Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 24 Agustus 2009
==================
MENGENANGKAN JOESOEF ISAK
< Semboyannya: -- BERLAWAN! >
(3)
BERLAWAN, adalah seruan yang a.l diangkat Joesoef Isak menjadi semboyan
hidupnya. Berlawan terhadap kesewewenang-wenangan. Berlawan terhadap
ketidak-adilanan.
Pada penutup pidatonya ketika menerima 'Wertheim Award 2005', dengan kalem,
tapi tegas dan bersemangat Joesoef Isak manyatakan a.l sbb:
Tak ada jalan pintas. Dan tak ada jalan lain untuk menghentikan
kesewenang-wenangan selain seperti apa yang dinyatakan dengan indah oleh Wiji
Thukul, seorang seniman rakyat, pemenang Wertheim Award 1999: HANYA ADA SATU
JALAN: LAWAN! Jangan berhenti, bahkan sejenakpun, dalam perjuangan melawan
ketidakadilan.
Sekali tempo, dalam suatu percakapan santai, aku bertanya kepada Joesoef: Cup,
apa kau tak takut akan dijebloskan lagi dalam penjara? Begitu berani kau ke
luarnegeri sendirian. Itu 'kan mirip avontur. Kami bertemu di Keulen. Ketika
Joesoef berhasil meloloskan diri dari tangkalan ketat Kopkamtib Orba. Ia
menghapuskan huruf 'ET' pada KTP-nya. Mengkopinya dan menyerahkannya kepada
biro perjalanan. Selanjutnya biro perjalanan itu yang mengurus sampai ia
berhasil meninggalkan Jakarta. Dengan cara riskan itu Joesoef berhasil nyelonong
di depan hidung aparat, ke luar negeri sendirian. 'Begitu saja' melewati
imigrasi dan duane bandar udara.
Joesoef Isak berangkat ke Eropah dengan suatu tujuan strategis perjuangan yang
ditempuhnya. Rencana Joesoef dan kawan-kawanny di Hasta Mitra, ialah mendirikan
perwakilan penerbit Hasta Mitra yang dipimpinnya. Dengan demikian Tetralogi
Pramoedya bisa diterbitkan di lurnegeri tanpa gangguan Kejaksaan Agung RI Orba.
Lagipula buku pertama Tetralogi, Bumi Manusia, edisi bahasa asingnya sudah bisa
ditangani. Joesoef tau bila ia tidak 'nyerémpét-nyerémpét bahay' ia tak akan
bisa memenuhi tugas itu.
Menjawab pertanyaanku, apakah ia samasekali tidak takut, kata Joesoef: Aku ini
bukan nabi. Aku ini orang biasa, sama dengan yang lainnya, juga punya rasa
takut. Aku bukannya tidak ada rasa takut itu. Tetapi, kata Joesoef, ketakutan
itu tak boleh kita tunjukkan di hadapan musuh (maksudnya aparat keamanan Orba).
Terhadap mereka kita selalu harus menunjukkan, keberanian dan keteguhan
pendirian yang benar dan adil, serta semangat berlawan yang mantap.
* * *
Joesoef Isak adalah sahabat kentalku. Tetapi aku tidak akan mengatakan bahwa aku
kenal benar siapa Joesoef Isak. Terasa penyesalan tidak lebih banyak bicara dan
tukar fikiran dengan dia.Yang kukenal benar tentang Joesoef, ialah bahwa
selruruh hidupanya diabdikan pada perjuangan demi cita-cita mulya yang
diyakininya: Keadilan bagi rakyat! Ikut membangun Indonesia yang kaum
intlejensianya berani berfikir sendiri. Yang mandiri, cinta bangsa dan tanah air.
Cinta rakyat kecil dan siap berjuang dengan berani dan konsisten sampai akhir.
Apa yang diungkapkan oleh wartawan Belanda Michel Maas, mengenai wawancara dan
kesannya mengenai Joesoef Isak, kiranya akan menambah pengenalan kita tentang
Joesoef. Menarik bahwa Joesoef mengungkap 'soalnya' mengapa 'pisah' dengan
Pramoedya, dan peranannya sendiri dalam penerbitan buku-buku Pram. Joesoef
bicara terus terang bahwa ia bersimpati dengan PKI, tetapi bukan anggota PKI.
Bahwa ia banyak tau tentang apa yang terjadi di sekitar 30 September 1965. Bahwa
Joesoef punya analisis dan kesimpulan sendiri mengenai itu. Bahwa Joesoef punya
tekad dan semangat baja untuk terus berjuang, melalui kerja. Kerja dengan
menerbitkan buku-buku bermutu. Bahwa Joesoef tidak menganggap dirinya korban.
Apakah itu korban CIA, tentara atau Orba. Joesoef menganggap mereka itu musuh
yang harus dilawan dengan perjuangan kongkrit. Bahwa Joesoef menganggap ilusi
bisa tercapai rekonsiliasi dan rehabilirasi selama sistim rezim lama masih
diteruskan.
* * *
Michel Maas, adalah wartawan Belanda, berkedudukan di Jakarta. Ia mewakili
s.k. De Volkskrant, Amsterdam. Ia mengenal Joesoef Isak justru dari tindakannya
sebagai orang yang melakukan perlawanan.
Pada suatu ketika wartawan de Volkskrant itu mengunjungi Joesoef Isak. Ia
hendak mewawancarai Joesoef Isak. Kemudian wawancaranya itu disiarkan di De
Volkskratn pada tanggal 18 Juni 2005. Lalu disiarkan ulang dengan perubahan
disana-sini pada tanggal 21 Januari 2009, Michel Maas memberikannya judul 'EEN
DAAD VAN VERZET', 'SUATU TINDAKAN PERLAWANAN'!
Tulis Michel Maas a.l.: Sebagai penerbit Joesoef Isak (76) di Indonesia
melakukan perjuangan politik. Dengan menerbitkan 'DAS KAPITAL' olel Karl Marx,
Joesoef Isak lagi-lagi menerbtkan dan mengedarkan 'buku terlarang' di pasaran.
Disebabkan oleh kegiatan seperti itu, Joesoef Isak dua kali ditahan. 'Suharto
sudah jatuh, tetapi sistim kekuasaannya masih utuh', demikian Joesoef.
Buku itu baru saja terbit. Di Indonesia masih tetap dilarang, tetapi Joesoef
tak ada kerja lainnya selain menerbitkan buku terlarang, sejak mula ia mengelola
perbitannya itu. Hasta Mitra, memulai pekerjaannya dengan menerbitkan
buku-buku pertama Pramoedya Ananta Toer.
Penerbitan 'Kapital' merupakan tindakan baru perlawanan yang dilakukan Joesoef.
Bukunya diterbitkan, katanya, bukan karena di Indonesia masih ada orang yang
akan membaca buku setebal itu. Barangkali ada sepuluh orang, kata Joesoef.
Tidak ada lagi orang yang membaca. 'Orang-orang yang punya visi di Indonesia
bisa dihitung pada sebelah tangan. Kaum intelejensia kami telah dibabat habis.
Para pemimpin politik kami dewasa ini adalah aktor-aktor kelas tiga. Sekarang
berbondong-bondong pemuda kita mengikutinya dibelakang. Sudah lama saya
bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi. Saya telah mencari di (kamus)
Van Dale. Disitu tak saya temui. Akhirnya saya temui di 'Winkler Prins':
REIFICATIE, yang oleh orang Jerman disebut 'Verdinglichung'.
Saya baca dan memikirkan, inilah yang persis terjadi di sini: rekayasa fikiran
manusia diterima sebagai suatu kebenaran.
'Suharto adalah jagoan dalam menyebarluaskan 'kebenaran-kebenaran' serupa itu.
Ia memulainya sesudah terjadinya pembunuhan pada tanggal 30 September 1965. Ia
(Suharto) menceriterakan bahwa para jendral-jendral itu, sebelum dibunuh, mereka
ditikam berkali-kali dengan belati. Cerita itu bohong besar. Tetapi rekayasa itu
diberitakan di semua media sebagai sesuatu yang benar. Dan sekarang seperti
itulah tercantum dalam buku-buku sejarah '.
'Setiap lima tahun sekali, pemerintah mengeluarkan sebuah analisa. Kepada
rakyat diceriterakan bahwa ABRI (tentara) adalah organisasi terbaik di negeri
ini, terdiri dari orang-orang yang paling baik, orang-orang yang berpendidikan
paling hebat. Oleh karena itu tigapuluh tahun lamanya rakyat percaya bahwa tidak
mungkin tanpa ABRI. Dan sekarang hal itu masih dipercayai'.
'Joesoef berumur 76 . Jika ia berbicara apalagi bila ia tertawa, ia tampak
tambah muda sekali. Dan ia tampak jauh lebih kuat terbanding orang yang tiga
hari yang lalu terbaring di tempat tidur. Ia tiba-tiba tidak bisa bergerak
samasekali. Ini suatu pendarahan otak kecil, fikirnya. Maka ia sementara tak
merokok lagi. Di lantai terletak sobekan New York Times tertanggal 13 Februaru
2003. Separuh tulisan di situ adalah mengenai Joesoef Isak. Di atas sederet
buku-buku terdapat sebuah piagam pengharagaan: The Jeri Laber International
Freedom to Publish Award – penghargaan dari penerbit Amerika yang diperolehnya
tahun lalu sebagai penghargaan atas keberaniannya terus menerbitkan buku-buku
tanpa mempedulikan ancaman, intimidasi dan 'pemberangusan'. Disembunyikan di
belakang sejumlah buku tampak foto lama. Di situ tampak Joesoef dengan Pramoedya
Ananta Toer. Pramoedya novelis besar dan calon-Hadiah Nobel dengan siapa ia
hamir duapuluh lima tahun lamanya adalah penerbit dan editornya.
Sejenak ditatapnya foto itu dan ia terdiam. Foto itu telah menjadi sejarah
seperti foto lama dengan Profesor Wertheim ('benar-benar tukang-cela, dari
beliau saya banyak belajar', celetuk Joesoef). Dua tahun yang lalu dengan
menyedihkan telah berakhir kerjasama yang mesra. Ketika itu tiba-tiba saja
Pramoedya membatalkan semua kontrak dengan Joesoef. Penerbit terlalu sedikit
memberikan royalti kepadanya, begitu kata Pram. 'Joesoef yang melahap habis uang
saya itu'. Sekarang salah seorang dari putri Pramoedya yang menerbitkan
buku-bukunya. 'Sampai hari ini saya tidak bicara dengan dia. Saya menenangkan
diri saya dan mengatakan bahwa soal itu terletak pada telinganya. (Pramoedya
hampir tuli)'. Joesoef terlalu keras kepala, untuk pergi sendiri ke Pram.
'Tetapi jika ia mengundang saya besok, saya akan segera mendatanginya', kata
Joesoef.
Foto itu mengandung separuh kehidupan manusia. Selama duapuluh tahun Joesoef
adalah jurubicara Pramoedya. Adalah penerbit dan redaktur yang diberi kuassa
untuk mengadakan perubahan terhadap buku-buku sang master halmana memang
diperlukan. Tak pernah Pram berkeberatan terhadap suatu perubahan besar.
'Tampaknya, karena ia tidak pernah membaca lagi bukunya itu, kata Joesoef ',
demikianlah Pram. Ia lebih baik tidak melihatnya lagi teks yang ditulisnya. Pram
bilang, kaulah editor saya. Saya mempercayaimu. Lakukanlah apa yang kau anggap
perlu'. Joesoef puas tanpa nama . Kenyataan ialah bahwa bagian-bagian yang
banyak dipuji dari buku Pram itu, adalah bagian-bagian yang dibuat Joesoef.
'Saya selalu merasa bangga menjadi penerbit Pram. Pram adalah seorang literator
besar. Seorang yang benar-benr intelektuil.. Saya anggap adalah tugas politik
untuk menerbitkan buku-buku Pram. Tapi mungkin sikap saya itu juga sedikit suatu
sikap banga atas diri sendiri'.
Mereka berkenalan sejak sebelum 1965, ketika Pram anggota pengurus Lekra,
sebuah perhimpunan seniman kiri. Joesoef ketika itu pemimpin redaksi s.k.
Merdeka. Namun, kerjasama mereka baru dimulai dalam tahun 1970. Setelah mereka
keluar dari penjara. Pram datang dari pulau tahanan Buru dengan empat manuskrip
yang kemudian membikin dia terkenal di dunia. Dan Joesoef memilik kopi bawah
tanah dari sebuah dari buku-buku itu. Joesoef membacanya lalu menyimpulkan akan
baik sekali bila boleh menerbitkannya.
Dengan Hasyim Rachman, mereka sama-sama mendirikan Hasta Mitra (tangan sahabat).
Kemudian menerbitkan 'Bumi Manusia'. Bagian pertama dari tetralogi Buru itu.
Kontan buku itu jadi bestseller. Tetapi ketika terbit cetakan keenam, penguasa
Jakarta bertindak. Penguasa melarang Bumi Manusia dan bagian kedua 'Anak semua
bangsa'. Kemudian dua jilid lainnya yang menyusul juga dilarang. Namun,
kopi-kopi yang sudah terbit itu diperbanyak melalui pengkopian dalam jumlah
besar. Dan dijual diam-diam. Joesoef ditahan dan dua kali dipenjarakan (lagi).
Juga putranya ditangkap, ketika ia mengundang Pram untuk bicara di UI. Bapak dan
anak bagi penguasa merupakan bukti, bahwa hubungan keluarga bisa bahaya.
Penahanan bapak dan anak itu, merupakan permulaan politik baru. Selanjutnya
bukan saja para eks-tapol, tetapi juga anak-anaknya tidak boleh studi. Juga
tidak boleh bekerja di pemerintahan dan pekerjaan peka seperti guru, yustisi dan
jurnalistik.
Pramoedya selalu membantah bahwa ia komunis. Joesoef tidak membantah apapun.
(Karena) Ia bukan komunis. Tetapi ia ingin jadi komunis, katanya. 'Saya
benar-benar terpinspirasi. Pada PKI terdapat teman-teman saya. Seluruh
avant-garde ada di situ. Para pelopor dalam musik, dalam seni lukis, semua
komunis. Partai mengirimkan orang-orang ke konservatorium ke Berlin dan ke Roma.
Mereka mengangkat kesenian rakyat benar-benar pada taraf seni. Dari keroncong
mereka ciptakan simfoni. Simfoni Beethoven yang kelima dan keenam, tema-tema di
situ kecil saja. Soedarnoto mengambil tema dari empat baris dan menggubahnya
menjadi sebuah orkes simfoni. Kedengarannya seperti Per Gyntnya Edvard Grieg.
Joesoef tak pernah jadi anggota. 'Kamu fikir apa: Bahwa PKI itu adalah suatu
klab ibu rumahtangga. Sehingga kau bisa bergitu saja jadi anggota. Saya ketika
itu pemimpin redaksi s.k Merdeka, sebuah suratkabar yang benar-benar burjuis.
Dan saya beken sebagai anggota PSI, partai sosialis Indonesia. PSI, itu adalah
orang-orang salon-Sosialis. Sedikitnya orang harus lebih dahulu membuktikan
selama dua tahun jika mau jadi anggota PKI.'
Ia tidak sampai pembuktian dua tahun itu. Pada malam 30 September – 1 Oktober
1965, Indonesia tiba-tiba berubah.
Hampir seluruh pimpinan AD – enam jendral dan seorang perwira – malam itu
dibunuh. Orang-orang komunis yang disalahkan. PKI dilarang dan anggota-anggota
dan yang diduga simpatisan ditangkap. Mereka dibunuh atau hilang. Ratusan ribu
orang dibunuh dalam suatu kampanye yang disulut secara bernafsu oleh CIA
Amerika. Perebutan kekuasaan itu menjadikan Suharto penguasa. Indonesia dirampok
dari pelopornya zaman ketika itu. 'Seluruh intelejensia disapu bersih. Jika kau
merenggutkan kaum intelejensia, berarti kau telah merampok rakyat dari apa yang
paling berharga yang dimilikinya. Sejarah manusia selalu merupakan sejarah
intelejensia'.
Tak ada yang tau apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September. Dan siapa
dibelakangnya. Tigapuluh tahun lamanya hanyalah versi Suharto yang
diceriterakan. Sekarang semua yang terlibat sudah mati. Joesoef banyak tau. Ia
juga 'banyak sekali tau' apa yang terjadi dalam tahun 1965, katanya. 'Seluruh
pimpinan tertinggi PKI sembunyi di rumah saya'. 'Tetapi makin banyak yang
diketahui, masalahnya semakin rumit'.
Tidak begitu sederhana sehingga dapat mengatakan bahwa PKI -lah yang
melakukannya. Ada dua PKI. Partai yang legal dan punya konstitusi. Ada yang
ilegal yang punya agenda lain. Yang ilegal yang terlibat dalam peristiwa 1965.
Apa yang terjadi pada tanggal 30 September, adalah suatu tumpang-tindih lebih
dari satu skenario. Yang dari CIA, yang dari PKI dan yang dari tentara. Semua
memata-matai semua.Tentara menyusupi PKI dan orang-orang komunis punya mata-mata
mereka di pimpinan tertinggi tentara. Dan semuanya punya rencananya
masing-masing. Itu adalah suatu 'masterpiece of intelligence'.
Yang tampak tidak jelas, ialah, pertanyaan 'masterpice' itu siapa punya. Yang
jelas ialah bahwa Suharto tampil sebagai pemenang. 'Suharto telah mampu
menggunakan itu semua. Ia tidak hodoh, seperti orang bilang. Ia cerdik. Ia
melihat kesempatan dan menggunakannya'. Joesoef masih melihat yang masih hidup
dari kaum intelejensi periode itu. 'Mereka semua eks-tapol, pada datang ketika
peluncuran 'Kapital'. Semua mereka marah: Marah pada CIA, dan marah pada
Indonesia. Sekarang mereka bicara tentang rekonsiliasi, tentang kompensasi,
tentang rehabilitasi. Harus dibentuk komisi rekonsiliasi , yang harus meluruskan
sejarah. Saya kira tak akan jadi apa-apa itu. Rehabilitasi yang mereka minta
adalah suatu ilusi. Mereka menginginkan sepucuk surat dengan ada stempelnya di
situ. Lagi-lagi itu adalah abstraksi yang jadi realita.
'Saya tidak mengatakan: Saya adalah seorang korban CIA, korban Suharto. Atau
korban Orde Baru. Saya bilang saya adalah musuh Suharto. Saya musuh Orde Baru.
Suharto telah tumbang. Tetapi seluruh sistim kekuasaan negara masih utuh.
Saya tidak akan menggerutu! Saya menerbitkan buku.
Bekerja! Itulah yang dapat dilakukan. Saya 76, tetapi saya jalan terus'.
Demikian singkatan teks wawancara Joesoef Isak dengan wartawan Belanda, Michel
Maas. Tulisan Michel Maas disiarkan di de Volkskrant dalam bahasa Belanda. Yang
diatas adalah terjemahan bebas dan sedikit dipadatkan.
* * *
Thursday, December 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment