Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Selasa, 17 Februari 2009
Dialog 'LEKRA' - 'MANIKEBU' Di UTAN
KAYU
Sewajarnyalah disambut baik prakarsa/rencana kegiatan kebudayaan yang akan diselenggarakan KOMUNITAS UTAN KAYU, pada hari Rabu, besok. Mereka akan menggelar diskusi di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Menjadi tema diskusi adalah buku JJ Kusnsi berjudul 'Menoleh Silam Melirik Esok', terbitan Ultimus, Bandung, Februari 2009.
Menurut berita, direncanakan kehadiran tokoh-tokoh Lekra serta organisasi yang terlibat polemik di Indonesia tahun 60-an. Mereka itu a.l. Josoef Isak, Goenawan Mohammad, Amarzan Lubis, Putu Oka Sukanta, Amrus Natalsya dll. Penyelenggara diskusi juga mengharapakan agar sastrawan dan aktivis generasi muda hadir dan ambil bagian aktif dalam diskusi besok itu.
* * *
Hampir setengah abad yang lalu, di Indonesia terjadi perdebatan penting antara 'LEKRA' (Lembaga Kebudayaan Rakyat) versus 'MANIKEBU' (Manifes Kabudayaan). Perdebatan tsb terfokus pada dua konsep kesenian dan kebudayaan. Secara konfrontatif, dua konsep seni itu dikemukakan sebagai visi 'SENI UNTUK SENI' yang dianut oleh Manikebu, versus visi seni Lembaga Kebudayaan Rakya, yaitu 'SENI UNTUK RAKYAT'. Tak terelakkan perdebatan menyinggung masalah politik aktuil.
Tercatat bahwa keadaan ketika itu, seluruh bangsa sedang terlibat dalam perjuangan hidup-mati, khususnya perjuangan pembebasan Irian Barat melawan Belanda (anggota persekutuan militer Barat - NATO). Selain itu sedang hebat-hebatnya dilaksanakan politik Konfrontasi Lawan 'Malaysia'. 'Malaysia' -- oleh Presiden Sukarno dan politik resmi pemerintah RI ketika itu dinilai sebagai suatu proyek neo-kolonialisme Inggris, dengan ujung tombak disasarkan terhadap Republik Indonesia. RI berada dalam perjuangan membebaskan Irian Barat. Sambil mempertahankan politik luarnegeri yang bebas dan aktif sesuai Semangat Bandung (Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955)
Polemik atau perdebatan tsb a.l. mempersoalkan: Tidakkah Seni/Sastra/Budaya itu seharusnya diabdikan demi kepentingan perjuangan nasional. Ataukah Seni itu sewajarnya adalah untuk Seni, terlepas dari perjuangan (politik) aktuil rakyat. Apakah kesenian itu bisa bebas dari politik, terlepas samasekali dari pengaruh kekuasaan yang riil? Tidakkah seniman, pencipta seni, sudah sewajarnya menimba inspirasinya dari rakyat. Selanjutnya mengabdikan seni untuk kepentingan rakyat dan haridepannya. Apakah diperbolehkan kebebasan dalam mencipta? Apakah kebebasan mencipta itu bukan hak azasi setiap insan yang tidak boleh dilanggar? Apakah seni akan bisa murni dan indah bila bermotivasi politik. Kemudian dipertanyakan apakah dalam kenyataan hidup ada seni/budaya yang samasekali lepas dari sesuatu ideologi?
Demikianlah a.l soal-soal yang diperdebatkan secara nasional, dalam rangka mencari apa yang diperlukan bangsa dalam membangun seni dan sastranya, membangun kebudayaannya. Bisa jadi ditampilkannya permasaalahan seerti dikemukakan diatas kurang lengkap. Oleh karena itu disayangkan banyak catatan dan dokumentasi mengenai polemik itu sudah tiada. Lebih-lebih lagi disayangkan bahwa banyak peserta polemik itu sudah tiada, menjadi korban dari periode dimana kaum kiri menjadi sasaran persekusi dan pemusnahan. Sehingga perdebatan LEKRA vs Manikebu itu terhenti tanpa kesimpulan. Tanpa adanya kesimpulan masyarakat yang memadai.
* * *
Diskusi yang berlangsung menjadi tajam dan gawat disebabkan sangkut pautnya dengan suasana 'PERANG DINGIN' antara Blok Sosialis (Uni Sovyet, RRT dan negeri-negeri sosialis lainnya) versus Blok Kapitalis (AS, Inggris, Perancis yang tergabung dalam NATO). Disebut juga konfrontasi antara 'Oldefo - Old Established Forces atau imperialisme dkk vs 'The New Emerging Forces', seperti dikemukakan oleh Bung Karno ketika beliau mengungkapkan visinya mengenai situasi dunia ketika itu.
Perdebatan terbuka antara Lekra dan Manikebu tak berlangsung mulus. Ia berhenti di tengah jalan. Golongan Manikebu menganggap LEKRA sebagai bagian dari gerakan KIRI/PKI, yang sedang berada 'diatas angin' menggunakan pengaruhnya, untuk memberangus MANIKEBU. Manikebu dibubarkan. Namun, nyatanya pembubaran Manikebu, adalah atas instruksi Menteri PPK Prof. Priyono dari Partai Murba, yang justru dalam perpolitikan Indonesia ketika itu adalah saingan PKI.
Adalah penting untuk dicatat bahwa suatu ketika, terungkap adanya pendapat Nyoto, salah seorang tokoh pimpinan LEKRA yang juga adalah Wakil Ketua II CC PKI, sehubungan masalah perdebatan antara Lekra vs Manikebu. Nyoto mempertanyakan lebih-lebih menyayangkan mengapa ketika itu pemerintah membubarkan Manikebu. Nyoto berpendapat bahwa adalah lebih baik bagi pendidikan politik masyarakat bila perdebatan antara LEKRA dan Manikebu berlangsung sampai selesai. Beberapa waktu sesudah terjadinya peristiwa 'G30S' dan dibubarkannya PKI oleh Panglima Kopkamtib, Jendral Suharto, Nyoto dibunuh oleh aparat tanpa peroses pengadilan apapun. Juga tanpa diiketahui dimana kuburannya.
Sejak berdirinya Orba, Lekra dibubarkan. Manikebu berada di atas angin. Sayang Mankebu tidak menggunakan kesempatan tsb untuk membuka kembali polemik antara dua konsep SENI untuk SENI versus SENI Untuk RAKYAT.
Ketika Pramudya Ananta Tur memperoleh 'Raymon Magsausay Award' untuk buku-buku Pulau Burunya kontan Mochtar Lubis (juga permenang 'Raymon Magsaysay Award') mengembalikan penghargaan yang diberikan kepadanya, sebagai protes diberikannya penghargaan kepada Pram.
Pandangan yang diametral menentang Lekra, dan Pram sebagai tokoh Lekra, mengklaim bahwa Lekra berdiri di belakang pembubaran Manikebu. Tuduhan tsb dibantah oleh Pram ketika ia masih hidup. Pram menyatakan bahwa ia sepenuhnya menyokong adanya polemik. Pram menyatakan bahwa adalah mereka-mereka yang menentangnya itulah yang meninggalkan polemik.
* * *
Semua itu berlangsung di masa lampau. Hampir setengah abad sudah berlalu. Situasi dan keadaan berkembang terus. Pemikiran manusia juga berkembang. Apakah akan diambil sikap 'biar yang lalu berlalu' , 'lebih baik melihat kedepan' ?
Tokh kuat anggapan bahwa, dari dialog atau polemik antara dua konsep seni, kiranya dapat ditarik pelajaran yang berharga. Mungkin buku JJ Kusni adalah suatu usaha serius untuk menjawab soal-soal yang muncul dari perdebatan atau polemik itu.
* * *
Untuk memperoleh gambaran bagaimana kira-kira diskusi di Teater Utan Kayu besok, baik kita ikuti pemberitaan yang menyertai pengumuman akan dilangsungkannya peluncuran buku JJ Kusni, besok itu. Ambillah secuplik dari Kata pengantar Gunawan Mohammad untuk buku JJ Kusni. Ditulisnya buku JJ Kusni baik bagi mereka yang ingin meneliti lebih jauh sekitar polemik sastra dan seni ditahun 1960-an, yang umumnya disederhanakan sebagai 'polemik antara Lekra dan Manikebu'. Dijelaskan pula bahwa ada statement Taufik Ismail yang dimaksudkan untuk menyambut 'perdamaian total', atau 'rekonsiliasi' antara kedua 'kubu' tsb. Terhadap statemen Taufik Ismail, Kusni menyusun jawabannya yang ditulis dalam bahasa yang santun dan jelas.
Maka sebuah dialog tampaknya kembali dibuka -- meskipun saya tak tahu pasti apakah dengan demikian kita akan bisa menyaksikan sebuah 'rekonsiliasi'. Sangat mungkin yang terjadi adalah sebuah daur ulang - meskipun tak berarti hanya sia-sia. Demikian Goenawan Mohammad dalam Pengantar buku Kusni JJ tsb.
Lalu dikutip kata-kata Taufik Ismail yang dimaksudkan memberi makna terhadap 'Tentang Rekonsiliasi. Tentang 'perdamaian total', sbb:
'Sebuah audit dendam akan berkepanjangan dan tak jelas kesudahannya. Dan dari kuburnya Marx dan Lenin tetap saja mengulurkan rantai kesumat yang di Indonesia ujungnya masih membelit bangsa. Saya menyarankan perdamaian total, lebih maju selangkah ketimbang rekonsiliasi . PERDAMAIAN TOTAL. Rantai dendam yang membelit bangsa itu harus segera dipotong habis; . Demikian Taufik Ismail.
Akhirnya dikutip setidikit dari JJ Kusni, sbb:
'Dogmatisme, keusangan, kerapuhan, dan kekroposan terjadi baik pada kalangan kiri dan maupun golongan kanan'. Demikian JJ Kusni.
* * *
Apakah benar solusi terbaik dari polemik itu, adalah lahirnya suatu 'rekonsiliasi' atau 'perdamaian total'? Itu sulit diramal.
Namun, bila diambil suatu sikap yang bertolak dari kenyataan hidup banga yang berragam etnik, kultur dan keyakinan, serta dirasa perlu dan medesak mempersatukan seluas mungkin bangsa ini demi haridepan yang lebih baik, maka sikap atau pandangan yang sesuai adalah pandangan hidup 'BHINNEKA TUNGGAL IKKA', -- yaitu 'BERBEDA-BEDA TAPI SATU' atau 'KESATUAN DALAM PERBEDAAN'. Bisa juga dikatakan sebagai suatu pentrapan kebijakan Timur yang MEMBIARKAN SERATUS BUNGA MEKAR BERSAMA DAN SERATUS FIKIRAN BERSAING BERSUARA. Tentu dengan landasan sikap saling menghormati pandangan yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lainnya.
Dalam suatu masyarakat yang multikultural, transparan, toleran, seyogianya dua konsep kesenian, seperti 'SENI UNTUK RAKYAT' dan 'SENI UNTUK SENI', dibenarkan untuk berkoeksistensi dan berkompetisi secara wajar. Bahkan konsep-konsep kesenian lainnyapun punya hak hidup selama ada penganut dan pembelanya.
* * *
1 comment:
Yang jelas orang-orang dalam manikebu tak mengalami lecet sedikitpun di tahun 1965. Sementara golongan lekra dimusnahkan, di tindas, dirampok, diasingkan, diperas dan sebagainya. Manikebu menikmati masa pembangunan tanpa ingat dengan atau berusaha mengadvokasi sesama seniman yang kebetulan dalam lekra. Menurut saya manikebu adalah kelompok seniman pengecut dan penakut. Sementara seniman lekra tetap pada pendirian walau di pembuangan..
Post a Comment