IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Rabu, 21 Januari 2009
----------------------------
WINTERNACHTEN - (1)
Dengan NURUDDIN FARAH
Dinginnya sih dingin! Hari itu lebih dingin dari kemarinnya. Merasuk sampai ke tulang-belulang apalagi bagi orang yang sudah manula . Masya Allah!
Tokh kami 'lakoni' juga, orang-orangtua seperti kami ini, ber-metro, ber-kereta-api dan ber-tram sore/malam itu. Tujuan: Theater Aan Het Spui, Den Haag. Demi memenuhi undangan yang kuterima untuk dua acara 'WINTERNACHTEN', Den Haag. Direktur Ton van de Langkruis dan / Administratur Pengelola/ Tineke van Manen sungguh baik hati! Tahun ini aku terima lagi empat 'ticket undangan' untuk dua acra masing-masing, untuk hari Kemis tanggal 15 Januari dan Jum'at keesokan harinya. Kuajak teman-lama Cisca Pattipilohy bersamasama memenuhi undangan 'Winternachten'. Kalau harus beli ticket sendiri, harganya Euro 25 per ticket untuk acara satu hari.
Begitulah ceriteranya.
Kami berdua, bisa 'berkenalan' dengan penulis Somali kenamaan, NURUDDIN FARAH (64th), yang tampil dalam acara 'WINTERNACHTEN' Den Haag, 15 Januari, 2009 yang lalu.
* * *
Siapa Nuruddin Farah?
Farah adalah seorang penulis dan guest-lecturer di pelbagai universitas Eropah dan Amerika. Di mancanegara Farah dijuluki sebagai seorang 'COSMOPOLIT'. Namun, tak diragukan Farah amat mecintai tanah-tumpah-darahnya, Somali. Dan . . . Farah akan selalu menulis mengenai tanahirnya, Somali.
Ada daya tarik istimewa bagiku mengapa ingin hadir mendengar Nuruddin Farah. Meskipun sebelumnya tidak pernah kudengar atau membaca nama Nuruddin Farah. Daya tarik istimewa itu: Kesamaan besar dengan aku, sebagai ORANG EKSIL. Orang yang pasti dipenjarakan bila tidak meninggalkan tanahairnya. Sedikit beda dengan aku : Farah, adalah seorang 'self-exiled'.
Sebelum melanjutkan cerita ini baik kiranya disegarkan dalam ingatan masing-masing tentang apa itu 'WINTERNACHTEN'. Apa pula kegiatannya? Sudah pernah kutulis mengenai 'Winternachten' tahun lalu. Tapi tak ada salahnya ditulis lagi. Mungkin masih ada yang belum kenal.
Kegiatan 'WINTERNACHTEN' sejak berdirinya, 1995, diabdikan pada usaha untuk membangun dan memelihara jaringan penulis dan penyair Nederland dengan negeri-negeri yang punya hubungan historis dengan Nedeland. Yaitu: Indonesia, Suriname dan Antilia Nederland serta Afrika Selatan. Sejak 'Winternachten 2008' jaringan tsb juga termasuk Maroko dan wilayah Arab serta Turki. 'Winternachten' bukan lembaga resmi pemerintah. Namun mendapat dukungan termasuk bantuan finansil dari pelbagai lembaga masyarakat lainnya, termasuk dari Kotapraja Den Haag.
Setiap tahunnya 'Winternachten' menyelenggarakan festival di Den Haag, dengan sastrawan, seniman, musik dan film-film. Lebih dari 60 penulis, penyair dan musikus terutama dari negeri-negeri non-Barat. Mereka mepertunjukkan acaranya di pelbagai panggung. Selain menyelenggarakan festival tahunan, 'Winternachten' adalah partner di pelbagai acara kegiatan di negeri-negeri yang bersangkutan. 'WINTERNACHTEN' bekerjasama dengan organisasi-organisasi lokal di Indonesia, Afrika Selatan, Antilia Nederland dan Suriname. Dalam tour-tour yang mereka selenggarakan seorang penulis atau penyair dari negeri yang bersangkutan ikut bersama dalam tour itu dan merupakan bagian dari program luarnegeri. Dengan berbuat demikian, pertemuan para penulis dan penyair dari pelbagai latar belakang kulturil juga berlangsung di tempat-tempat di luar Belanda. Temu muka dan dialog lintas bangsa dan lintas kultur tsb merupakan salah satu cara efektif untuk memajukan saling mengerti dan saling menghargai antara Barat dan Timur.
Festival 'Winternachten' 2009, yang ke-15 kalinya ini, di mana kami beruntung bisa ikut hadir, dibuka di Nieuwe Kerk di Den Haag dengan ceramah Nuruddin Farah. Dari situ tiga hari selanjutnya dipentaskan acara-acara selanjutnya. Lebih dari delapanpuluh penulis, artis dan musikus dari mancanegara memberikan pertunjukan. Antara lain: Amitay Ghosh, Alain botton, Nury Vittachi, Shrinivsi, Cpnnie Palmen, Nyangyal Lhamo, Gerrit Komrij, Izaline Calistern dan lain-lain.
* * *
Suatu ketika Nuruddin Farah, dosen dan penulis yang selalu menulis mengenai negerinya, menyatakan sbb:
'Orang-orang Somali sangat menginginkan agar ada yang bangkit dan menulis tentang negerinya. Tetapi ketika saya menulis buku saya 'The Crooked Rib', yang mengandung banyak kritik terhadap bagaimana masyarakat Somali memperlakukan perempuan dan anak-anak, kontan mereka menghujat saya . 'Masya Allah, suruh orang itu menutup mulutnya', ujar mereka.
Diktator Jendral Syad Bare telah membungkam semua. Kritik-kritik terhadap Somali dilarang. Jika saya dari luarnegeri menilpun anggota keluarga saya, mereka akan dipecat. Nama saya tidak boleh disebut. Datang ke Somali tidak boleh membawa buku saya. Nah, sekarang orang-orang itu mengatakan: 'Ya Allah, suruh dia buka lagi mulutnya'.
'Ketika saya masih lebih muda, pernah saya mengklaim bahwa saya ingin mempertahankan Somali tetap eksis. Soalnya, dalam ingatan kaum eksil, negeri ini nyaris punah. Sekarang saya ingin memberikan formulasi lain. Saya akan mengatakan bahwa, bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan Somali dalam ingatan saya'.
Dengan jatuhnya diktator Jendral Syad Bare, terbuka kemungkinan penulis Nuruddin Farah berkunjung ke tanah airnya. Tetapi situasi politik dan keamanan Somali masih labil. Maka Farah tidak pulang untuk menetap di negerinya sendiri. Benar saja, rezim Somali yang terdiri dari raja-raja perang terus saja saling berperang. Disusul oleh suatu rezim yang menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kelanjutan dari sini timbul lagi perpecahan yang menjadi-jadi. Sebagai seorang sekularis Farah memilih sementara tinggal di luar dulu.
Kata Farah: Formal saya sekarang boleh lagi berkunjung ke Somali, dan sudah berkali-kali saya berkunjung.
Interesan mengikuti pemikiran Nuruddin Farah mengenai masalah 'pulang' ke tanahairnya untuk menetap. Farah:
'Saya pertama-tama kembali ke Somali atas keperluan artistik, untuk pemulihan dari 'neurose' - suatu penyakit syaraf disebabkan oleh faktor-faktor psikologis - . Saya juga melakukan riset terhadap problim, apa yang terjadi dengan suatu negeri, dimana orang-orang mengalami rusak-ingatan dan samasekali kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Terhadap ketiadaan-kemanusiaan yang merupakan lanjutan dari perang-saudara yang berkepanjangan.
Selanjutnya: 'Saya ingin punya lebih banyak waktu untuk menangani masalah ini sendiri. Terkadang saya mencuri waktu sendiri. Untuk seminggu lamanya saya bisa memusatkan pada usaha-keras demi perdamaian di Somali.
'Selalu ada perasaan memikul kesalahan, disebabkan harus meninggalkan negeri ini. Ada keinginan untuk bisa berbuat sesuatu. Pergi ke Somali lalu menjadi seperti melihat ke dalam sebuah kaca pecah. Apakah pecahnya kaca itu disebabkan oleh kesalahan sendiri, atau salahnya kaca itu sampai jadi pecah?'
* * *
Dalam diskusi yang berlangsung sesudah ceramahnya pada malam Winternachten, 15 Januari y.l. Nuruddin Farah mengungkapkan apa yang selalu dikatakannya kepada orang-orang Somali yang sudah bermukim di Belanda.
Farah -- ´Kalian ini, jadilah se-Belanda mungkin, tanpa meninggalkan identitas budaya Somali dalam dirimu´.
Nuruddin Farah menganggap bahwa orang-orang Somali yang sudah menjadikan negeri Belanda sebagai tanah airnya sendiri, supaya mengambil sikap dengan sungguh-sungguh dan serius berintegrasi dalam masyarakat Belanda. Pada titik ini aku teringat pada konsep Bapak Baperki, Siauw Giok Tjhan, yang menganjurkan kepada orang-orang keturuan Tionghoa untuk berintegrasi dengan bangsa INDONESIA. Menjadi orang Indonesia, tanpa melupakan tradisi dan kebudayaan leluhurnya. Melaksanakan dengan baik-baik prinsip BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Namun, Farah dengan tajam juga mempertanyakan, sampai dimana orang-orang Belanda, masyarakat Belanda, bangsa Belanda, bersedia menerima orang-orang migran atau eksil yang mau berintegrasi di Belanda. Sama seperti orang Belanda yang ´otochtoon´. (Bersambung)
* * *
Rabu, 21 Januari 2009
----------------------------
WINTERNACHTEN - (1)
Dengan NURUDDIN FARAH
Dinginnya sih dingin! Hari itu lebih dingin dari kemarinnya. Merasuk sampai ke tulang-belulang apalagi bagi orang yang sudah manula . Masya Allah!
Tokh kami 'lakoni' juga, orang-orangtua seperti kami ini, ber-metro, ber-kereta-api dan ber-tram sore/malam itu. Tujuan: Theater Aan Het Spui, Den Haag. Demi memenuhi undangan yang kuterima untuk dua acara 'WINTERNACHTEN', Den Haag. Direktur Ton van de Langkruis dan / Administratur Pengelola/ Tineke van Manen sungguh baik hati! Tahun ini aku terima lagi empat 'ticket undangan' untuk dua acra masing-masing, untuk hari Kemis tanggal 15 Januari dan Jum'at keesokan harinya. Kuajak teman-lama Cisca Pattipilohy bersamasama memenuhi undangan 'Winternachten'. Kalau harus beli ticket sendiri, harganya Euro 25 per ticket untuk acara satu hari.
Begitulah ceriteranya.
Kami berdua, bisa 'berkenalan' dengan penulis Somali kenamaan, NURUDDIN FARAH (64th), yang tampil dalam acara 'WINTERNACHTEN' Den Haag, 15 Januari, 2009 yang lalu.
* * *
Siapa Nuruddin Farah?
Farah adalah seorang penulis dan guest-lecturer di pelbagai universitas Eropah dan Amerika. Di mancanegara Farah dijuluki sebagai seorang 'COSMOPOLIT'. Namun, tak diragukan Farah amat mecintai tanah-tumpah-darahnya, Somali. Dan . . . Farah akan selalu menulis mengenai tanahirnya, Somali.
Ada daya tarik istimewa bagiku mengapa ingin hadir mendengar Nuruddin Farah. Meskipun sebelumnya tidak pernah kudengar atau membaca nama Nuruddin Farah. Daya tarik istimewa itu: Kesamaan besar dengan aku, sebagai ORANG EKSIL. Orang yang pasti dipenjarakan bila tidak meninggalkan tanahairnya. Sedikit beda dengan aku : Farah, adalah seorang 'self-exiled'.
Sebelum melanjutkan cerita ini baik kiranya disegarkan dalam ingatan masing-masing tentang apa itu 'WINTERNACHTEN'. Apa pula kegiatannya? Sudah pernah kutulis mengenai 'Winternachten' tahun lalu. Tapi tak ada salahnya ditulis lagi. Mungkin masih ada yang belum kenal.
Kegiatan 'WINTERNACHTEN' sejak berdirinya, 1995, diabdikan pada usaha untuk membangun dan memelihara jaringan penulis dan penyair Nederland dengan negeri-negeri yang punya hubungan historis dengan Nedeland. Yaitu: Indonesia, Suriname dan Antilia Nederland serta Afrika Selatan. Sejak 'Winternachten 2008' jaringan tsb juga termasuk Maroko dan wilayah Arab serta Turki. 'Winternachten' bukan lembaga resmi pemerintah. Namun mendapat dukungan termasuk bantuan finansil dari pelbagai lembaga masyarakat lainnya, termasuk dari Kotapraja Den Haag.
Setiap tahunnya 'Winternachten' menyelenggarakan festival di Den Haag, dengan sastrawan, seniman, musik dan film-film. Lebih dari 60 penulis, penyair dan musikus terutama dari negeri-negeri non-Barat. Mereka mepertunjukkan acaranya di pelbagai panggung. Selain menyelenggarakan festival tahunan, 'Winternachten' adalah partner di pelbagai acara kegiatan di negeri-negeri yang bersangkutan. 'WINTERNACHTEN' bekerjasama dengan organisasi-organisasi lokal di Indonesia, Afrika Selatan, Antilia Nederland dan Suriname. Dalam tour-tour yang mereka selenggarakan seorang penulis atau penyair dari negeri yang bersangkutan ikut bersama dalam tour itu dan merupakan bagian dari program luarnegeri. Dengan berbuat demikian, pertemuan para penulis dan penyair dari pelbagai latar belakang kulturil juga berlangsung di tempat-tempat di luar Belanda. Temu muka dan dialog lintas bangsa dan lintas kultur tsb merupakan salah satu cara efektif untuk memajukan saling mengerti dan saling menghargai antara Barat dan Timur.
Festival 'Winternachten' 2009, yang ke-15 kalinya ini, di mana kami beruntung bisa ikut hadir, dibuka di Nieuwe Kerk di Den Haag dengan ceramah Nuruddin Farah. Dari situ tiga hari selanjutnya dipentaskan acara-acara selanjutnya. Lebih dari delapanpuluh penulis, artis dan musikus dari mancanegara memberikan pertunjukan. Antara lain: Amitay Ghosh, Alain botton, Nury Vittachi, Shrinivsi, Cpnnie Palmen, Nyangyal Lhamo, Gerrit Komrij, Izaline Calistern dan lain-lain.
* * *
Suatu ketika Nuruddin Farah, dosen dan penulis yang selalu menulis mengenai negerinya, menyatakan sbb:
'Orang-orang Somali sangat menginginkan agar ada yang bangkit dan menulis tentang negerinya. Tetapi ketika saya menulis buku saya 'The Crooked Rib', yang mengandung banyak kritik terhadap bagaimana masyarakat Somali memperlakukan perempuan dan anak-anak, kontan mereka menghujat saya . 'Masya Allah, suruh orang itu menutup mulutnya', ujar mereka.
Diktator Jendral Syad Bare telah membungkam semua. Kritik-kritik terhadap Somali dilarang. Jika saya dari luarnegeri menilpun anggota keluarga saya, mereka akan dipecat. Nama saya tidak boleh disebut. Datang ke Somali tidak boleh membawa buku saya. Nah, sekarang orang-orang itu mengatakan: 'Ya Allah, suruh dia buka lagi mulutnya'.
'Ketika saya masih lebih muda, pernah saya mengklaim bahwa saya ingin mempertahankan Somali tetap eksis. Soalnya, dalam ingatan kaum eksil, negeri ini nyaris punah. Sekarang saya ingin memberikan formulasi lain. Saya akan mengatakan bahwa, bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan Somali dalam ingatan saya'.
Dengan jatuhnya diktator Jendral Syad Bare, terbuka kemungkinan penulis Nuruddin Farah berkunjung ke tanah airnya. Tetapi situasi politik dan keamanan Somali masih labil. Maka Farah tidak pulang untuk menetap di negerinya sendiri. Benar saja, rezim Somali yang terdiri dari raja-raja perang terus saja saling berperang. Disusul oleh suatu rezim yang menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kelanjutan dari sini timbul lagi perpecahan yang menjadi-jadi. Sebagai seorang sekularis Farah memilih sementara tinggal di luar dulu.
Kata Farah: Formal saya sekarang boleh lagi berkunjung ke Somali, dan sudah berkali-kali saya berkunjung.
Interesan mengikuti pemikiran Nuruddin Farah mengenai masalah 'pulang' ke tanahairnya untuk menetap. Farah:
'Saya pertama-tama kembali ke Somali atas keperluan artistik, untuk pemulihan dari 'neurose' - suatu penyakit syaraf disebabkan oleh faktor-faktor psikologis - . Saya juga melakukan riset terhadap problim, apa yang terjadi dengan suatu negeri, dimana orang-orang mengalami rusak-ingatan dan samasekali kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Terhadap ketiadaan-kemanusiaan yang merupakan lanjutan dari perang-saudara yang berkepanjangan.
Selanjutnya: 'Saya ingin punya lebih banyak waktu untuk menangani masalah ini sendiri. Terkadang saya mencuri waktu sendiri. Untuk seminggu lamanya saya bisa memusatkan pada usaha-keras demi perdamaian di Somali.
'Selalu ada perasaan memikul kesalahan, disebabkan harus meninggalkan negeri ini. Ada keinginan untuk bisa berbuat sesuatu. Pergi ke Somali lalu menjadi seperti melihat ke dalam sebuah kaca pecah. Apakah pecahnya kaca itu disebabkan oleh kesalahan sendiri, atau salahnya kaca itu sampai jadi pecah?'
* * *
Dalam diskusi yang berlangsung sesudah ceramahnya pada malam Winternachten, 15 Januari y.l. Nuruddin Farah mengungkapkan apa yang selalu dikatakannya kepada orang-orang Somali yang sudah bermukim di Belanda.
Farah -- ´Kalian ini, jadilah se-Belanda mungkin, tanpa meninggalkan identitas budaya Somali dalam dirimu´.
Nuruddin Farah menganggap bahwa orang-orang Somali yang sudah menjadikan negeri Belanda sebagai tanah airnya sendiri, supaya mengambil sikap dengan sungguh-sungguh dan serius berintegrasi dalam masyarakat Belanda. Pada titik ini aku teringat pada konsep Bapak Baperki, Siauw Giok Tjhan, yang menganjurkan kepada orang-orang keturuan Tionghoa untuk berintegrasi dengan bangsa INDONESIA. Menjadi orang Indonesia, tanpa melupakan tradisi dan kebudayaan leluhurnya. Melaksanakan dengan baik-baik prinsip BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Namun, Farah dengan tajam juga mempertanyakan, sampai dimana orang-orang Belanda, masyarakat Belanda, bangsa Belanda, bersedia menerima orang-orang migran atau eksil yang mau berintegrasi di Belanda. Sama seperti orang Belanda yang ´otochtoon´. (Bersambung)
* * *
No comments:
Post a Comment