Kolom
IBRAHIM
ISA
Jum'at,
25
April 2014
------------------------------
IDENTITAS Untuk
KEBANGKITAN
* * *
Selasa
lalu, aku berkenalan dan menjalin persahabatan dengan kawan
baru,
seorang wartawan fotografer LKBN Antara, Rosa
Pangabean. Ia hendak membuat foto-foto sekitar
para EKSIL
Indonesia di sini. Apa saja kegiatan sehari-hari mereka, dsb.
Publikasi seperti itu memang belum ada. Ia bertanya apakah aku
bersedia membantunya dalam hal tsb.
Aku
bilang: Setuju!
Kufikir --- Sekaligus
memanfaatkan kesempatan cakap-cakap dengan wartawan
yang langsung dari Indonesia ini, untuk menjelaskan apa saja
kegiatan 'sehari-hari' para eksil Indonesia di Eropah.
Kataku:
Yang jelas mereka itu, meski banyak yang sudah
berkewarganegaraan
asing, boleh dibilang umumnya, adalah orang-orang INDONESIA yang
CINTA TANAH DAN BANGSANYA. Kami amat peduli dengan situasi,
nasib dan perkembangan bangsa dan tanah air, jelasku. Dan
melakukan
bermacam kegiatan pribadi maupun dalam rangka organisasi,
memberikan
apa yang bisa disumbangkan menurut kemampuan masing-msing demi
Tanah
Air dan Bangsa.
* * *
CAS
OORTHUYS <1908 1975="">1908>
Yang
hendak kututurkan berikut ini, ialah, sedikit sekitar
'oleh-oleh'
buku yang diberikan Rosa Pangabean kepadaku berjudul “IDENTITAS
Untuk
KEBANGKITAN” < Penerbitan LKBN Antara-Ipphos dan wartawan
fotografer Belanda Cas Oorthuys (1945-1950).
Buku
foto-foto berhalaman 92 tsb, segera menarik perhatianku. Foto
pada
sampul muka buku membawa aku pada kenang-kenangan dulu ketika
aku
sekolah lagi di TAMAN SISWA, Jalan Garuda 25, Kemayoran-Jakarta
--- (Setelah berlakunya Persetujuan Linggardjati antara
Indonesia dan
Belanda, Maret 1947).
Dan
yang lebih lagi menarik dan merupakan 'surprise' menyenangkan
ialah: Aku tahu persis siapa yang membikin foto yang jadi
'front-cover' buku 'Identitas Untuk Kebangkitan'. Foto yang
menghias
coper buku menunjukkan seorang murid sekolah Taman Siswa, dengn
muka
riang gembira dan memandang kedepan, membawa peta Indonesia yang
besar setengah tergulung.
Dalam
kata pengantarnya untuk buku tsb, historikus peneliti senior
LIPI
Asvi Warman Adam, mengomentari foto murid sekolah itu , menulis
bahwa foto itu rmenampakkan .
“Wajah
yang polos, riang dan bersemangat seolah mewakili mereka yang
sudah
punya identitas baru sebagai manusia yang merdeka . .. “
* * *
Yang
membuat foto itu, ---- adalah seorang wartawan fotografer
Belanda,
CAS OORTHUYS. Seorang wartawan yang pernah aktif dalam
perjuangan di bawah tanah di Belanda, selama pendudukan tentara
Jerman Hitler.
Dalam
tahun 1947, dua bulan lamanya ia berkunjung ke Indonesia dengan
pendirian PRO REPUBLIK INDONESIA. Aku tidak ingat, kunjungannya
ke
sekolah kami itu, apakah atas saran orang lain, ataukah karena
Cas
Oorthuys tahu bahwa, - Sekolah Taman Siswa di Kemayoran itu,
adalah
salah satu 'tumpuan' kami-kami kaum Republiken (RI), di daerah
pendudukan Belanda di Jakarta.
Walhasil,
-- aku masih ingat betul, Cass Oorthuys pada suatu hari
berkunjung
ke sekolah kami TAMAN SISWA. Kutanyakan kepada Pak Said, kepala
sekolah kami. Siapa Belanda yang motret-motret murid-murid, guru
dan
sekolah kita. Jawab Pak Said dengan antusias: ”Dia
wartawan
potret Belanda YANG BAIK. Yang bersimpati dengan perjuangan
kemerdekaan kita.
Kembali
ke Belanda Cas Oorthuys menerbitkan buku foto EEN STAAT IN
WORDING, A State in the making -- “Tumbuhnya Sebuah Negara”.
Sikap
dan pendirian Cas Oorthuys tidak aneh,. Ia anggota partai
Komunis
Belanda , CPN, Communistische Partij Nederland. Politik CPN
tegas menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yang menyolok,
ialah
bahwa yang bertanggungjawb atas penerbitan buku “Identitas Untuk
Kebangkitan”, tidak menyebutnya samasekali, bahwa Cas Oorthuys
adalah anggota partai Komunis Belnda. . . . . Bahkan di dalam
buku
itu dinyatakan bahwa Cas Oorthuys adalah seorang Sosialis. Enak
saja
memulas sejarah! Di Belanda ketika itu, belum ada partai
sosialis.
Yang ada partai sosial demokrat, partai katolik , partai
Komunis,
CPN – Communisische Partij Nederland, dll. Partai Sosialis
Nederland baru berdiri tahun 1972, sebagai pecahan dari KPMNL
Main
sulap dengan fakta-fakta sejarah! Mungkin hal itu bisa
dimengerti
jugalah. Meskipun sudah sepuluh tahun Orde Baru tumbang dan
Indonesia
memasuki periode Reformasi dan Demokratisasi (2008) ketika buku
itu
terbit banyak orang, teristimewa kalangan penguasa dan para
pendukung rezim Orde Baru, masih kejangkitan penyakit 'lupa
sejarah'. Lebih parah lagi, masih berusaha memulas fakta
sejarah.
* * *
Selain
sambutan dari Menteri Komunikasi dan Informatika RI ketika itu,
Mohammad Nuh, Kepala Informasi Publik Dep. Komunikasi dan
Informatika
RI, Suprawoto, -- Dirut Kantor Berita Antara,Ahmad Mukhlis
Yusuf, terdapat pengantar/sambutan oleh ASVI WARMAN ADAM. Sangat
menarik
membaca pengantar yang ditulis oleh historikus Asvi Warman
Adam.
Antara
lain , sbb:
FOTOGRAFI
KEMERDEKAAN DAN KEMERDEKAAN FOTOGRAFI
“Coba
bayangkan seandainya tidak ada Frans Soemarto Mendur di
Pegangsaan
Timur 56 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945? Apakah proklamasi
kemerdekaan Indonesia itu dapat diyakini benar-benar terjadi?
Sebagai
fotografer ia mengabadikan peristiwa yang teramat bersejarah
bagi
bangsa Indonesia dengan jumlah plat film yang terbatas.
Ironinya
belakangan diketahui bahwa plat film foto proklamasi itu tidak
ditemukan lagi. Namun foto itulah yang diproduksi dalam
buku-buku
bersejarah sebagai saksi dan bukti bahw kemerdekaan Indonesia
telah
dikumandangkan.
“Itu
bisa dibandingkan dengan rekaman pidato Proklamasi itu sendiri
yang
memang tidak ada dalam peristiwa tsb. Kalau kita sekarang
mendengar
melalui radio atau televisi suara lantang Bung Karno, itu
direkam
kemudian pada tahun 1950-an., Jusuf Ronodipuro membujuk Bung
Karno
untuk melakukan rekaman yang pada mulanya ditolak. Prokalamasi
itu
hanya sekali dan tidak diulang lagi, tukas Bung Karno. Tetapi
ini
perlu penting bagi sejarah terutama pada generasi muda, ujar
Jusuf
Ronodipuro.
* * *
Asvi juga mengungkap
pemelintiran fakta sejarah sekitar foto-foto yang diambil pada
periode itu. Pelaku pemelintiran fakta tsb adalah pakar sejarah
rezim
Orde Baru, Prof Nugroho Notosusanto.
Ini a.l yang ditulis oleh
Asvi:
“.
. . menyangkut buku Nugroho Notosusanto, “Pejuang dan
Prajuirit”
yang terbit tahun 1984. Dalam foto pengibaran bendera tanggal
17
Agustus 1945 wajah Sukarno tidak terlihat. Sejarawan
Abdurrachman
Surjomihardjo menuding bahwa ini pemalsuan sejarah. Apalagi
dikaitkan
dengan upaya desukarnoisasi yang dilakukan rezim Orde Baru.
“Namun
pihak penerbit Sinar Harapan mengatkan bahwa itu masalah
teknis
karena foto yang diberikan terlalu kecil ketika diperbesar
maka wajah
Bung Karno terpotong. Yang jelas dalam cetakan kedua buku itu
tahun
1986, wajah Sukarno sudah ada kembali. Namun kalau
diperhatikan
dengan seksama, ukuran foto pada cetakan pertama dan kedua
ternyata
sama saja. Jadi tidak ada yang diperbesar atau diperkecil.
Kalau
begitu mana yang benar?”, tanya Aswi.
* * *
Yang, benar adalah bahwa
sang
profesor sejarah rezim Orde Baru, Nugroho Notosusanto, jelas
mencoba
memulas fakta sejarah – dalam hal ini ia 'mengkotak-katik' foto
sejarah. Dengan tujuan 'menghapuskan' foto Bung Karno dari
dokumentasi peristiwa penaikan bendera Merah Putih, pada hari
Proklamsi 17 Agustus 1945.
* * *
No comments:
Post a Comment