Kolom
IBRAHIM
ISA
Selasa, 20 Mei 2014-----------------------------
'HARI KEBANGKITAN
NASIONAL' Dan “KESADARAN BERBANGSA”
Adalah suatu tradisi yang mulya
bahwa setiap tahun pada 20 Mei, kita berhenti sejenak
MEMPERINGATI HARI KEBANGKITAN NASIONAl. Di saat situasi bangsa
dan negeri menuntut diadakannya PERUBAHAN seperti tunttuan
gerakan Reformasi dan Demokrasoi.
Di bawah ini disiarkan tulisan
IBRAHIM ISA, Jum'at, 20 Mei 2010, memperingati Hari Kebangkitan
Nasional 20 Mei. Isinya amat relevan, yaitu ; MASALAH
KESADARAN BERBANGSA.
Lalu ada sebuah tulisan Maria
Hartininsih . . Isinya
menarik dan mengharukan: Hari-hari sekitar digulingkannya
Presiden Sukarno oleh Jendral Suharto. Kata-kata Bung Karno
yang dikutip dalam tulisan Maria Hartiningsih,
merupakan pesan dan ajaran penting sehubungan dengan
\KESADARAN BRERBANGSA.
* * *
Memperingati
“Hari
Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908”, dilakukan bangsa
kita
dengan
pelbagai cara. Seyogianya dengan tujuan utama MENINGKATKAN
KESADARAN BERBANGSA. Karena, untuk meneruskan perjuangan demi
kebenaran dan keadilan, demi kemulyaan dan kejayaan bangsa dan
negeri Indonesia, yang dalam tahun-tahun belakangan ini
menghadapi tantangan yang semakin gawat, -- amat diperlukan
pengetahuan dan pengenalan tentang sejarah dan identitas bangsa
sendiri . Hanya dengan landasan itu baru mungkin bisa ditegakkan
keyakinan serta optimisme tak tergoyahkan, yang amat diperlukan
dalam perjuangan yang panjang ini.
Dengan
membalik-balik
kembali banyak catatan dan lebih banyak lagi buku
mengenai
sejarah
bangsa ini, bisa diperoleh kejelasan bagaimana para
pendahulu
kita,
berjuang membangun, menegakkan serta memperkokoh “NATION
BUILDING” dan “Character Building”.
Dalam
periode
pasca 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa dilanjutkan demi
menegakkan
dan
membela kedaulatan serta keutuhan wilayah negara Republik
Indonesia
---
dari Sabang sampai Merauké. Berjuang untuk merealisasi
cita-cita
dan
tekad bangsa seperti yang tercantum dalam pidato Bung
Karno,
“LAHIRNYA
PANCASILA, 1 Juni 1945”. Visi dan falsafah berbangsa
itu
semua
telah dituangkan secara padat serta dipatrikan dalam
Undang-Undang
Dasar
Republik Indonesia. Dalam pada itu berbagai kegiatan
dan
usaha
keras terus dilakukan untuk menarik pelajaran dari pengalaman
perjuangan
selama
ini.
/*
*
*
Cara
memperingati
Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, seperti tsb
diatas,
sudah
banyak dilakukan. Khususnya oleh generasi muda, para
mahasiswa,
cendekiawan
dan para aktivis pelbagai organisasi massa dan
LSM,
media
dll. Yang peduli nasib dan haridepan bangsa dan tanah air.
Yang
punya
cita-cita mulya berjuang demi merealisasi tuntutan gerakan
Reformasi.
Suatu
gerakan masa yang historis. Yang berhasil menggoyahkan
serta
menggulingkan
rezim otoriter dan opresif Orde Baru, – – – Tetapi
masih
tersendat-sendat
dalam memberlakukan secara konsisten tuntutn
agenda
Reformasi,
teristimewa yang bersangkutan dengan pelaksanaan 'rule
of
law'
dan HAM. Halmana menunjukkan masih besarnya pengaruh dan
kekuatan
riil
Orde Baru yang formalnya sudah ditumbangkan sejak Gerakan
Reformasi
dan
Demokratisasi Mei 1998./
*
* *
Memperingati
Hari
Kebangkitan Nasional, kali ini, dimaksudkan menarik
perhatian
pembaca
pada hal yang mungkin dilupakan. Tampaknya hal yang
sudah
seharusnya
difahami dan dikhayati bersama. Yaitu mengenai peranan
serta
perjuangan
pejuang-pejuang pendahulu dalam MEMBANGKITKAN bangsa dalam
perjuangan kemerdekaan nasional. Lebih kongkrit lagi dalam
MEMBANGUN
BANGSA.
Agar dari keteladan beliau-beliau itu dikhayati
bersama
manfaatnya.
Benar!
Sukarno-Hatta
telah resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Ajaran-ajaran
Bung
Karno oleh pelbagai lembaga pendidfikan dan studi dan
bahkan
parpol,
– dinyatakan sebagai ide-pembimbing kegiatan dan
perjuangan.
Namun
dalam kehidupan politik serta tindakan sehari-hari,
terkesan
bahwa
pernyataan-pernyataan serupa itu, tinggal di atas kertas
saja.
Ajaran
Bung Karno mengenai 'nation building' dan 'character building'
boleh dikatakan hampir terlupakan samasekali.
Setelah
berhasil
menggeser Presiden Sukarno dari kedudukannya sebagai
kepala
negara
dan kepala pemerintah RI, -- Jendral Suharto menjadi
presiden
RI
melalui proses 'kudeta merangkak' <çreeping coup d'etat>.
Rezim
Orba
yang dikepalainya mempergencar kampanye 'de-Sukarnosasi'.
Lebih
dari
tigapuluh tahun lamanya rezim Orba terus menerus melakukan
segala
sesuatu
untuk menghapuskan dari catatan sejarah bangsa, nama dan
peranan
Bung
Karno dalam proses perjuangan bangsa Indonesia melawan
kolonialisme
Belanda
yang beliau lakukan sambil bersamaan dengan itu
membangun
dasar
ideologi dan politik bagi suatu NATION BUILDING.
Pembangunan
Bangsa
Indonesia.
*
* *
Untuk
menyegarkan
fikiran dan semangat, serta mengokohkan KESADARAN
BERBANGSA,
MENGKHAYATI
IDENTITAS BANGSA, MENGKHAYATI PANJACASILA, PRINSIP BERBANGSA
BHINNEKA TUNGGAL IKKA, kini sudah waktunya suatu gerakan belajar
kembali AJARAN -AJARAN BUNG KARNO. Dewasa ini lebih dari cukup
buku dan tulisan mengenai ajaran Bung KARNO. Teristimewa yang
telah tersusun dengan baik dalam karya klasik Bung Karno:
“Dibawah Bendera Revolusi” , Jilid I dan II. Serta pidato-pidato
beliau. Khususnya setelah terjadinya Peristiwa G30S, yang
dibukukan dalam dua jilid, “REVOLUS BELUM SELESAI”. Juga tak
boleh kurang buku klasik dan otentik riwayat hidup Bung Karno,
“AN AUTOBIOGRAPHY, As Told to Cindy Adam, 1965”.
*
* *
Disamping
itu,
kiranya menarik, untuk membaca bahan ilustrasi mengeni
pribadi
Bung
Karno. Betapa beliau berusaha mencegah terjadinya 'perang
saudara'
,
dan kareanya tidak melakukan perlawanan frontal terhadap
'kudeta
merangkak'
Jendral Suharto. Serta betapa kekuasaan militer
Jendral
Suharto
ketika itu dengan sewenang-wenang memperlakukan pejuang dan
Bapak Nasion Bung Karno. Bunng Karno diperlakukan lebih dari
seorang kriminil.
Disajikan
di
bawah ini sebuah artikel berjudul SEPOTONG SEJARAH. Artikel
tsb
disiarkan
oleh Maria Hartiningsih, Sbb:
SEPOTONG SEJARAH
PUTU SUGIANITRI
Oleh Maria Hartininsih
*
* *
Apakah
bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar?
Putu
Sugianitri
terdiam sejenak sebelum mengatakan, bangsa yang besar
adalah
bangsa
yang dapat menghargai jasa para pahlawannya.
Putu
Sugianitri
(60), yang saat ini lebih dikenal sebagai pembudidaya
jeruk
bali,
adalah ajudan terakhir Bung Karno. Ia baru bertugas sekitar
setahun
ketika
situasi politik di dalam negeri sangat kritis.
Nitri,
panggilannya,
dilantik sebagai polisi wanita (polwan) pada pagi
30
September
1965 di Sukabumi, setelah mengikuti pendidikan bintara setahun.
"Ada
31
siswa bintara waktu itu, lima dari Bali,"/ungkap Nitri, suatu
siang
ketika
kami berbincang di bale bengong bambu di halaman rumahnya,
di
kawasan
Renon, Denpasar, Bali.
Mungkin
ia
termasuk siswa paling muda kalau menilik usia sebenarnya. Ia
mengaku
"mencuri
umur". Syarat usia menjadi siswa bintara 18 tahun,
dengan
tingkat
pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Nitri saat itu
baru
selesai
SMP. Pada acara ramah tamah malam hari setelah pelantikan,
sedianya Kepala Polri datang, tetapi tak jadi karena ada sesuatu
yang penting di Jakarta.
"Saya
sudah
pakai kostum tari," tutur Nitri.
Di
antara
siswa-siswa seangkatan, ia dikenal sebagai penari Bali yang
andal.
"Tiba-tiba
lampu
mati. Acara batal. Saya tidak jadi menari. Kami kembali
ke
asrama."
Beberapa
hari
setelah itu, seorang polisi dari Detasemen Kawal Pribadi
Presiden,
dikomandani
Ajun Komisaris Besar Mangil, menggantikan
Tjakrabirawa,
menjemputnya
ke Jakarta untuk bergabung dengan enam polwan
lain
di
Istana Negara.
Di
istana
juga ada ajudan lain, masing-masing dua dari Korps Wanita
Angkatan
Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Semuanya berseragam.
Nitri
satu-satunya
ajudan yang tak berseragam karena tugasnya lebih
untuk
mendampingi
Bung Karno di istana, menyiapkan makanan, minuman,
serta
obat.Pekerjaan
Nitri dimulai pada pukul enam pagi untuk mencari kue-kue jajan
pasar kesukaan Bung Karno.
"Beliau
paling
suka lemper ayam yang daging ayamnya diopor, disuwir-suwir, dan
lempernya digulung dengan daun pisang hijau pupus. Juga hunkue
tak berwarna yang di dalamnya ada pisang kepok,"/tutur Nitri.
"Beliau
suka
sekali sayur lodeh bari, ini sayur lodeh yang sudah tiga hari."
Bung
Karno,
kata Nitri, mengenal kedisiplinan sekaligus watak keras Nitri.
Ia
berani
bertanya, bahkan membantah Bung Karno kalau perlu.
Tetapi,
ia
juga sangat setia.
Dia
adalah
satu dari sedikit orang yang menjadi saksi saat-saat terakhir
Bung
Karno
sebagai presiden dan bagaimana kemudian keluarganya
diperlakukan.
Berhenti.
Pengumuman
Bung
Karno diberhentikan sebagai presiden terjadi ketika Bung
Karno
berada
di Bogor. "Beliau berada di Istana Bogor, Jumat, naik
helikopter. Begitu ada pengumuman, Bung Karno kembali ke
Jakarta, dengan
baju
biasa,
naik VW Combi.”Sukma (Sukmawati Soekarno) waktu itu tanya/,
’Kok baju Bapak enggak dipakai.’
Bung
Karno
menjawab, ’/Kan, sudah ada pengumuman Bapak bukan presiden
lagi,’"
Nitri
mengucapkan kalimat itu dengan suara tercekat.
Bung
Karno
dan para ajudan sempat melihat-lihat situasi Jakarta dengan
kendaraan
itu.
Ia berpakaian biasa, tanpa peci. Waktu itu sedang musim
rambutan.
Bung
Karno ingin makan rambutan rapiah kesukaannya.
"Beliau
bilang
dalam bahasa Bali, ’/Tri, sing ngelah pis, saya tak punya
uang.’"
,.
"Saya turun, membeli rambutan, lalu bilang ke pedagangnya,
’Tolong
kasih
ke
orangtua di mobil itu.’ /
Bung
Karno
bertanya, ’Manis enggak?’ Suara khas itu membuat si pedagang
tahu
siapa
yang ia hadapi."
Sebelum
diusir
dari istana, setiap pagi Bung Karno membaca semua koran
yang
terbit,
yang semua mendiskreditkan namanya.
"Saya
tanya,
kok Bapak diam saja. Beliau menjawab, ’
Saya
tidak
mau terjadi perang saudara karena pro dan kontra.’
Beliau
juga
tidak sudi meminta suaka seperti dilakukan Pangeran Norodom
Sihanouk
dari
Kamboja.
Kata
beliau,
’Saya lebih baik mati di sini, tetapi Indonesia selamat
dari
perang
saudara.’"/
Dalam
suasana
politik yang panas itu, berbagai gosip juga menerpanya
terkait
dengan
Bung Karno.
"Saya
marah
sekali. Tapi, bisa apa saya?"suaranya meninggi.
Nitri
berhenti
menjadi ajudan setelah Bung Karno dipindahkan ke Wisma
Yaso,
diasingkan
dari teman-teman, kerabat, dan keluarga.
Ia
sempat
diminta menjadi ajudan keluarga penguasa yang baru, tetapi
ditolaknya.
"Semua
orang
waktu itu melihat kami dengan pandangan jijik. Untuk apa
saya
bekerja
di situ?"
Protes
atas
perlakuan terhadap Bung Karno dan keluarganya, ia lakukan
dengan
menyatakan
berhenti sebagai polwan.
"Kalau
Bung
Karno, Bapak Bangsa dan Proklamator saja bisa diperlakukan
seperti
itu,
apalagi orang seperti saya?"
Setelah
itu
Nitri sempat tinggal di rumah Ibu Fatmawati dan menyaksikan
dari
dekat
kesulitan-kesulitan yang dihadapi keluarga Bung Karno.
Ia
sempat
bertemu lagi dengan Bung Karno, ketika mantan presiden itu
mendapat
izin
menghadiri upacara perkawinan Guntur dengan dikawal ketat.
"Mukanya
bengkak,
topinya menceng-menceng dan sudah banyak lupa,"ungkap
Nitri
mengenang.Kepada
Bung Karno, ia sempat meminta nama untuk anak sulungnya.
/"Nama
itu
ditulis di secarik kertas kecil, disembunyikan Mbak Mega di
bawah
alas
sepatu. Pemeriksaan waktu itu sangat ketat, meski yang datang
menengok
anggota
keluarga dekat. Bung Karno memberi nama anak saya,
Fajar
Rohita.
Sekarang usianya 39 tahun."/
Melanjutkan
Hidup
Meski
situasi
sudah jauh lebih baik, bahkan Megawati pernah menjadi
Presiden
RI,
menurut Nitri, ada bagian sejarah yang tak bisa diubah dan
harus
diingat,
agar bangsa ini belajar dari apa yang dilakukan terhadap
orang
yang
berjasa melahirkan negeri ini.
"Sampai
saat
ini masih *sulit * buat saya menerima *perlakuan terhadap
Bung
Karno
pada hari-hari terakhir beliau," ujarnya.
Nitri
menjalani
kehidupan berkeluarga yang penuh dinamika. Sempat
tinggal
di
Bandung, Nitri kembali ke Bali. Ia melukis, menjadi eksportir
kerajinan
Bali
dan menari. Sebagian lukisannya yang beraliran surealis
tergantung
di
dinding rumahnya yang sederhana.
Beberapa
tahun
terakhir ini, ketika enam dari tujuh anaknya sudah
mandiri,
Nitri
mengembangkan tanaman langka Bali di lahan yang ia
kontrak
selama
30 tahun.
"Mulanya
saya
hanya ingin makan buah-buahan asli Bali yang biasa saya
makan
waktu
masih kecil. Selain jeruk bali besar merah, juga mangga
amplemsari,
itu
mangga asli Bali yang sudah langka," ujarnya.
Setiap
hari
ia bangun pukul empat pagi, lalu ke pasar, belanja untuk
warung
makan
kecil yang dijalankan pembantunya. Setelah itu, seharian ia
berada
di
kebun.
Nitri
menjalani
hidupnya seperti orang kebanyakan, tetapi dengan
kesadaranbahwa
_dari
setiap langkah yang terayun, ada ingatan yang
tertinggal_.
_Itulah
jejak sejarah.Sumber: KCM, Sabtu, 18 Agustus 2007._
*
* *
No comments:
Post a Comment