Kolom
IBRAHIM
ISA
Sabtu, 01 Maret 2014-------------------------------
"SUPERSEMAR” – KISAH JEN.
SUHARTO MENGGULINGKAN PRES. SUKARNO LEWAT SEBUAH SURAT
PERINTAH PRESIDEN
* * *
Bagaimana seorang kepala negara dan kepala pemerintah –
dalam hal ini – Presiden Sukarno bisa digulingkan melalui
sepucuk surat perintah yang ditandadatanganinya sendiri -----
Itulah yang terjadi 48 th y.l -- sekitar “SUPERSEMAR”
. Surat Perintah Sebelas Maret 1966”. Melalui suatu operasi
canggih, dimulai dengan membubarkan Sidang Kabinet 100 Menteri
yang dipimpin :Presiden Sukarno, dan tiga orang jendral yang
diutusnya, Jendral Suharto berhasil memperoleh sepucuk Surat
Perintah yang dimaksudkan untuk 'terjaminnya
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Revolusi'.
Begitu menerima “SUPERSEMAR” Jendral Suharto kontan
membubarkan PKI. Sesuatu yang justru ditentang oleh Presiden,
pemberi Supersemar kepada Suharto. Suharto menyalahgunakan,
memanipulasinya sebagai legitimasi menuju penggulingan Presiden
Sukarno
* * *
Mulai hari ini akan di muat berturut tulisan-tulisan
sekitar SUPERSEMR, sebagai bahan input bagi pembaca menikirkan
dan menarik kesimpulan sekitar SUPERSEMAR. Sepucuk surat
perintah Presiden yang diamanipulasi dan disalahgunakan kemudian
dibikin misterius. . . . seolah-olah tidak diketahui dimana
keberadaannya sekarang ini. Tidak ada seorangpun yag tahu
dimana, Presiden SBY pun tidak pernah bicara tentang ini.
Di bawah in adalah sebuah tulisan yang disiarkan 15
tahun yang lalu di pelbagain media inernet.
* * *
Dari Insubordinasi, lewat
"SUPERSEMAR" Menegakkan ORDE BARU!
Oleh:
Ibrahim
Isa
Amsterdam,
2
Maret 1999
I).
Sejak 11 Maret 1966, sudah berkali-kali ditulis mengenai masalah
"Surat Perintah Presiden Republik Indonesia, 11 Maret 1966".
Satu kenyataan ialah bahwa sebegitu jauh masih belum ada
pandangan, tafsiran, apalagi hasil studi yang satu mengenai soal
tsb. Yang agak sama pendapat orang ialah bahwa "Surat Perintah
Presiden RI" itu dibuat oleh Presiden Sukarno dalam keadaan
beliau sedang di bawah tekanan situasi gawat dan desakan 3 orang
jendral yang khusus datang ke Istana Bogor untuk iu.
Hingga
detik ini berbagai fihak masih terus mempelajari dan meneliti
masalah tsb. Ada yang melakukannya dari titik tolak semata-mata
mencari kebenaran. Ada yang dari pandangan "pelurusan" sejarah,
karena mengenai soal itu dianggap ada pemutarbalikkan bahkan
pemalsuan fakta-fakta. Ada juga yang melakukan penelitian itu
dari segi menstudi perkembangan ketatanegaraan Indonesia selama
lebih dari setengah abad berdirinya Republik Indonesia. Ada juga
yang bertolak dari segi untuk melakukan pencatatan yang
obyektif. Hasrat dan dorongan untuk melakukan penelitian dan
studi mengenai masalah "Supersemar" itu semakin besar, karena
sampai
saat ini
tidak ada satupun yang mengetahui di mana disimpan aslinya
"Supersemar" itu. Misterikah ini? Ataukah suatu rekayasa?
Tidak juga
boleh dilewatkan dari pengamatan bahwa ada yang melakukan
penulisan mengenai masalah "Supersemar" untuk lebih lanjut
memutar-balikkan fakta, lebih lanjut memulas hal ihwal dengan
tujuan untuk membenarkan, untuk memberikan legitimasi terhadap
tindakan, kebijaksanaan dan politik yang telah dilakukan oleh
jendral Suharto sejak 1 Oktober 1965 sampai dengan ditegakkannya
kekuasaan Orde Baru. Rencana untuk mengadakan seminar
"Nawaraksa" dalam tahun 1997 yang gugur itu , adalah dengan
tujuan itu. Sampai saat ini usaha itu masih terus dilanjutkan
meskipun presiden Suharto sudah 10 bulan lengser dan gerakan
reformasi bergulir terus.
Ulasan
ini dibuat demi menambah stimulans pada para cendekiawan, para
pakar ilmu politik, sosial dan sejarah Indonesia yang
berkepedulian mengakhiri masa redup dan semi-impotensi
kehidupan ilmu, demi mengakhiri masa perekayasaan segala
bidang kehidupan bangsa kita, termasuk bidang pemikiran dan
mental warisan Orde Barunya Suharto.
Supaya
pembicaraan mengenai "Supersemar" dilakukan atas dasar materi
yang kongkrit, kiranya ada baiknya dikutip disini selengkapnya
teks "Supersemar" seperti yang tertera dalam risalah
"Hasil-hasil Sidang Umum M.P.R.S. ke-IV" yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia, sbb:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
S U R
A T P E R I N T A H
I.
Mengingat:
1.1.
Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik
Nasional maupun internasional.
1.2.
Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Presiden
Panglima Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.
II.
Menimbang:
2.1.Perlunya
ada
ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan jalannya Revolusi.
2.3.Perlu
adanya
jaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi dan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan dan rakyat untuk memelihara kewibawaan
Presiden/ Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta
segala ajaran-ajarannya.
III.
Memutuskan/Memerintahkan:
Kepada:
Letnan Jendral Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat
Untuk :
Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
1.
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Revolusi,serta
menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan
Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi/Mandataris M.P.R.S. Demi untuk keutuhan Bangsa
dan Negara Republik Indonesia, dan Melaksanakan dengan pasti
segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2.
Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan
Panglima-Panglima Angkatan-2 lain dengan sebaik-baiknya.
3.Supaya
melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan
tanggung jawabnya seperti tersebut diatas.
IV.
Selesai.
Jakarta,
11 Maret 1966
Presiden/Panglimna
Tertinggi/
Pemimpin
Besar Revolusi/Mandataris
M.P.R.S.,
ttd.
Sukarno
* * *
II.)
Insubordinasi
adalah langkah pertama dalam rangakaian langkah-langkah yang
diambil Jendral Suharto menuju suatu coup d'etat yang tuntas.
Untuk memasuki lebih lanjut materi "Supersemar", ada baiknya
sebelumnya ditelusuri sedikit, saat-saat sebelum tiga orang
jendral AD, yaitu Mayjen
Amir
Mahmud, Mayjen Andi Yusuf dan Mayjen Basuki Rakhmat, datang
"menghadap" (atau "menodong") Presiden Sukarno, pada tanggal 11
Maret 1966.
Sesudah
terjadinya "Gerakan 30 September", menurut salah satu sumber
yang dipercaya, a.l. mantan Kolonel Latief, Brigjen Suparjo,
salah seorang tokoh "G30S", datang menghadap Presiden Sukarno
memberikan laporan mengenai "G30S". Setelah mendengar laporan
Brigjen Suparjo, Presiden Sukarno memerintahkan kepada Suparjo
untuk menghentikan kegiatan "G30S". Selanjutnya gerakan ternyata
memang dihentikan Keterangan ini berbeda sekali dengan 'claim'
Suharto dan kawan-kawannya bahwa adalah KOSTRAD yang ia pimpin
sendiri, yang telah menumpas "G30S". Juga Dewi Sukarno
mengemukakan kepada seorang wartawan asing bahwa adalah
"Bapak" yang memerintahkan
agar "G30S" menghentikan gerakannya.
Untuk
mengatasi situasi, dalam usaha mencari pemecahan dan agar
Revolusi Indonesia menurut pemahaman ketika itu bisa berlangsung
terus, Presiden Sukarno menghubungi Kostrad. Ia memanggil Mayjen
Umar Wirahadikusuma, Pangdam V Jaya, dan Majen Pranoto
Reksosamudro. Presiden Sukarno mengangkat Mayor Jendral Pranoto
Reksosamudro, Asisten III Panglima
Angkatan
Darat, sebagai Care-taker Menteri Panglima Angkatan Darat untuk
mengurus pekerjaan sehari-hari AD. Tetapi Jendral Suharto,
sebagai Panglima Kostrad, menolak kebijaksanaan Presiden
Sukarno. Suharto mengatakan kepada kurir-kurir Presiden Sukarno
bahwa 'untuk sementara' ia
sudah
mengambil alih pimpinan AD. Suharto juga melarang Mayjen Umar
Wirahadikusma dan Mayjen Pranoto Reksosamudro untuk memenuhi
panggilan Presiden Sukarno.Insubordinasi lagi!
Ini adalah
insubordinasi terbuka pertama-kalinya yang dilakukan Mayjen
Suharto sebagai Panglima Kostrad, terhadap Presiden Panglima
Tertinggi ABRI Sukarno.Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah
ABRI seorang perwira tinggi mengangkat dirinya sendiri menjadi
panglima AD. Ini adalah intisari dan hakikat serta permulan dari
"the creeping" coup d'etat yang dilakukan Suharto terhadap
kekuasaan negara yang dijabat oleh Presiden Republik Indonesia,
Sukarno.
III.)
Diteliti lebih mendalam 'insubordinasi' dari fihak Jendral
Suharto terhadap Panglima Tertinggi Presiden RI Sukarno tsb.,
bukanlah tindakan insubordinasi yang biasa-biasa saja. Tindakan
insubordinasi Jendral Suharto itu secara hakiki merupakan
tindakan fundamentil terbuka yang pertama dalam perebutan
kekuasaan negara.Tindakan-tindakan selanjutnya dari Jendral
Suharto terhadap Presiden Sukarno memberikan pembuktian kongkrit
ke arah itu. Dengan kekuasaan atas Angkatan Darat yang telah
diambilnya secara insubordinatif itu, Jendral Suharto dan
kliknya di dalam ABRI mengadakan persekusi, pembersihan,
penangkapan dan pembantaian terhadap kekuatan di dalam
masyarakat - parpol-parpol dan ormas-ormas, birokrasi dan
angkatan bersenjata RI, yang selama itu adalah sekutu dan
penyokong politik serta ajaran-ajaran Presiden Sukarno.
Suharto
memerlukan waktu kurang lebih lima bulan , dari Oktober 1965
sampai awal Maret '66, untuk menindaklanjuti rencana perebutan
kekuasaan atas Presiden Sukarno. Segala persiapan untuk itu
tampaknya rampung pada tanggal 11 Maret 1966. Pas ketika pada
hari itu Presiden Sukarno sedang mengadakan sidang Kabinet di
Istana Merdeka, ribuan 'massa' mengepung Istana Merdeka. Situasi
menjadi lebih gawat lagi ketika diketahui bahwa terdapat
pasukan-pasukan bersenjata lengkap diantara yang mengepung itu,
yang tidak ada tanda pengenalnya. Pasukan tsb ternyata kemudian
adalah pasukan Kostrad. Presiden Sukarno bersama sementara
menteri pembantunya
terpaska
diselamatkan ke Istana Bogor. Menyolok untuk dicermati bahwa
pada sidang Kabinet itu, dengan alasan sakit, Jendral Suharto
absen. Terungkap kemudian bahwa Jendral Suharto sedang sibuk
berunding dengan a.l. Tiga jendral yang kemudian ternyata adalah
jendral-jendral yang diutus Suharto ke Istana Bogor, untuk
menekan Presiden Sukarno . Melalui pembicaraan dibawah tekanan
berat antara tiga jendral dengan Presiden Sukarno dimana hadir
juga Waperdam I dr. Subandrio, dr. Leimena dan Chaerul Saleh,
akhirnya tidak ada jalan lain bagi Presiden Sukarno selain
menandatangani "Surat Perintah 11 Maret" yang terkenal itu.
Titik
tolak Suharto mengirimkan tiga jendral itu adalah untuk secara
formal minta kepada presiden agar diberi kepercayaan dan mandat
penuh untuk "mengatasi" kesulitan dan menciptakan suasana tenang
dan stabil. Presiden telah ada pengenalan bagaimana sebenarya
Suharto itu, khususnya sesudah perintahnya mengenai pengangkatan
Mayjen Pranoto Reksosamudro ditolak dan
digagalkan
oleh Suharto. Maka tidaklah mudah bagi Presiden Sukarno untuk
begitu saja memberikan kepercayaan dan mandat kepada Suharto.
Dari teks "Supersemar" bisa ditelaah bahwa presiden Sukarno
dengan didampingi oleh pembantu-banbantu-nya, masih bisa
mencapai suatu perumusan yang mungkin bisa diinterpretasikan
sebagai usaha untuk memberikan ketegasan tentangkelangsungan
kepemimpinannya terhadap pemerintahan dan bangsa Indonesia.
Paling tidak inilah yang diperkirakan oleh Presiden Sukarno
ketika itu. Faktor penting lainnya yang mendorong Presiden
Sukarno akhirnya tokhmenandatangani "Supersemar", ialah
pendiriannya yang sejak semula , yaitu selalu berusaha agar
jangan sampai terjadi pertumpahan darah lebih lanjut yang
akan
membawa penderitaan yang lebih berat lagi bagi rakyat .Namun
kemudian dengan dilakukannya pembantaian besar-besaran terhadap
orang-orang Komunis atau yang dianggap Komunis, golongan Kiri
dan kaum Nasionalis dan Islam yang mendukung Presiden Sukarno,
apa yang dikhawatirkan Presiden Sukarno terjadi juga.
IV).
Dalam teks "Supersemar", ditandaskan bahwa tujuan surat perintah
itu bukanlah 'pelimpahan kekuasaan' dari Presiden Sukarno kepada
Jendral Suharto, seperti yang sering dikemukakan oleh para
pendiri dan pendukung Orba, tetapi adalah untuk mencapai "adanya
ketenangan dan kestabilanPemerintahan dan jalannya Revolusi".
Memang sulit dibayangkan bagaimana pula Jendral Suharto bisa
menenangkan dan menstabilkan jalannya Revolusi,seperti konsep
Bung Karno ketika itu.
Demikian
pula halnya mengenai masaalah 'menjamin kepemimpinan dan
kewibawaan' Presiden Sukarno. Yang dilakukan oleh Suharto adalah
kebalikannya. Selangkah demi selangkah, dengan cara 'merangkak'
, denganberlindung di balik "Supersemar", Jendral Suharto
menggerowoti dan
menggembosi
kepemimpinan
dan kewibawaan Presiden Sukarno. Jendral Suharto memaksakan
perombakan kabinet, meng-'amankan', sejumlah menteri, anggota
DPR/MPRS dan perwira-perwira penyokong presiden Sukarno.
Apalagi
mengenai perlunya menjamin dilaksanakannya dengan pasti
ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Yang dilakukan Suharto
jelas-jelas adalah melarang penyebaran dan pelaksanaan ajaran
Bung Karno.
Mengenai
perlunya 'menjamin keselamatan pribadi' Presiden Sukarno.
Bagaimana pula langkah Suharto. Lewat DPRS dan MPRS yang sudah
direkayasa Presiden Sukarno dilorot dari jabatannya sebagai
kepala pemerintah dan kepala negara RI dan Suharto dinobatkan
jadi Presiden. Bung Karno kemudian dikenakan 'tahanan rumah'
sampai akhir hidup beliau. Sudah meninggalpun Bung Karno masih
dipersikusi. Jenazah beliau tidak boleh dimakamkan ditempat
seperti yang pernah diutarakannya sebelum ia meninggal. Jenazah
beliau dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, jauh dari pusat
kegiatan politik di Jakarta. Karena Orba sangat khawatir akan
merebaknya massa rakyat yang
luas yang
hendak mengantar jenazah Bung Karno ke tempat peristirahatannya
yang terakhir.
Melapor
kepada Presiden Sukarno segala sesuatu yang dilakukannya dalam
rangka "Supersemar"? Sudahlah, tidak usah lagi bicara mengenai
hal itu. Bicara saja dengan Bung Karno, Suharto tidak mau.
Dari
rentetan peristiwa sebelum dan sesudah dikeluarkannya
"Supersemar", bisa diasumsikan bahwa persetujuan para jendral
dengan rumusan dalam "Supersemar", adalah sbb"
Pertama,
bagi Suharto yang pokok adalah memperoleh 'legalitas' bahwa ia
bisa bertindak atas nama Presiden Sukarno, menggunakan nama
Presiden Sukarno, yang memang ia lakukan semaksimal
maksimalnya. Apa tindakan Suharto itu, Suharto sendiri yang
menentukannya.
Kedua,
dengan perumusan seperti tercantum dalam teks "Supersemar",
kekuatan yang mendukung Presiden Sukarno di dalam masyarakat,
khususnya yang ada di dalam kekuatan bersenjata RI, yang ketika
itu masih cukupan, bisa tertipu dan menganggap bahwa apa yang
dilakukan oleh Suharto adalah atas dasar 'mandat' dari Presiden.
Dengan demikian maka membikin pendukung Presiden
Sukarno
menjadi lengah. Ketika mereka menyadari hal itu, sudah
terlambat.Kekuatan mereka sudah dipreteli dan Suharto sudah
mengkonsolidasi dan memperluas kekuasaannya. Suharto juga telah
mengontrol DPR/MPRS sedemikian rupa sehingga telah memperoleh
'legitimasi' dan terciptalah Orde Baru yang 'konstitusional'.
Ini semua dilakukannya dengan berpangkal pada insubordinasi dan
"Supersemar".
VI).
Maka, terdapatlah cukup dasar dan alasan untuk mempertanyakan:
Apakah Orde Baru yang ditegakkan dengan memanipulasi dan
menyalahgunakan "Surat Perintah Presiden Sukarno" tertanggal 11
Maret 1966, itu suatu kekuasaan yang legitim dan konstitusional?
Sesungguhnya tidaklah sulit memberikan jawaban yang tegas.
Kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun telah menegakkan suatu
'kebudayaan kekerasan' yang telah menghantui dan merusak
mentalitet dan moralitas bangsa. Orba telah mencampakkan
prinsip-prinsip hukum, telah melakukan rekayasa
lewat
opsus-opsus, telah melanggar hak-hak azasi manusia, hak-hak
demokrasi serta telah membodohkan rakyat sehingga praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme bisa merajalela dan bertahan
begitu lama.
Dalam
politik luarnegerinya Orba telah menginvasi, mengokupasi dan
atas nama'integrasi' telah mencaplok Timor Timur. Ini
menunjukkan bahwa Orba adalah suatu rezim, suatu kekuasaan yang
zalim dan juga keropos. Orba telah membawa rakyat dan bangsa
kita ke jurang kehancuran. Apalagi dasar dan alasan untuk
menyatakan bahwa rezim Orba adalah konstitusional dan legitim.
Melalui "Supersemar", Suharto telah menegakkan Orde Baru. Kini,
karena tindakan-tindakannya sendiri Orba telah menjadi sekarat.
Dilanda oleh gelombang gerakan reformasi dan demokrasi, pendiri
utamanya, Suharto, telah disingkirkan dari singgasana kekuasaan
negara Republik Indonesia.
Orba telah
menggali liang kuburnya sendiri!
"Supersemar"
akan
tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai suatu pelaksanaan
"master plan" dari seorang jendral dalam tindakan makarnya
merebut kekuasaan negara.. "Supersemar" telah disulap menjadi
pentung justru untuk memukul tokoh yang memberikannya.
Suatu
tragedi nasional!
* * *
No comments:
Post a Comment