Wednesday, May 28, 2014

SEKITAR Catatan: Dr. Nono Anwar Makarim "FASISME DI INDONESIA INGIN KEMURNIAN AGAMA DAN JUGA UUD 45” Dan Komentar Prof Dr Magnis Suseno SJ. Terhadap Visi Prabowo menyangkut Toleransi Agama

Kolom Ibrahim Isa
Selasa, 27 Mei 2014
----------------------------


SEKITAR Catatan: Dr. Nono Anwar Makarim

"FASISME DI INDONESIA INGIN KEMURNIAN AGAMA DAN JUGA UUD 45”


Dan Komentar Prof Dr Magnis Suseno SJ. Terhadap Visi Prabowo menyangkut Toleransi Agama

* * *

Artikel Nono Anwar Makarim, di bawah ini (diusung oleh Goenawan Mohammad), punya arti relevan dan nilai praktis di saat masyarakat kita , disajikan visi dan misi oleh para calpres 2014, menjelang pilpres 9 Juli 2014. Seperti yang diajukan oleh Jokowi dan PDI-P (Trisakti), dan yang diajukan oleh Prabowo dan Gerindra (Manifesto Gerindra).

Artikel Makarim mengangkat masalah (bahaya) FASISME di Indonesia, kaitannya dengan usaha 'pemurnian' konsep ketatanegaraan maupun keyakinan agama.

Maka artikel Makarim tsb patut dibaca dan dipertimbangkan.

* * *

Begitu juga patut dibaca dan dipertimbangkan komentar Prof. De Franz-Magnis Suseno SJ. Ia menyoroti bahaya yang bisa timbul dari visi Prabowo/Gerindra menyangkut kebebasan dan toleransi bagi dan di kalangan penganut agama. Tulis Magnis a.l , :

"Negara dituntut utk menjamin kemurnian ajaran agama yg diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan & penyelewengan dari ajaran agama."
. . . . Itu berarti bahwa bagi Prabowo suatu pemerintah akan merasa berhak menindas semua agama & kepercayaan di luar enam agama yg diakui dalam UU Penodaan Agama, misalnya Achmadiyah, Syia, Saksi Yehowa, Mormon, Bahai, Taman Eden & sekian tarekat Islami. Demikian Magnis Suseno.


* * *

Maksud penyajian dua pendapat tsb, ialah, agar masyarakat memanfaatkan periode menjelang pilpres 9 Juli 2014, demi menggalakkan pendidikan politik dan ideologi bagi masyarakat. Banyak berfikir dan mempertimbangkan, Dengan kritis berusaha menganalisis pelbagai visi dan misi menyangkut kelangsungan hidup bangsa dan negeri ini.

* * *

Goenawan Mohamad

FASISME DI INDONESIA INGIN KEMURNIAN AGAMA DAN JUGA UUD 45 -- Oleh Nono A. Makarim (menyambut komentar Franz-Magnis Suseno)

Gerakan pemurnian agama atau moralitas di sepanjang sejarah selalu berbuntut persekusi terhadap yang menyimpang atau menyeleweng. Di Indonesia kita sedang menyaksikan drama ini hampir setiap hari di Jawa Barat, di Madura, di Jawa Timur dan Sulawesi. Yang menganggap dirinya “murni”, melihat sesuatu yang berbeda sebagai “polusi” atas kemurniannya. Yang beda dianggap ancaman, dan yang mengancam dinyatakan sah untuk dibasmi demi dipertahankannya kemurnian itu. Dan terjadilah pengusiran, pengenyahan, dan pemburuan terhadap yang menyimpang.

Pembasmian akan berlangsung lebih bengis, kejam, dan lewat batas kemanusiaan bila didukung oleh keyakinan bahwa perbuatannya tidak hanya dihalalkan, bahkan berpahala.

Susahnya adalah bahwa tidak ada suatu ide di dunia yang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan manusia yang lambat laun tidak mengalami sempalan yang memenuhi kebutuhan khusus sebagian masyarakat yang tidak dipenuhi oleh ide induknya. Aliran, sekte, dan pemikiran baru selalu muncul. Yang yakin akan kemurniannya selalu merasa terancam, dan yang dianggap menyeleweng akan selalu dikejar, dan dihabisi. Apalagi jika dijanjikan oleh suatu Manifesto yang begitu didambakan oleh banyak orang.

Gerindra tidak hanya berjanji berjuang untuk pemurnian agama. Partai Gerakan Indonesia Raya juga menggandrungi UUD 45 yang murni. Kita mengerti bahwa kalau orang takut akan apa yang akan terjadi di hari depannya, dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya di masa kini, ia akan bernostalgi ke masa lalu.

Nostalgia akan UUD yang secara gemilang digunakan oleh Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno untuk melaksanakan demokrasi dan ekonomi terpimpinnya dan secara keras dipakai oleh Jenderal Besar Suharto dalam tangan besi Demokrasi Pancasilanya adalah UUD 45 yang "murni", sebelum terkena “polusi” hak-hak asasi, yang menolak Trias Politika, yang dilandasi filsafat Kawula Gusti. Bagi pandangan ini, bangsa seperti keluarga. Yang memimpin keluarga, yang menjadi Kepala keluarga adalah seorang Bapak. Seorang Bapak dan keluarga nya merupakan suatu kesatuan harmonis yang tidak boleh dipisah.

UUD 45 yang murni berkemampuan mendukung pemerintahan yang otoriter, baik sipil maupun militer berpuluh-puluh tahun, melintasi pembunuhan masal terbesar dalam sejarah bangsa, dan legitimasi praktek sistemik pemerintahan korup. Konsepsi kawulo gusti mungkin lebih dikenal di kawasan Eropa dibawah semboyan “ein Volk, ein Führer, ein Ja” , atau “ein Volk, ein Reich, ein Führer”, "satu bangsa, satu pemimpin, satu suara"
Ini filsafat yang dicanangkan oleh partai nasional sosialis (NAZI) Adolf Hitler di Jerman, oleh Benito Mussolini di Italia.

Semangat UUD 45 yang aseli, sebelum Reformasi, sebelum hak-hak asasi ditegaskan, di samping tergali dari sumber peradaban aseli Jawa, banyak menemukan resonansi dalam doktrin NAZI di Jerman dan Fasci di Combattimento Italia. Sungguh tidak mengherankan kalau UUD 45 yang murni dan yang memungkinkan diktatur bertahta begitu lama disebut sebagai konstitusi fasis. Bebarapa perumusnya tidak terlalu keberatan pada julukan itu.

Karena pertama, Indonesia dalam keadaan diduduki militer Jepang, dan yang membentuk BPUPKI adalah Markas Besar Militer Jepang di Jawa. Kedua, jaman dulu belum ada TV yang mempertontonkan kekejian perang dan dampaknya dalam saat seketika kejadiannya. Horor kamp-kamp konsentrasi Negara-negara poros fasis Eropa di Dachau, di Buchenwald, Auschwitz, Salerno, Padua dan Trieste tidak diketahui oleh dunia. Bagi Negara-negara jajahan perang Jerman, Italia, dan Jepang melawan poros Negara kolonialis dan imperialis justru dipuji dan didoakan agar menang. FASIS di saat perbincangan filsafat yang mendasari UUD45 yang murni belum memperoleh arti makian, cercaan, hinaan seperti sekarang. Dianggap fasis pada saat itu bahkan berarti berjuang melawan para imperialis.

Sekarang kita tahu dan mengerti lebih banyak. Sekarang kita sudah mengalami dan menderita lebih banyak di bawah cepolan tangan besi UUD 45 yang murni dan falsafah pendukung kekuasaannya. Cukup sudah penggalian unsur-unsur “Luhur” dari masa lalu sejarah faktual atau imaginer yang sebenarnya adalah sekadar kedok bahasa untuk diktatur. Kerinduan akan UUD45 yang murni, dengan sikap yang menganggap pengadilan hak asasi yang “berlebihan” mudah disimpulkan sebagai FASISME yang untuk berusaha kembali.

Barangkali Manifesto Gerindra perlu dirumuskan kembali dengan vernakular jaman sekarang, bukan bahasa 1945. RI butuh partai yang dikelola secara modern, partai yang tidak dijadikan pondok penginapan anak-cucu.
________________
Catatan: Dr. Nono Anwar Makarim adalah jurnalis dan pakar hukum yang

* * *

Kutipan KOMENTAR Dr. FRANZ-MAGNIS SUSENO S.J. Tentang MANIFESTO GERINDRA.

Sampai sekarang saya selalu berusaha untuk tidak menjawab apa "kita" "harus" memilih Prabowo atau Jokowi. Itu bukan hak saya. Tetapi dengan diumumkannya Manifesto Gerindra saya tidak dapat diam lagi. Di dalamnya ada dua hal yang serius.

Yang pertama, dalam manifesto itu ditulis: "Adanya Pengadilan HAM merupakan sesuatu yg overbodig (berlebihan)."

Yg kedua, ditulis "Negara dituntut utk menjamin kemurnian ajaran agama yg diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan & penyelewengan dari ajaran agama."

Dua-duanya gawat. Kalau yang pertama, sikap Prabowo tentu sangat bisa dimengerti. Dan belum tentu kubu Jokowi lebih baik. Apalagi Ibu Megawati belum pernah peduli pd kurban apa pun. Jadi 1 : 1.

Tetapi yg kedua gawat betul. Itu berarti bahwa bagi Prabowo suatu pemerintah akan merasa berhak menindas semua agama & kepercayaan di luar enam agama yg diakui dalam UU Penodaan Agama, misalnya Achmadiyah, Syia, Saksi Yehowa, Mormon, Bahai, Taman Eden & sekian tarekat Islami.

Baca juga jawaban yg diberikan oleh "administrasi Gerindra" atas sebuah pertanyaan kritis: "Bung, seluruh WNI harus dilindungi. Jika mereka berada di jalan yang salah, kita buat lembaga utk membuat mereka jera."
"Membuat mereka jera !" Ini bukan lagi main-main. Itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia maupun dengan Pancasila dan UUD-NRI 1945 Pasal 28 E,G(1), I(1) & (2) & Pasal 29(2); yang semuanya tidak mengenal pembatasan pd "6 agama yg diakui".

Dan kalau pemaksaan dlm hal agama & keyakinan religius sudah dimulai, apa akan berhenti di situ? Jangan-jangan lantas kita akan mendapat suatu "UU Kerukunan Agama" yg dalam kenyataan berarti penyumbatan kebebasan beragama & berkeyakinan. Apalagi Gerindra dalam koalisi akrab dengan PKS dan PPP Suryadarma)?

* * *

Eratum:
Dalam tulisan Kolom IBRAHIM ISA, 26 Mei 2014, berjudul: “MELIA DAN SOELARDJO – SETENGAH ABAD SUKA & DUKA”, yang menyangkut kelahiran Ita, putri Soelardjo dan Melia, tedapat hal yg perlu diralat. Soelardjo menjelaskan sbb:

Ita dilahirkan pada 8 Juli 1965. Ketika saya mendapat tugas ke Peking menghadiri Perayaan ulang tahun berdirikan Republiek Rakyat Tiongkok, anak saya sudah lahir dan sudah berusia 2 bulan 7 hari. “

* * *


*MELIA* DAN *SOELARDJO* – SETENGAH ABAD SUKA & DUKA

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 26 Mei 2014
------------------------------

*MELIA*    DAN    *SOELARDJO* –
SETENGAH ABAD SUKA & DUKA

Kemarin itu benar-benar merupakan Minggu yang penuh ceria, gembira dan kenang-kenangan. Hari Minggu 25 Mei 2014, yang santai, berarti-bermakna dan amat mengesankan.

Bukan kejadian yang biasa! Sungguh jarang! Bahkan (mungkin) hanya akan terjadi sekali saja dalam kehidupan insan di dunia fana ini . . .

Di Belanda peristiwa itu populer disebut “Gouden huwelijk”, “Perkawinan Emas”.

Limapuuh tahun hidup sebagai suami-istri, sebagai keluarga yang dijelujuri benang merah CINTA dan SETIA. Setia pada keluarga, tanah air dan bangsa, pada cita-cita mulya hidup demi Kebenaran dan Keadilan!

* * *

Puluhan kawan, relasi, kenalan lama dan baru, . . . . berkumpul di Gedung “de Drecht”, Holendrecht, Amsterdam. Mereka memerlukan datang dari Amsterdam, Almere, Rotterdam Utrecht, Zeist, Woerden, Wageningen, Purmerend, Leiden, dan dari Achen, Keulen dan Stuttgart . . .. berkumpul, bersetiakawan bersilaturahmi . . . . namun, yang pokok adalah 'menshare' kegembiraan dan kebahagiaan keluarga Melia, Soelardjo dan putrinda Ita . . .. awet limapuluh tahun sebagai suami-istri sebagai satu keluarga dan seorang putri dan kawan hidupnya. Penuh cinta dan kasih dalam duka dan suka . . .

Mereka bersama dan perorangan bernjanji, menari dan berorasi. . . Diperindah dengan tarian dua gadis anak kawan, Asih dan Agustina membawakan seni tari Indonesia, Seorang kawan, meski sudah tidak muda lagi, namun masih dengan indahnya menarikan tari Bali . . Lemah lunglai tapi indah dan cerah. Selain lagu-lagu Indonesia, kaum muda yang hadir menyanyikan lagu-lagu 'rock' mutakhir yang disukai oleh tua maupun muda.

Tidak disangka hadirin disajikan oleh suatu 'surprise' rombongan anak-muda membawakan tarian rakyat Amerika “Line-dance”.

Menandakan suka-ria hari itu diikuti oleh tua maupun muda! Sesuatu yang bisa dibilang baru. Tidak sering anak-anak muda kita ambil bagian dalam pertemuan atau silaturakhmi masyarakat Indonesia, bila mayoritas hadirin terdiri dari mereka-mereka yang dizholimi oleh rezim Orde Baru, yang banyak diantranya sudah masuk pada periode 'manula' dalam hidupnya.

* * *

Memperingati dan merayakan LIMAPULUH TAHUN PERNIKAHAN . . . Hidup suka-duka selama 50 thun. Tidak selalu bersama . . . . peristiwa dan sejarah menyela dengan hari-hari dan masa duka berpisah antara SOELARDJO dn MELIA . ..

Belum lama menikah Soelardjo, disebabkan penugasan ke luar negeri, akhirnya mengalami dampak tragedi nasional Peristiwa 1965.. . . . Karena kesetiannya kepada Presiden Sukarno, pada cita-cita perjuangannya, paspornya dicabut rezim Orba, sehigga terpaksa ketika lahirnya putri satu-satunya, itu terjadi tanpa kehadiran sang bapak.

* * *

Semua itu sudah menjadi sejarah, Tinggalah kita-kita ini, kawan dan sahabatnya, mengagumi dan berteladan pada kehidupan Soelardjo dan Melia yang sebagai suami istri, tetap setia pada cita-cita kemerdekaan bangsa dan tanah air, Demokrasi dan HAM .

* * *


LAGI SUARA GENERASI MUDA “Kami yang Menanti Keadilan”

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 24 Mei 2014
------------------------------

LAGI SUARA GENERASI MUDA

Kami yang Menanti Keadilan”

* * *

. . . .. Saya adalah salah satu dari sembilan orang yang selamat dari penculikan dan usaha penghilangan paksa oleh pasukan Tim Mawar Kopassus tahun 1998. . .”

* * *

Kita diingatkan kembali oleh Mugiyanto, Ketua IKOHI, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, bahwa KEADILAN BELUM DITEGAKKAN bagi para korban pelanggaran HAM sejak Peristiwa 1965, khususnya keadilan bagi Penyintas Peristiwa Penculikan Aktivis Tahun 1998.

Peringatan dan tumtutan Mugiyanto sebagai salah seorang dari generasi muda korban langsung pelanggaran HAM khususnya dalam Peristiwa Penculikan Aktivis 1998, sesungguhnya ditujukan pertama-tama kepada Presidan SBY.

Presiden SBY hampir 10 tahun lamanya menduduki jabatan Presidin RI. Tetapi hampir tidak ada samasekali kebijakannya yang bisa dinilai sebagai pertanda kepeduliannya terhadap penanganan kasus pelanggaran HAM di masa rezim Orde Baru. Contoh yang menyolok ialah kebijakan SBY mengenai kasus pembunuhan seorang aktivis pejuang HAM dan Demokrasi – MUNIR, dimana terlibat aparat intel negara. Meskipun sudah bertahun-tahun berlangsung unjuk rasa dan tuntutan kongktit di depan Istana, untuk keadilan bagi Munir.

* * *

Mugiyanto mengajukan kebijakan dan cara yang seharusnya dilakukan oleh Presiden SBY, selagi masih ada sedikit waktu tersisa sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sbb:

Karena itulah, Presiden SBY pulalah yang harus memberikan ultimum remedium untuk kasus ini dengan cara mengimplementasikan rekomendasi DPR yang meliputi:

(1) pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc;
(2) pencarian 13 orang yang masih hilang;
(3) pemberian kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban; dan
(4) ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. 

Kami sadar, waktu yang tersisa bagi SBY tidak mungkin lagi cukup untuk memenuhi semua harapan korban. Tetapi, setidaknya SBY bisa meletakkan landasan bagi ultimum remedium bagi pemerintah selanjutnya untuk menyelesaikan kasus ini, dan pada saat yang sama Presiden SBY bisa melakukan graceful exit yang akan dikenang generasi mendatang. '

* * *

Dengan sendirinya peringatan dan tuntuan tsb juga ditujukan kepada calpres JOKO WIDODO, yang sebagai calpres nyata mendapat dukungan kuat dari lapisan masyarakat yang luas:.

Masyarakat merasa agak legak karena Jokowi dengn jelas sudah menyatakan bahwa masalah pelanggaran HAM masa lampai harus 'diselesaikan' .

* * *

Tepat sekali sejarawan generasi muda Wilson Obrigados di ruangannya di Facebook hari ini, mengangkat bagian dari seruan dan tuntutn Mugiyanto, sbb:

"Keluarga korban penghilangan paksa tak berutang apa pun pada partai politik yang saat ini sedang berkontestasi melalui pemilu. Sebaliknya, partai politik yang ada hari ini memiliki utang sejarah kepada mereka yang telah jadi martir dalam perjuangan menentang otoritarianisme Orde Baru. Perjuangan kami untuk kebenaran dan keadilan melampaui politik elektoral yang menjemukan hari ini. Perjuangan kami adalah perjuangan sepanjang usia, kecuali kebenaran dan keadilan bisa kami raih lebih cepat sebelum ajal menjemput."



(Mugiyanto, korban penculikan prabowo, Kompas, 24 mei, 2014):

* * *

Lengkapnya Seruan dan tuntutan Mugiyanto:

Kami yang Menanti Keadilan”

Mugiyanto (korban penculikan) Penyintas Peristiwa Penculikan Aktivis Tahun 1998; Kini Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) di Opini Kompas, 24 Mei 2014, hari ini cukup menarik, membuka kebohongan kebohongan Prabowo, Kivlan Zen, Fadli Zon...

HAMPIR selama sebulan terakhir, wacana di media mengenai calon presiden untuk Pemilu Presiden 2014 sangat kental diwarnai isu pelanggaran HAM, khususnya terkait kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998.

Ada tiga alasan yang melatarbelakangi hal ini. Pertama, salah satu capres potensial, Prabowo Subianto, diduga kuat terlibat dalam beberapa pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde Baru, terutama kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis.

Kedua, saat ini adalah bulan Mei yang 16 tahun lalu ditandai momentum-momentum sejarah kebangsaan: penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 dan peristiwa kerusuhan 13-15 Mei yang mengorbankan lebih dari 1.000 jiwa, disertai turunnya Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei.

Ketiga, dan ini yang menjadi pemicu utama, adalah pernyataan Mayjen (Purn) Kivlan Zen dalam acara ”Debat” TV One pada 28 April 2014 mengenai penculikan aktivis 1997-1998. Pada acara yang disaksikan jutaan pemirsa di seluruh Tanah Air itu, Kivlan Zen yang pada 1998 menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad, dengan nada bangga dan berapi-api, mengatakan, ”Yang menculik dan hilang, tempatnya saya tahu di mana, ditembak, dibuang….”

Pengakuan yang otoritatif
Saya adalah salah satu dari sembilan orang yang selamat dari penculikan dan usaha penghilangan paksa oleh pasukan Tim Mawar Kopassus tahun 1998 yang sedang dibicarakan oleh Kivlan Zen. Saya mendengar langsung ucapan Kivlan Zen karena—bersama istri—saya sedang duduk di depan televisi. Ada hening di pikiran saya, dengan jantung berdetak hebat.

Istri saya menatap saya dalam diam. Yang muncul di pandangan saya kemudian adalah wajah kawan-kawan terdekat saya yang sampai hari ini masih belum ketahuan kabarnya: Petrus Bimo Anugerah, Wiji Thukul, Herman Hendrawan, dan Suyat. Juga wajah-wajah Yani Afri, Yadin Muhidin, Ucok Siahaan, Noval Alkatiri, Deddy Hamdun, dan wajah-wajah lain yang tiap hari saya lihat dalam poster yang ada di IKOHI, tempat saya beraktivitas.

Saya tidak habis pikir, mengapa orang di TV itu, Kivlan Zen, berbicara tentang penderitaan manusia dengan sedemikian enteng. Saya lebih menganggapnya sebagai perasaan keji. Tak tahukah dia bahwa tiap hari selama lebih dari 16 tahun, segenap keluarga dari 13 aktivis yang masih hilang itu masih sabar menunggu kembalinya orang-orang yang mereka cintai. Bahkan, empat orangtua dari mereka yang hilang meninggal dalam penantian panjang.

Bagi saya, Kivlan tak hanya telah melukai rasa kemanusiaan keluarga korban. Lebih dari itu, yang sedang ia pertontonkan adalah mempermainkan penderitaan keluarga korban dengan menganggap para korban hanya sebagai angka semata. Saya jadi ingat apa yang pernah dikatakan diktator Uni Soviet, Joseph Stalin, ”Satu orang mati adalah sebuah tragedi, satu juta orang mati adalah sebuah statistik.”

Apa yang disampaikan Kivlan Zen adalah sesuatu yang penting. Sebab, saat peristiwa penculikan dan penghilangan paksa terjadi, jabatannya adalah Kepala Staf Kostrad. Dengan jabatan yang melekat pada dirinya, pernyataan Kivlan Zen adalah pengakuan yang otoritatif dan memiliki konsekuensi hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 165 KUHP yang mengharuskan setiap orang yang mengetahui atau memiliki informasi tentang tindak pidana kejahatan harus melaporkannya kepada aparat penegak hukum.

Pernyataan Kivlan Zen juga merupakan sebuah pengakuan bahwa tindakan penghilangan paksa terhadap 13 orang yang masih hilang adalah benar adanya. Sejauh mana Kivlan Zen sendiri terlibat, siapa pelaku, korban, bagaimana peristiwa dan tempat kejadian adalah informasi penting yang harus ditindaklanjuti oleh penegak hukum, dalam hal ini Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Menanggapi perkembangan tersebut, keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 7-8 Mei 2014 untuk membentuk tim dan melakukan pemanggilan terhadap Kivlan Zen harus diapresiasi. Namun, untuk mempercepat proses pengungkapan kasus dan memberikan kepastian hukum tidak hanya kepada korban, tetapi juga pelaku harus ditindaklanjuti.

Pemanggilan Prabowo oleh Komnas HAM sangat penting dilakukan. Terutama untuk mendalami pernyataannya selama ini bahwa ia hanya bertanggung jawab atas  “pengamanan” terhadap sembilan aktivis, yang semua sudah ”dibebaskan”, serta membantah bertanggung jawab atas 13 aktivis lain yang masih hilang. Bantahan ini sebenarnya telah dimentahkan oleh kesaksian beberapa korban yang selamat, antara lain Faisol Riza dan Rahardja Waluya Jati—bahkan Pius Lustrilanang dan Desmon J Mahesa—yang mengatakan, saat berada di tempat penyekapan, mereka sempat berkomunikasi dengan Herman Hendrawan, Yani Afri, Sony, Deddy Hamdun, dan lain-lain. Ini berarti, antara mereka yang telah dilepaskan dan yang masih hilang pernah disekap di tempat yang sama.

Perjuangan sepanjang usia
Dalam berbagai kesempatan, Fadli Zon mengatakan bahwa usaha keluarga korban dan aktivis HAM untuk menuntut penyelesaian kasus ini adalah kampanye lima tahunan yang ditujukan untuk menjegal Prabowo Subianto menjadi capres. Fadli Zon tampaknya menutup mata, tidak mau melihat, bahwa sejak hari pertama keluarga korban tahu anak dan suami mereka hilang, mereka telah berjuang dengan melakukan berbagai pencarian.

Waktu 16 tahun bukanlah pendek. Selama itu pula perjuangan keluarga korban telah melalui berbagai milestone, misalnya penyelidikan oleh Komnas HAM (2005-2006), penyerahan hasil penyelidikan kepada Jaksa Agung (2006), rekomendasi DPR kepada Presiden (2009), pemberian Surat Keterangan Keluarga Korban Penghilangan Paksa dari Komnas HAM (2011), serta rekomendasi Ombudsman kepada Presiden (2013).

Keluarga korban penghilangan paksa tak berutang apa pun pada partai politik yang saat ini sedang berkontestasi melalui pemilu. Sebaliknya, partai politik yang ada hari ini memiliki utang sejarah kepada mereka yang telah jadi martir dalam perjuangan menentang otoritarianisme Orde Baru. Perjuangan kami untuk kebenaran dan keadilan melampaui politik elektoral yang menjemukan hari ini. Perjuangan kami adalah perjuangan sepanjang usia, kecuali kebenaran dan keadilan bisa kami raih lebih cepat sebelum ajal menjemput.

Satu hal yang sekarang masih kami tunggu dan perjuangkan adalah tindakan presiden yang kami anggap sebagai ultimum remedium untuk kasus ini (Djisman Samosir, 2011). Ultimum remedium adalah upaya terakhir dalam penegakan hukum manakala sanksi-sanksi lain sudah tidak berdaya. Presiden SBY kami anggap pihak yang turut bertanggung jawab atas penundaan dan pengingkaran hak dan keadilan bagi korban sehingga kasus ini menjadi kelihatan rumit dan penuh politisasi.

Karena itulah, Presiden SBY pulalah yang harus memberikan ultimum remedium untuk kasus ini dengan cara mengimplementasikan rekomendasi DPR yang meliputi:

(1) pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc;
(2) pencarian 13 orang yang masih hilang;
(3) pemberian kompensasi dan rehabilitasi kepada keluarga korban; dan
(4) ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. 

Kami sadar, waktu yang tersisa bagi SBY tidak mungkin lagi cukup untuk memenuhi semua harapan korban. Tetapi, setidaknya SBY bisa meletakkan landasan bagi ultimum remedium bagi pemerintah selanjutnya untuk menyelesaikan kasus ini, dan pada saat yang sama Presiden SBY bisa melakukan graceful exit yang akan dikenang generasi mendatang.

Mugiyanto




Saturday, May 24, 2014

DUKUNG SEKUAT-KUATNYA MANIFESTO RAKYAT MEMENANGKAN JOKOWI





Kolom Ibrahim Isa
Jum'at, 23 Mei 2014
---------------------------

 
DUKUNG SEKUAT-KUATNYA MANIFESTO RAKYAT MEMENANGKAN JOKOWI

 
*    *    *

Membaca MANIFESTO RAKYAT di bawah ini, terasa angin PEMBARUAN MENTAL di kalangan masyarakat dan rakyat SEMAKIN TUMBUH.
MARI DUKUNG MANIFESTO RAKYAT SEKUAT-KUATNYA!

*    *    *

JOKOWI mewakili hasrat besar untuk SUATU PERUBAHAN !
Amsterdam.

*    *    *


MANIFESTO RAKYAT YANG TAK BERPARTAI

Kami, rakyat yang tidak berpartai, berpendapat bahwa kepartaian di Indonesia semakin mengingkari aspirasi rakyat. Kami menyaksikan bagaimana partai-partai dipergunakan oleh sebagian elit mereka untuk mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan.

Ini adalah kelanjutan dari masa lalu, yang mendorong partai-partai bukan lagi menjadi alat perjuangan, melainkan alat untuk mengejar kepentingan pribadi.
Kami sudah hampir putus harapan.

Tetapi berangsur-angsur ada celah akan kembalinya kehidupan politik yang bersih dan mengabdi kepada rakyat. Suara kami mulai menggema dan terdengar. Kami melihat munculnya tokoh-tokoh non-partai sebagai pemimpin. Mereka adalah tokoh-tokoh yang bersih, tulus, dan bekerja dengan sungguh-sungguh. Mereka adalah orang-orang muda yang tidak tercemar oleh dosa politik masa lalu.

Mereka itulah yang mengembalikan harapan kami.

Di antara tokoh-tokoh itu adalah Jokowi.

Jokowi tampil dari bawah, dari kalangan rakyat lintas golongan. Jokowi dipilih dan dipercaya, tidak hanya satu kali. Bukan karena ia petugas partai. Ia petugas rakyat.
Karena itulah kami mendukung dan akan memilih Jokowi untuk menjadi presiden. Kami percaya, ia akan melaksanakan amanat rakyat untuk mengubah kehidupan sosial-politik ke arah yang lebih baik. Untuk Indonesia sekarang dan untuk generasi yang akan datang.

Semoga Tuhan bersama kita.

Jakarta, Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2014.
Manifesto ini sudah ditandatangani dan disiarkan oleh Faisal Basri, Marco Kusumawijaya, Butet Kartaredjasa, Ayu Utami, Olga Lidya, Goenawan Mohamad, Ong Harry Wahyu, Samuel Indratma, Santoso, dan ratusan yang lain. Kalau setuju, silakan menandatanganinya.


SUARA GENERASI BARU Tentang Perlunya PIMPINAN GENERASI BARU!

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 22 Mei 2014

-------------------------


SUARA GENERASI BARU
Tentang Perlunya PIMPINAN GENERASI BARU!


Pagi ini kubaca di FB tulisan kawan-karibku dari generasi muda BONNIE TRIAYANA. Begitu dibaca, dalam fikiran tersirat;

INI TULISAN MUTIARA. Ini Suara Generasi Baru
Yang mendambakan PERUBAHAN!

Mengapa|? Karena tulisan itu mewakili Suara Generasi Baru yang Bicara Tentang Perlunya Pimpinan Generasi Baru!

* * *

Kaliman-kalimat tulisan Bonnie tsb; Benar-benar suara yang mewakili semangat dan harapan generasi baru yang mendambakan perubahan: Baik diangkat dan disoroti bagian tulisan Bonnie Triyana, berikut ini:

Tahun ini, menurut saya, adalah pengujung masa transisi. Peralihan dari generasi lama yang tangannya berlumuran darah ke generasi muda yang lepas dari beban masa lalu. Sehingga penting menjaga masa pengujung transisi ini supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang paling bertanggungjawab dalam periode Orde Baru yang penuh kekerasan dan represi.”

* * *

Bonnie bicara tentang keharusan adanya pimpinan generasi baru yang tidak terlibat dengan masalamap gelap rezim Orde Baru, yang memulai kekuasannya dengan mencetuskan malapetaka pembantaian masal sekitar Peristiwa 1965.

* * *

Tidak ayal lagi, kutulis sebuah message ke Bonnie Triyana: Aku nyatakan kepadanya aku bermaksud menyebarluaskan tulisan mutiara tsb.

* * *

Segera saja kuterima berita dari Bonnie. Dia setuju saranku untuk menyebar-luaskan tulisannya itu. Lagipula tulisannya itu dibuat, memang dengan maksud agar dibaca orang .

Jawab Bonnie: . . . Silahkan.

* * *

Oleh BONNIE TRIYANA,
Pemimpin Majalah HISTORIA

* * *

Tahun 1998 baru 16 tahun berlalu. Tapi orang Indonesia sudah mulai lupa apa yang terjadi selama 32 tahun. Seorang kawan dengan terang-terangan (entah sambil bercanda) membalas BBM saya sambil bilang "Saya mau ke zaman Orde Baru saja". Menyedihkan. Indonesia sedang menghadapi sebuah masa yang mirip dengan apa yang pernah dihadapi di Jerman tahun 1960-an. Anak-anak muda yang sadar bertanya-tanya (dan menggugat) tentang apa yang generasi tua lakukan selama Perang Dunia Kedua. Namun di Indonesia, tak ada penjahat kemanusiaan yang berhasil diseret ke muka pengadilan sebagaimana yang terjadi dengan para penjahat kemanusiaan Nazi di Nueremberg.

Tahun ini, menurut saya, adalah pengujung masa transisi. Peralihan dari generasi lama yang tangannya berlumuran darah ke generasi muda yang lepas dari beban masa lalu. Sehingga penting menjaga masa pengujung transisi ini supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang paling bertanggungjawab dalam periode Orde Baru yang penuh kekerasan dan represi.

Rakyat butuh makan. Itu benar. Rakyat butuh sekolah murah. Itu benar. Tapi bukan berarti rakyat bisa diperlakukan seperti ternak: dibungkam mulutnya. Kalau perlu: diculik dan dibunuh.

Terus terang, saya tak ingin hidup dalam ketakutan. Pengalaman hidup saya seringkali menemukan kenyataan bahwa otak cerdas, sikap tegas, bijak dan berani tak selalu terdapat pada tubuh yang tegap, tinggi dan gagah secara fisik. Sikap-sifat itu acapkali juga terdapat pada tubuh kerempeng, tampang pas-pasan dan dipersepsikan sebagai orang Ndeso.

Sekian tausyiah dari Desa Moorende, Kecamatan Buxtehude, Kabupaten Hamburg Pakidulan. Wassalam.....

* * *


'HARI KEBANGKITAN NASIONAL' Dan “KESADARAN BERBANGSA”

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 20 Mei 2014
-----------------------------

'HARI KEBANGKITAN NASIONAL' Dan “KESADARAN BERBANGSA”

Adalah suatu tradisi yang mulya bahwa setiap tahun pada 20 Mei, kita berhenti sejenak MEMPERINGATI HARI KEBANGKITAN NASIONAl. Di saat situasi bangsa dan negeri menuntut diadakannya PERUBAHAN seperti tunttuan gerakan Reformasi dan Demokrasoi.

Di bawah ini disiarkan tulisan IBRAHIM ISA, Jum'at, 20 Mei 2010, memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Isinya amat relevan, yaitu ; MASALAH KESADARAN BERBANGSA.

Lalu ada sebuah tulisan Maria Hartininsih . . Isinya menarik dan mengharukan: Hari-hari sekitar digulingkannya Presiden Sukarno oleh Jendral Suharto. Kata-kata Bung Karno yang dikutip dalam tulisan Maria Hartiningsih, merupakan pesan dan ajaran penting sehubungan dengan \KESADARAN BRERBANGSA.

* * *

Memperingati “Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908”, dilakukan bangsa
kita dengan pelbagai cara. Seyogianya dengan tujuan utama MENINGKATKAN KESADARAN BERBANGSA. Karena, untuk meneruskan perjuangan demi kebenaran dan keadilan, demi kemulyaan dan kejayaan bangsa dan negeri Indonesia, yang dalam tahun-tahun belakangan ini menghadapi tantangan yang semakin gawat, -- amat diperlukan pengetahuan dan pengenalan tentang sejarah dan identitas bangsa sendiri . Hanya dengan landasan itu baru mungkin bisa ditegakkan keyakinan serta optimisme tak tergoyahkan, yang amat diperlukan dalam perjuangan yang panjang ini.

Dengan membalik-balik kembali banyak catatan dan lebih banyak lagi buku
mengenai sejarah bangsa ini, bisa diperoleh kejelasan bagaimana para
pendahulu kita, berjuang membangun, menegakkan serta memperkokoh “NATION BUILDING” dan “Character Building”.

Dalam periode pasca 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa dilanjutkan demi
menegakkan dan membela kedaulatan serta keutuhan wilayah negara Republik
Indonesia --- dari Sabang sampai Merauké. Berjuang untuk merealisasi
cita-cita dan tekad bangsa seperti yang tercantum dalam pidato Bung
Karno, “LAHIRNYA PANCASILA, 1 Juni 1945”. Visi dan falsafah berbangsa
itu semua telah dituangkan secara padat serta dipatrikan dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dalam pada itu berbagai kegiatan
dan usaha keras terus dilakukan untuk menarik pelajaran dari pengalaman
perjuangan selama ini.

/* * *

Cara memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, seperti tsb
diatas, sudah banyak dilakukan. Khususnya oleh generasi muda, para
mahasiswa, cendekiawan dan para aktivis pelbagai organisasi massa dan
LSM, media dll. Yang peduli nasib dan haridepan bangsa dan tanah air.
Yang punya cita-cita mulya berjuang demi merealisasi tuntutan gerakan
Reformasi. Suatu gerakan masa yang historis. Yang berhasil menggoyahkan
serta menggulingkan rezim otoriter dan opresif Orde Baru, – – – Tetapi
masih tersendat-sendat dalam memberlakukan secara konsisten tuntutn
agenda Reformasi, teristimewa yang bersangkutan dengan pelaksanaan 'rule
of law' dan HAM. Halmana menunjukkan masih besarnya pengaruh dan
kekuatan riil Orde Baru yang formalnya sudah ditumbangkan sejak Gerakan
Reformasi dan Demokratisasi Mei 1998./

* * *

Memperingati Hari Kebangkitan Nasional, kali ini, dimaksudkan menarik
perhatian pembaca pada hal yang mungkin dilupakan. Tampaknya hal yang
sudah seharusnya difahami dan dikhayati bersama. Yaitu mengenai peranan
serta perjuangan pejuang-pejuang pendahulu dalam MEMBANGKITKAN bangsa dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Lebih kongkrit lagi dalam
MEMBANGUN BANGSA. Agar dari keteladan beliau-beliau itu dikhayati
bersama manfaatnya.

Benar! Sukarno-Hatta telah resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Ajaran-ajaran Bung Karno oleh pelbagai lembaga pendidfikan dan studi dan
bahkan parpol, – dinyatakan sebagai ide-pembimbing kegiatan dan
perjuangan. Namun dalam kehidupan politik serta tindakan sehari-hari,
terkesan bahwa pernyataan-pernyataan serupa itu, tinggal di atas kertas
saja. Ajaran Bung Karno mengenai 'nation building' dan 'character building' boleh dikatakan hampir terlupakan samasekali.

Setelah berhasil menggeser Presiden Sukarno dari kedudukannya sebagai
kepala negara dan kepala pemerintah RI, -- Jendral Suharto menjadi
presiden RI melalui proses 'kudeta merangkak' <çreeping coup d'etat>.
Rezim Orba yang dikepalainya mempergencar kampanye 'de-Sukarnosasi'.
Lebih dari tigapuluh tahun lamanya rezim Orba terus menerus melakukan
segala sesuatu untuk menghapuskan dari catatan sejarah bangsa, nama dan
peranan Bung Karno dalam proses perjuangan bangsa Indonesia melawan
kolonialisme Belanda yang beliau lakukan sambil bersamaan dengan itu
membangun dasar ideologi dan politik bagi suatu NATION BUILDING.
Pembangunan Bangsa Indonesia.

* * *

Untuk menyegarkan fikiran dan semangat, serta mengokohkan KESADARAN
BERBANGSA, MENGKHAYATI IDENTITAS BANGSA, MENGKHAYATI PANJACASILA, PRINSIP BERBANGSA BHINNEKA TUNGGAL IKKA, kini sudah waktunya suatu gerakan belajar kembali AJARAN -AJARAN BUNG KARNO. Dewasa ini lebih dari cukup buku dan tulisan mengenai ajaran Bung KARNO. Teristimewa yang telah tersusun dengan baik dalam karya klasik Bung Karno: “Dibawah Bendera Revolusi” , Jilid I dan II. Serta pidato-pidato beliau. Khususnya setelah terjadinya Peristiwa G30S, yang dibukukan dalam dua jilid, “REVOLUS BELUM SELESAI”. Juga tak boleh kurang buku klasik dan otentik riwayat hidup Bung Karno, “AN AUTOBIOGRAPHY, As Told to Cindy Adam, 1965”.

* * *

Disamping itu, kiranya menarik, untuk membaca bahan ilustrasi mengeni
pribadi Bung Karno. Betapa beliau berusaha mencegah terjadinya 'perang
saudara' , dan kareanya tidak melakukan perlawanan frontal terhadap
'kudeta merangkak' Jendral Suharto. Serta betapa kekuasaan militer
Jendral Suharto ketika itu dengan sewenang-wenang memperlakukan pejuang dan Bapak Nasion Bung Karno. Bunng Karno diperlakukan lebih dari seorang kriminil.

Disajikan di bawah ini sebuah artikel berjudul SEPOTONG SEJARAH. Artikel
tsb disiarkan oleh Maria Hartiningsih, Sbb:

SEPOTONG SEJARAH PUTU SUGIANITRI
Oleh Maria Hartininsih
,

* * *

Apakah bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar?

Putu Sugianitri terdiam sejenak sebelum mengatakan, bangsa yang besar
adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya.
Putu Sugianitri (60), yang saat ini lebih dikenal sebagai pembudidaya
jeruk bali, adalah ajudan terakhir Bung Karno. Ia baru bertugas sekitar
setahun ketika situasi politik di dalam negeri sangat kritis.

Nitri, panggilannya, dilantik sebagai polisi wanita (polwan) pada pagi
30 September 1965 di Sukabumi, setelah mengikuti pendidikan bintara setahun.

"Ada 31 siswa bintara waktu itu, lima dari Bali,"/ungkap Nitri, suatu
siang ketika kami berbincang di bale bengong bambu di halaman rumahnya,
di kawasan Renon, Denpasar, Bali.

Mungkin ia termasuk siswa paling muda kalau menilik usia sebenarnya. Ia
mengaku "mencuri umur". Syarat usia menjadi siswa bintara 18 tahun,
dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Nitri saat itu
baru selesai SMP. Pada acara ramah tamah malam hari setelah pelantikan, sedianya Kepala Polri datang, tetapi tak jadi karena ada sesuatu yang penting di Jakarta.

"Saya sudah pakai kostum tari," tutur Nitri.
Di antara siswa-siswa seangkatan, ia dikenal sebagai penari Bali yang andal.
"Tiba-tiba lampu mati. Acara batal. Saya tidak jadi menari. Kami kembali
ke asrama."

Beberapa hari setelah itu, seorang polisi dari Detasemen Kawal Pribadi
Presiden, dikomandani Ajun Komisaris Besar Mangil, menggantikan
Tjakrabirawa, menjemputnya ke Jakarta untuk bergabung dengan enam polwan
lain di Istana Negara.

Di istana juga ada ajudan lain, masing-masing dua dari Korps Wanita
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Semuanya berseragam.
Nitri satu-satunya ajudan yang tak berseragam karena tugasnya lebih
untuk mendampingi Bung Karno di istana, menyiapkan makanan, minuman,
serta obat.Pekerjaan Nitri dimulai pada pukul enam pagi untuk mencari kue-kue jajan pasar kesukaan Bung Karno.

"Beliau paling suka lemper ayam yang daging ayamnya diopor, disuwir-suwir, dan lempernya digulung dengan daun pisang hijau pupus. Juga hunkue tak berwarna yang di dalamnya ada pisang kepok,"/tutur Nitri.

"Beliau suka sekali sayur lodeh bari, ini sayur lodeh yang sudah tiga hari."

Bung Karno, kata Nitri, mengenal kedisiplinan sekaligus watak keras Nitri.
Ia berani bertanya, bahkan membantah Bung Karno kalau perlu.
Tetapi, ia juga sangat setia.

Dia adalah satu dari sedikit orang yang menjadi saksi saat-saat terakhir
Bung Karno sebagai presiden dan bagaimana kemudian keluarganya diperlakukan.

Berhenti.
Pengumuman Bung Karno diberhentikan sebagai presiden terjadi ketika Bung
Karno berada di Bogor. "Beliau berada di Istana Bogor, Jumat, naik helikopter. Begitu ada pengumuman, Bung Karno kembali ke Jakarta, dengan
baju biasa, naik VW Combi.”Sukma (Sukmawati Soekarno) waktu itu tanya/,

Kok baju Bapak enggak dipakai.’
Bung Karno menjawab, ’/Kan, sudah ada pengumuman Bapak bukan presiden
lagi,’" Nitri mengucapkan kalimat itu dengan suara tercekat.

Bung Karno dan para ajudan sempat melihat-lihat situasi Jakarta dengan
kendaraan itu. Ia berpakaian biasa, tanpa peci. Waktu itu sedang musim
rambutan. Bung Karno ingin makan rambutan rapiah kesukaannya.

"Beliau bilang dalam bahasa Bali, ’/Tri, sing ngelah pis, saya tak punya
uang.’" ,. "Saya turun, membeli rambutan, lalu bilang ke pedagangnya, ’Tolong
kasih ke orangtua di mobil itu.’ /

Bung Karno bertanya, ’Manis enggak?’ Suara khas itu membuat si pedagang
tahu siapa yang ia hadapi."
Sebelum diusir dari istana, setiap pagi Bung Karno membaca semua koran
yang terbit, yang semua mendiskreditkan namanya.

"Saya tanya, kok Bapak diam saja. Beliau menjawab, ’
Saya tidak mau terjadi perang saudara karena pro dan kontra.’
Beliau juga tidak sudi meminta suaka seperti dilakukan Pangeran Norodom
Sihanouk dari Kamboja.
Kata beliau, ’Saya lebih baik mati di sini, tetapi Indonesia selamat
dari perang saudara.’"/
Dalam suasana politik yang panas itu, berbagai gosip juga menerpanya
terkait dengan Bung Karno.
"Saya marah sekali. Tapi, bisa apa saya?"suaranya meninggi.

Nitri berhenti menjadi ajudan setelah Bung Karno dipindahkan ke Wisma
Yaso, diasingkan dari teman-teman, kerabat, dan keluarga.
Ia sempat diminta menjadi ajudan keluarga penguasa yang baru, tetapi
ditolaknya.

"Semua orang waktu itu melihat kami dengan pandangan jijik. Untuk apa
saya bekerja di situ?"
Protes atas perlakuan terhadap Bung Karno dan keluarganya, ia lakukan
dengan menyatakan berhenti sebagai polwan.
"Kalau Bung Karno, Bapak Bangsa dan Proklamator saja bisa diperlakukan
seperti itu, apalagi orang seperti saya?"

Setelah itu Nitri sempat tinggal di rumah Ibu Fatmawati dan menyaksikan
dari dekat kesulitan-kesulitan yang dihadapi keluarga Bung Karno.
Ia sempat bertemu lagi dengan Bung Karno, ketika mantan presiden itu
mendapat izin menghadiri upacara perkawinan Guntur dengan dikawal ketat.

"Mukanya bengkak, topinya menceng-menceng dan sudah banyak lupa,"ungkap
Nitri mengenang.Kepada Bung Karno, ia sempat meminta nama untuk anak sulungnya.

/"Nama itu ditulis di secarik kertas kecil, disembunyikan Mbak Mega di
bawah alas sepatu. Pemeriksaan waktu itu sangat ketat, meski yang datang
menengok anggota keluarga dekat. Bung Karno memberi nama anak saya,
Fajar Rohita. Sekarang usianya 39 tahun."/

Melanjutkan Hidup

Meski situasi sudah jauh lebih baik, bahkan Megawati pernah menjadi
Presiden RI, menurut Nitri, ada bagian sejarah yang tak bisa diubah dan
harus diingat, agar bangsa ini belajar dari apa yang dilakukan terhadap
orang yang berjasa melahirkan negeri ini.

"Sampai saat ini masih *sulit * buat saya menerima *perlakuan terhadap
Bung Karno pada hari-hari terakhir beliau," ujarnya.

Nitri menjalani kehidupan berkeluarga yang penuh dinamika. Sempat
tinggal di Bandung, Nitri kembali ke Bali. Ia melukis, menjadi eksportir
kerajinan Bali dan menari. Sebagian lukisannya yang beraliran surealis
tergantung di dinding rumahnya yang sederhana.
Beberapa tahun terakhir ini, ketika enam dari tujuh anaknya sudah
mandiri, Nitri mengembangkan tanaman langka Bali di lahan yang ia
kontrak selama 30 tahun.

"Mulanya saya hanya ingin makan buah-buahan asli Bali yang biasa saya
makan waktu masih kecil. Selain jeruk bali besar merah, juga mangga
amplemsari, itu mangga asli Bali yang sudah langka," ujarnya.
Setiap hari ia bangun pukul empat pagi, lalu ke pasar, belanja untuk
warung makan kecil yang dijalankan pembantunya. Setelah itu, seharian ia
berada di kebun.

Nitri menjalani hidupnya seperti orang kebanyakan, tetapi dengan
kesadaranbahwa _dari setiap langkah yang terayun, ada ingatan yang
tertinggal_. _Itulah jejak sejarah.Sumber: KCM, Sabtu, 18 Agustus 2007._

* * *





Sebuah Analisis Sekitar Capres JOKOWI Dng Pasangan Jusuf KALLA (JK)

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 19 Mei 2014
-----------------------------

Sebuah Analisis Sekitar Capres JOKOWI
Dng Pasangan Jusuf KALLA (JK)

* * *
Hari ini kita baca berita "breaking news" sekitar dipilihnya Jusuf KALLA, sebagai pendamping capres JOKOWI.

“Antara News” memberitakan a.l. sbb:
“Muhammad Jusuf Kalla resmi menjadi calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampingi calon presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pemilihan Presiden 2014.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Hanura mendeklarasikan penetapan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan calon wakil presiden . . .
Memberikan penjelasannya Jokowi a.l. mengatakan:


"Setelah melalui perenungan-perenungan dan setelah melalui konsultasi dan pertimbangan-pertimbangan dengan seluruh ketua partai pendukung PDIP; Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura dan khususnya juga pertimbangan dari Ibu Megawati Soekarnoputri tadi malam telah kita putuskan cawapres yang akan mendampingi saya adalah Bapak Drs Muhammad Jusuf Kalla,"

* * *

Dengan demikian, yang tampil sebagai kontestan dalam pelpres 2014, ada dua pasangan:
 

Pertama, --- pasangan Joko Widodo - Muhamad Jusuf Kalla;
Kedua, --- pasangan Prabowo - Hatta Rajasa.

Melihat latar belakang popularitas dikalangan massa pemilih dan parpol lainnya (Jokowi yang populer dengan langgam blusukannya, dan yang penting seruannya untuk dilancarkannya suatu "Revolusi Mental" yang bervisi dan misi "Trisakti", serta pernyataannya bahwa mentor politiknya adalah Bung Karno, Megawati; lalu, dengan pencalonan yang ditopang oleh parpol Nasdem dan PKB), . . . . kemudian dukungan parpol lainnya (Jusuf Kala yang didukung oleh sebagian dari Golkar dan parpol Hanura-nya Wiranto) ---
 

Maka menurut perhitungan wajar atas realita iklim politik Indonesia dewasa ini, yang sudah mendambakan SUATU PERUBAHAN . ke arah PERBAIKAN NASIB RAKYAT dan digalakkannya gerakan “Reformasi dan Demokrasi, bolehlah diperhitungkan bahwa duet JOKOWI - J. KALLA, adalah pasangan yang paling berpeluang untuk menang.
Dikatakan orang, tokoh-tokoh saingan mereka (Prabowo dan Hatta Rajasa) tidak punya latar belakang politik yang solid. Lebih-lebih Prabowo mengidap cacad fatal, pelanggaran HAM dalam kasus Timor Timur, penculikan dan hilangnya aktivis-aktivis politik Reformasi dan Demokratisasi; serta keterlibatan dan tanggungawab Prabowo dalam kerushan, kekerasan dan korban-korban yang jatuh pada Peristiwa Mei 1998.
* * *
Apakah perkembangan ini, yaitu dipilihnya JK sebagai pendamping Jokowi, merupakan, apa yang dinamakan "keharusan poitik" atau "politik keharusan? Ataukah dipilihnya JK sebagai pendamping Jokowi, semata-mata suatu perhitungan-dingan atas realita imbangan kekuatan politik Indonesia dewasa ini? Bisakah dikatakan pilihan atas JK sbg pendamping Jokowi, merupakan suatu pilihan “the best of the worst” (yang paling baik dari yang jelek) atau “the least worst among the bad” ( yang paling kurang jelek dari yang buruk? Hanyalah perkembangan selanjutnya yang akan menjelaskannya.
Tidak sedikit yang menyimpulkan bahwa pilihan itu adalah suatu pilihan yang paling mungkin, bila Jokowi hendak mencapai kemenangan.
* * *
Setelah menyerukan untuk dimulainya suatu REVOLUSI MENTAL untuk menegakkan TRISAKTI, yaitu – Berdaulat di bidang politik, Berdikari di bidang ekonomi dan Berkeperibadian di bidang kebudayaan, -- Jokowi menegaskan bahwa PELANGGARAN HAM HARUS DIBUKA, --- HARUS DISELESAIKAN.
Komitmen Jokowi hari ini kepada para pemilih:
“INSYAALLAH KAMI BERDUA AKAN MEMBAWA GERAKAN PERUBAHAN DI NEGARA YANG KITA CINTAI INI”
 

* * *
 

Bisa diasumsikan bahwa tidak mudah Presiden Jokowi, bila ia berhasil mencapai kemenangan, bisa dengan mulus merealisasi janji-janji dan kommitmennya, dengan J. Kalla sebagai wakil presiden.

Berhasil atau tidak Jokowi memenuhi janji dan komitmen politiknya kepada pemilih ----- Hal itu akan tegantung pada dua hal penting:

Pertama -- Apakah Jokowi dan PDI-P akan konsisten hendak melaksdanakan janji-janjinya, teristimewa mengenai dimulai dilaksanakannya suatu perubahan,
 

Kedua, apakah PDI-P dan Jokowi akan berhasil melawan arus sakal yang menentang dan menggembosi kebijakan politik dan ekonominya.
Hal mana berarti teristimewa mulai dilaksanakannya janji merealisasi tujuan TRISAKTI dan PENYELESAIAN MASALAH PELANGGARAN HAM di masa lampau.

* * *

HI, HERA . . . ENGGAK DISANGKA-SANGKA . . . SURPRISE . . . . SURPRISE . . . . !!


Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 16 Mei 2014
------------------------------


HI, HERA . . .
ENGGAK DISANGKA-SANGKA . . .
SURPRISE . . . . SURPRISE . . . . !!


 *     *     *

TAHU-TAHUNYA . .. . DI KELUARGA  BESAR KITA . . .

ADA YANG PATRIOTIK DAN POETIS . . .

SUATU KEBANGGAAN

* * *

BRAVO, BRAVO, BRAVO !!!

*    *    *

Amsterdam, 16 Mei 2014.

Oleh: --HERAWATI ERRY BUDIONO

Kita butuh 'lokomotif' yg kuat
serta 'masinis' yg mumpuni
yg mampu menarik gerbong anak bangsa
yg berbeda ras, suku, agama yg diakui
menuju negeri "gemah ripah loh jinawi"....

Kita butuh Pemimpin yg berani
Menjaga setiap jengkal wilayah NKRI
serta menghargai nyawa tiap WNI
terhadap ancaman musuh dari dalam
dan luar negeri

Kita butuh Pemimpin
Yg mampu menjamin.... rasa aman,
memenuhi kebutuhan sandang, pangan....
kesehatan serta pendidikan

Kita ingin jadi bangsa yg punya harga diri
Bangsa yg bangga akan Pemimpin2nya
Bangsa yg tegak berdiri n tidak rendah diri
diantara bangsa2 di muka bumi

*    *    *

YANG BENER AJA DONG . . . . !! PRABOWO-HATTA RAJASA = SUKARNO - HATTA??



Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 15 Mei 2014
---------------------------

YANG BENER AJA DONG . . . . !!
PRABOWO-HATTA RAJASA = SUKARNO - HATTA??


* * *

Alkisah, . . . . . . . terpampang di media foto besar Prabowo Subianto bergandengan tangan dengan Hatta Rajasa.Yang satu pemimpin parpol Gerindra; yang satunya lagi adalah Ketua Umum parpol PAN.

Prabowo tersenyun . . ., Hatta Rajasa . . tertawa lebar. Diberitakan, bahwa,
Hasil Rakernas PAN menyatakan PAN secara aklamasi mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai Presiden pada Pilpres Juli mendatang.

Lalu ada komentar dari Amien Rais, mantan Ketua Umum PAN:

"Sementara itu, teman dari DPW Jawa Barat bilang ke saya, Prabowo-Hatta enggak usah disingkat karena mengingatkan pada Soekarno-Hatta,

* * *

Mantan Ketua Umum PAN itu mengatakan, keputusan koalisi partainya dengan Partai Gerindra didasarkan pada platform politik yang sama. Dia yakin bahwa duet Prabowo-Hatta akan menjadi duet yang ideal untuk memimpin bangsa.

"Insya Allah Prabowo-Hatta menjadi duet maut, eh kalau maut berarti mati, duet hidup," ucap tokoh reformasi tersebut. . . . . . . . Ini Amien Rais keseléo lidahnya. . . atau memang guyonan politik saja . . .(???)

* * *

Di periode Reformasi dan Demokrasi boleh-boleh saja menarik garis persamaan antara siapa dengan siapa, antara si anu dan si polan.

Tapi menarik garis persamaan, membandingkan dua tokoh politik seperti Prabowo dan Hatta Rajasa, . . . . . dengan tokoh Proklamasi Kemerdekaan Indonesia SUKARNO-HATTA, . . .. adalah sungguh tidak tahu diri . . . !!!

Melihat foto gandengan tangan, koalisi Gerindra-PAN, Prabowo-Hatta Rajasa, akankah fikiran pemilih Indonesia menjadi teringat pada. . . . . . . . . . . . . .SUKARNO-HATTA? . . . . YANG BENER AJA DONG . . . !!!

Bukankah asumsi Amien Rais itu menunjukkan pandangan dan sikapnya yang memandang rendah daya ingat dan kemampuan berfikir rakyat kita??


* * *

Menyaksikan pentasan adegan politik koalisi Gerindra – PAN . . .. Tak disadari . .. seakan otomatis saja, . . . kita teringat pada pernyataan Goenawan Mohamad beberapa hari ini . . . ketika ia keluar dari parpol PAN.

Telusuri pernyataannya:

PERNYATAAN KELUAR DARI PAN.

Goenawan Mohamad.

Ketika saya, bersama teman-teman secita-cita, mendirikan PAN di awal Reformasi, saya berharap ikut menyumbang perbaikan semangat dan mutu kepartaian Indonesia, yang sudah dirusak oleh Orde Baru. PAN adalah kelanjutan gerakan pro-demokrasi yang melawan kekuasaan otoriter Jend. Suharto.

Semenjak Suharto jatuh, kami ingin membangun sebuah partai yang punya platform politik yang jelas untuk diperjuangkan -- ke arah demokrasi yang lebih luas, kebhinekaan yang lebih hidup, dan kesejahteraan yang lebih merata.

Dalam sejarahnya, PAN pernah berusaha ke arah itu. Tetapi makin lama ia makin tak memandang politik sebagai perjuangan. Makin lama politiknya hanya hasrat mengukuhkan posisi dalam struktur yang ada dan untuk memperoleh jabatan yang empuk bagi elitenya. Hal ini memang jadi takbiat partai-partai lain di Indonesia sekarang, tetapi seharusnya PAN mencoba memperbaiki keadaan itu. Tetapi tidak. (huruf tebal dari I.I.)

Akhirnya, dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden 2014, PAN makin terseret ke dalam oportunisme. Yang diupayakannya hanyalah agar Ketua Umum dapat jabatan Wakil Presiden. Untuk itu ia bersedia mendukung kekuatan yang di masa Orde Baru ingin memadamkan gerakan pro-demokrasi, antara lain dengan kekerasan. (Huruf tebal oleh I.I)

Selama ini, meskipun dengan kekecewaan, saya tetap menjadi anggota PAN dan membayar secara teratur iuran keanggotaan. Tetapi kali ini saya tidak punya harapan lagi. Saya menyatakan berhenti dari keanggotaan partai.

* * *

Orang tidak salah berfikir, menyimpulkan bahwa berkoalisinya PAN dengan Gerindra, Hatta Rajasa dengan Probowo . . .

Itulah yang menjadi "gong" . . yang menentukan akhirnya Goenawan Mohamad keluar dari PAN yang ia ikut dirikan itu . .

* * *