IBRAHIM ISA – BERBAGI CERITA
Sabtu, 24 Januari 2009
----------------------------
Pak DJAUHARI ORATMANGUN . . . SAMPAI DJUMPA . . . Doei !
Karena merasa dekat dengan Pak Djauhari Oratmangun, maka aku tulis kepada beliau: Pak Djauhari , , , , , sampai jumpa lagi. Doeoei!
Kalau tak salah, kira-kria empat tahun yang lalu aku berkenalan dengan Djauhari Oratmangun. Begitu kenal, kontan merasa seperti bertemu lagi dengan sahabat lama. Ketika itu beliau menjabat Kuasa Usaha KBRI Den Haag. Dubesnya Mohammad Joesoef, seorang karier diplomat. Beliau pernah bertugas sebagai Kepala Perwakilan RI di PBB New York. Dengan beliau aku merasa dekat sekali. Sama halnya dengan dubes sebelumnya: Abdul Irsan. Mengapa merasa dekat: Nanti akan tau sendiri ceriteranya. Djauhari orangnya ramah, gembira dan selalu antusias serta optimis.
Ketka itu Djauhari Oratmangun praktis orang pertama di KBRI Den Haag. Karena Dubes Moh. Joesoef, pas selesai tugasnya di Belanda. Beliau kembali ke Jakarta. Siapa yang akan menggantikan Moh. Joesoef sebagai dubes RI di Den Haag, masih belum ada berita dari Jakarta.
Hampir lima tahun kemudian, Wakil Kepala Perwakilan Djauhari Oratmangun kini selesai dengan tugasnya di KBRI Den Haag, dan akan kembali ke Jakarta. Wakil Kepala Per Haag. Untuk menyampaikan selamat jalan, KBRI mengadakan malam perpisahan pada hari Minggu, tanggal 25 Januari, di Sociaal Cultureel Centrum De Leuningjes, Poeldijk.
Dalam undangan KBRI untuk malam itu, yang kuterima melalui internet, a.l dinyatakan, sbb:
/*Besar harapan kami agar Bapak/Ibu/Sdr/i dapat pula mengajak masyarakat Indonesia lainnya untuk memeriahkan acara ini untuk bertatap muka dengan Bapak Djauhari Oratmangun di akhir masa baktinya sebagai Wakeppri di Belanda.' */
Karena pada hari itu aku sudah ada komitmen maka sayang tak bisa menghadiri malam perpisahan dengan Pak Jauhari Oratmangun. Maaf ya Pak! Terima kasih atas undangan!
* * *
Siapa saja di KBRI, kapanpun, apakah beliau-beliau itu dubes, orang keduanya, diplomat lainnya, atau bahkan staf-lokalnya sekalipun, apabila bersikap lurus, tak berat sebelah, tidak diskriminatif, tidak korup, jujur dan adil, memberikan cukup perhatian dan melakukan hubungan yang baik dengan masyarakat Indonesia di Belanda, pasti disambut baik oleh yang bersangkutan. Bukankah merupakan salah satu kewajiban perwakilan Indonesia di luarnegeri, untuk a.l. memperhatikan, membantu dan membela hak-sah dan kepentingan warga Indonesia yang bekerja, studi atau bermukim di luarnegeri. Tidak boleh berlaku dan bersikap acuh tak acuh, segan, bahkan tidak mau tau. Seperti yang pernah terjadi dengan sementara perwakilan RI di luarnegeri terhadap nasib para TKI yang mencari nafkah di situ dan memperoleh perlakuan sewenang-wenang dari sementara majikan dan pejabat negara bersangkutan! Padahal para TKI kita itu, sejak lama memberikan sumbangan tidak kecil terhadap sumber devisi RI.
* * *
Sedikit menoleh ke belakang: Dalam tahun 1965 meletus pergolakan dahsyat yang membawaa perubahan yang menjungkir balikkan situasi politik di Indonesia. Kelanjutannya tegak Orde Baru di Indonesia. Perubahan besar ini membawa perubahan pula di kalangan masyarakat Indonesia di luarnegeri.Situasi politik dalam negeri, tercermin pula pada sikap dan pendapat di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri. Mereka terpecah menjadi dua golongan besar. Satu golongan menyambut gembira dan memberikan dukungan pada rezim Orde Baru. Segolongan lainnya, mengambil sikap berprinsip yang tegas anti-Orba. Golongan ini umumnya adalah warga Indonesia yang cinta dan setia kepada prinsip demokrasi dan HAM, cinta pada Indonesia serta pendukung Presiden Sukarno. Banyak diantaranya adalah mantan pejuang kemerdekaan.
Dalam golongan yang anti rezim Orba, terdapat sejumlah besar warga Indonesia yang paspornya dengan sewenang-wenang dicabut oleh KBRI, kewarganegaraan mereka dirampas. Perlakuan KBRI tsb adalah sebagai reaksi terhadap sikap warga Indonesia yang menentang Orba, membela demokrasi dan membela Presiden Sukarno. Mereka menolak keras disuruh mengecam Presiden Sukarno. Karena sikap itu mereka dicap 'terlibat' atau mendukung 'G30S'. Dituduh orang-orang PKI atau pendukung PKI.
Di mancanegara, termasuk di Belanda berlangsung pelbagai kegiatan dan aksi massa yang mengecam rezim Jendral Suharto. Mereka minta perhatian mancanegara serta membela para korban persekusi dan pembantaian masal 1965. Dalam aksi-aksi tsb terdapat orang-orang Indonesia yang menentang rezim Orba. Pemerintah Orba dan KBRI dengan gempang-gampangan menuduh aksi-aksi dan gerakan tsb sebagai 'anti-Indonesia'. Betul mereka sering mendemo kedutaan RI, membuat pernyataan mengutuk Orba, bicara di media internasional dan menerbitkan bahan-bahan yang mengekspos korupsi, mengungkap diobralnya kekayaan INDONESIA kepada modal asing.
* * *
Sekitar pertengahan 1998 dunia menyaksikan berkobarnya gejolak besar yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Suatu gerakan massa yang luas bergelora dengan heibatnya. Mereka menuntut demokrasi dan reformasi. Menuntut stop terhadap korupsi dan diadilinya para pelaku. Di situ ikut juga kekuatan politik dan sosial, oknum-oknum birokrasi, sementara pejabat tinggi, sampai pada sementara menteri-menteri (tentu dengan perhitungan untung-rugi pribadi). Yang disebut belakangan ini tadinya merupakan bagian dari kekuasaan rezim Orba. Mereka berbalik. Dengan menyolok sekali tampil menuntut turun panggungnya Presiden Suharto. Sikap mereka itu sesungguhnya tidak mengherankan. Karena, situasi umum seluruh negeri sampai dikatakan sebagai 'suasana revolusioner'. Sementara negeri Barat yang tadinya kuat sekali mendukung dan merupakan talinyawa Jendral Suharto dan Orde Barunya, juga berbalik. Barat pun sudah emoh dengan Presiden Suharto, dan ingin Suharto diganti.
Bergeloranya gerakan Reformasi dan Demokratisasi yang telah menggulingkan rezim Presiden Suharto, dan memunculka pemerintahan Presiden Wahid/ Wapres Mega, sedikit banyak tercermin pengaruhnya pada pelbagai aparat negara. Termasuk tampak pada Kementerian Luarnegeri Indonesia dan pelbagai kedutaan Indonesia diluar negeri, inklusif KBRI di Belanda.
Juga jelas, bahwa tidak semua birokrasi dan aparat negara, termasuk KBRI, mendukung reformasi. Tidak semua rela menerima jatuhnya Presiden Suharto. Tidak semua rela dilepaskannya semua tahanan politik. Namun, mereka diam dan pasif karena khawatir akan dapat ´ganjaran´ atas sikap mereka yang bergelimang di satu lumpur dengan rezim Orba.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar diplomat Indonesia, dalam kedududkannya sebagai pegawai negeri yang patuh , seperti biasa melaksanakan bagaimana PERINTAH ATASAN. Bagaimanapun warna dan isinya atasan itu.
* * *
KBRI Den Haag, teristimewa dubesnya ketika itu, ABDUL IRSAN, mununjukkan bahwa ia memahami dan bersedia melangkah seirama dengan arus Reformasi dan Demokratisasi.
Pada zaman Orba, warga Indonesia yang dicabut paspornya, tidak pernah menginjakkan kakinya di KBRI.
Barulah menjelang kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid ke Belanda, mulai banyak orang-orang Indonesia penentang Orba, bersedia datang ke KBRI.
* * *
Baik kiranya dijelaskan sedikit, apa sebabnya banyak sahabat dan orang-orang Indonesia mulai merasa dekat dengan dubes Abdul Irsan. Itu dikarenakan oleh sikap beliau yang tanpa memandang pebedaan pendapat bersedia menerima dan mendatangi orang-orang Indonesia di Belanda. Demikianlah, menjelang kedatangan Menkumdang Yusril Izha Mahendra ke Den Haag (Januari 2000), atas instruksi Presiden Wahid untuk mengurus ´kepulangan´ orang-orang Indonesia yang dicabut paspornya, sementara kawan, termasuk penulis ini, berkunjung ke KBRI, menemui para penaggungjawabnya. Dengan sikap tulus, fihak KBRI menyatakan, agar memperlakukan KBRI ini sebagai ´rumah sendiri´. Aku fikir: Wah, bagus sekali pernyataan itu. Mudah-mudahan betul-betul dipraktekkan.
Pada suatu hari Dubes Irsan disertai sementara staf KBRI berkunjung ke rumah TM Siregar, Ketua SAS (Stichting Azië Studies) di Ganzenhoef, Amsterdam Bijlmer. Disitu beliau menemui kawan- kawan yang mengalami nasib paspornya dicabut Orba. Di situ kami makan bersama dan bertukar fikiran dengan leluasa. Tak lama kemudian Dubes Irsan mengundang teman-teman ke Wisma Duta di Wassenaar, untuk makan bersama. Gongnya adalah dilangsungkannya bersama hari PERINGATAN SEABAD BUNG KARNO, yang diorganisasi oleh kawa-kawan yang paspornya dicabut itu, bersama sahabat, handai lainnya dan KBRI. Bukankah ini situasi baik, dimana KBRI dan Wisma Indonesia melangkah ke WISMA INDONESIA yang ´beneran´, tanpa diskriminasi terhadap orang-orang yang pandangan politik dan keyakinannya berbeda (dengan Pemerintah) .
* * *
Yang benar-benar dirasakan hadirnya suasana Reformasi dan Demokratisasi di KBRI Den Haag, ialah ketika Dubes Moh Joesoef setuju terhadap satu permintaan penting yang kuajukan atas nama Stichting Wertheim. Bunyi permintaan yang tak sederhana itu ialah, sbb: Bisakah upacara pemberian 'Wertheim Award 2005', kepada budayawan Goenawan Mohammad, redaktur senior majalah Tempo, dan Joesoef Isak, pemimpin penerbit Hasta Mitra, dilangsungkan di ruangan WISMA NUSANTARA KBRI Den Haag. Jawaban Dubes Mohamad Joesoef kontan: Ya, bisa, silakan. Lakukan itu di ruangan 'Wisma Nusantara', KBRI Den Haag.
Jawaban yang diberikan Dubes Moh. Joesoef bagi kebanyakan orang samasekali tidak terduga. Sesuatu yang tak terbayangkan bisa terjadi sepuluh tahun sebelumnya.
Coba fikir, upacara penyerahan ´WERTHEIM AWARD´ kepada Goenawan Mohammad dan Joesoef Isak akan berlangsung di ruang Wisma Nusantara KBRI Den Haag. Siapa tidak kenal Goenawan Mohahamd? Siapa tidak lupa dengan pembereidelan majalah Tempo, yang dipimpin oleh Goenawan Mohammad. Siapa tidak kenal Joesoef Isak, eks-tapol, wartawan senior, penerbit novel Tetralogi Parmoedya Ananta Toer yang dilarang Orba.
Tengoklan, sekarang mereka jadi tamu terhormat KBRI Den Haag.
Selanjutanya, siapa yang memberikan kata sambutan atas peristiwa penting itu dari fihaK KBRI Den Haag. Tidak lain tidak bukan, orangnya adalah Wakeppri KBRI Den Haag,
DJAUHARI ORATMANGUN.
Nah, itulah ceriteranya kalau ingin tau mengapa aku merasa dekat dengan Djauhari Oragmangun. Sikapnya yang bebas dan memperlakukan kenalan dan sahabat sama sedrajat, tanpa diskriminasi meskipun ada perbedaan pandangan mengenai ha-hal tertentu, itulah Djauhari Oratmangun.
Selamat jalan Pak Djauhari. Mengharapkan sukses melaksanakan tugas baru nanti.
Harapan terbaik kami untuk Anda sekeluarga.
Sampai jumpa lagi.
* * *
Sabtu, 24 Januari 2009
----------------------------
Pak DJAUHARI ORATMANGUN . . . SAMPAI DJUMPA . . . Doei !
Karena merasa dekat dengan Pak Djauhari Oratmangun, maka aku tulis kepada beliau: Pak Djauhari , , , , , sampai jumpa lagi. Doeoei!
Kalau tak salah, kira-kria empat tahun yang lalu aku berkenalan dengan Djauhari Oratmangun. Begitu kenal, kontan merasa seperti bertemu lagi dengan sahabat lama. Ketika itu beliau menjabat Kuasa Usaha KBRI Den Haag. Dubesnya Mohammad Joesoef, seorang karier diplomat. Beliau pernah bertugas sebagai Kepala Perwakilan RI di PBB New York. Dengan beliau aku merasa dekat sekali. Sama halnya dengan dubes sebelumnya: Abdul Irsan. Mengapa merasa dekat: Nanti akan tau sendiri ceriteranya. Djauhari orangnya ramah, gembira dan selalu antusias serta optimis.
Ketka itu Djauhari Oratmangun praktis orang pertama di KBRI Den Haag. Karena Dubes Moh. Joesoef, pas selesai tugasnya di Belanda. Beliau kembali ke Jakarta. Siapa yang akan menggantikan Moh. Joesoef sebagai dubes RI di Den Haag, masih belum ada berita dari Jakarta.
Hampir lima tahun kemudian, Wakil Kepala Perwakilan Djauhari Oratmangun kini selesai dengan tugasnya di KBRI Den Haag, dan akan kembali ke Jakarta. Wakil Kepala Per Haag. Untuk menyampaikan selamat jalan, KBRI mengadakan malam perpisahan pada hari Minggu, tanggal 25 Januari, di Sociaal Cultureel Centrum De Leuningjes, Poeldijk.
Dalam undangan KBRI untuk malam itu, yang kuterima melalui internet, a.l dinyatakan, sbb:
/*Besar harapan kami agar Bapak/Ibu/Sdr/i dapat pula mengajak masyarakat Indonesia lainnya untuk memeriahkan acara ini untuk bertatap muka dengan Bapak Djauhari Oratmangun di akhir masa baktinya sebagai Wakeppri di Belanda.' */
Karena pada hari itu aku sudah ada komitmen maka sayang tak bisa menghadiri malam perpisahan dengan Pak Jauhari Oratmangun. Maaf ya Pak! Terima kasih atas undangan!
* * *
Siapa saja di KBRI, kapanpun, apakah beliau-beliau itu dubes, orang keduanya, diplomat lainnya, atau bahkan staf-lokalnya sekalipun, apabila bersikap lurus, tak berat sebelah, tidak diskriminatif, tidak korup, jujur dan adil, memberikan cukup perhatian dan melakukan hubungan yang baik dengan masyarakat Indonesia di Belanda, pasti disambut baik oleh yang bersangkutan. Bukankah merupakan salah satu kewajiban perwakilan Indonesia di luarnegeri, untuk a.l. memperhatikan, membantu dan membela hak-sah dan kepentingan warga Indonesia yang bekerja, studi atau bermukim di luarnegeri. Tidak boleh berlaku dan bersikap acuh tak acuh, segan, bahkan tidak mau tau. Seperti yang pernah terjadi dengan sementara perwakilan RI di luarnegeri terhadap nasib para TKI yang mencari nafkah di situ dan memperoleh perlakuan sewenang-wenang dari sementara majikan dan pejabat negara bersangkutan! Padahal para TKI kita itu, sejak lama memberikan sumbangan tidak kecil terhadap sumber devisi RI.
* * *
Sedikit menoleh ke belakang: Dalam tahun 1965 meletus pergolakan dahsyat yang membawaa perubahan yang menjungkir balikkan situasi politik di Indonesia. Kelanjutannya tegak Orde Baru di Indonesia. Perubahan besar ini membawa perubahan pula di kalangan masyarakat Indonesia di luarnegeri.Situasi politik dalam negeri, tercermin pula pada sikap dan pendapat di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri. Mereka terpecah menjadi dua golongan besar. Satu golongan menyambut gembira dan memberikan dukungan pada rezim Orde Baru. Segolongan lainnya, mengambil sikap berprinsip yang tegas anti-Orba. Golongan ini umumnya adalah warga Indonesia yang cinta dan setia kepada prinsip demokrasi dan HAM, cinta pada Indonesia serta pendukung Presiden Sukarno. Banyak diantaranya adalah mantan pejuang kemerdekaan.
Dalam golongan yang anti rezim Orba, terdapat sejumlah besar warga Indonesia yang paspornya dengan sewenang-wenang dicabut oleh KBRI, kewarganegaraan mereka dirampas. Perlakuan KBRI tsb adalah sebagai reaksi terhadap sikap warga Indonesia yang menentang Orba, membela demokrasi dan membela Presiden Sukarno. Mereka menolak keras disuruh mengecam Presiden Sukarno. Karena sikap itu mereka dicap 'terlibat' atau mendukung 'G30S'. Dituduh orang-orang PKI atau pendukung PKI.
Di mancanegara, termasuk di Belanda berlangsung pelbagai kegiatan dan aksi massa yang mengecam rezim Jendral Suharto. Mereka minta perhatian mancanegara serta membela para korban persekusi dan pembantaian masal 1965. Dalam aksi-aksi tsb terdapat orang-orang Indonesia yang menentang rezim Orba. Pemerintah Orba dan KBRI dengan gempang-gampangan menuduh aksi-aksi dan gerakan tsb sebagai 'anti-Indonesia'. Betul mereka sering mendemo kedutaan RI, membuat pernyataan mengutuk Orba, bicara di media internasional dan menerbitkan bahan-bahan yang mengekspos korupsi, mengungkap diobralnya kekayaan INDONESIA kepada modal asing.
* * *
Sekitar pertengahan 1998 dunia menyaksikan berkobarnya gejolak besar yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Suatu gerakan massa yang luas bergelora dengan heibatnya. Mereka menuntut demokrasi dan reformasi. Menuntut stop terhadap korupsi dan diadilinya para pelaku. Di situ ikut juga kekuatan politik dan sosial, oknum-oknum birokrasi, sementara pejabat tinggi, sampai pada sementara menteri-menteri (tentu dengan perhitungan untung-rugi pribadi). Yang disebut belakangan ini tadinya merupakan bagian dari kekuasaan rezim Orba. Mereka berbalik. Dengan menyolok sekali tampil menuntut turun panggungnya Presiden Suharto. Sikap mereka itu sesungguhnya tidak mengherankan. Karena, situasi umum seluruh negeri sampai dikatakan sebagai 'suasana revolusioner'. Sementara negeri Barat yang tadinya kuat sekali mendukung dan merupakan talinyawa Jendral Suharto dan Orde Barunya, juga berbalik. Barat pun sudah emoh dengan Presiden Suharto, dan ingin Suharto diganti.
Bergeloranya gerakan Reformasi dan Demokratisasi yang telah menggulingkan rezim Presiden Suharto, dan memunculka pemerintahan Presiden Wahid/ Wapres Mega, sedikit banyak tercermin pengaruhnya pada pelbagai aparat negara. Termasuk tampak pada Kementerian Luarnegeri Indonesia dan pelbagai kedutaan Indonesia diluar negeri, inklusif KBRI di Belanda.
Juga jelas, bahwa tidak semua birokrasi dan aparat negara, termasuk KBRI, mendukung reformasi. Tidak semua rela menerima jatuhnya Presiden Suharto. Tidak semua rela dilepaskannya semua tahanan politik. Namun, mereka diam dan pasif karena khawatir akan dapat ´ganjaran´ atas sikap mereka yang bergelimang di satu lumpur dengan rezim Orba.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa sebagian besar diplomat Indonesia, dalam kedududkannya sebagai pegawai negeri yang patuh , seperti biasa melaksanakan bagaimana PERINTAH ATASAN. Bagaimanapun warna dan isinya atasan itu.
* * *
KBRI Den Haag, teristimewa dubesnya ketika itu, ABDUL IRSAN, mununjukkan bahwa ia memahami dan bersedia melangkah seirama dengan arus Reformasi dan Demokratisasi.
Pada zaman Orba, warga Indonesia yang dicabut paspornya, tidak pernah menginjakkan kakinya di KBRI.
Barulah menjelang kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid ke Belanda, mulai banyak orang-orang Indonesia penentang Orba, bersedia datang ke KBRI.
* * *
Baik kiranya dijelaskan sedikit, apa sebabnya banyak sahabat dan orang-orang Indonesia mulai merasa dekat dengan dubes Abdul Irsan. Itu dikarenakan oleh sikap beliau yang tanpa memandang pebedaan pendapat bersedia menerima dan mendatangi orang-orang Indonesia di Belanda. Demikianlah, menjelang kedatangan Menkumdang Yusril Izha Mahendra ke Den Haag (Januari 2000), atas instruksi Presiden Wahid untuk mengurus ´kepulangan´ orang-orang Indonesia yang dicabut paspornya, sementara kawan, termasuk penulis ini, berkunjung ke KBRI, menemui para penaggungjawabnya. Dengan sikap tulus, fihak KBRI menyatakan, agar memperlakukan KBRI ini sebagai ´rumah sendiri´. Aku fikir: Wah, bagus sekali pernyataan itu. Mudah-mudahan betul-betul dipraktekkan.
Pada suatu hari Dubes Irsan disertai sementara staf KBRI berkunjung ke rumah TM Siregar, Ketua SAS (Stichting Azië Studies) di Ganzenhoef, Amsterdam Bijlmer. Disitu beliau menemui kawan- kawan yang mengalami nasib paspornya dicabut Orba. Di situ kami makan bersama dan bertukar fikiran dengan leluasa. Tak lama kemudian Dubes Irsan mengundang teman-teman ke Wisma Duta di Wassenaar, untuk makan bersama. Gongnya adalah dilangsungkannya bersama hari PERINGATAN SEABAD BUNG KARNO, yang diorganisasi oleh kawa-kawan yang paspornya dicabut itu, bersama sahabat, handai lainnya dan KBRI. Bukankah ini situasi baik, dimana KBRI dan Wisma Indonesia melangkah ke WISMA INDONESIA yang ´beneran´, tanpa diskriminasi terhadap orang-orang yang pandangan politik dan keyakinannya berbeda (dengan Pemerintah) .
* * *
Yang benar-benar dirasakan hadirnya suasana Reformasi dan Demokratisasi di KBRI Den Haag, ialah ketika Dubes Moh Joesoef setuju terhadap satu permintaan penting yang kuajukan atas nama Stichting Wertheim. Bunyi permintaan yang tak sederhana itu ialah, sbb: Bisakah upacara pemberian 'Wertheim Award 2005', kepada budayawan Goenawan Mohammad, redaktur senior majalah Tempo, dan Joesoef Isak, pemimpin penerbit Hasta Mitra, dilangsungkan di ruangan WISMA NUSANTARA KBRI Den Haag. Jawaban Dubes Mohamad Joesoef kontan: Ya, bisa, silakan. Lakukan itu di ruangan 'Wisma Nusantara', KBRI Den Haag.
Jawaban yang diberikan Dubes Moh. Joesoef bagi kebanyakan orang samasekali tidak terduga. Sesuatu yang tak terbayangkan bisa terjadi sepuluh tahun sebelumnya.
Coba fikir, upacara penyerahan ´WERTHEIM AWARD´ kepada Goenawan Mohammad dan Joesoef Isak akan berlangsung di ruang Wisma Nusantara KBRI Den Haag. Siapa tidak kenal Goenawan Mohahamd? Siapa tidak lupa dengan pembereidelan majalah Tempo, yang dipimpin oleh Goenawan Mohammad. Siapa tidak kenal Joesoef Isak, eks-tapol, wartawan senior, penerbit novel Tetralogi Parmoedya Ananta Toer yang dilarang Orba.
Tengoklan, sekarang mereka jadi tamu terhormat KBRI Den Haag.
Selanjutanya, siapa yang memberikan kata sambutan atas peristiwa penting itu dari fihaK KBRI Den Haag. Tidak lain tidak bukan, orangnya adalah Wakeppri KBRI Den Haag,
DJAUHARI ORATMANGUN.
Nah, itulah ceriteranya kalau ingin tau mengapa aku merasa dekat dengan Djauhari Oragmangun. Sikapnya yang bebas dan memperlakukan kenalan dan sahabat sama sedrajat, tanpa diskriminasi meskipun ada perbedaan pandangan mengenai ha-hal tertentu, itulah Djauhari Oratmangun.
Selamat jalan Pak Djauhari. Mengharapkan sukses melaksanakan tugas baru nanti.
Harapan terbaik kami untuk Anda sekeluarga.
Sampai jumpa lagi.
* * *
No comments:
Post a Comment