Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 21 Feb. 2009.
--------------------------------------------------
REHABILITASI Bagi Penyair Pejuang Turki
NAZIM HIKMET
Bisa saja kalangan sastra dan budayawan Indonesia dewasa ini, tidak atau belum kenal nama penyair Turki terkenal abad ke-xx dan Pejuang NAZIM HIKMet (1902 - 1963). Meskipun Indonesia sudah melewati prahara RERFORMASI yang berlangsung sepuluh tahun yang lalu. Hal mana memberikan syarat baik bagi siapa saja yang berkepedulian di Indnesia untuk mengakses dokumentasi situasi sastra dan seni dunia selama Perang Dingin. Untuk akhirnya menemukan nama NAZIM HIKMET.
Aku tergugah menuliskan sepatah dua kata mengenai NAZIM HIKMET. Tergugah dan tersentak, dengan berita BBC yang kudengar pada suatu beberapa hari yang lalu, sbb: Pemerintah TURKI MEMUTUSKAN MEREHABILITASI PENYAIR NAZIM HIKMET. Aku heran juga mendengar kebijakan rehabilitasi ini karena pemerintah Turki dalam perpolitikan Turki dewasa ini, adalah suatu pemerintah yang cenderung pada Islamisme. Bukankah suatu kekuasaan Islam oleh pers Barat sering diidentikkan dengan konservatisme? Lebih-lebih lagi jadi tercengang ketika mendengar alasan yang dikemukakan pemerinah Turki untuk merehabilitasi Nazim Hikmet.
Wakil PM Turki Cemil Cicek menyatakan bahwa saat ini sudah waktunya <46> bagi pemerintah untuk mengubah pandangannya. Pasti orang bertanya kiranya dulu itu bagaimana pandangan pemerintah Turki persisnya, dan bagaimana pula pandangan sesudah berubah sekarang ini. Kata Wakil PM Turki Cemil Cicek selanjutnya: 'Kejahatan-kejahatan (yang dilakukan Nazim Hikmet) yang memaksa pemerintah Turki merenggutkan kewarganegaraanya itu (1951), tidak lagi diangggap sebagai suatu kejahatan'. Lalu dijelaskannya bahwa tergantung pada keluarga Nazim Hikmet yang masih ada untuk mengambil keputusan bila mereka menghendaki jenazahnya diambil dari Moskow, sesuai dengan kehendak wasiat Nazim Hikmet yang ingin dikuburkan di bawah sebatang pohon di pekuburan Anatolia, tempat kelahirannya di Turki.
Meskipun agak terlambat pemerintah Turki tiba pada kesedaran dan kesimpulan baru untuk MEREHABILITASI KEHORMATAN NAZIM HIKMET, namun kebijakan tsb, apapun pertimbangannya, pantas dihargai.
Aku teringat pada seorang cenais Belanda bernama JORIS IVENS. Joris Ivens dikirim oleh pemerintah Belanda ke Indonesia untuk membuat film dokumenter kembalinya Belanda ke INDONESIA (1945). Di Indonesia Joris yang Komunis anggota CPN itu, tergugah dan bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan INDONESIA. Seperti Poncke Prinsen, Joris berbalik, 'membelot' menjadi penentang politik Den Haag yang hendak mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Ivens lalu membuat film dokumenter terkenal bernama 'INDONESIA CALLING'. Film dokumenter itu menyerukan kepada dunia untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keruan saja, Joris Ivens dicap pengkhianat oleh pemerintah Belanda ketika itu. Kewarganegaraannya dirampas. Joris Ivens selanjutnya hidup sebagai orang eksil di Paris.
Pada periode kabinet Lubbers di Belanda (Tahun 1980-an), pemerintah mengubah pandangannya. Den Haag merasa vonis terhadap Ivens dulu itu adalah keliru. Selanjutnya pemerintah Lubbers mengirimkan Menteri Kebudayaannya Elco Brinkman, sendiri datang ke Paris menemui si 'pembelot' Joris Ivens. Di Paris Menteri Kebudayaan Belanda itu minta maaf kepada Joris Ivens. Dengan itu merehabilitasi nama baik Joris Ivens sebagai cineais Belanda. Selanjutnya di Belanda nama Joris Ivens dipakai untuk pemberian 'Joris Ivens Award', bagi film-film dokumenter terbaik di Belanda.
Haaa , siapa bilang penguasa Indonesia pantas-pantasnya RENDAH HATI BELAJAR DARI KEBIJAKAN BERANI SELF-KOREKSI SEPERTI YANG DILAKUKAN OLEH ORANG-ORANG BELANDA . . . . DAN orang-orang Turki.
* * *
Dihadapkan pada peristiwa REHABILITASI NAZIM HIKMET penyair Turki, dan cineaIs Belanda JORIS IVENS, fikiranku meluncur ke seniman-seniman progresif Indonesia yang dipersekusi Orba, yang dituduh dan nama baik mereka diburukkan sedemikian rupa. Mereka dicap sebagai 'orang bermasalah' serta didiskriminasi. Kapanpun tidak bisa dibenarkan kesewenang-wenangan dan diskriminasi rezim Orba terhadap seniman, sastrawan, kritikus, penerjemah dan budayawan seperti: Pramudya Ananta Tur, S. Kuntjahyo, Banda Harahap, Agam Wispi, Nyoto, Jubaar Ayub, Widji Thukul, Oei Hay Djun, A.S. Dharta dan banyak lainnya lagi, yang sudah tiada dan nama baik mereka masih BELUM DIREHABILITASI PEMERINTAH. Juga orang akan teringat pada mereka-mereka yang masih hidup yang namanya masih belum dibersihkan dari tuduhan dan fitnahan penguasa selama rezim Orba.
* * *
Nazim Hikmet adalah seorang penyair dan penulis drama terkenal yang punya banyak penggemar dan pencintanya di dalam maupun di luar Turki. Untuk karya-karya sastranya itu Nazim Hikmet memperoleh penghargaan 'Hadiah Internasional untuk Perdamaian Dunia'. Ia meninggal dunia dalam eksil di Moskow dalam tahun 1963. Karena berani memperjuangkan kebebasan, kebenaran dan keadilan, Nazim Hikmet dipenjarakan bertahun-tahun lamanya di Turki. Kemudian kewarganegaraannya dicabut atas tuduhan 'melakukan kegiatan menentang negara'. Sebab yang sesungguhnya mengapa Nazim Hikmet dipersekusi ialah karena ia berani dan teguh melakukan kegiatan sebagai seorang seniman kritis yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Turki dan demi perdamaian dunia.
* * *
Pada periode 'Perang Dingin', apa yang dilakukan Nazim Hikmet, bagi pemerintah Turki yang anggota NATO (persekutuan militer blok Barat di bawah komando AS) itu adalah sesuatu yang 'tabu' dan merupakan 'dosa tak berampun'. Persekusi dan pencabutan kewarganegaraan Nazim Hikmet, penyebab utamanya ialah karena keyakinan politiknya. Nazim Hikmet adalah seorang MARXIS. Kalangan budayawan mancanegara menilai karya-karya Nazim Hikmet pada tahun 1930-an ketika itu telah memainkan peranan amat penting dalam proses perevolusioneran seni sastra Turki. Karyanya telah diterjemahkan dalam lebih dari 50 bahasa di dunia ini.
Pada periode Presiden Sukarno, seniman-seniman Lekra sempat menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia beberapa sajak Nazim Hikmet. Selama rezim Orba, logis, tak satupun sajak atau drama Nazim Hikmet yang pernah muncul di dalam kehidupan literatur Indonesia.
Bisa dibuka kembali dokumentasi media pada periode Presiden Sukarno, pasti akan ditemukan sebuah dokumen yang menunjukkan satu-satunya lembaga politik Indonesia yang menyatakan solidaritasnya pada NAZIM HIMET dan menuntut pembebasannya dari penjara pemerintah Turki: Lembaga itu adalah Kongres Ke-V PKI (1954) yang mengambil resolusi mengenai tuntutan pembebasan Nazik Hikmet.
* * *
No comments:
Post a Comment