint were based not only on ignorance, but even more so on prejudice and an oversimplification of historical matters. With this essay, I will attempt to inform your readers of certain often overlooked facts, so that they might form a more considered opinion about Sukarno and his period of administration. I believe that this is still a relevant issue if we are to seriously revive relations of solid friendship between the Netherlands and Indonesia.
With or without Sukarno and Hatta's collaboration with Japan during the war, the employment of romusha was structurally a part of Japanese fascism. Not only in Indonesia, but throughout the entire Southeast Asian region, including the Philippines, Malaysia, Thailand and Burma, Japan launched the horrific romusha campaign with its occupied Southeast Asians as slaves labourers. The best known case, the infamous bridge across the Kwai-river, for instance, was constructed by allied forces p.o.w.'s, who were treated as common romusha, irrespective of their rank. For Japan it was a given that the population of all occupied countries would work for their war plans, including those war prisoners. Should the British and Australian commanders involved in the construction of the notorious bridge be then called Japanese collaborators?
Sukarno has always been held responsible. Hatta was purposely not mentioned in relation to romusha, whereas together with Mr. Wilopo he was actually the head of the Romusha-Kyoku, Office for Romusha Affairs. Further, Syahrir was always praised as "the rational non-collaborator". All of this has everything to do with what we have for centuries experienced of the old colonial devide et impera politics in connection with our leaders and ethnic groups in Indonesia.
The romusha issue was for the colonial rulers at that time a useful pretext to blacken Sukarno and to push him aside. In fact, the Dutch politicians at that time were not honestly concerned about the romusha. The colonialists faced the gloomy prospect of loosing their beloved Indies that rich belt of emeralds on the equator, taken away just like that, from the lap of the motherland, and at such an unfortunate moment in history. After all, The Netherlands greatly needed "de Indische Baten" (the Indies benefits) for the reconstruction of their country after the war. The slogan "the Indies gone, disaster born" clearly demonstrates Dutch fear of losing the Indies. The fact that the Indies after the second world war might not return back into Dutch property was unthinkable. There lies the very essence of the romusha argument.
Therefore, a sly political game to divide Indonesian leaders was launched, a game whereby Syahrir had to be played off against Sukarno. It was impossible to speak with Sukarno - actually with Hatta, too - not because they were "collaborators", but because they had already proclaimed Indonesia as fully independent, without any political affiliation whatsoever with The Netherlands. The proclamation of Indonesia's independence and the constitution of the new Republic, were quite definite about that.
So, for any possible negotiation another figure had to be found. In Syahrir, the Dutch politicians at that time saw a man kindly disposed to Holland - the good compromise figure - but Syahrir himself in the end was victimized by the slyness of the Dutch colonial small trader mentality. Even a beneficial compromise for the Dutch like the Linggajati-Agreement, which was accepted by the Indonesian Republicans, was difficult for Dutch politicians to accept. The version of the Linggajati-Agreement adopted by the Dutch Parliament, was not in conformity with the original text. The fact that Syahrir - the architect of Linggajati - was a "romusha-free" politician, suddenly seemed completely irrelevant. There we have the real face of the colonials! The proclamation of independence by Sukarno had to be abrogated at all costs. The question of collaboration with Japan and the accompanying romusha issue was nothing but a puff up of a futile political issue.
During the tense situation of 1945-'50, the romusha issue was probably still relevant for The Netherlands at least as a political manoeuvre, but to speak about this issue now, after half a century, and on the eve of Queen Beatrix's state-visit, was shameful. They should have been more tactful, and expressed themselves more discreetly on such matters, especially as Dutchmen, our former colonizers. Didn't the Dutch, since the infamous Cultuurstelsel ** , exploit, misuse, and oppress our people by making them forced labourers or romusha in sugar, tobacco and other plantations, and weren't we sold by them like cows and buffaloes? Wasn't it the Dutch rulers, who launched an enormous scale romusha campaign during the construction across Java of the 1000 km Great Post-highway of governor-general Daendles, and this on behalf of so-called European civilization, too; while all this occurred outside the framework of war. And didn't the "firm boys and robust lads of Jan de Wit" in 1942 easily transfer we the Indonesian people, just like that, to the Japanese rulers?
So, ever since that time, the Dutch have not had any moral right to question how far and in which manner, we should deal with the Japanese occupants. We did not know, what the British commanders could have accomplished with the construction of the notorious bridge across the Kwai-river. However we knew very well, that during the Japanese occupation, Sukarno succeeded in carrying out an essential task, to which tirelessly had dedicated his efforts since his youth. He was a freedom fighter, one who succeeded in political mass-education, and who brought about national consciousness, not just among the intelligentsia, but throughout various strata across the entire nation, thereby preparing the people for a free fatherland! But, in The Netherlands they still are writing about Sukarno, as if during the occupation he was doing nothing but organizing romushas.
Indonesian freedom fighters, in November 1945 , had been able to launch a very courageous struggle against the powerful allied troops in Surabaya which is still commemorated as the "November Tenth Day of Heroes". This heroic event was in part due to the "collaboration" of the Indonesian pemuda's (youth) with the Japanese communists in the Japanese army. Thousands of carbines, mitralleurs and grenades were taken over from the Japanese army by the pemuda's in bloody fights, but in other cases also in staged battles, which was the fruit of collaboration between our pemuda's and the Japanese communist soldiers. Admiral Maeda, who lent his house in Jakarta for a meeting of our leaders one day before the proclamation of independence, was just a sympathizer of the communists, while the leader of the Japanese communists in Surabaya was none other then a sergeant. The communist from the Indonesian side, Amir Syarifuddin, was the illegal leader who worked together with Sukarno. So one can see that our people and leaders during the years of Japanese occupation launched a plethora of activities, all of were necessary to further the national interest. It is evident that these activities were diametrically opposed to Dutch interests, because our energies were most decidedly directed to the independence of our homeland! I write about this to clarify once more, that the conduct of our leaders in connection with the occupying forces, was completely our problem. I urge the Sukarno-haters, to seriously try to discover the real historical facts.
We don't accept any insult to injure Sukarno, and certainly not from the Dutch side, either from the conservative, or the so called ethical viewpoint. It seems that there exists, even today, a latent colonial mentality, which appears from time to time under the guise of pseudo progressiveness. We see this in particular among the older generation, who "worry about Indonesia, the good old Indies, purely out of love". All of this sentimentality is always expressed in a paternalistic manner, as if they know everything, even what's right for Indonesia, and of course with the tried-and-true technique to sow dissension among our people and or leaders. Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Hatta and Syahrir were our freedom-fighters, republicans, who contributed respectively, each in his own way, to our independence. But Sukarno was the embodiment of free Indonesia to the entire Indonesian people, the nationalists, Moslems, socialists and communists, the intellectuals, the common people, all of whom had joined the struggle for a free Indonesia.
"... But it does not eliminated the fact, that Sukarno has been a bigger catastrophe for Indonesia than General Suharto", wrote Rudy Kousbroek. "Everything was in pieces, the population lived in the deepest poverty", he added. Yes, I vividly remember that sometimes we had to stand in line for rice and gasoline. But for us Indonesians, we didn't feel shabby at all. It was precisely during the time of Sukarno, when Indonesia was still our property, when land and soil, air and water, oil sources and mines, forest and plantations, seas and rivers, all of those, exactly all, were still our own, when we could say very proudly of ourselves: we are the masters of our own house.
Many Dutch people didn't respond further to the question: who in fact had the power in their hands, when Sukarno was branded as a dictator by politicians like MacCarthy, Foster Dulles and Joseph Luns? In this regard, a small hint: by whom was Syahrir actually arrested during the period of guided democracy? Was it really Sukarno who imposed silence upon the opposition? A serious investigation could answer who actually held power in their hands during the "dictator's period" of Sukarno.
One of Syahrir's right-hand men for instance, who still goes around in Jakarta, healthy and well, could say something noteworthy about it. Further, it would also be interesting to know, who in fact was responsible for the arrests of Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Subadio Sastrosatomo, Poncke Princen and others, during the 60's. The inclusion of Pramoedya's name on the same list as Mochtar Lubis challenges the uninitiated and unprejudiced observer to contemplate who indeed had the power during the guided democracy of Sukarno. Guided Democracy?! Sukarno didn't even have sufficient time to put the concept into practice. With sixty political parties, a fallout from Syahrir's views impressing the West of our democratic Indonesia, we experienced at one time the changing of cabinets every month. Indeed, Sukarno was not able to actualize his guided democracy as fully as it should have been.
The military Suharto, on the contrary, has been completely successful to practice his brand of guided democracy in all aspects of our political existence. He has given his version a special name, the "Pancasila Democracy", but of course, minus the communists. Now "Guided Democracy" has become nothing other than a collective label to malign Sukarno's policies, for as a political concept Sukarno's Guided Democracy could not have come into full fruition. Time was too short for that. An accurate investigation of the said period led us only to the source of the present New Order power machinations, power which the military actually had in their hands since 1957, when the State of Emergency was launched in connection with the West Irian campaign. This occurred of course during Sukarno's administration.
For those who are seriously interested, it should be beneficial to notice, that since Sukarno as a young student started to fully commit himself to the independent national movement - in hundreds of his well known deliberations, and even in the years after he became President -, he never raised the idea of "Guided Democracy". Even in his most important Pancasila Speech on June 1st, 1945, which was directly adopted as the official ideology of the new republic, not a single word ever occured which can be indicated that he was in favour of guided democracy ideas. It was never in the mainstream of Sukarno's political ideals or theoretical framework. Rather than just easily label him as a "dictator" or "totalitarian", one might inquire as to why Sukarno was not able to keep on his preferred course. The birth of Sukarno's Guided Democracy was clearly a deed born out of political necessity to respond to the severe political instability of the time. A tumultuousness which was caused, in large part, by the legacy of our "good liberal democratic era" in which sixty political parties arbitrarily dominated the country, not to mention, of course, the covert manoeuvres of the cold war superpowers.
Sukarno was responsible for playing people and groups off against each others, wrote Rudy Kousbroek, who with his reaction to my article actually was explicitly busy himself in playing Indonesian leaders off against each other. He fully agreed to lay a wreath, he said, not on the grave of Sukarno, but on the graves of Syahrir and Hatta. In Indonesia we have an expression for such behaviour: "maling teriak maling", the pot calling the kettle black (literally: a thief calling someone else thief); blaming somebody else while he himself clearly is hard at work of playing off our leaders. This is typical with prejudiced scholars and journalists, becoming instant paltry writers whenever they start writing about Sukarno.
Playing off people? For Sukarno, it meant nothing else then doing the utmost to attain a harmonious social balance. It was for Sukarno a political necessity, but surely not his goal. He had to face powers, diverse and conflicting powers, which were ready to beat one another to death: factionalized power groups such as the army, the communist party and the Moslems. Sukarno, the great unificator of Indonesia, had to deal with and solve such pressing problems, and for that he was accused of playing off people! It had become a catastrophe for Sukarno indeed; General Suharto did it much better, more efficiently. He simply eliminated one of the parties, imprisoned its members, and shot them to death. With that, one no longer needed the "playing off people policy", which so deeply offended Rudy Kousbroek
Everything became stable and quiet and the economic reconstruction about which Rudy Kousbroek worried very much, began. Now we have only to deal with one power, the New Order of General Suharto. Thank God, Sukarno was not without conscience. He remained a consistent democrat, one who strove to give all parties, including the communists, a chance to operate within the political system. To this democratic ideal of inclusion, he finally sacrificed his political career, and his life.
Sukarno had about six to eight years of effective power (1957-1965), and in the last years as he was a dictator according to people like MacCarthy and Rudy Kousbroek. In 1959, he abrogated the Constituent Assembly and tried to introduce "Guided Democracy". I summarize as follows the tumultuous conditions, in which Sukarno had to work during those 8 years.
1. the inheritance of "the good democratic period" with sixty political parties, each with its own program and political demands.
2. the 12 long years of Luns's stubborn, treacherous New Guinea politics, and as a counterbalance the confiscation of the "big five", the five big Dutch Trading Companies in the Indies under management of the Indonesian army. By that, consequently, the army not only dominated political power but the economy of the country as well.
3. the Republic of South Maluku movement, an inheritance of the colonial dissension policy, which left a time-bomb by preventing the ethnic Ambonnese people from taking the side of their own countrymen, and which settled them in The Netherlands while making "pie-in-the sky" promises.
4. the Daroel Islam uprisings in West Java, South Sulawesi and Aceh, which aimed to set up an Islamic state of Indonesia.
5. the PRRI-Permesta uprisings in Sumatra and North Sulawesi, which were supported by the United States, and which had as its stated purpose seccession from the central government of President Sukarno.
6. at least five assassination attempts against Sukarno's life.
7. British intervention, which led to the "Malaysian Confrontation". No efforts have been made to investigate the exact historical backgrounds. Both confrontations - Malaysia and West Irian - were in fact just reactive deeds, not by design or precipitated political manoeuvre.
8. the continuous covert interventions in Indonesian domestic politics by Eisenhower, Foster Dulles, MacCarthy and all succeeding American governments. Declassified CIA documents now, after more than 30 years, are starting to publicly expose what Sukarno was up against. From these documents it is proven to what extent the interests of the Western cold war conspirators had made Sukarno's life a burden. It started directly in 1945 and continued up until 1965!
9. when the Americans didn't succeed by instigating local uprisings, they chose a more sinister but effective tactic, namely, close cooperation with the Indonesian army. "The Manikebu" (Cultural Manifesto), which Kousbroek naively believe to be a pure aesthetic and cultural movement, was in fact just a small part of the big conspiracy. The banned ideals of "Manikebu" were not revived after the fall of Sukarno. Why? Mission accomplished!
10. the army, with its "dual function ideology" participated actively in politics and had as its ultimate goal the total destruction of the communists, and the subsequent implementation of their own power base. They used a clever and specifically Indonesian military political concept, called "penguasaan teritorial" (territorial control), an effective means of military surveillance of every aspect of life, right down to the village level.
11. on the other side of the fence, the well-organized communist party of Indonesia (PKI) clearly articulated their own political goals, and through various strategies wanted to get into power too.
12. the communist bloc with its KGB, the Intelligence Service of the Soviet Union, did everything to involve Indonesia in its sphere of influence, as part of the cold war between east and west.
And all of this are just the plain facts, which we as a nation easily remember, because what was happening was transparent, and could be followed through the newspapers. What occured beneath the surface, was a swarm of conspiracies of a different calibre. The fact that Sukarno in such a situation was still able to govern, and we Indonesian people could still speak proudly about "our own Indonesia", was a wonder. Shouldn't the question arise, how did Sukarno, in such an intensely conflicting situation, manage to keep Indonesia from starving to death?
Remember then, we were not supported by a "Marshall-plan" after the second world war, on the contrary, we were still involved in a five year battle against the colonial rulers, who wanted to regain their colony and who stubbornly tried to hold on to Papua, the west part of New Guinea. Most crucial: Indonesia was one of the most stormy political battlefields of the cold war era and Sukarno was at that time the most prime target of both blocs. Was it so difficult to understand, why Sukarno took the initiative to organize the third world countries into an independent force, in order to form a united front of nonaligned power against the conflicting world powers? According to Western cold war ideology of that time, it was immoral and megalomaniacal.
Then let us bring forth all the various economic experts to tell us how, in such a strained political situation, Sukarno was able to launch an acceptable economic policy and to feed daily eighty million Indonesian people?
Meanwhile, Hatta had indeed put distance between himself and Sukarno, because as a strong anticommunist he did not succeed in moving Sukarno away from the communists. As the great unificator of Indonesia, Sukarno upheld the principle of the unity and totality of Indonesia. The unification of all revolutionary forces was always consciously his dynamic political motive. Therefore, Soekarno and Hatta were politically estranged from each other, but this was played out in a respectable way, between the two greatest Indonesian leaders.
The negative image of Sukarno by the Western people in general and by the Dutch people in particular was caused in part by the tendentious comparisons between Sukarno, and Hatta-Syahrir. Sukarno got the title of dictator with all of the attendants negative adjectives, such as agitator, megalomaniac, tyrant, etc. Hatta and Syahrir on the other hand, were praised as unquestionable democrats. It was unthinkable that Sukarno wanted to fight against the powerful West and that he nurtured megalomaniac ideas about a world confrontation between the NEFO (New Emerging Forces) and OLDEFO (Old Established Forces). Further, it was completely incomprehensible, that he had not been able to appreciate the "strings-attached" development aid from America ("go to hell with your aid!") to fill the stomach of those hungry Indonesians and to realize the economic fortification of the country.
Why didn't he just simply stand in the same ranks with the West? Instead, he walked around with "megalomaniacal" ideas to establish a more just world organization, in addition to the existing United Nations. On the contrary, Hatta and Syahrir were great democrats with a politician's inherent personal characteristics: solid, honest, and rational, and they expressed themselves with a demure persona. These perceptions in regard to Sukarno, Hatta and Syahrir were typical images, and standardized references, which were taken as the truth.
Certain categories of writers used a criterion, never openly acknowledged, but which was in fact the decisive guide in forming their opinion about Hatta and Syahrir on one side, and Sukarno on the other. The first were anticommunists, therefore it goes without saying that they were sound and full of virtuousness; the other was not anti communist and must therefore be approving of communism, and that was definitely very wrong. Indeed. Hatta and Syahrir were clearly anti communists and had been so since their years of study in Holland. Their political attitude against communism proceeded in various domestic political conflicts immediately after our independence in 1945. They did everything to oppose the communists, and in some cases even to eliminate them.
Sukarno, a nationalist like Hatta and Syahrir, was on the contrary, not an anti communist. He had already recognized in an early arena of his political career the importance of cooperation with the communists as well as cooperation with all the other myriad forces in the Indonesian social and political constellation. Unity above all! And that was then the biggest sin of Sukarno. Not to be anticommunist meant thus to be a fellow traveller of the communists! In particular, after the fall of communism in the world and also in Indonesia, Sukarno was in every way wrong and bad. Right now, all honours are presented to politicians, who have been against Sukarno or communism; they receive official honorifics such as "Maha Putera" (The Great Sons of the Country). When anti communists make serious offences against the principles of democracy by suppressing people of another opinion, they still are able to be considered great democrats, because the people or political groups which were eliminated were just communists or their sympathizers, something less than fully human. This dividing line as a criterion is the very essence of all analyses on Sukarno, and was in fact the accepted method of dividing the "good" from the "bad" politicians. A real inheritance of Mac Carthyism indeed. This stupid manner of analyzing is up to the present time still valid among many journalists, professionals and amateur politicians. Only a small stratum of university circles is probably not yet infected by these cold war standards of categorizing Indonesian matters and top political figures.
I am very conscious of the existing differences between Sukarno, Hatta, and Syahrir, but I remain respectful towards those three leaders, who in spite of their different opinions were able to complement each other and dedicate each in their own way their great services for the freedom of our country and people.
On this very point lies the conflict between myself and all those other writers, who have manipulated very consciously the differences among the three leaders in order to besmirch and belittle Sukarno. The real background of it was nothing else other than the fact that Sukarno had "treacherously" cooperated with the communists and therefore it was justified to knock him down. Such are the facts and it goes as simple as that. It is indeed easy, and shows an acute shortsightedness, to simplify the problems concerning Sukarno, as well as the complicated political situation in Indonesia at that time.
Sukarno stood at that time in front of the choice to sell Indonesia to the big international capital or to become a satellite of the communistic eastern bloc. Whatever choice you would make, in order to be able to govern properly, the opposition has to be broken. According to Foster Dulles there was no middle-road. But Sukarno's political conscience didn't let him carry out both options. The public seems hardly to be aware, that the NON ALIGNED MOVEMENT, and all subsequent concepts developed on a global scope (like OPEC, and the south-south countries meetings) which today's world has to consider and of which Suharto currently is the chairman, was the work of the same megalomaniacal Sukarno! The deed had passed, but the result is there!
Visionary ideas are unfortunately no "instant meal". The results have to be awaited a long time, in Sukarno's case in particular, because everything was been broken off by mass-murders which were carried out by the New Order forces of Suharto in 1965/1966. People like Snouck Hurgronje, De Jonge, Beel and Luns said that Indonesia and the Indonesians were not ripe for democracy. Sukarno seemed not to disagree with them completely, as he had become wise by bitter experiences, at least in regard to western concepts, such as the free market and the free expression of opinions. So we were not yet as ripe as that. That's why Sukarno looked for a form of democracy, which could reflect the specifics of an Indonesian identity and character. He called his experiment, in a term suitable to modern concepts on state : Guided Democracy.
Were Sukarno just half as unscrupulous as Suharto, the situation would have looked different. Sukarno would have made it much easier if he had chosen the West: eliminating the communists (but is that democracy?), and initiating a complete open door policy in relation to foreign investments. Now, for the sake of our annual high economic growth percentage, let us indeed not have any objection whatsoever to the tragic low salaries of the workers! Compliments of the World Bank and I.M.F. were surely guaranteed with that kind of economic policy, and that is what probably was meant by "taking care of the economy", which according Rudy Kousbroek, was greatly neglected by Sukarno. In accordance with the accusation that Sukarno did not pay enough attention to the country's economy, one probably completely forgets that in 1962-1963 (thus immediately after the end of the 12 long years of misery caused by Joseph Luns and his New Guinea politics), Sukarno had decided that political stability was sufficiently ripened for an profound tackling of the economy; he was assisted in his plans by economic experts like Ali Wardhana, and Widjojo Nitisastro, who later also played a decisive role in the economic policies of Suharto. In the background was the decision of the PSI of Syahrir (the Subadio-Sudjatmoko faction), not the PSI-group of Prof. Sumitro, to cooperate with Sukarno to handle the rebuilding of the country, politically and economically.
Do we still remember the DEKON, or Economic Declaration, the complementary better half of MANIPOL, or Political Manifest? Sudjatmoko, Ir. Sarbini and Ali Wardhana cum su'is were the brains behind those concepts. Why was it not launched earlier, and how was it possible that economic technocrats and the liquidated PSI wanted to cooperate with Sukarno?
The reason was that the PSI followed a new course in order to thwart the relation between Sukarno and the PKI. According to PSI circles, there were quite a sufficient number of army officers - except General Yani - and also mysterious members among the PKI leadership, who had pretended loyalty towards their own fatherland, their President, and towards their direct superiors. Actually their royalty was directed somewhere else, that is to say toward their own real employers, the "dalang" mastermind, who worked with ingenious remote controls. The army and the PKI competed at that time, to launch on behalf of Sukarno - but without his knowledge - all sorts of manoeuvres for their own political benefit. The cold war forces indeed succeeded in penetrating deeply into the Indonesian army and the PKI, into individuals who let themselves be used as agents, and therewith were able to manipulate Indonesia's internal problems.
Due to the events leading up to 1965, Guided Democracy did not get the necessary time to develop itself and naturally still time less to realize an economic policy, where results could be expected only after the long term. One could easily and blindly believe that Sukarno was never interested in economic matters. It is really too easy, whenever you just want to slander Sukarno in all possible manners, to fall back on this pet subject of the conservative press and quasi Indonesian experts like Rudy Kousbroek.
Is it therefore not surprising, the wide spread misleading image in relation to Sukarno in Holland? In fact, The Netherlands had already lost Indonesia by making an inexcusable error when Dutch politicians put their support to Syahrir in order to play him off against Sukarno. It was tragically unlucky for The Netherlands, and also had unfortunate effects for Syahrir himself. This error could actually be repaired in the following years by the existing relations, but the opposite occured: the Dutch government and the conservative press opened a systematic offensive to discredit Sukarno by any means available.
The Dutch choice fell then on Sutan Syahrir. With his esthetic, impressive and brilliant book "Indonesische Overpeinzingen" (Indonesian Reflections) he had revealed his true character. Syahrir was unquestionably a great freedom fighter. None-the-less he was as intellectual and a politician, and culturally speaking more European, or more accurately, more Dutch, than Indonesian nationalist, and therefore he was not a man of the masses. He was a thinker, a man who was always busy meditating politics. He would be a very suitable man of science, or a worthy dean of a university. The choice of Syahrir meant that The Netherlands drew only a few intellectuals and quasi intellectuals to their circles, in any case, certainly not the Indonesian people.
Sukarno was surely no less intellectually formed, but he was, in the first place, a man of the people. The choice of Sukarno meant a choice for the heart and sympathy of the Indonesian people. Whether it is considered pleasant or not in The Hague, it was Sukarno and nobody else, who was the spokesman of the people's heart, "the extension of the people's tongue" as he literally liked to call himself. I certainly do not make the allegation that the choice of Sukarno after the second world war would return the Indies safe and well to the lap of the motherland. No, but The Netherlands could have won the heart of the Indonesian people together with Sukarno, which would have been very important for the foundation of a new kind of solid friendship between the two sovereign states, which for centuries had cultural and historical ties behind them. In my article about the then forthcoming state-visit of Queen Beatrix to Indonesia, I wrote that the opportunity in that direction had turned up again. Unfortunately, the heresy on Sukarno is being continued in The Netherlands.
In closing, a simple wish: try to understand Indonesia of the time before 1965, objectively, without prejudice, and certainly without a Kousbroek pedantic air of knowing everything concerning Indonesian matters, even better than Indonesians themselves. Against such pathological prepossession, we are powerless.
Jakarta, October 1994
Versi Bahasa Belanda
*) Joesoef Isak, prior to 1965, was a journalist, chief editor of the Indonesian newspaper Merdeka, and the general secretary of the Association of Afro-Asian Journalists. He was arrested without charge and detained as a political prisoner without trial for about 10 years. He is now publisher (Hasta Mitra) and editor of Pramoedya Ananta Toers's books.
Subscribe to:
Posts (Atom)