07 AGUSTUS 2007
SAYA SETUJU DENGAN PERNYATAAN SIKAP
Masyarakat Pencinta Buku Dan Demokrasi
ATAS PEMBAKARAN BUKU SEJARAH
====================================================
Nama: IBRAHIM ISA < Publisis, Sekretaris Wertheim Foundation>
====================================================
* * *
Pernyataan Sikap atas Pembakaran Buku Sejarah
"Where books are burned, human beings are destined to be burned too..."
Pada 20 Juli lalu, Kejaksaan Negeri Depok membakar 1.247 buku sejarah,
bahan pelajaran sekolah menengah pertama dan atas, karya guru-guru
sejarah. Pembakaran ini dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Bambang
Bachtiar, Kepala Dinas Pendidikan Asep Roswanda dan Walikota
Nurmahmudi Ismail.
Penyitaan maupun pembakaran buku-buku sejarah ini juga terjadi di
Bogor, Indramayu, Kendari, Kuningan, Kupang, Pontianak, Purwakarta
dan kota-kota lain di Indonesia. Dasar hukumnya, menurut para jaksa,
adalah keputusan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada Maret 2007
dimana Kejaksaan Agung melarang buku-buku itu yang dibuat dengan
dasar kurikulum pendidikan tahun 2004. Mereka dituduh tak
mencantumkan kata "PKI" dalam menerangkan Gerakan 30 September 1965.
Penelitian terhadap isi buku-buku sejarah itu dilakukan Kejaksaan
Agung atas permintaan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo.
Kami prihatin menyaksikan peristiwa ini. Pembakaran buku ini
mengingatkan kami pada pembakaran buku-buku yang dilakukan di Berlin
dan berbagai kota lain di Jerman pada Mei 1933. Ketika itu, sambil
menyanyikan lagu-lagu Nazi, para pendukung Adolf Hitler tersebut
menghanguskan buku-buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas
Mann, Jack London, HG Wells serta berbagai penulis lain. Buku-buku
itu dianggap musuh Nazisme.
Kami menyayangkan peristiwa pelarangan dan pembakaran buku ini, yang
bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Membakar dan merusak buku,
dengan dalih apapun, merupakan tindakan yang lebih berbahaya dan
lebih biadab daripada sensor atau pelarangan.
Kami belum tentu setuju dengan isi dari buku-buku itu. Namun kami
tidak setuju pembakaran. Sulit untuk tak menyamakan pembakaran buku-
buku ini dengan apa yang telah dilakukan kaum Nazi. Sulit juga bagi
kami untuk menyamakan tindakan pembakaran ini dengan semangat
fasisme, yang anti demokrasi dan anti hak asasi manusia.
Pembakaran buku menunjukkan bahwa pelaku pembakaran tak dapat
menerima perbedaan pandangan, sesuatu yang niscaya dalam demokrasi.
Lebih dari itu, pembakaran buku juga merupakan bentuk teror, tindakan
menakut-nakuti bagi orang yang hendak menulis buku, dalam perspektif
yang berbeda dengan penguasa.
Membakar buku merupakan tindakan kaum fasis yang tak pernah toleran
kepada pendapat lain. Benito Mussolini, tokoh Itali yang
memperkenalkan fasisme, merangkan bahwa fasisme adalah segala sesuatu
untuk memerangi sistem dan ideologi demokrasi, serta melawannya dalam
aras teori maupun praktek.**
Oleh karena itu, atas dasar akal sehat dan demokrasi, kami menyatakan:
PERTAMA, menuntut permintaan maaf secara terbuka para pelaku
pembakaran buku sejarah di Depok dan kota-kota lain, atas tindakannya
yang bertentangan dengan sila kedua dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
KEDUA, menuntut kepada pemerintah di semua tingkatan, terutama
jajaran kejaksaan, untuk tak lagi menyikapi perbedaan pendapat dengan
teror dan tindakan menakut-nakuti atau membakar buku -- melainkan
dengan membuka dialog ataupun debat publik secara terbuka demi
melindungi demokrasi.
KETIGA, menuntut dihentikannya tindakan pelarangan buku atas alasan
apapun. Bila terdapat perbedaan pandangan yang diwakili sebuah buku,
hendaknya dijawab dengan menerbitkan buku baru yang mencerminkan
pandangan yang berbeda -- bukan dengan larangan.
Demikian pernyataan kami. Semoga demokrasi di negeri ini tetap abadi.
LAWAN FASISME, REBUT DEMOKRASI!
Jakarta, 7 Agustus 2007
Masyarakat Pencinta Buku Dan Demokrasi**
-------------------------------------------------------
Abdul Malik (aktivis Garda Kemerdekaan)
Abdullah Alamudi (Dewan Pers)
Abdurrahman Wahid (mantan presiden Republik Indonesia)
Agus Suwage (pelukis tinggal di Jogjakarta)
Ahmad Taufik (wartawan majalah Tempo, seorang deklarator Aliansi
Jurnalis Independen)
Alex Asriyandi Mering (wartawan, Borneo Tribune di Pontianak)
Amalia Pulungan (aktivis Institute Global Justice)
Andreas Harsono (wartawan, ketua Yayasan Pantau)
Andy Budiman (wartawan SCTV)
Anick H.T. (Jaringan Islam Liberal)
Asvi Marwan Adam (sejarahwan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Ayu Utami (novelis "Saman" dan "Larung")
Bonnie Triyana (sejarahwan, Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
Budi Setiyono (sejarahwan, Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah)
Daniel Dhakidae (penulis "Cendekiawan dan Kekuasaan dalam negara Orde
Baru")
Eva Danayanti (direktur eksekutif Yayasan Pantau)
Eva Sundari (anggota DPR, Fraksi PDI-Perjuangan)
Fadjroel Rahman (kolumnis harian Kompas)
Faisal Basri (ekonom)
Franz Magnis Suseno (dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
Ganjar Pranowo (sekretaris Fraksi PDI-Perjuangan DPR)
Garda Sembiring (People's Empowerment Consortium)
Garin Nugroho (sutradara)
Goenawan Mohamad (kolumnis "Catatan Pinggir" majalah Tempo)
Hamid Basyaib (Freedom Institute)
Imam Syuja (anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Banda Aceh)
Linda Christanty (penulis "Kuda Terbang Mario Pinto", pemimpin
redaksi sindikasi Pantau)
Lutfhi Assyaukanie (Universitas Paramadina)
M. Ridha Saleh (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)
Marco Kusumawijaya (ketua Dewan Kesenian Jakarta)
Melani Budianta (dosen Universitas Indonesia)
Mira Lesmana (sutradara)
Mohamad Guntur Romli
(Teater Utan Kayu)
Muhlis Suhaeri (penulis, tinggal di Pontianak)
Musda Mulia (direktur Indonesian Conference on Religion and Peace)
Nong Darol Mahmada (Jaringan Islam Liberal)
Nurani Soyomukti (aktivis Yayasan Komunitas Taman Katakata, Jakarta)
Riri Riza (sutradara)
Rizal Mallarangeng (Freedom Institute)
Rosiana Silalahi (direktur pemberitaan SCTV)
Santoso (direktur Kantor Berita Radio 68H)
Sapariah Saturi-Harsono (wartawan, Ikatan Perempuan Pelaku Media)
Setya Darma Aji (ketua Ikatan Penerbit Buku Indonesia)
Siti Nurrofiqoh (ketua Serikat Buruh Bangkit Tangerang)
Syafii Maarif (ulama, Muhammadiyah)
Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia)
Syamsudin Harris (peneliti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Titarubi (perupa, tinggal di Jogjakarta)
Todung Mulya Lubis (pengacara)
Ucu Agustin (novelis)
Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal, mahasiswa Universitas
Harvard)
Wandy N. Tuturoong (Komunitas Utan Kayu)
Yeni Rosa Damayanti (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)
Siti Maemunah (Jaringan Advokasi Pertambangan)
Subro (aktivis Madura, Sekolah Mitra Masyarakat di Pontianak)
Ibrahim Isa, Publisis
* * *
No comments:
Post a Comment