Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 09 Maret
2014
------------------------------
KAUM EKSIL INDONESIA MEMPERTAHANKAN PERJUANGAN DEMI REFORMASI, DEMOKRASI DAN HAM DI INDONESIA
* * *
Tulisan penulis Singapura, May Swan, disiarkan di media internet hari ini, berjudul “SURAT UNTUK TEMAN "EXILE", membawa fikiranku ke sistuasi lebih setengah abad yang lalu . . ketika paspor kami dinyatakan tidak berlaku lagi oleh penguasa di JAKARTA (Januari 1966) . . Pasalnya . . . . kami dituduh AGEN G30S DI LUAR NEGERI . . MENJELEK-JELEKKAN INDONESIA DI LUAR NEGERI . . serta melakukan subversi ...
Foto ku dimuat di koran Angkatan Bersenjata dan s.k. Berita Yuda, dengan huruf-huruf besar dibawahnya: GANTUNG IBRAHIM ISA ... Penguasa militer di Jakarta ketika itu amat marah dan geram – Alasan yang sesungguhnya karena kami Delegasi Indonesia ke Konferensi Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (OSPAAL), di Havana (Januari, 1966) . .berhasil menggagalkan usaha penguasa militer di Jakarta menghadirkan orang-orangnya di Konferensi Trikontinental tsb, sebagai wakil Indonesia yang diketuai oleh seorang jendral, Brigjen Latief Hendranigrat. Komite Persiapan Trikontinental mengambil keputusan yang benar, . . .Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Ibrahim Isa, delegasi itulah yang diakui dan diterima sebagai wakil rakyat Indonesia yang sesungguhnya. Delegasi Brigjen Latif ditolak.
Selanjutna Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Trikontinental, Havana, berpidato di muka kurang lebih 1000 hadirin yang terdiri dari para delegasi organisasi pejuang kemerdekaan anti kolonialisme, neo-kokonialisme dan imperialisme, para undangan, peninjau dan wartawan internasional. Ia mengungkapkan APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI DI INDONESIA. Yaitu naik panggungnya suatu kekuasaan militer di bawah jendral Suharto yang mulai menggerowoti Presiden Sukarno, serta melakukan kampanye pembasmian golongan Kiri dan pendukung Presidn Sukarno.
PENGUNGKAPAN SITUASI INDONESIA, dimana fihak militer Indonesia memulai suatu kampanya pemusnahan kekuatan KIRI INDONESIA, . . INILAH yang menyebabkan kami di tuduh agen G30S dan melakukan subversi, menjelek-jelekkan nama Indonesia di luar negeri . . .
* * *
Dalam suatu program Ranesi Radio Nederland Wereldomroep, berkenaan
dengan situasi Indonesia saat-saat itu. wartawan Juliani Wahjana dari Radio Nederland mewawancarai Ibrahim Isa,
------------------------------
KAUM EKSIL INDONESIA MEMPERTAHANKAN PERJUANGAN DEMI REFORMASI, DEMOKRASI DAN HAM DI INDONESIA
* * *
Tulisan penulis Singapura, May Swan, disiarkan di media internet hari ini, berjudul “SURAT UNTUK TEMAN "EXILE", membawa fikiranku ke sistuasi lebih setengah abad yang lalu . . ketika paspor kami dinyatakan tidak berlaku lagi oleh penguasa di JAKARTA (Januari 1966) . . Pasalnya . . . . kami dituduh AGEN G30S DI LUAR NEGERI . . MENJELEK-JELEKKAN INDONESIA DI LUAR NEGERI . . serta melakukan subversi ...
Foto ku dimuat di koran Angkatan Bersenjata dan s.k. Berita Yuda, dengan huruf-huruf besar dibawahnya: GANTUNG IBRAHIM ISA ... Penguasa militer di Jakarta ketika itu amat marah dan geram – Alasan yang sesungguhnya karena kami Delegasi Indonesia ke Konferensi Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (OSPAAL), di Havana (Januari, 1966) . .berhasil menggagalkan usaha penguasa militer di Jakarta menghadirkan orang-orangnya di Konferensi Trikontinental tsb, sebagai wakil Indonesia yang diketuai oleh seorang jendral, Brigjen Latief Hendranigrat. Komite Persiapan Trikontinental mengambil keputusan yang benar, . . .Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Ibrahim Isa, delegasi itulah yang diakui dan diterima sebagai wakil rakyat Indonesia yang sesungguhnya. Delegasi Brigjen Latif ditolak.
Selanjutna Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Trikontinental, Havana, berpidato di muka kurang lebih 1000 hadirin yang terdiri dari para delegasi organisasi pejuang kemerdekaan anti kolonialisme, neo-kokonialisme dan imperialisme, para undangan, peninjau dan wartawan internasional. Ia mengungkapkan APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI DI INDONESIA. Yaitu naik panggungnya suatu kekuasaan militer di bawah jendral Suharto yang mulai menggerowoti Presiden Sukarno, serta melakukan kampanye pembasmian golongan Kiri dan pendukung Presidn Sukarno.
PENGUNGKAPAN SITUASI INDONESIA, dimana fihak militer Indonesia memulai suatu kampanya pemusnahan kekuatan KIRI INDONESIA, . . INILAH yang menyebabkan kami di tuduh agen G30S dan melakukan subversi, menjelek-jelekkan nama Indonesia di luar negeri . . .
* * *
Dalam suatu program Ranesi Radio Nederland Wereldomroep, berkenaan
dengan situasi Indonesia saat-saat itu. wartawan Juliani Wahjana dari Radio Nederland mewawancarai Ibrahim Isa,
Juliani
Wahjana,
kemudian membuat tulisan di bawah ini, yang disiarkan dalam
penerbitan RANESI - Radio Nederland, 29 September, 2011.
*
* *
Ibrahim
Isa:
Hidupku Jungkir Balik Akibat G30S
Diterbitkan
:
29 September 2011 - Oleh JULIANI WAHJANA
Diarsip
dalam:
RNW - INDONESIA -- Radio Nederland Wereldomroep, INDONESIA.
RANESI)
Peristiwa 30 September 1965 terjadi 46 tahun lalu.
Bisa dibilang lama bagi yang tidak mengalaminya. Tapi bagi
mereka yang terlibat langsung, peristiwa itu, ibarat kejadian
kemarin saja.
Walaupun
sudah
46 tahun berlalu dan belakangan terdapat upaya untuk mengungkap
apa yang terjadi pada waktu itu, tapi kebenaran belum seluruhnya
muncul ke permukaan.
Warisan
beban
masa lalu dari peristiwa G30S, harus suatu saat dituntaskan,
semakin cepat semakin baik. Penting, bukan saja bagi mereka yang
terlibat langsung serta anak-cucu mereka yang sampai sekarang
masih menyandang dampaknya, tapi juga bagi generasi-generasi
seterusnya, supaya mereka tidak perlu lagi menyandang beban ini.
Ibrahim
Isa,
81 tahun, menyebut diri sebagai nasionalis Indonesia dan
bermukim di Belanda, adalah satu dari sekian banyak anak manusia
yang jalan hidupnya berubah drastis akibat peristiwa G30S itu.
Ibrahim
Isa:
"Getir. Karena paspor saya dicabut, dibatalkan. Pada permulaan
Januari 1966, di Havana (ibukota Kuba, Red) berlangsung
konferensi internasional untuk rakyat bangsa-bangsa Amerika
Latin. Konferensi penting yang diselenggarakan oleh berbagai
organisasi termasuk organisasi kami di Kairo, di mana saya duduk
sebagai wakil Indonesia. Jadi saya ambil bagian aktif dalam
konferensi ini."
Ia
melanjutkan,
"Ketika saya ada di Jakarta pada bulan Oktober (1965, Red),
saya lihat keadaan jungkir balik di Indonesia. Saya sudah
perhitungkan pasti dari Indonesia tidak akan mengirimkan
delegasi sebab ini delegasi rakyat. Gerakan ini di Indonesia
isinya banyak orang kiri dan sudah banyak yang ditangkap dan
hilang."
Bentuk delegasi Ketika tiba di Havana,
Desember 65, Ibrahim Isa menjelaskan pada panitia organisasi
bahwa di Indonesia terjadi pergolakan, sehingga tidak akan
mampu mengirim orang ke Havana. "Terus panitia mengatakan,
kalau begitu Bung Isa saja yang mewakili karena Bung mewakili
Indonesia di Kairo untuk Gerakan Asia-Afrika. Saya jawab, saya
tidak bisa sendiri, mesti bersama-sama dengan yang lain."
Kebetulan
banyak
teman lain yang ada di luar negeri. Ibrahim Isa meminta mereka,
akhirnya ada tujuh atau delapan orang membentuk delegasi
Indonesia.
Dua Delegasi
Tiba-tiba datang delegasi dari Indonesia, diketuai Brigjen Latief Hendraningrat. "Saya lihat komposisi delegasi ini, ketuanya jenderal, salah satu orang terpenting Letkol, yang lain-lain saya tidak kenal. Saya jelaskan pada panitia. Saya bilang ini bukan delegasi rakyat, non-governmental, tapi dikontrol militer."
Tiba-tiba datang delegasi dari Indonesia, diketuai Brigjen Latief Hendraningrat. "Saya lihat komposisi delegasi ini, ketuanya jenderal, salah satu orang terpenting Letkol, yang lain-lain saya tidak kenal. Saya jelaskan pada panitia. Saya bilang ini bukan delegasi rakyat, non-governmental, tapi dikontrol militer."
Dilemanya,
Latief
adalah teman Ibrahim Isa. Ia anggota parlemen komisi luar
negeri, mewakili PNI (Partai Nasional Indonesia, Red), tapi
masih jenderal. Secara hirarkis, ia di bawah Soeharto. "Ketika
ketemu Pak Latief, saya tanya apa yang mau dibicarakannya dalam
konferensi. Dia bilang: 'Saya garis PNI, garis Presiden
Soekarno, anti imperialisme, ganyang Malaysia'," cerita Ibrahim
Isa kepada Radio Nederland.
Ibrahim
melanjutkan,
"Saya jawab, mereka tidak mau dengar tentang itu. Mereka tahu
ada pergolakan di Jakarta dan mereka ingin tahu bagaimana
Presiden Soekarno. Sebab Presiden Soekarno diketahui sebagai
tokoh yang mendukung gerakan kemerdekaan. Karena dia bilang
tidak bisa jelaskan hal itu, saya bilang saya yang akan
jelaskan. Tapi dia bilang tidak bisa. Tidak tercapai sepakat,
maka diajukanlah ke komite."
Komite
akhirnya
memutuskan untuk menerima perwakilan yang dipimpin Isa.
Jakarta marah
"Di situlah Jakarta marah sekali," kenang Ibrahim Isa. "Di Jakarta hanya ada dua koran, Berita Yuda dan Angkatan Bersenjata. Di situ dimuat bahwa Isa ini adalah orangnya G30S yang ada di luar negeri, melakukan subversi, menjelek-jelekan Indonesia, dan sebagainya. Itulah yang menyebabkan paspor saya dan teman-teman dicabut tanpa proses, tanpa ditanya."
"Di situlah Jakarta marah sekali," kenang Ibrahim Isa. "Di Jakarta hanya ada dua koran, Berita Yuda dan Angkatan Bersenjata. Di situ dimuat bahwa Isa ini adalah orangnya G30S yang ada di luar negeri, melakukan subversi, menjelek-jelekan Indonesia, dan sebagainya. Itulah yang menyebabkan paspor saya dan teman-teman dicabut tanpa proses, tanpa ditanya."
Tidak menyesal
Kalau boleh dibilang, itulah satu titik balik besar dalam hidup Ibrahim Isa. "Tapi kalau ditanya apakah saya menyesal? Tidak. Saya tidak menyesal. Kalau kita berbuat demi cita-cita yang kita anggap benar, adil, dan mulia, itu pasti ada risikonya. Ini saya anggap sebagai resiko yang harus dihadapi," tutur Ibrahim Isa kepada Radio Nederland.
Kalau boleh dibilang, itulah satu titik balik besar dalam hidup Ibrahim Isa. "Tapi kalau ditanya apakah saya menyesal? Tidak. Saya tidak menyesal. Kalau kita berbuat demi cita-cita yang kita anggap benar, adil, dan mulia, itu pasti ada risikonya. Ini saya anggap sebagai resiko yang harus dihadapi," tutur Ibrahim Isa kepada Radio Nederland.
"Saya
hanya
sedih. Sampai sekarang, melihat teman-teman yang ditangkap,
banyak yang disiksa, dan juga banyak yang sudah tidak ada. Ini
sangat sedih. Tapi kesedihan ini tidak merintangi saya untuk
meneruskan kegiatan." Demikian tulisan Juliani Wahjana.
*
* *
Keyakinan
dan
tekad ini -- bahwa . . . "KESEDIHAN INI TIDAK MERINTANGI
SAYA UNTUK MENERUSKAN KEGIATAN" -- Pendirian ini juga adalah
-- pendirian sebagian besar para EKSIL INDONESIA -- dimanapun
mereka berada --DI BELANDA, PERANCIS, INGGRIS, SWEDIA, BELGIA,
JERMAN, AMERIKA, AUSTRLIA dan dimanapun mereka berada.
Mereka,
para
eksil itu, bersama dengan kaum progresif dan demokrat, aktivis
HAM di pelbagai negeri melakukan kegiatan informatif di
kalangan masyarakat internsional mengenai situasi INDONESIA.
Mendirikaan pelbagai LSM dan Komite menentang kediktaturan
militer Jendral Suharto.
Diantara
organisasi
/ lembagqa yang didirikan, a.l. Stichting Wertheim, Komite
Indonesia, YSBI - Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia,
Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, PERDOI - Perhimpunan
Dokumentasi Indonesia,
Yayasan DIAN, dll semua di Belanda. Lalu di Paris dengan bersandar pada kekuatan sendiri, para erksil Indonesia mmendirikan RESTORAN INDONESIA PARIS, yang juga menjadi titik kegiatan budaya Indonesia dan setiakawan dengan perjuangan rakyat Timor Leste. Di London didirikan organisasi TAPOL.
Yayasan DIAN, dll semua di Belanda. Lalu di Paris dengan bersandar pada kekuatan sendiri, para erksil Indonesia mmendirikan RESTORAN INDONESIA PARIS, yang juga menjadi titik kegiatan budaya Indonesia dan setiakawan dengan perjuangan rakyat Timor Leste. Di London didirikan organisasi TAPOL.
Kegiatan
terpenting
mereka adalah melawan rezim Orde Baru melalui penerbitan,
seminar, workshop, sit-ins, unjuk rasa, dsb.
Sementara
yang
mampu menulis telah menulis pelbagai buku dan makalah yang
bertemakan pelurusan sejarah dan perlawanan terhadap sikap
penguasa Indonesia yang sampai sekarang membungkam terhadap
tanggung jawab atas pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah
Indonesia -- Peristiwa Pembantaian Masal 1965-66-67 dan
pelanggarn HAM lainnya di Maluku, Aceh, Timor Leste dan Papua.
Dalam
tahun
2001 kutulis buku SUARA SEORANG EKSIL, dan dalam tahun 2011,
buku BUI TANPA JERAJAK BESI, dan buku KABAR DARI SEBERANG
(2013). Ketiga buku itu ditulis dalam rangka usaha ambil bagian
dalam menegakkan NEGARA HUKUM INDONESIA , dalam rangka usaha
diberlakukannya Reformasi, Demokrasi dan HAM di Indonesia.
*
* *
Menonjol
adalah
kegiatan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Belanda dengan
meriah mengorganisasi PERINGATAN SEABAD BUNG KARNP. Selain itu
Stichting Wertheim memberikan WERTHEIM AWARDA
kepada Josoef Isak dan Goenawan Mohammad, yang itu semua bisa berlangsung di Kedutaan Besar Indonesia, Den Haag. Ya, karena ketika itu rezim Orde Baru telah berakhir dan Indonesia telah memilih Abdurrahan Wahid sebagai Presiden RI setelah jatuhnya Presiden Suharto. Mereka melakukan kegiatan memperkenalkan budaya Indonesia, seperti tarian, nynyian dsb.
kepada Josoef Isak dan Goenawan Mohammad, yang itu semua bisa berlangsung di Kedutaan Besar Indonesia, Den Haag. Ya, karena ketika itu rezim Orde Baru telah berakhir dan Indonesia telah memilih Abdurrahan Wahid sebagai Presiden RI setelah jatuhnya Presiden Suharto. Mereka melakukan kegiatan memperkenalkan budaya Indonesia, seperti tarian, nynyian dsb.
*
* *
Para
Eksil
Indonesia memang sudah berusia lanjut . . . . tetapi semangat
juang untuk ambil bagian menurut kemampuan dan situasi
masing-masing TETAP BERKOBAR . .Dan mereka tetap melakukan
kegiatan demi bangsa dan tanah air.
Bukan
sekadar
sebagai orang-orang yang menghabiskan umur mereka
bertopang-dagu. Mereka secara aktif memberikan bantuan
semampunya bila di tanah air misalnya terkena bencana alam
seperti, banjir, gempa atunpun meletusnya gunung api.
Ada
pula
yang mendirikan yayasan khusus untuk menyalurkan bantuan
finansil kepada anak-anak didik Indonesia yang tidak mampu. Apa
saja yang menguntungkan bangsa dan tanah air, semampinmya mereka
kerjakan bersama dengan para aktivis di pelbagai negeri tempat
mereka tinggal.
*
* *
KAUM
EKSIL
INDONESIA MEMPERTAHANKAN PERJUANGAN
DEMI REFORMASI, DEMOKRASI DAN HAM DI INDONESIA !!
DEMI REFORMASI, DEMOKRASI DAN HAM DI INDONESIA !!
*
* *
No comments:
Post a Comment