Selasa,
27 Mei 2014
----------------------------
Kutipan KOMENTAR Dr.
FRANZ-MAGNIS SUSENO S.J. Tentang MANIFESTO GERINDRA.
----------------------------
SEKITAR Catatan: Dr.
Nono Anwar Makarim
"FASISME DI INDONESIA INGIN KEMURNIAN AGAMA DAN JUGA UUD 45”
Dan Komentar Prof Dr
Magnis Suseno SJ. Terhadap Visi Prabowo menyangkut Toleransi
Agama
* * *
Artikel
Nono
Anwar Makarim, di bawah ini (diusung oleh Goenawan Mohammad),
punya arti relevan dan nilai praktis di saat masyarakat kita ,
disajikan visi dan misi oleh para calpres 2014, menjelang
pilpres 9
Juli 2014. Seperti yang diajukan oleh Jokowi dan PDI-P
(Trisakti),
dan yang diajukan oleh Prabowo dan Gerindra (Manifesto
Gerindra).
Artikel
Makarim
mengangkat masalah (bahaya) FASISME di Indonesia, kaitannya
dengan usaha 'pemurnian' konsep ketatanegaraan maupun keyakinan
agama.
Maka
artikel Makarim tsb patut dibaca dan dipertimbangkan.
* * *
Begitu
juga patut dibaca dan dipertimbangkan komentar Prof. De
Franz-Magnis
Suseno SJ. Ia menyoroti bahaya yang bisa timbul dari visi
Prabowo/Gerindra menyangkut kebebasan dan toleransi bagi dan di
kalangan penganut agama. Tulis Magnis a.l , :
"Negara
dituntut utk menjamin kemurnian ajaran agama yg diakui oleh
negara
dari segala bentuk penistaan & penyelewengan dari ajaran
agama."
.
. . . Itu berarti bahwa bagi Prabowo suatu pemerintah akan
merasa
berhak menindas semua agama & kepercayaan di luar enam agama
yg
diakui dalam UU Penodaan Agama, misalnya Achmadiyah, Syia, Saksi
Yehowa, Mormon, Bahai, Taman Eden & sekian tarekat Islami.
Demikian Magnis Suseno.
*
* *
Maksud
penyajian
dua pendapat tsb, ialah, agar masyarakat memanfaatkan
periode menjelang pilpres 9 Juli 2014, demi menggalakkan
pendidikan
politik dan ideologi bagi masyarakat. Banyak berfikir dan
mempertimbangkan, Dengan kritis berusaha menganalisis pelbagai
visi
dan misi menyangkut kelangsungan hidup bangsa dan negeri ini.
*
* *
Goenawan
Mohamad
FASISME
DI
INDONESIA INGIN KEMURNIAN AGAMA DAN JUGA UUD 45 -- Oleh Nono
A.
Makarim (menyambut komentar Franz-Magnis Suseno)
Gerakan
pemurnian
agama atau moralitas di sepanjang sejarah selalu berbuntut
persekusi terhadap yang menyimpang atau menyeleweng. Di
Indonesia
kita sedang menyaksikan drama ini hampir setiap hari di Jawa
Barat,
di Madura, di Jawa Timur dan Sulawesi. Yang menganggap dirinya
“murni”, melihat sesuatu yang berbeda sebagai “polusi” atas
kemurniannya. Yang beda dianggap ancaman, dan yang mengancam
dinyatakan sah untuk dibasmi demi dipertahankannya kemurnian
itu. Dan
terjadilah pengusiran, pengenyahan, dan pemburuan terhadap yang
menyimpang.
Pembasmian
akan
berlangsung lebih bengis, kejam, dan lewat batas kemanusiaan
bila didukung oleh keyakinan bahwa perbuatannya tidak hanya
dihalalkan, bahkan berpahala.
Susahnya
adalah
bahwa tidak ada suatu ide di dunia yang menguasai hampir
seluruh aspek kehidupan manusia yang lambat laun tidak mengalami
sempalan yang memenuhi kebutuhan khusus sebagian masyarakat yang
tidak dipenuhi oleh ide induknya. Aliran, sekte, dan pemikiran
baru
selalu muncul. Yang yakin akan kemurniannya selalu merasa
terancam,
dan yang dianggap menyeleweng akan selalu dikejar, dan dihabisi.
Apalagi jika dijanjikan oleh suatu Manifesto yang begitu
didambakan
oleh banyak orang.
Gerindra
tidak
hanya berjanji berjuang untuk pemurnian agama. Partai Gerakan
Indonesia Raya juga menggandrungi UUD 45 yang murni. Kita
mengerti
bahwa kalau orang takut akan apa yang akan terjadi di hari
depannya,
dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya di masa
kini,
ia akan bernostalgi ke masa lalu.
Nostalgia
akan
UUD yang secara gemilang digunakan oleh Pemimpin Besar Revolusi
Bung Karno untuk melaksanakan demokrasi dan ekonomi terpimpinnya
dan
secara keras dipakai oleh Jenderal Besar Suharto dalam tangan
besi
Demokrasi Pancasilanya adalah UUD 45 yang "murni", sebelum
terkena “polusi” hak-hak asasi, yang menolak Trias Politika,
yang
dilandasi filsafat Kawula Gusti. Bagi pandangan ini, bangsa
seperti
keluarga. Yang memimpin keluarga, yang menjadi Kepala keluarga
adalah
seorang Bapak. Seorang Bapak dan keluarga nya merupakan suatu
kesatuan harmonis yang tidak boleh dipisah.
UUD
45
yang murni berkemampuan mendukung pemerintahan yang otoriter,
baik
sipil maupun militer berpuluh-puluh tahun, melintasi pembunuhan
masal
terbesar dalam sejarah bangsa, dan legitimasi praktek sistemik
pemerintahan korup. Konsepsi kawulo gusti mungkin lebih dikenal
di
kawasan Eropa dibawah semboyan “ein Volk, ein Führer, ein Ja” ,
atau “ein Volk, ein Reich, ein Führer”, "satu bangsa, satu
pemimpin, satu suara"
Ini
filsafat
yang dicanangkan oleh partai nasional sosialis (NAZI) Adolf
Hitler di Jerman, oleh Benito Mussolini di Italia.
Semangat
UUD
45 yang aseli, sebelum Reformasi, sebelum hak-hak asasi
ditegaskan, di samping tergali dari sumber peradaban aseli Jawa,
banyak menemukan resonansi dalam doktrin NAZI di Jerman dan
Fasci di
Combattimento Italia. Sungguh tidak mengherankan kalau UUD 45
yang
murni dan yang memungkinkan diktatur bertahta begitu lama
disebut
sebagai konstitusi fasis. Bebarapa perumusnya tidak terlalu
keberatan
pada julukan itu.
Karena
pertama,
Indonesia dalam keadaan diduduki militer Jepang, dan yang
membentuk BPUPKI adalah Markas Besar Militer Jepang di Jawa.
Kedua,
jaman dulu belum ada TV yang mempertontonkan kekejian perang dan
dampaknya dalam saat seketika kejadiannya. Horor kamp-kamp
konsentrasi Negara-negara poros fasis Eropa di Dachau, di
Buchenwald,
Auschwitz, Salerno, Padua dan Trieste tidak diketahui oleh
dunia.
Bagi Negara-negara jajahan perang Jerman, Italia, dan Jepang
melawan
poros Negara kolonialis dan imperialis justru dipuji dan
didoakan
agar menang. FASIS di saat perbincangan filsafat yang mendasari
UUD45
yang murni belum memperoleh arti makian, cercaan, hinaan seperti
sekarang. Dianggap fasis pada saat itu bahkan berarti berjuang
melawan para imperialis.
Sekarang
kita
tahu dan mengerti lebih banyak. Sekarang kita sudah mengalami
dan menderita lebih banyak di bawah cepolan tangan besi UUD 45
yang
murni dan falsafah pendukung kekuasaannya. Cukup sudah
penggalian
unsur-unsur “Luhur” dari masa lalu sejarah faktual atau imaginer
yang sebenarnya adalah sekadar kedok bahasa untuk diktatur.
Kerinduan
akan UUD45 yang murni, dengan sikap yang menganggap pengadilan
hak
asasi yang “berlebihan” mudah disimpulkan sebagai FASISME yang
untuk berusaha kembali.
Barangkali
Manifesto
Gerindra perlu dirumuskan kembali dengan vernakular jaman
sekarang, bukan bahasa 1945. RI butuh partai yang dikelola
secara
modern, partai yang tidak dijadikan pondok penginapan anak-cucu.
________________
Catatan:
Dr.
Nono Anwar Makarim adalah jurnalis dan pakar hukum yang
*
* *
Sampai
sekarang
saya selalu berusaha untuk tidak menjawab apa "kita"
"harus" memilih Prabowo atau Jokowi. Itu bukan hak saya.
Tetapi dengan diumumkannya Manifesto Gerindra saya tidak dapat
diam
lagi. Di dalamnya ada dua hal yang serius.
Yang
pertama,
dalam manifesto itu ditulis: "Adanya Pengadilan HAM
merupakan sesuatu yg overbodig (berlebihan)."
Yg
kedua,
ditulis "Negara dituntut utk menjamin kemurnian ajaran
agama yg diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan &
penyelewengan dari ajaran agama."
Dua-duanya
gawat.
Kalau yang pertama, sikap Prabowo tentu sangat bisa
dimengerti. Dan belum tentu kubu Jokowi lebih baik. Apalagi Ibu
Megawati belum pernah peduli pd kurban apa pun. Jadi 1 : 1.
Tetapi
yg
kedua gawat betul. Itu berarti bahwa bagi Prabowo suatu
pemerintah
akan merasa berhak menindas semua agama & kepercayaan di
luar
enam agama yg diakui dalam UU Penodaan Agama, misalnya
Achmadiyah,
Syia, Saksi Yehowa, Mormon, Bahai, Taman Eden & sekian
tarekat
Islami.
Baca
juga
jawaban yg diberikan oleh "administrasi Gerindra" atas
sebuah pertanyaan kritis: "Bung, seluruh WNI harus dilindungi.
Jika mereka berada di jalan yang salah, kita buat lembaga utk
membuat
mereka jera."
"Membuat
mereka
jera !" Ini bukan lagi main-main. Itu bertentangan dengan
hak-hak asasi manusia maupun dengan Pancasila dan UUD-NRI 1945
Pasal
28 E,G(1), I(1) & (2) & Pasal 29(2); yang semuanya tidak
mengenal pembatasan pd "6 agama yg diakui".
Dan
kalau
pemaksaan dlm hal agama & keyakinan religius sudah dimulai,
apa akan berhenti di situ? Jangan-jangan lantas kita akan
mendapat
suatu "UU Kerukunan Agama" yg dalam kenyataan berarti
penyumbatan kebebasan beragama & berkeyakinan. Apalagi
Gerindra
dalam koalisi akrab dengan PKS dan PPP Suryadarma)?
*
* *
Eratum:
Dalam tulisan Kolom
IBRAHIM ISA, 26 Mei 2014, berjudul: “MELIA DAN SOELARDJO –
SETENGAH ABAD SUKA & DUKA”, yang menyangkut kelahiran Ita,
putri Soelardjo dan Melia, tedapat hal yg perlu diralat.
Soelardjo
menjelaskan sbb:
“Ita
dilahirkan pada 8 Juli 1965. Ketika saya mendapat tugas ke
Peking
menghadiri Perayaan ulang tahun berdirikan Republiek Rakyat
Tiongkok,
anak saya sudah lahir dan sudah berusia 2 bulan 7 hari. “
* * *
No comments:
Post a Comment