Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Rabu, 25 Februari 2009
MANA MUNGKIN 'REKONSILIASI' -- JIKA NUNTUT
FIHAK LAIN MELEPASKAN KEYAKINANNYA
Dalam diskusi di Teater Utan Kayu, Jakarta, ketika peluncuran buku JJ Kusni ('Menoleh Silam, Melirik Esok' - Penerbit Ultimus Bandung, Feb. 2009), diajukan saran (oleh moderator Ikranegara) untuk mengadakan diskusi dan berusaha mencapai 'REKONSILIASI' bahkan 'perdamaian total'. <>.
Ternyata, dalam diskusi Teater Utan Kayu itu, masih ada fikiran sementara orang (penyair Taufik Ismail) , -- bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, ---- bahwa setiap manusia punya hak azasi untuk memiliki keyakinan sendiri baik itu politik, falsafah maupun religi, serta hak dengan bebas menyatakan fikirannya ---, masih punya angan-angan hendak mencapai 'rekonsiliasi' bahkan 'perdamaian total' dengan prasyarat salah satu fihak melepaskan pandangan falsafah atau keyakinan politiknya.
* * *
Sebaiknya dibaca sendiri selengkapnya 'CERITA MATA' oleh Yonathan Rahardjo: 'Tentang Garis Lurus Taufik Ismail, Ikranegara dan JJ Kusni', seperti yang disiarkan oleh mailist 'Sastra Pembebasan' (24 Februari 2009). Secara pokok-pokok tulisan Rahardjo melaporkan tentang jalannya dan isi diskusi yang berlangsumg pada tanggal 22 Februari di Teater Utankayu, Jakarta. Temanya seperti tertera dalam undangan adalah mengenai DIALOG 'LEKRA' - 'MANIKEBU'. Suatu dialog yang diadakan dalam rangka peluncuran buku JJ Kusni.
Terima kasih tertuju pada Yonathan Rahardjo yang dalam batas tertentu berhasil memberikan gambaran substantif mengenai apa yang terjadi dalam dialog siang itu.
Digelarnya suatu diskusi mengenai polemik 'Lekra', 'Lembaga Kebudayaan Rakyat' vs 'Manikebu', 'Manifes Kebudayaan', yang berlangsung pada akhir pertengahan tahun 1960-an --- namun tidak rampung keburu dibubarkannya 'Manikebu' oleh Menteri PPK Prof Priyono, lalu naiknya Orba yang melarang 'Lekra', kemudian banyaknya tokoh dan anggota Lekra yang dibunuh mapun yang dipenjarakan atau dibuang ke Pulau Buru --- , pasti menarik perhatian masyarakat. Dan betul, ternyata, seperti laporan Rahardjo ruangan Teater Utan Kayu penuh sesak.
Membaca laporan Rahardjo mengenai DIALOG UTAN KAYU tsb, orang dapat kesan bahwa yang didiskusikan samasekali BUKAN MENGENAI KONSEP SENI YANG MENJADI TEMA DIALOG LEKRA VS MANIKEBU pada pertengahan tahun 1960-an.
Seperti yang pernah ditulis di ruangan ini mengenai DIALOG UTAN KAYU, substansi polemik 'Lekra' vs 'Manikebu' itu adalah mengenai dua konsep seni. Yang satu adalah konsep 'SENI untuk SENI', serta kaitannya dengan pandangan Humanisme Universil. Ini pendapat 'Manikebu'. Konsep yang satu lagi adalah konsep 'SENI UNTUK RAKYAT'. Ini konsep 'Lekra'. Polemik dulu itu tidak sampai berakhir mencapai kesimpulan. Maka bila diangkat kembali dan pendiskusian diteruskan, dalam suasana REFORMASI dan DEMOKRATISASI, maka bukan saja tidak ada salahnya. Tetapi akan merupakan suatu pengalaman baik bagi seniman, sastrawan generasi muda kita. Bukan untuk mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang. Tidak untuk memuja yang satu serta mengganyang yang lainnya. Tetapi untuk menggugah generasi muda untuk menstudinya, berani memikirkannya secara idependen, dan kemudian mengambil kesimpulannya sendiri. Diskusi atau polemik seperti itu, bila dilangsungkan dengan semangat 'fair-play', transparan serta mengindahkan 'aturan main', atas dasar saling menghargai pendapat yang berbeda, maka itu akan merupakan pendidikan baik bagi generasi muda, yang haus mencari sumber inspirasi bagi karya-karya mereka. Dalam rangka membangun seni dan kebudayaan Indonesia yang BERKEPRIBADIAN INDONESIA.
* * *
Laporan Yonathan Rahardjo, seperti yang di-edit kembal, sbb: Secara menyolok penyair Taufik Ismail penuh semangat mengarahkan sasarannya pada Komunisme. Ia memojokkan komunisme dengan pernyataan-pernyataan tentang adanya sebuah jalinan antara Jakarta dengan benua Barat kala itu. Dendam Taufik Ismail terhadap lawan politiknya, sedemikian rupa sampai mengedepankan kebangkitan dari kubur para pendiri paham yang keras dan kokoh pada keyakinan. Bahkan dari dalam kubur di London dan Moskow dibangkitkan Karl Marx dan Lenin, yang dengan rantai panjang disulurkan dari kegelapan masa silam, membelenggu pengikutnya hingga masa kini. Laporan Rahardjo a.l menguraikan bagaimana Taufik Ismail berorasi hendak menjelaskan bahwa ajaran-ajaran Marx dan Lenin masih berpengaruh di Indonesia.
'Cerita-mata' Rahardjo tentang Taufiq Ismail menguraikan betapa lihainya Taufiq Ismail yang menunjukkan bahwa dendam itu dimiliki oleh para pengikut Marx dan Lenin, dan bahwa dia (Taufik Ismail) sedih karenanya. Tidak seperti yang dilakoni Malaysia yang menghapuskan diskriminasi partai komunis Malaysia dan Afrika Selatan yang mampu menyelenggarakan rekonsiliasi nasional. Taufik Ismail menyesali, mengapa Indonesia tidak mampu lepas dari dendam itu.
Yang anehnya, begitu Rahardjo dalam laporannya, Taufiq Ismail mengatakan, dendam ini adalah pada kaum kiri. Dan dia menggempur dengan pernyataan, bahwa, mestinya kaum (kiri) ini mau melupakan dendam itu dan sedia menciptakan perdamaian total dengan kelompoknya.
Rahardjo menjelaskan dalam laporannya, bahwa Taufik Ismail yang bukan korban kebiadaban pembantaian berjuta-juta orang PKI, malah minta para 'orang kalah' dalam pertarungan di bawah Orde Baru itu untuk melupakan dendam dan mau berdamai dalam suatu 'perdamaian total'.
Dari seluruh sikap dan emosi nada bicaranya, sangat tampak justru dialah (Taufik Ismail) yang mengidap dendam. Sebuah dendam yang sangat aneh bagi sebagian besar orang yang hadir sore itu. "Bukankah Taufiq bukanlah orang yang kalah dan menderita serta terrampas hak-hak azasinya selama puluhan tahun seperti halnya orang-orang Lekra? Apa alasan utama Tauf Ismail harus menunjukkan rasa dendam dengan menuding orang-orang itu?" . Dendam kesumatnya terhadap ideologi komunis dengan nyata dikaitkan dengan keberadaan Lekra dan tentu saja JJ Kusni, yang dianggapnya mewakili Lekra pada acara dialog yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu. Demikian Rahardjo.
Lalu, seorang anak muda menyeletuk, "Taufiq pendendam!". Angin dendam macam itu pun menjadi nyawa-nyawa yang telah binasa, namun, tetap bergentayangan mencari kebenaran. Seorang hadirin menanggapi, bahwa, presentasi 'Rekonsiliasi' yang ditawarkan merupakan hal yang sangat terlambat. Sebab hal itu sudah dilakukan sejak lama.
Putu Oka Sukanta, yang hadir di situ, menceritakan kisah terlunta-luntanya ia mencari harkat dan mengadakan perdamaian dengan berbagai kalangan yang dulu menganiayanya. Bahkan, penganiayaan itu pun baru berkurang tahun lalu, soal kepemilikan KTP seumur hidup bagi orang seumurnya yang baru didapat setahun silam.
* * *
Ikranagara selaku moderator pun mengatakan rekonsiliasi sebetulnya sudah berlangsung bertahun-tahun silam, seperti terjadi di Taman Ismail Marzuki (TIM) di mana para seniman bebas untuk berkarya bersama tanpa memandang dia aliran kiri atau kanan; Lekrais ataupun Manikebuis. Di antara pembicara ada yang mengemukakan bahwa untuk rekonsiliasi tentulah pihak-pihak yang berdamai, seyogianya ada pada kedudukan hukum yang sama. Sungguh aneh, bilamana dalam rekonsiliasi satu pihak, Lekra, masih saja dirampas hak-haknya. Setidaknya secara hukum mereka dihapuskan dari cap bersalah dan terlarang. Karena nyatanya sampai sekarang belum dihapuskan TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Lekra yang dicap juga sebagai underbouw PKI.
Beberapa hadirin tampak sepakat tentang ketidakadilan dalam tawaran 'perdamaian' macam ini. Sungguh aneh bila yang berkuasa menuntut perdamaian bagi sang pesakitan dan terhukum, tanpa ada saling mendudukkan perkara. Padahal yang disebutkan rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan, sejatinya sebelum rekonsiliasi nasional Pemerintah telah lebih dulu mengadakan pengadilan secara hukum. Dalam bukunya JJ Kusni berusaha menjawab kejanggalan-kejanggalan tawaran Taufik ini.
* * *
Taufik Ismail, dalam diskusi tsb tanpa basa-basi melakukan penindasan intelektual terhadap ideologi komunis. Selama 30 tahun Taufik Ismail adalah bagian dari kekuasaan Suharto. Meskipun sudah melalui reformasi, hatinya tak terketuk untuk bicara lebih moderat. Taufik Ismail berbeda dari Goenawan Mohammad yang juga bicara sore itu. Taufik Ismail samasekali tidak menyisakan sebuah pencarian baru guna menjembatani Indonesia, menuju masa depan dengan masalah kekinian yang ditawarkan oleh Ikranegara. Demikian anatara lain tulis Rahardjo.
Taufik Ismail masih tetap anti-komunis. Ia menuntut kaum Marxis dan yang sefaham, agar membuang jauh-jauh ideologi Marxis-Leninis, untuk (bisa) berjabat tangan dengan 'kelompoknya' -- entah kelompok yang mana -- dalam suatu 'perdamaian total'.
* * *
Pendeknya, lapor Rahardjo, ---- sore itu Taufik Ismail adalah anti-komunis dan menganggap bahwa JJ Kusni dan Lekra itu komunis. Kusni yang mengaku Marxis itu, menyatakan bahwa Lekra itu bukan PKI. Dari bukunya, tersirat Marxis macam apa JJ Kusni itu. Demikian Rahardjo.
Moderator Ikranegara yang menyatakan tak tau-menahu tentang pertentangan Lekra - Manikebu (ketika itu ia masih duduk di SMP) menyatakan bahwa yang hadir dan ambil bagian dalam diskusi, hanya mewakili dirinya masing-masing.
Yonathan Rahardjo akhirnya menyimpulkan antara lain sbb: Taufik Ismail adalah penandatangan Manikebu yang belum berubah. Taufik ketinggalan dibandingkan dengan rekan-rekannya seperti Goenawan Mohammad, Arief Budiman, apalagi Sanento Yuliman (almarhum) yang mengaku betul-betul m e n y e s a l ikut menandatangani Manikebu. Kesadaran itu timbul setelah ia tau ada militer di belakangnya. Juga hal itu yang membuat WS Rendra tidak mau hadir dalam acara pandantanganan Manifes Kebudayaan ketika itu.
Yang perlu diperhatikan ialah begitu banyaknya mahasiswa/mahasiswi dari salah satu universitas di Jakarta, yang hadir dalam DIALOG UTAN KAYU itu.
Bagi yang sudah tau duduk perkaranya, semua ini semakin memperkokoh pemahaman betapa kosongnya yargon-yargon dendam tanpa pembelajaran itu. Membaca buku JJ Kusni, akan diperoleh jawaban sejauh mana keyakinan terhadap perjuangan anti-penindasan dan anti-penghisapan dapat mewujudkan cita-cita bersama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di saat perjuangan dewasa ini, segala kelompok tak perduli dari golongan manapun, harus bahu membahu membebaskan bangsa dan negeri dari penindasan dan penghisapan kolonialisme. Mestinya perbedaan ideologi tak menyebabkan pertikaian. Semua harus duduk dalam satu front-bersama menghadapi tantangan bersama.
Demikian kutipan dan cuplikan dari laporan Yonathan Rahardjo, mengenai DISKUSI UTANKAU dengan acara POLEMIK 'LEKRA' - 'MANIKEBU'.
Diskusi di Teater Utan Kayu, paling tidak membantu kita , menyadari betapa tidak mudahnya usaha mencapai REKONSILIASI apalagi PERDAMAIAN TOTAL, bila itu benar-benar didasarkan atas kebenaran dan kedilan, atas dasar dilempangkannya pemelintiran sejarah yang berlangsung selama lebih 30 tahun rezim Orba .
* * * * *