Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 11 Mei 2014
-------------------------------
MENYAMBUT SERUAN
JOKOWI . . . . .
UNTUK SUATU
“REVOLUSI MENTAL”
(1)
Hari
ini
aku menerima kiriman dari seorang kawan-lama di Jakarta. Sebuah
naskah penting . . TERAMAT PENTING!. Naskah itu adalah tulisan
JOKOWI, berjudul:
"REVOLUSI MENTAL”
Jokowi
menyerukan
secara nasional dilancarkasnnya REVOLUSI MENTAL .
Bila
dilengkapi
dengan membaca buku “JOKOWI” – Memimpin Kota Menyentuh Jakarta”
– yang diberikan sticker pada halaman sampul, OFFICIAL MEMOAR
BOOK, Sebuah Memoar tentang Nilai Hidupo dan Kepemimpinan, maka,
Pembaca, orang
biasa, rakyat, pemilih Indonesia akan memperoleh 'gambaran'
yg agak rinci dan otentik tentang SIAPA JOKOWI. Tokoh
politik baru yang oleh PDI-P dicalonkan sebagai Presiden RI,
untuk pemilihan presiden RI, 2014.
Melalui buku JOKOWI tsb diatas.
Pembaca bisa mengenal sedikit-banyak siapa Jokowi. Apa dan
bagaimana pengalamannya di bidang usaha, politik dan dalam
memimpun kota Solo. Serta hampir dua tahun terlibat memimpin
DKI Jakarta. Pembaca akan lebih lanjut mengenal kepribadiannya
yang lugas, lugu dan transparan. Mengenal bagaimana hubungan
dan kehidupan keluarganya. Juga bisa megenal langgam
kepemimpinannya yang sepenuhnya diabdikan kepada kepentingan
rakyat yang dipimpinnya. Bagaimana Jokowi mentrpkan langgam
memimpin atas dasar musyawarah dan mufakat dengan rakyat yang
dipimpinannya.
Dalam pada itu Metro TV kemarin
memberitakan bahwa “Artikel Visi dan Misi Jokowi akan terbit
akhir Mei.
* * *
Bagi pemilih Indonesia, -- agar
bisa dengan mantap menentukan sikapnya mengeni seseorang calon
presiden, dimilikinya suatu profil (politik dan pribadi) atau
gambaran yang agak menyeluruh mengenai calon yang
bersangkutan, adalah penting sekali. Sejak periode Reformasi
dan Demokratisasi, pemilih Indonesia bertambah kritis dalam
menentukan sikapnya. Contoh ini bisa dilihat dalam pemilihan
Gubernur dan Wagub DKI Jakarta yang lalu.
Meskipun saingan mereka unggul di
bidang 'pengalaman', cukup finansnya serta tidak sedikit
menggunakan isu SARA dalam kampanyenya, namun, -- Jokowi dan
Ahok unggul dan menang. Pemilih Jakarta telah menentukan
sikapnya yang bebas dari isu Sara dan giuran materiel.
* * *
Sekarang akan dimasuki pola visi
yang dituangkan Jokowi dalam tulisannya 'Revolusi
Mental'.
Secara prinsipil Jokowi
mengemukakan bahwa:
“. . .
. . melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya
menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma
baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau
pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan
pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali
Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta”
Maka baiklah dibaca dengan tenang
dan teliti apa yang dimaksudkan Jokowi dengan “pandangan yang
menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma
baru untuk bersama mengatasinyta'.
* * *
Disini ingin diangkat pemikiran
dasar yang dikemukakan Jokowi dalam tulisannya itu sbb:
“ Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia
sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998
baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya
institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset,
atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan
bangsa (nation building). Agar perubahan
benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai
dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka,
adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi
mental.”
* * *
Jokowi memfokuskan pada
masalah berikut ini:
“Sudah saatnya Indonesia melakukan
tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses
reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan
mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma,
budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang
lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara,
bersahaja, dan berkesinambungan.
* * *
Jokowi sangat tegas dan eksplisit mengenai
tujuan apa yang hendak dicapainya dan cara apa yang
digunakan demi kemajuan dan perkembangan bangsa.
Ditekankannya, sbb:
“Penggunaan
istilah
”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia
memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk
memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik
yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh
kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang.
Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia
tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini
tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta
komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya
setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh
masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi
mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah
diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga
pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”,
”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang
berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita
banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh
nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep
Trisakti Bung Karno ini. “ Demikian Jokowi.
* * *
Dibawah ini dimuat seutuhnya
tulisan Jokowi “REVOLUSI MENTAL”.
Oleh: Joko Widodo*
INDONESIA saat ini menghadapi suatu
paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin
nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi,
kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya
tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang
semakin galau?
Dipimpin
bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai
dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia
telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan
politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang
didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui
proses yang demokratis.
Ekonomi semakin
berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank
Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk
10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah
SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang
politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta
hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya
melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui
pemilu yang demokratis.
Namun, di sisi
lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat
seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di
jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik
lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa
ini?
Pemimpin nasional
dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena
bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak.
Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model
keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik
serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi
masyarakatnya.
Izinkan saya melalui tulisan singkat ini
menyampaikan pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa
ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama
mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan.
Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan
pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta
maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan
dalam pandangan ini mohon dimaklumi.
Sebatas kelembagaan
Reformasi
yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim
Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan
perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum
menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita
dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).
Agar perubahan benar-benar bermakna dan
berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi
Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu
melakukan revolusi mental.
Nation building
tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan
institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau
sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun
kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh
manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa
kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh
di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah
membawa bencana besar nasional.
Kita melakukan
amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi
independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah.
Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang
nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu
secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya
ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang
demokratis dan akuntabel.
Namun, di saat
yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur
dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung
sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap
perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang
sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam
memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya
bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya
lebih reformis.
Korupsi menjadi
faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan
ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima
suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus
ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas
dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor,
praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala
semakin luas.
Demikian juga
sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang
dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi
yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan
sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan
segala cara, termasuk pelanggaran hukum.
Jelas reformasi,
yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan
cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa
seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila
kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik
korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara
instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua
keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran
bangsa.
Perlu revolusi mental
Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita
cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme
yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai,
budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia
melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan
proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan
mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma,
budaya politik, dan pendekatan nation building baru
yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara,
bersahaja, dan berkesinambungan.
Penggunaan
istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia
memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk
memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang
buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang
sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental
beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan
pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan
dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri
seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan
pengorbanan oleh masyarakat.
Dalam
melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep
Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya
tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat
secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”,
dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.
Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi
dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan
kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan rakyat
sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah
ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang
terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar
bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan
kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang
akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan
intimidasi.
Semaraknya
politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi
kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai
wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut
pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan
rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan
pengambil keputusan.
Kita juga
memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang
benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan
mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga
dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa
pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara
yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka
penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan
terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang
ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari
ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan
dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan
makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan
ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar
telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal
asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan
multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16
tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita
mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran
impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite
politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan
pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi
terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan
kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia
secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki
sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan
ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat
ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan
program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua
sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan
ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga perlu
meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya
mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena
ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor
ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak
lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti adalah
membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat
ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus
globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi
selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan
bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai
dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Sistem pendidikan
harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa
Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi
nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke
pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram,
terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita
membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Dari
mana kita mulai
Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia
perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya
adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya
dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan
lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal
serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi
lingkungan kota dan lingkungan negara.
Revolusi mental
harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama
untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang
benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani
mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu
Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib
suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada
diri mereka.
Saya sudah
memulai gerakan ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak
2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang
sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya
masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang
semakin meluas sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah
gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno,
memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia
baru saja dimulai.
*JOKO WI Calon
presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
No comments:
Post a Comment