Kolom
IBRAHIM
ISA
Senin,
17
Maret 2014
------------------------------
“DIAN” –
“IMWU-Nederland”
“SIAPA SIH YG MAU
JADI UNDOCUMENTED?
*
* *
Kemarin
pagi itu, adalah hari Minggu mula-mula redup dengan tiupan
angin
dingin tak hentinya. . . . Suatu hari musim semi yang tidak
menyenangkan . . .Namun, tidak merintangi sejumlah warga
Indonesia
dari Amsterdam, Purmerend, Delft, Zeist, Urecht, Leiden, dll
kota, memenuhi undangan Stichting DIAN. Mereka berdesak-desak (sekitar
75 orang) di dalam ruangan pertemuan
“Gedung Bangsa Jawa Surinam”, di Paasheuvelweg 28, Amsterdam
Zuidoost.
Akhirnya
Cuaca tokh merestui kami . . . Untung, tak lama kemudian Sang
Surya
menampakkan sinar indah segarnya . . . memancarkan sinar
hangat terus sampai kemudian bersembunyi lagi sore itu di
balik horizon.
Dari
pagi sampai sore -- “Stichting DIAN” (Ketua Farida
Ishaya; Sekretaris Aminah Idris),
yang semula berdiri sebagai grup Wanita Dian di Amsterdam, 27
tahun
yang lalu, mrnggelar acara, dengan para peduli Indonesia,
dalam suatu
pertemuan diskusi sekitar kegiatan pekerja Migran Indonesa di
Belanda. Dan menonton sebuah film dokumenter mengenai kegiatan
pekerja migran Indonesia di Hongkong, kemudian film cerita
berjudul
“THE BEHEADING OF MINAH”.... Dipenggalnya Minah,
pekerja migran Indonesia di Saudi Arabia, dihukum pancung,
karena
telah menewaskan majikannya dalam rangka membela diri dari
pemerkosaan dan kekerasan yang berulang-ulang.
* * *
Bagi
hadirin, pertemuan yang dipandu oleh salah seorang
pimpinan IMWU, Ratna
SAPTARI, merupakan suatu
“kumpulan” yang unik sekali. Di situ hadir teman-teman dari
Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, Yayasan Bhinneka Tunggal
Ika, St
Wertheim, PERDOI, St. Sapu Lidi, dan banyak lagi. Disebut
“unik,
karena selain acaranya tunggal, yaitu SITUASI DAN
KONIDISI
BURUH MIGRAN PEREMPUAN INDONESIA,
juga karena sejumlah perwakilan organisasi masyarakat
Indonesia di
Belanda, berkumpul bersama, adalah “unik”. Suau pertemuan
dimana
Dini Setyowati mendeklamsikan
sajaknya
mengeni nasib kaum buruh migran Indnesia.
Dikatakan
“unik” karena pertemuan hari itu KHUSUS
diperuntukkan bagi “IMWU” – Indonesian Migrant
Workers Union – Persatuan Pekerja Migran Indonesia –
Nederland.
Sempat
kunyatakan dalam pertemuan kemarin itu: . . . Sudah begitu
lama
tinggal di Nederland, baru sekarang ini “tahu” bahwa ada suatu
organisasi Indonbesia di Belanda yang namanya “IMWU”.
Saya suka menulis, kataku, tapi baru sekarang sadar ada
organisasi
yang namanya IMWU. Sungguh bodoh sekali! . . .
Yasmine Soraya,
Sekjen IMWU, Nederland
pembicara
pertama, menyatakan bahwa, “apa yang dikemukakan Pak Isa,
bahwa
“sungguh bodoh, tidak mengetahui tentang keberadaan “IMWU”,
itu
tidak benar. Karena kami baru berdiri tiga tahun yang lalu,
jelas
Yasmine.
Dalam
penjelasannya, dikemukakan bahwa “IMWU Nederland, adalah
sebuah
organisasi (self-organisation) yang didirikan oleh dan untuk
para
Pekerja Migran Indonesia di Nederland. Tujuan IMWU adalah
mempromosi
hak-hak buruh bagi semua pekerja khususnya para pekerja
Indonesia,
baik yang punya maupun yang tidak punya dokumen, di
Nederland.
Kami
bertekad untuk menghapuskan perdagangan manusia,
memperdagangkan
kesempatan kerja, kesewenang-wenangan dan berbagai bentuk
pelanggaran
hak dan diskriminasi terhadap semua pekerja khususnya pekerja
Indonesia di Belanda.
* * *
Mengenai
masalah mengapa terdapat buruh migran Indonesia, antara lain
di
negeri Belanda, yang tidak memiliki dokumen, Yasmin Soraya
menulis
a.l,
. . . . . Bila
kesejahteraan sudah tercapai di Indonesia, maka tak akan ada
yang mau
ambil resiko mencari nafkah di negeri orang jauh dari
keluarga,
bahkan sampai melanggar hukum dengan tanpa dokumen. Siapa yang
mau
was-was setiap waktu akan penangkapan, siapa yang mau berada
di
posisi rentan eksploitasi, sering didiskriminasi bahkan oleh
bangsa
sendiri? Siapa yang mau?
. . . Tidak semua
orang punya kesempatan mendapat kerja layak, tidak semua orang
seberuntung yang dapat bekerja dengan tenang, tidak semua
orang
memiliki jalan mulus tanpa perjuangan berat untuk mencapai
kesejahteraan. Tidak semua orang. Tapi maukah pemerintah
mengerti
situasi ini, atau justru marah-marah, bahkan mengancam
menuntut
seperti pak Tatang . . . . .?
Untuk memperoleh
sekadar
informasi permulaan tentang apa permasalahan yang dihadapi oleh
para
pekerja Migran Indonesia, baik ditelusuri tulisan Sekjen IMWU
beberapa waktu yang lalu ( Rabu, 02 Oktober 2013), sbb:
Oleh Yasmine Soraya
dkk, IMWU NL
"Mbak, kami baru pulang kongres. Malam, lelah dan menjengkelkan. Aku ribut sama pak Tatang dari Kemenlu, masalah paspor dan SPLP. Menurut dia paspor dan SPLP itu sama. Aku bilang memang sama, tapi masa berlakunya berbeda. Dan kita mengalami kesulitan untuk pengiriman uang dll. Semua teman TKI dari negara lain mengamini, tapi itu tambah membuat dia marah.
Karena
semua seminar di ruangan lain sudah lama selesai, akhirnya
meeting
ditutup
tanpa ada jawaban yang bisa menjadi jalan keluar untuk
menyelesaikan
masalah kita.
Sorry
ya Mbak, ternyata orang kemenlu itu tidak mau tahu
bagaimana keadaan
sebenarnya di lapangan.“ (Yulia Mallo, coordinator
re-integrasi
IMWU
NL
pada Kongres Diaspora Indonesia, 19 Agustus 2013)
* * *
Peristiwa di atas tidak terjadi untuk pertama kalinya. April 2012, saat diskusi di KOMNAS Perempuan, pak Tatang sudah sempat marah, ketika kami mengemukakan alasan mengapa sebaiknya diberi paspor dan bukan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor), bagi rakyat tak terdokumentasi yang butuh perpanjangan paspor. Alih-alih mendengarkan kami, beliau malah mengancam akan menuntut kami.
Waktu
itu kami kemukakan bahwa SPLP mengakibatkan penyelewengan
wewenang
dan penjualan paspor oleh oknum di KBRI (ini pernah terjadi
beberapa
tahun lalu sebelum masa jabatan Dubes baru).[2]
Beliau minta bukti dan bila tak ada bukti, beliau mengancam
akan
menuntut. Masalahnya bukan ada tidaknya bukti. Butir itu
sendiri tak
akan muncul bila peristiwanya tak terjadi. Tidak akan ada
kawan-kawan
yang melapor bila hanya desas desus semata. Terlalu
berlebihan bila
kami dianggap membual dan memberikan kebohongan, apa
untungnya bagi
kami?
Kami
hanya membeberkan apa yang terjadi di lapangan. Dan betapa
sulitnya
membuat para pemimpin mendengar jeritan rakyat. Bahkan
seorang DIRJEN
Perlindungan WNI pun tidak menunjukkan niatnya ingin
melindungi WNI,
begitu ada WNI yang mengadu.
Apa sih masalah
sesungguhnya?
Sepertinya telah
terjadi
salah paham antara dua kubu; pemerintah dan rakyat. Bahkan
sepertinya
banyak yang sulit mengerti duduk masalah yang sebenarnya. Ibu
Dubes,
Retno Marsudi, telah menunjukkan niat baiknya memfasilitasi
penyelesaian permasalahan SPLP vs paspor ini. September 2012,
atas
inisiatif Retno Marsudi, diadakan lokakarya yang mengundang
perwakilan Kemlu, Menakertrans, dan Kemkumham RI. Sayang tak ada
penyelesaian signifikan. Yang ada penjelasan semata soal mengapa
yang
diterima WNI tak terdokumentasi adalah SPLP.
Dan ini sudah putusan
akhir pemerintah dengan dikeluarkannya surat DIRJEN Imigrasi
pada
DUBES RI untuk Kerajaan Belanda Nomor: IMI-UM.01.01-2579
tertanggal
18 Mei 2012, tentang tanggapan terhadap penerbitan SPLP bagi WNI
Overstayers (tak terdokumentasi). Atas surat tersebut,
kami,
rakyat, dituntut menelan bulat-bulat keputusan pemerintah
tersebut.
Titik.
Dua
permasalahan
yang diangkat
1.
Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP)
Dalam
tulisan terdahulu “Kemerdekaan yang semu : Passport Sebagai
‘Senjata’[3]
telah dijelaskan panjang lebar bahwa sesuai
perundang-undangan, SPLP
itu hanya berfungsi untuk pemulangan.[4]
Tetapi
dalam prakteknya, SPLP tetap saja diterbitkan bagi WNI
yang tidak
berniat pulang.
Persyaratan
membuat SPLP ini pun bermacam-macam dan terkadang banyak
kawan sulit
memenuhinya (apalagi yang paspornya dipalsu agen), padahal
adakah
peraturan khusus mengenai persyaratan pembuatan SPLP ini?
Dalam
Surat Dirjen Imigrasi diatas dikatakan bahwa WNI overstayers
tidak dapat memenuhi persyaratan penerbitan paspor bagi WNI
yang
bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia. Padahal apabila
pemerintah berniat baik, WNI tersebut dapat saja memenuhi
persyaratan
mendapatkan paspor. Undang-undang memberi keleluasaan
persyaratan
bagi pembuatan paspor, hanya dengan paspor lama dan
kartu penduduk negara setempat, bukti, petunjuk atau
keterangan yang menunjukkan bahwa pemohon bertempat tinggal
di negara
tersebut.[5]
Jelas bahwa persyaratan sifatnya flexible; paspor lama dan
penunjuk
tempat tinggal pemohon dinegara itu. Sayangnya
keleluasaan
tersebut tidak digunakan demi kepentingan rakyat.
Di
Belanda contohnya, persyaratan permohonan
penggantian/pembaharuan
paspor RI[6]
harus menyerahkan fotocopy kartu ijin tinggal/verblijfdocument
yang masih berlaku dan surat keterangan penduduk di suatu gemeente
(kota) dengan menyebut kewarganegaraannya (bahasa Belandanya
internationaal
uittreksel van bevolkingsregister met vermelding v.d.
nationaliteit).
Bila
tak punya, persyaratan ini tak bisa diganti dengan
keterangan lain
seperti yang tertera dalam peraturan perundangan di atas.
Aturan yang sungguh rigid dan tak bertoleransi. Akibatnya
banyak WNI
dan anak-anak mereka tak memiliki paspor atau SPLP.
2.
Bukan SPLP vs Paspor saja tapi juga masalah bukti identitas
“SPLP
itu sama dengan Paspor”, berulang kali pernyataan ini
didengungkan
oleh pemerintah; oleh pihak imigrasi dan terakhir oleh pak
Tatang,
pejabat kemlu. Memang ada dua macam dokumen perjalanan RI:
SPLP dan
paspor. Memang SPLP juga salah satu bentuk perlindungan
—meski
perlindungannya hanya dalam hal pemulangan saja. Tapi yang
menjadi
masalah adalah bukti
identitas yang diakui masyarakat internasional.
Dan ini hanyalah paspor.[7]
SPLP
hanya sama dengan paspor dalam hal fungsinya sebagai dokumen
perjalanan, tapi bukan sebagai bukti identitas. SPLP tidak
diakui
sebagai bukti identitas dalam kehidupan sehari-hari di dunia
internasional.[8]
Lucunya, PP baru No. 31 tahun 2013 atas penjelasan UU No. 6
tahun
2011 yang baru dikeluarkan mulai menyebutkan bahwa dokumen
perjalanan
juga adalah bukti identitas.[9]
Pemerintah bisa saja mengklaim bahwa SPLP juga bukti
identitas, tapi
di lapangan dan terutama di dunia internasional hal ini tak
berlaku.
Siapa sih yang mau jadi
undocumented?
Masalah undocumented
memang rumit. Tidak akan ada orang yang mau jadi undocumented
bila keadaan tak memaksa. Bila kesejahteraan sudah tercapai
di
Indonesia, maka tak akan ada yang mau ambil resiko mencari
nafkah di
negeri orang jauh dari keluarga, bahkan sampai melanggar hukum
dengan
tanpa dokumen. Siapa yang mau was-was setiap waktu akan
penangkapan,
siapa yang mau berada di posisi rentan eksploitasi, sering
didiskriminasi bahkan oleh bangsa sendiri? Siapa yang mau?
“Kita
tuh
CINTAAAAAAA banget sama Indonesia,” kata mbak —sebut
saja— Rini, salah satu kawan tak
terdokumentasi, pekerja dengan dua anak yang berusaha
mendapatkan
dokumen tinggal di Belanda. “Tapi
karena
sulitnya situasi Indonesia, birokrasi yang rumit, maka kami
harus mencari jalan untuk kelangsungan hidup kami.”
Maka, jangan salahkan
mereka bila banyak WNI overstayers di dunia ini tak
memproses
penggantian paspor ketika masa berlaku paspor habis. Maklum
prosedur
dan persyaratannya terkadang tak bisa dipenuhi dan pada akhirnya
mereka lebih memilih tak terdokumentasi saja. Karena memang,
seperti
kata bu Yati dalam tulisan sebelumnya, memiliki SPLP itu
“Percuma
Tak Berguna” kecuali untuk pemulangan saja. Jadi jangan heran
dan
kaget, pada saat ada pemutihan dari negara setempat, tiba-tiba
muncul
berpuluh ribu WNI tak terdokumentasi memproses dokumen ini,
membuat
KBRI/ KJRI kewalahan. Andaikan penggantian paspor tak rumit, dan
SPLP
memang berguna selain untuk pemulangan, maka dengan kesadaran
sendiri
rakyat pun akan memproses secara benar dan tidak mendadak bila
dibutuhkan. Kejadian rusuh seperti di Jeddah kemarin pun dapat
dihindari. Tak hanya kerusuhan, iming-iming pemutihan oleh
gerakan
separatisme seperti yang terjadi di Belanda pun bukan menjadi
ancaman.
Tidak semua orang punya
kesempatan mendapat kerja layak, tidak semua orang seberuntung
yang
dapat bekerja dengan tenang, tidak semua orang memiliki jalan
mulus
tanpa perjuangan berat untuk mencapai kesejahteraan. Tidak semua
orang. Tapi maukah pemerintah mengerti situasi ini, atau justru
marah-marah, bahkan mengancam menuntut seperti pak Tatang di
atas?
Setiap
kali
aku baca article ini aku pengen marahhhh banget, kenapa
ya...orang2 yg diberikan KESEMPATAN untuk membantu rakyatnya
kok
cuman bisa lepas tangan.... dan bergaya bahwa dia yg paling
tau dan
benar... Padahal mereka kan bukan orang bodoh sebenarnya ,
mereka jg
tau bahwa tidak sedikit rakyatnya yg undoc .
Atau
mereka tidak tau procentase dr SPLP yg mereka keluarkan
sebenarnya
banyak yg orang undoc. Dan mereka tidak mau tau resiko apa yg
diterima orang undoc.... ;(( Seperti kata Mbak Rini ...
"Kita
tuh..
cinta Indonesia dan kita tidak pernah ingin menjadi
undocumented , tapi nasib yg membawa kita ke negara orang ,
sayangnya
Tetesan keringat kita cuman dihargai dg seonggok kertas SPLP
padahal
harga diri kita di PASPORT...", betul2 kita cuman dianggep
sebelah mata padahal keringat kita tuh adalah PELUMAS bg RODA
LAJUNYA
PEREKONOMIAN INDONESIA –bu Yati. September
2013.
(Sumber – SEDANE, majalah perburuhan)
* *
*
No comments:
Post a Comment