Selasa, 23 Januari 2007
----------------------------
TIONGKOK Yang KUKENAL (1)
Enam tahun yang lalu, pada waktu Republik Rakyat Tiongkok mencapai
usia 50 tahun, aku ditilpun VARA dari Hilversum. Radio/TV VARA adalah
sebuah pemancar non-pemerintah yang dapat subsidi dari pemerintah
Belanda. VARA mengundang aku untuk datang ke studio mereka. Mereka
bertanya: Apakah aku bersedia diwawancarai berkenaan dengan usia
setengah abad Republik Rakyat Tiongkok? Mengapa aku? Fikirku. Why me?
Tetapi pertanyaanku itu tak penting untuk dijawab. Penilpun dari VARA
itu kujawab serta merta: 'Ja Meneer! Ik accepteer uw uitnodiging'. Ya,
undangan kalian saya terima.
VARA gembira dan segera mengatur menjemput aku di rumah untuk kemudian
mengantar kembali pulang. Suatu service istimewa, fikirku. Mengapa?
Nyatanya, ketika itu di mancanegara sedang ramai-ramainya media
membicarakan tentang Republik Rakyat Tiongkok dan Tiongkok secara
umum, berkenaan dengan ulang tahun ke-50 Republik Rakyat Tiongkok.
Logis, di Belanda VARA tidak ingin ketinggalan, untuk juga ambil
bagian dalam mengomentari Tiongkok Baru. Untuk itu a.l VARA
memanfaatkan aku.
Satu hal yang gencar sekali disasar oleh wartawan VARA yang
mewawancaraiku, adalah masalah 'pelanggaran HAM di Tiongkok'. Kata
wartawan VARA itu: Anda punya hubungan baik dengan Tiongkok. Adakah
Anda persoalkan masalah HAM dengan pejabat-pejabat Tiongkok? Kebetulan
aku bisa jawab langsung. Aku katakan kepadanya, karena aku punya
hubungan baik dan bersahabat dengan Tiongkok, aku tidak segan dengan
terus terang, langsung dan terbuka bicara mengenai kritik-kritik yang
ada terhadap Tiongkok, khususnya yang bersangkutan dengan 'pelanggaran
HAM'.
Dalam tahun 1998 aku mengunjungi Tiongkok (lagi), kataku kepada VARA.
Di salah satu tempat di Tiongkok, aku berdialog dengan seorang kader
pimpinan Tiongkok setempat, tingkat provinsi. Aku kemukakan kepada
pejabat provinsi itu, tentang komentar mengenai pelanggaran HAM di
Tiongkok. Sahabatku kader provinsi itu, mendengarkan dengan sabar
tentang kritik luar terhadap Tiongkok bersangkutan dengan pelanggaran HAM.
Dengan serius dan nada geram, yang tidak disembunyikan, ia berkata:
Orang yang mengeritik kami tentang pelanggaran HAM di Tiongkok, mereka
itu tidak benar. Kritrik-kritik mereka itu tidak adil! Puluhan tahun
lamanya kami bekerja keras untuk memperbaiki dan memajukan peri
kehidupan rakyat Tiongkok. Kami mencapai hasil-hasil yang nyata dalam
pembangunan negeri dan kehidupan rakyat yang lebih baik. Ini adalah
tugas utama kami, ini adalah tugas menyangkut hak-hak azasi manusia
Tiongkok yang harus kami penuhi. Sesungguhnya di Barat dan sementara
negeri lainnya, pelanggaran HAM lebih besar dan lebih serius terjadi.
Lihat di negeri mereka sendiri. Apakah di negeri mereka itu tidak ada
pelanggaran HAM. Jelas ada, bahkan amat besar. Mengapa mereka
menjadikan Tiongkok sebagai sasaran utama mereka?
Aku bisa mengerti reaksi sahabat Tiongkok ku itu. Sebelumnya aku juga
pernah mengajukan pendapatku kepada Tiongkok mengenai masalah
'oposisi' di Tiongkok. Tapi mengenai itu nanti akan dibicarakan
belakangan.
* * *
Menyela sedikit.
Sudah beberapa kali aku menulis tentang Tiongkok. Masih saja kurasa
ada perlunya menulis lagi, dan menulis lagi tentang Tiongkok. Karena
Tiongkok perkembangannya begitu cepat dan banyak yang mengatakan:
MENAKJUBKAN. Sahabatku Sugeng Slameto (sayang ia baru-baru ini
meninggal dalam 'usia muda'), belum lama menulis sampai 9 artikel
tentang Tiongkok, sesudah dalam musim panas y.l bersama satu rombongan
terdiri dari 19 orang Indonesia yang berkunjung ke Tiongkok. Sugeng
punya kesan yang baik dan bersahabat tentang Tiongkok. Aku sengaja
menekankan sikap bersahabat Sugeng Slameto terhadap Tiongkok. Karena
kuanggap sikap itu baik dan tepat.
Memang benarlah apa yang ditulis oleh sejarawan Inggris E.H. Carr
(1961), bahwa, sekarang ini orang ingin mengerti, dan mengambil posisi
terhadapnya, tidak saja tentang keadaan sekitarnya, tetapi juga
terhadap dirinya; dan hal ini telah menambahkan dimensi baru terhadap
akal, suatu dimensi baru terhadap sejarah. Abad ini adalah abad yang
paling history-minded terbanding abad-abad lalu. Manusia modern sampai
derajat yang tak pernah tercapai sebelumnya, sadar akan dirinya dan
oleh karena itu sadar-sejarah. Demikian sejarawan E.H. Carr.
* * *
Ada juga yang bilang, Tiongkok sekarang m e n a k u t k a n. Lalu
berkampanye tentang bahaya Tiongkok sebagai 'superpower baru'. Tentang
'Bahaya Kuning' ,dsb. Kuingat ketika berkunjung ke Indonesia dalam
tahun 2001 dan sempat ngomong-ngomong dengan tokoh nasionalis Ruslan
Abdulgani. Beliau menandaskan tentang 'bahaya mendatang' yang dihadapi
Asia. Bukan Amerika atau Jepang, kata Ruslan. Tetapi Tiongkok. Nah,
jangan kaget terhadap pendapat Ruslan.
Jurnalis dan penulis terkenal Amerika Edgar Snow (1905-1972), dalam
bukunya RED STAR OVER CHINA (edisi pertama 1936, edisi yang
diperbaharui 1972), menandaskan bahwa Tiongkok adalah suatu negeri
yang sedang berrevolusi. Suatu 'REVOLUTION IN THE MAKING'. Revolusi
yang mengubah Tiongkok itu, kata Snow, adalah suatu transformasi yang
paling hebat di sepanjang 3000 tahun sejarah Tiongkok. Mungkin ada
benarnya yang pernah dikatakan mengenai Tiongkok oleh salah seorang
negarawan Perancis, Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis dan seorang
diktator (1804-1815). Kata Napoleon, di Timur sana ada Singa yamg
sedang tidur. Jangan usik! Karena, begitu bangun sang Singa akan
menggemparkan seluruh dunia.
Sebab lainnya, yang mendorong aku sekarang ini menulis lagi tentang
Tiongkok, ialah dialogku belakangan ini dengan penulis dan penyair,
sahabatku, Asahan Aidit. Kami bertukar fikiran mengenai Mao dan buku
bestseller penulis Jung Chang dan suaminya Halliday, 'MAO, THE UNKNOWN
STORY. Terima kasih sahabatku Asahan, tanggapan-tanggapan Anda
menggugahku untuk menulis lagi tentang Tiongkok.
* * *
Sedikit penjelasan. Mengapa penyiar radio VARA khusus minta aku bicara
dengan mereka? 'Via-via', akhirnya mereka tahu bahwa aku adalah
seorang Indonesia yang pernah duapuluh tahun lebih bekerja dan
berdomisili di Beijing (1966-1986).
Sebelumnya, yaitu dalam musim panas tahun 1963 aku bersama keluarga
pernah diundang ke Tiongkok. Kami saksikan Tiongkok yang baru saja
pulih dari 'musibah' yang membawa tidak sedikit korban di kalangan
rakyat, dan kerugian ekonomi besar, akibat dilaksanakannya politik
ekonomi Partai Komunis Tiongkok yang ternyata salah besar, di bawah
Mao Tjetung. Yaitu kebijaksanaan pembangunan 'Komune Rakyat' dan 'Maju
melompat besar' Tujuannya ialah, untuk dalam waktu singkat dan secepat
mungkin membangun Sosialisme di Tiongkok serta melampaui Barat dalam
bidang-bidang ekonomi yang penting. Ketika menyimpulkan pengalaman
negatif ini, pimpinan Tiongkok sesudah meninggalnya Mao Tjetung,
menyatakan bahwa politik ekonomi yang salah itu sumbernya adalah Mao
Tjetung, meskipun pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan pemerintah
Tiongkok juga menyatakan bahwa mereka tidak bisa 'cuci tangan', dan
sebagai penguasa lari dari tanggung-jawabnya.
* * *
VARA tahu juga bahwa sejak kami meninggalkan Tiongkok lebih sekali aku
berkunjung lagi ke Tiongkok. Dan mungkin tahu juga bahwa aku tetap
memelihara hubungan baik dengan teman-orang Tiongkok yang sebidang
pekerjaan. Yaitu yang aktif di Komite Tiongkok Untuk Setiakawan dengan
Rakyat-Rakyat Asia-Afrika dan dari Komite Tiongkok untuk Persahabatan
dengan Luarnegeri (Youxie) di Beijing.. Bisa saja VARA tahu, juga
via-via, bahwa aku kenal dengan sementara tokoh atau pejabat Tiongkok.
Aku tidak sembunyikan itu. Itu bukan rahasia. Meskipun, bisa saja
macam-macam analisis orang Belanda mengenai kami sekeluarga. Maklum,
meskipun Perang Dingin sudah jadi sejarah, tetapi pengaruh dan
dampaknya pada fikiran sementara orang, termasuk penguasa di Belanda,
masih kuat.
Namun, sebagai warganegara Belanda, aku tidak khawatir akan
'diapa-apakan' karena diketahui bersahabat dengan Tiongkok, karena,
nyatanya, sekarang ini pemerintah Belanda juga punya hubungan baik
dengan Republik Rakyat Tiongkok. Bahkan ingin mengembangkannya.
Aku tidak sembunyikan bahwa aku bersikap bersahabat dengan Tiongkok.
Bahwa duapuluh tahun lamanya kami sekeluarga tinggal di Tiongkok Bahwa
empat orang putri kami, semuanya bersekolah di Tiongkok. Tiga orang
putri kami menamatkan pendidikan di tingkat universitas/akademi, dan
yang bungsu baru memasuki tahun pertama akademi ekonomi. Kemudian
meneruskan studinya di Belanda.
Meskipun suasana di Belanda, ketika kami baru tiba, masih dalam
cengkeraman kultur 'Perang Dingin', bukan main curiga pada Tiongkok
dan segala sesuatu yang Kiri, ditakuti dan mungkin saja diawasi, tokh
tak kusembunyikan sikapku tentang Tiongkok . Seperti biasa ada
sementara yang sejak semula mengambil posisi yang 'hostile', anti,
benci bahkan bermusuhan terhadap Tiongkok. Sebabnya macam-macam. Tidak
urgen untuk dimasuki masalah tsb kali ini. Selain yang 'netral', ada
pula yang mengambil sikap bersahabat atau bisa dikatakan
'pro-Tiongkok'. Pada periode Perang Dingin, bila diketahui bersikap
simpati atau bersahabat dengan Tiongkok, kontan akan dicap 'Komunis',
atau, kalau itu orang Indonesia akan dituduh anggota PKI. Sekarang,
pada masa pasca 'Perang Dingin', sesudah Tiongkok menempuh haluan
politik baru, dengan diberikannya kesempatan luas bagi modal asing
menanam modal dan berusaha di Tiongkok, memberlakukan ekonomi pasar,
dsb., sikap bersahabat dengan Tiongkok umumnya tidak akan dicap
sebagai 'Komunis' atau PKI.
karena PKI sudah tidak ada lagi. Sementara orang kini menggapnya
sebagai hantu, yang sekali tempo bisa menggerayangi rumah mereka dan
membahayakannya. Maka dari waktu ke waktu mereka angkat suara: 'Awas
bahaya komunis!'>
* * *
Tak terelakkan ada pertanyaan, mengapa aku, keluargaku yang pernah
duapuluh tahun tinggal dan bekerja di Tiongkok, mengambil sikap
BERSAHABAT dengan TIONGKOK. Dan pertanyaan ini baik dijawab
sebisa-bisanjya. Sejujur-jujurnya.
Hubungan persahabatku dengan Tiongkok Baru, dengan aktivis-aktivis
Tiongkok Baru, telah dimulai jauh sebelum aku dan keluarga berkunjung
ke Tiongkok.
Suatu ketika dalam tahun 1952, bersama seorang kawan lagi, aku diutus
ke Kopenhagen, Denmark, untuk mewakili Pemuda Indonesia dalam suatu
Konferensi Persiapan untuk Kongres Pemuda Sedunia yang akan
berlangsung di Wina, Austria. Di dalam konferensi itulah aku mula
berhubungan dan kenal dengan utusan pemuda Republik Rakyat Tiongkok
yang hadir dalam konferensi persiapan itu. Kali berikutnya ketika
sebagai utusan Komite Perdamaian Indonesia, menghadiri Sidang Biro
Perdamaian Dunia (1956) di Wina, hubungan dan kerjasama kami dengan
utusan Tiongkok semakin erat. Wajar sekali, bahwa perkembangan
hubungan dan kerjasama itu semakin baik. Hal itu adalah pengaruh dari
Konferensi Asia – Afrika Bandung (1955) yang historis itu. Dalam
Konferensi Bandung, Indonesia dan Tiongkok, telah bekerjasama dengan
baik sekali, bersama dengan utusan-utusan dari India, Birma, Mesir dan
banyak negeri AA lainnya, sehingga menciptakan syarat yang baik sekali
untuk suksesnya Konferensi Bandung yang melahirkan yang dikenal
kemudian dengan 'SEPULUH PRINSIP BANDUNG'. Lahirnya kekuatan ketiga di
arena internasional, yang mendorong maju gerakan kemerdekaan
bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Dan yang lebih penting lagi ialah,
bahwa kekuatan ini tidak tunduk pada fihak-fihak yang bertarung dalam
Perang Dingin ketika itu.
Hubungan kerjasama dan saling bantu dengan utusan Tiongkok paling lama
dan intensif ialah ketika aku ditugaskan mewakili Indonesia dalam
Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Rakyat-Rakyat Afrika, yang
bermarkas di Cario, Mesir. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, tahun
ke tahun lamanya, utusan Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok
bekerjasama, bahu membahu dalam pekerjaan dan kegiatan kami memberikan
dorongan dan sumbangan organisasi kami terhadap perjuangan melawan
kolonialisme dan imperialisme, untuk kemerdekaan nasional dan
pengkonsolidasiannya.
Perubahan drastis di Indonesia, dengan digulingkannya Presiden Sukarno
dan berdirinya rezim Orba, menyebabkan kami sekaluarga
Kami sekeluarga di Tiongkok bukan sebagai 'pengungsi politik' dan juga
bukan 'peminta suaka' yang kemudian dapat asil di Tiongkok. Aku
diundang untuk ambil bagian dalam perkerjaan studi dan riset tentang
negeri-negeri Asia dan Afrika di lembaga Tiongkok. Maka kami juga
dapat perlakuan sebagai 'akhli asing', sebagai 'eksper asing' yang
banyak bekerja di pelbagai instansi dan lembaga Tiongkok. Aku juga
dapat izin untuk menerbitkan buletin penerbitan mengenai Indonesia
yang diterbitkan oleh OISRAA, Organisasi Indonesia Untuk Setiakawan
Rakyat-Rakyat Asia, yang kebetulan aku adalah salah satu anggota
pengurusnya.
Maka perlakuan baik sekali dan amat bersahabat dari fihak Tiongkok,
merupakan penyebab penting, sikapku yang bersahabat dengan Tiongkok.
Selain menurut pendapatku, menggalang hubungan baik dan bersahabat
dengan Tiongkok adalah menguntungkan dua belah fihak, menguntungkan
Indonesia dan juga menguntungkan Tiongkok.
Betapapun kami sekeluarga tidak bisa dan tidak akan melupakan sikap
dan perlakuan baik budi serta setiakawan Tiongkok terhadap kami di
Tiongkok. Sikap ini dari hati nurani sejujur-jujurnya!
(Bersambung)
* * * * *
Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 07 Februari 2007
----------------------
TIONGKOK yang KUKENAL (2)
Belum lama aku sempat bertukar fikiran dengan sahabat-lamaku orang
Tiongkok
datang dari Tiongkok. Aku selalu berpendapat perlunya bertukar fikiran
langsung dengan sahabat-sahabat orang-orang Tiongkok, mengenai situasi
Tiongkok sekarang. Masalahnya, tinggal mencari kesempatan untuk itu.
Belum lama ini syukurlah muncul juga kesempatan itu.
Boleh dibilang tidak ada satu minggu berlalu di dunia pemberitaan, --
pers, radio dan TV mancanegara, khususnya di dunia Barat, --- yang
tidak memberitakan tentang Tiongkok. Ada berita yang menyoroti
segi-segi negatif ketimbang yang positif. Sering dikira itu berita
tentang Tiongkok itu berita positif, namun, kemudian ada selipan yang
negatif. Ternyata maksud sesungguhnya berita tsb memang menceriterakan
sesuatu yang negatif tentang Tiongkok. Sekarang zamannya orang
menomorsatukan kebebasan, kebebasan menyatakan pendapat dan
menyiarkannya.
Jadi berita-berita yang macam-macam tentang Tiongkok, itu boleh-boleh
saja. Tinggallah pada kita sendiri bagaimana mencernakannya. Banyak
orang pada dasarnya mengambil sikap yang bersahabat dengan Tiongkok
dan bersimpati dengan rakyatnya. Tetapi ada juga orang-orang yang
sejak awal bertitik tolak dari sikap yang antipati terhadapnya,
terutama terhadap kekuasaan di Tiongkok sekarang. Umumnya mereka itu
adalah fihak-fihak yang menganut faham anti-Komunis. Karena
pemerintahan Tiongkok adalah pemerintah Komunis dan dipimpin oleh
Partai Komunis, maka mereka mengambil posisi anti-Tiongkok. Namun,
terhadap rezim di Taiwan mereka tidak antagonis. Bahkan mendukung
politik AS zaman Perang Dingin, yaitu politik 'Dua Tiongkok'. Atau
politik 'satu Tiongkok' dan 'satu 'Taiwan'. Jadi mendorong berdirinya
Taiwan yang separatis.
Mereka-mereka yang anti-Komunis itu, dengan bertolak dari faham
anti-Komunisnya, yang mengambil posisi antagonis terhadap rezim di
Tiongkok sejak berdirinya RRT ----- pada umumnya menyatakan bahwa,
sebenarnya, kata mereka, sejak era Deng Xiaobing, Tiongkok sudah bukan
Sosialis lagi. Tiongkok sudah melaksanakan sistim Kapitalis.
Partainyapun sudah bukan partai Komunis lagi. Hanya nama saja yang
Komunis. Namun, orang-orang yang sama itu juga, ---- sama nyaringnya
menabuh genderang, memperingatkan dunia, tentang bahaya munculnya
superpower baru, yaitu Tiongkok. Orang bisa mengambil kesimpulan,
mereka itu bukan pertama-tama menentang sisitim apa yang dijalankan di
Tiongkok, tetapi, mereka tidak ingin ada satu Tiongkok yang bebas
berdiri sendiri dan kuat di segala bidang. Mereka menghendaki Tiongkok
terpecah-belah dan tegantung pada luar. Mereka mendambakan dunia yang
dikuasai dan 'dipimpin' oleh AS dan sekutu-sekutunya. Mereka
mengimpikan suatu 'Pax Americana' di dunia ini.
* * *
Dari sinilah bisa dilihat, masih hidupnya di kalangan Barat dan pada
mereka yang sepandangan dengan politik 'Perang Dingin' dunia Barat,
yang ingin diteruskannya strategi 'China containment policy'. Bisa
diikuti dengan jelas bahwa politik 'China containment' ini sekarang
menggunakan merek atau iklan baru, yaitu mencanangkan kepada dunia:
'Waspada terhadap superpower baru: Tiongkok'.
Untuk melengkapi input mengenai Tiongkok, maka ada baiknya a.l.
mendengar langsung dari orang Tiongkok bagaimana pendapat mereka
sendiri tentang Tiongkok yang ramai dibicarakan orang itu.
Ini lebih-lebih lagi terasa perlu bagi orang seperti aku. Karena
pengetahuan-langsung yang kuperoleh di lapangan mengenai Tiongkok,
adalah mengenai situasi Tiongkok selama aku bekerja dan berdomisili di
negeri itu pada periode 1966-1986, dan dalam tahun 1998. Tahun 1998
itu kami, istriku Murti dan aku, diundang oleh Perkumpulan Tiongkok
untuk Persahabatan dengan Luarnegeri
hampir 10 tahun sejak kunjunganku terahkir ke Tiongkok.
Meskipun belum mengunjungi Tiongkok lagi, --- dengan mengikuti
perkembangan Tiongkok lewat media mancanegara dan membaca sendiri yang
dipublikasikan media Tiongkok berbahasa Inggris, serta siaran Radio
Beijing berbahasa Indonesia, ---- maka bisa dikatakan bahwa dalam
jangka waktu 9 - 10 tahun belakangan ini , di Tiongkok tak terjadi
perubahan baru yang fundamentil, yang berbeda dengan situasi 9-10
tahun yang lalu. Pemahamanku ini dilengkapi belakangan dengan
kesempatan bertukar fikiran dengan orang-orang Tiongkok sendiri,
orang-orang biasa, bukan pejabat atau politikus. Dengan demikian maka
lumayanlah bisa diperoleh gambaran yang bisa diandalkan tentang
Tiongkok sekarang.
* * *
Pengenalanku tentang Tiongkok sekarang singkatnya adalah sbb:
Sejak Tiongkok menempuh kebijakan ekonomi (pasar) pada akhir tahun
1970-an, dipkrakarsai dan dirintis oleh PM Deng Xiaobing, --- bisa
disaksikan dan dirasakan dampaknya oleh dunia bisnis, bahwa
pertumbuhan ekonomi Tiongkok maju melesat, melebihi pertumbuhan
ekonomi negeri manapun didunia ini. Tiongkok telah menjadi lebih kuat
di bidang ekonomi dan pertahanan. Secara umum terdapat peningkatan
yang menonjol taraf kemakmuran. Pertumbuhan ini sampai sekarang masih
berlangsung terus. Pasar dunia dibanjiri oleh komoditi produk
Tiongkok. Segi lainnya, Tiongkok aktif mengarahkan pandangannya ke
bagian-bagian lain dari dunia ini, mencari bahan-bahan baku dan bakar
untuk perkembangan ekonomi, khususnya industrinya.
Terakhir diberitakan oleh pers mancanegara, bahwa RRT adalah
satu-satunya negara di dunia , yang, --- bukan saja, -- tidak lagi
punya utang luarnegeri, tetapi negara yang DEVISANYA dikatakan besar
kemungkinan yang paling banyak cadangan uang dolarnya. Sedangkan AS
sudah menjadi negara yang paling banyak utangnya.
Kebijakan ekonomi pemerintah Tiongkok dewasa ini, diakui terus terang
oleh yang bersangkutan, punya dampak sampingan yang serius.
Orang-orang yang menjadi kaya, menjadi makmur, tumbuh dengan cepat
sehingga menimbulkan lapisan masyarakat, yang di Tiongkok dibilang,
YANG KAYA DULUAN. Orang luar menilainya sebagai lapisan klas tengah,
yang berangsur-angsur tidak saja punya peranan dan pengaruh di
lapangan ekonomi, tetapi juga di lapangan politik. Dikatakan a.l ini
bisa disaksikan dalam konstitusi Partai Komunis Tiongkok yang sudah
diperbaharui, yang membuka pintu bagi elemen-elemen kapitalis. Ini
bisa dikatakan sebagai suatu perkembangan di bidang teori dan praketk
pembangunan partai oleh kaum Komunis Tongkok. Bisa juga dikatakan
sebagai sesuatu yang baru samasekali. Komentar lain mengatakan bahwa
ini merupakan suatu 'penyimpangan' dari faham Marxisme.
Kebijakan pembangunan ekonomi Tiongkok dewasa ini, seperti yang
kudengar sendiri dari yang bersangkutan, adalah berkat penyimpulan
dari kegagalan mereka, mengurus ekonomi negeri menurut pola, contoh
pembangunan ekonomi sosialis model Uni Sovyet. Dalam suatu pembicaraan
dengan sementara kader-kader Tiongkok, dinyatakan kepadaku, bahwa
penyimpulan tentang jalan sosialis Sovyet itu, dipadukan dengan
penyimpulan kegagalan ekonomi sosialisme menurut konsep Mao. Yaitu,
yang ingin cepat-cepat mencapai sosialisme dan komunisme, melalui
pembangunan sistim Komune Rakyat, Maju Melompat Besar dan kemudian
Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Pimpinan Tiongkok pasca Mao
menyimpulkan bahwa mereka harus menempuh jalan lain. Tidak boleh
meniru apa yang negeri lain lakukan. Disimpulkan untuk menempuh
sosialisme yang khas Tiongkok, yang mereka namakan Sosialisme
Tiongkok. Strategi baru ini menempatkan masalah berputarnya roda
ekonomi pada tempat pertama. Karena hanya melalui jalan ini, bisa
memecahkan masalah raksasa yang dihadapi oleh negeri dan bangsa ini.
Yaitu bagaimana memecahkan masalah sandang dan pangan lebih seribu
juta penduduk yang dari tahun ke tahun bertambah terus jumlahnya.
Padahal lahan pertanian Tiongkok tidak tambah-tambah, kata mereka.
Aku ingat betul, ketika Revolusi Kebudayaan sedang berlangsung,
dijelaskan pada kami ketika itu, bahwa, PM Chou En-lai sesungguhnya
telah merintis strategi ini, ditengah-tengah berlangsungnya Revolusi
Kebudayaan. Chou memberikan petunjuk yang terkenal, yaitu 'Cengkam
Revolusi Dorong Maju Produksi'.
Tiongkok memberanikan diri menempuh jalannya sendiri, dengan
memberlakukan kembali hukum ekonomi pasar, dan menggalakkan tenaga
produktif semaksimal mungkin.Mengakui segi-segi berguna dari sistim
kapitalis.
Di satu fihak dipertahankan arah pembangunan negeri sesuai konsep
Sosialisme Tiongkok. Juga kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok tetap
dipertahankan. Cabang-cabang ekonomi yang merupakan urat nadi ekonomi
negeri, tetap dikuasai negara. Di lain fihak ekonomi-pasar
dipraktekkan secara besar-besaran. Modal dalam negeri maupun asing
diundang untuk membuka usaha mereka dengan persyaratan yang menarik.
Bidang-bidang usaha ekonomi, mulai dari produksi kecil-kecilan sampai
industri yang besar-besaran bisa dengan leluasa dikelola oleh
individu-individu dan perorangan atau gabungan perorangan. Sehingga
tidak sedikit yang mengomentari bahwa ekonomi kapitalis telah pulih di
Tiongkok.
Benar, kebijaksanaan baru di bidang ekonomi, telah menghasilkan
pertumbuhan produksi dan pertumbuhan ekonomi yang amat pesat.Tapi
bukan tanpa dampak negatif yang kurang dapat perhatian pemerintah.
Sehingga di kalangan kaum tani yang dirugikan dan tidak dapat
pengurusan yang baik dari pemerintah, tidak sedikit yang mendambakan
situasi sebelum ekonomi pasar bebas dilancarkan. Mereka mengidap
nostalgi dan rindu pada periode pemerintahan Mao dikala pendidikan,
kesehatan rakyat, perumahan dan kesempatan kerja diurus oleh pemerintah.
Dampak lainnya dari kebijakan ekonomi baru itu ialah jumlah
pengangguran membengkak dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Praktek
korupsi berlangsug dari daerah sampai ke pusat. Masalah pendidikan
menjadi soal besar. Karena pendidikan tidak lagi cuma-cuma seperti
zaman Mao. Ini membikin pusing dan problim besar pada banyak orangtua
yang miskin. Mereka tidak dapat jawaban bagaimana nasib pendidikan
anak-anaknya kelak. Kaum tanipun banyak yang dirugikan oleh pejabat
setempat yang mengutamakan pendirian perusahaan-perusahaan tanpa
memperhatikan nasib kaum tani yang digusur dari situ dengan ganti rugi
yang sangat tidak memadai.
Dampak negatif lainnya, misalnya, seperti yang dilihat sendiri oleh
salah seorang teman yang musim panas yang lalu berkunjung ke Tiongkok.
Ia menyaksikan munculnya secara menyolok pelacur-pelacur di Tiongkok.
Hal ini tampak jelas di kota-kota besar, seperti Beijing, Shanghai dan
Canton, katanya. Yang dibandingkannya dengan periode Mao, ketika
pelacuran adalah sesuatu yang dilarang keras dan diancam hukuman.
Sehingga ia bertanya-tanya hendak ke mana Tiongkok Sosialis?
Dikemukakanya juga tentang meningkatnya kriminalitas dalam masyarakat,
a.l. penggunaan ganja dan heroin.
* * *
Gejala-gejala penyakit sosial, seperti yang dikemukakan diatas,
seperti pengangguran, korupsi, kriminalitas, pelacuran dan penggunaan
ganja, yang di masyarakat di dunia kapitalis bukan sesuatu yang aneh
atau langka. Tetapi hal itu dalam masyarakat sosialis Tiongkok periode
Mao, dikenakan tindakan hukuman keras. Sehingga orang luar tidak
melihat samasekali gejala-gejala tsb. Meskipun, di dalam masyarakat
sosialis sekalipun, bukan tidak ada samasekali penyakit-penyakit
sosial tsb.
* * *
Harus dicatat bahwa di Tiongkok dewasa ini, pemerintahnya tidak tutup
mata terhadap ketimpangan sosial serta kritik-kritik yang diajukan
terhadap dampak sampingan jalan baru yang mereka tempuh. Secara
terbuka pula pemerintah mengakui kekurangan-kekurangan dan pelbagai
penyakit sosial yang dihadapinya, seperti pengangguran, perbedaan yang
menganga antara yang miskin dan yang kaya, urbanisasi, polusi,
kriminalitas, pelancuran, korupsi dsb. Bahkan terhadap tindak korupsi
pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang dianggap oleh dunia
luar Tiongkok 'keterlaluan' , seperti hukuman mati terhadap
pelanggaran korupsi besar-besaran, atau tindak kriminil lainnya.
Dari pelbagai sumber bisa diketahui bahwa pemerintah yang sekarang
ini, khususnya tahun lalu, telah lebih banyak mengambil
langkah-langkah kongkrit untuk menangani masalah-masalah yang muncul
tadi, dengan mencapai hasil-hasil tertentu.
Pada kawan-kawanku orang-orang Tiongkok, kutanyakan langsung, apakah
pemerintah Tiongkok yang sekarang ini, pemerintah yang berkemauan
baik. atau tidak? Dijawabnya dengan tegas: YA, PEMERINTAH SEKARANG INI
BERKEMAUN BAIK. Mereka mengambil langkah-langkah kongkrit ke arah
perbaikan.
Mengusahakan kemakmuran rakyat dan keadilan sosial, adalah urusan
primer pemerintah Tiongkok sekarang . Mereka tahu bahwa di dunia ini,
kecuali jalan Sosialis Tiongkok yang mereka tempuh sekarang, terdapat
pelbagai konsep dan praktek sistim sosial. Selain apa yang
dilaksanakan misalnya, di Vietnam, Korea Utara dan Cuba, --- juga ada
yang dipraktekkan oleh kaum Sosial Demokrat di Eropah Barat. Di
kalangan masyarakat Tiongkok, khususnya di kalangan cendekiawan ilmu
sosial, lembaga ilmu dan masyarakat umumnya , tidak sedikit yang
tertarik dan mengadakan studi terhadap konsep dan cara kaum Sosial
Demokrat Eropah mengelola masyarakat menuju kemakmuran dan keadilan
sosial.
Ketika aku mengajukan masalah ini pada awal mereka menempuh jalan
Sosialisme Tiongkok, dan ketika bertemu beberapa tahun yang lalu,
mereka mengemukakan bahwa, mereka harus dengan rendah hati belajar
dari negeri-negeri lain yang mengusahakan kemakmuran dan keadilan
sosial bagi rakyatnya.
Apa yang kami sedang lakukan sekarang ini, kata mereka, adalah suatu
usaha, suatu eksperimen, yang masih harus dilihat hasilnya kemudian.
Tetapi itu suatu usaha. Menghidupi rakyat yang lebih satu bilyun, kata
mereka, bukanlah soal yang sederhana. Kuikira sikap mereka ini rendah
hati. Apalagi bila dilihat bahwa jalan yang mereka tempuh sekarang ini
menampakkan hasil-hasil yang tidak kecil di bidang pertumbuhan ekonomi
dan konsolidasi negara Tiongkok.
* * *
Bicara soal demokrasi sehubungan dengan sistim sosial yang dipratekkan
di Tiongkok sekarang , barangkali menarik untuk membaca sebuah
komentar, dimuat di mingguan Amerika,'Time Magazine', 12 Febr 2007,
ruangan Letters, yang oleh redaksinya diberi judul 'the RISE of a New
SUPERPOWER'. Tulis pembaca Christina Feng dari Malvern, Pennsylvania, US:
"Artikel kalian melebih-lebihkan kekurangan demokrasi di Tiongkok,
halmana mengarah ke spekulasi tentang kemungkinan bencana global dan
peperangan. Namun, demokrasi tak bisa dipakasakan terhadap sesuatu
nasion. Hal itu harus tumbuh dan berakar dan bertahan-lama. Tiongkok
sudah jauh sekali meninggalkan rezim feodal yang dialaminya seratus
tahun yang lalu, dan Tiongkok akan mencapai demokrasi dengan cara dan
syarat-syaratnya sendiri. Strategi Tiongkok untuk memenuhi
kebutuhannya atas sumber-sumber alam, dilakukannya dengan damai.
Persaingan heibat untuk mendapatkan sumber-sumber alam tidak
menyisihkan kerjasama internasional. Barangkali Tiongkok akan
mempersekutukan strateginya dengan AS, bila AS menghentikan campur
tangannya terhadap masalah intern Tiongkok dan mulailah mencari
tujuan-tujuan bersama seperti misalnya, perdamaian dan kemakmuran dunia'.
Demikian a.l. pendapat seoran pembaca 'Time Magazine' w.n. Amerika
asal Tionghoa, yang tinggal di Amerika.
Pendapatnya itu pantas dijadikan input dalam usaha untuk mengenal
Tiongkok.
(Bersambung)
* * *
Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 09 Februari 2007
------------------------
TIONGKOK yang KUKENAL (3)
Mengenal Tiongkok!
Bisa sederhana. Bisa juga pelik dan rumit. Banyak tergantung dari
situasi per individu. Bagaimana titik tolak dan latar belakang sejarah
yang bersangkutan. Last but not least, bagaimana pula kecenderungan
politiknya.
Banyak yang bukan orang Tiongkok, memperoleh gambaran atau ide tentang
Tiongkok dari berita atau literatur. Dari pelajaran sejarah di sekolah
ataupun di perguruan tinggi. Bisa juga dari ceitera orang yang pernah
berkunjung atau tinggal di Tiongkok. Ada juga yang dirinya sendiri
pernah berkunjung atau bahkan tinggal di Tiongkok dalam waktu
tertentu. Tetapi, akhirnya tokh, tergantung pilihan yang bersangkutan.
Apa maunya. Apa yang ia ingin ketahui atau hendak kenal tentang
Tiongkok. Mau mencari yang negatifnya (saja), pasti akan menjumpainya.
Mau mencari yang positifnya juga pasti banyak. Mau berusaha obyektif
juga bukan tidak mungkin.
Nanti kita lihat bersama, bagaimana seorang jurnalis Amerika, wartawan
UPI, Jack Belden, menulis buku terkenal 'CHINA SHAKES THE WORLD'
(1949), --- 'Tiongkok Menggemparkan Dunia' (Edisi Bahasa Indonesia:
'NAGA MERAH'). Bagaimana pula Jung Chang, orang Tiongkok dan suaminya
orang Inggris, Jon Halliday, menulis tentang Mao: 'Mao, Ceritera yang
Tidak Dikenal', 2005.
* * *
Bisa juga kukenangkan kembali bagaimana aku sendiri mula mengenal
Tiongkok. Ini kasus lebih sederhana, karena itu pengalamanku sendiri.
Pada suatu ketika, awal tahun 1950-an, sesudah tercapainya perdamaian
antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda (akhir 1949), banyak
buku dan literatur luarnegeri masuk Indonesia. Tidak sedikit literatur
yang mengisahkan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, yang
diproklamasikan pada tanggal 1 Oktober 1949.
Ketika itu banyak 'breaking news' tentang Tiongkok. Umumnya
mengisahkan keheibatan tentara Komunis di bawah pimpinan Mao Tsetung
dan Chu Teh, yang berhasil memusnahkan tentara Kuomintang di bawah
pimpinan Jenderalisimo Chiang Kai-sjek, dengan jumlah jutaan dan
peralatan serta persenjataan modern dari AS. Diberitakan bagaimana
sisa-sisa kekuatan KMT yang korup dan bobrok serta bangkrut itu lari
terbirit-birit ke Taiwan. Diberitakan pula bagaimana pemerintah
Tiongkok Baru, pemerintah RRT, mengatasi inflasi, memulihkan
ketenteraman serta menjalankan kembali roda ekonomi negeri, melakukan
pembagian tanah kepada kaum tani, melaksanakan landreform, serta
mengakhiri kriminalitas, pelacuran, perjudian, dll kemaksiatan dalam
masyarakat lama Tiongkok di bawah kekuasaan Kuomintang.
Tak kujumpai ada pemberitaan yang membantah kebobrokan KMT yang kalah
didaratan Tiongkok dan lari ke Taiwan. Juga tidak ada berita yang
menyanggah bahwa tentara Komunis di bawah pimpinan Mao Tsetung dan Chu
Teh, telah berhasil membereskan negeri dan memulihkan perdamaian di
Tiongkok.
* * *
'CHINA SHAKES THE WORLD' (1949), karya Jack Belden.
Entah dari siapa pertama-tama aku mendengar tentang buku Jack Belden
itu . Tak ingat lagi. Tapi kuingat buku itu kubeli di Toko Buku
'Indira' di Menteng, Jakarta. Buku Jack Belden, wartawan UPI, yang
terkenal: 'CHINA SHAKES THE WORLD' (1949) – 'Tiongkok Menggoncangkan
Dunia', segera menjadi 'bestseller'. Lakunya seperti pisang goreng,
kata orang kita. Kuingat, kemudian nama buku itu kudengar lagi, dari
sahabatku Sidharta pimpinan SBKB, Serikat Buruh Kendaraan Bermotor,
salah seorang pendiri Lekra
penanya, menganjurkan aku agar membaca buku itu sampai selesai. S.
Dharta memuji ketelitian dan kegairahan Jack Belden menulis tentang
revolusi Tiongkok. Baik dari segi fakta-faktanya, analisisnya, maupun
dari segi profesionalismenya sebagai wartawan. Dharta menyatakan
padaku, bahwa ia tidak pernah membaca buku tentang perkembangan
revolusioner di Tiongkok sebagus buku Jack Belden.
Bagiku, membaca buku Jack Belden 'China Shakes The World' ketika itu,
melengkapi gambaran yang kuperoleh dari pemberitaan dan literatur
lainnya mengenai Tiongkok di bawah KMT, dan bagaimana kaum Komunis
Tiongkok telah berhasil membebaskan serta mempersatukan Tiongkok.
Membaca buku Jack Belden, seakan-akan pembaca dibawa ikut menyaksikan
sendiri dari tahap ke tahap, perkembangan revolusi Tiongkok yang
menggemparkan dunia sampai mencapai kemenangan gemilang dan historis.
Dulu, Barat menamakan Tiongkok 'orang sakit Asia' – 'The sick man of
Asia'. Berkat suatu proses revolusioner, Tiongkok lahir kembali
sebagai raksasa yang segar bugar. Dalam pada itu masih jelas dalam
ingatanku sebuah toko buku milik perusahaan Tionghoa di Glodok, yang
dalam tahun 1950-an, banyak menjual buku-buku tentang revolusi
Tiongkok dan Tiongkok Baru. Toko buku itu sering sekali kukunjungi
untuk membeli literatur terbaru mengenai Tiongkok Baru. Inilah
sebabnya a.l. sejak muda, aku menaruh simpati terhadap perjuangan
revolusioner rakyat Tiongkok dan terhadap Tiongkok Baru.
Kesanku sama seperti kesan seorang pembaca di Amerika, bernama Zhou Bi
Liang, graduate student State College, PA, USA. Ia menulis: Sesudah
membaca edisi bahasa Tionghoa buku 'CHINA SHAKES THE WORLD', saya
berterimakasih kepada Jack Belden (meninggal 1989 di Paris dalam usia
79th). Jack Belden secara hidup dan setia pada fakta mencatat Perang
Saudara Tiongkok, yang secara fundamental telah menghancurkan masa
lampau Tiongkok dan membuka jalan ke arah modernisasi.
Pembaca lainnya, Zhang Yinshu , Herdon, Virginia, AS, menyatakan
tentang buku CHINA SHAKES THE WORLD, sbb: Buku ini yang telah amat
menyentuh hatiku, begitu uniknya, betapa telah membelokkan pandangan
umum di Amerika, meskipun penulisnya tidak bermaksud demikian.
Sedemikian jauh, apa yang kita ketahui tentang Partai Komunis Tiongkok
(ketika itu) tidak lebih dari suatu partai yang anti hak-hak azasi
manusia, biadab, yang maniak dan berakal busuk. Tetapi sementara dari
kalian mungkin bertanya-tanya, tulis Zhang, barangkali dalam fikiran
anda ada suatu pertanyaan yang sayup-sayup sampai: bagaimana
orang-orang Komunis Tiongkok itu bisa memenangkan perang saudara di
Tiongkok dalam tahun 1940-an; bagaimana mereka bisa mengalahkan
tentara PBB dalam tahun 1950 . . . . . . Bila masih ada pertanyaan
lagi, akan anda temukan dalam buku Jack Belden. Bolehlah saya katakan
bahwa inilah satu-satunya buku yang akan membikin anda memahami
Tiongkok masa lampau dan masa kininya.Demikian Zhang.
Satu lagi komentar terhadap buku Jack Belden CHINA SHAKES THE WORLD,
dari J. Michael Showalter, Tennesee, AS, sbb: Buku ini benar-benar
heibat. Ia mencatat Tiongkok di bawah pemerintah Nasionalis Tiongkok,
ditulis oleh seorang wartawan Amerika, yang akhirnya terpesona oleh
Tentara Pembebasan Rakyat di bawah pimpinan Mao, bukan disebabkan oleh
ideologi, tetapi oleh daya tarik rakyat Tiongkok . . . . yang
menderita. . . Benarlah, karya Jack Belden mengisahkan bagaimana
melalui Komunisme, rakyat Tiongkok telah membebaskan dirinya dari
penindasan feodalisme . . . . . dan memberikan arah untuk memahami
MENGAPA rakyat
pemimpin dan pembebas bangsa . . .
* * *
Sehubungan dengan usaha untuk bisa mengerti dan mengenal Tiongkok dan
juga dengan membaca bahan-bahan dari sumber yang antagonis terhadap
sistim politik dan pemerintahan Tiongkok sekarang ini, hal itu dewasa
ini tidaklah sukar. Sering-sering buku sejenis itu, malah laris,
menjadi 'bestseller'.
Buku yang tergolong baru terbit, yang kritis terhadap pemerintahan
Tiongkok sekarang, antara lain, adalah yang ditulis oleh Jung Chang
dan Jon Halliday. Jung Chang adalah penulis novel 'Angsa-angsa Liar',
yang bestseller. Jon Halliday, adalah suami Jung Chang, seorang
historikus berbangsa Inggris.
Judul buku: 'MAO, -- CERITERA YANG TAK DIKENAL . Judul aslinya
edisi bahasa Belanda, berjudul: 'MAO, Het Onbekende Verhaal'. Menurut
penerbitnya, Jung Chang dan suaminya sejarawan Inggris Jon Halliday,
menulis buku mereka atas dasar penelitian dan studi selama 11 tahun.
Maksud Jung Chang dan Halliday adalah mengungkap ceritera tentang Mao
yang, katanya, belum dikenal orang. Buku itu terbit dalam tahun 2005.
Penerbit: Jonathan Cape, London. Tebal: 942 halaman. Netto isi: 795
halaman. 152 halaman terdiri dari a.l., ucapan terima kasih; daftar
orang-orang yang diwawancarai; catatan; kepustakaan dari sumber-sumber
Tiongkok; bibliografi dari sumber bukan-Tiongkok dan register. Dihiasi
dengan 39 foto dan pada cover buku, 1 sebuah foto potret-Mao. Juga
terdapat 4 halaman peta Tiongkok.
* * *
Bila menemukan buku tsb di toko buku atau di perpustakaan, dari luar
memang tampaknya 'bukan sebarang buku'. Menurut penerbitnya, buku Jung
Chang (terjemahan bebas, I.I.) 'adalah sebuah biografi tentang Mao.
Suatu karya yang paling terdokumentasi yang pernah terbit mengenai
Mao. Menurut Jung Chang dan Halliday, Mao bukan seorang yang dikhayati
oleh idealisme atau ideologi. Mao adalah seorang tukang intrik, yang
meracuni dan memeras orang. Tujuan rahasia yang diperjuangkan Mao
adalah menguasai dunia'.
Apa yang ditulis oleh penerbitnya tentang buku Jung Chang, ditegaskan
lagi oleh Jung Chang sendiri dalam awal Bab 1, bukunya, sbb:
'Mao Tjetung, yang selama puluhan tahun menguasai peri kehidupan
seperempat penduduk dunia, adalah yang bertanggung-jawab atas matinya
kira-kira 70 juta orang di masa damai, suatu tanggungjawab yang lebih
besar terbanding tanggungjawab pemimpin manapun dalam abad ke-21 '
Selanjutnya pada halaman 25 edisi bahasa Belanda, Jung Chang menulis
sbb: 'Latar belakang tani Mao, tidak menyebabkan ia dikhayati oleh
idealisme tentang memperbaiki nasib kaum tani Tiongkok'.
Sedangkan dalam 'Epilog' pada halaman 795, Jung Chang dan Halliday,
mengakhiri penulisannya dengan menandaskan: 'Juga sekarang ini, potret
Mao dan jenazahnya masih mendominasi Lapangan Tiananmen, ibukota
Tiongkok. Rezim komuis yang sekarang ini masih menamakan dirinya
pewaris Mao dan dengan cara yang agresif meneruskan mitos Mao'.
Kiranya jelaslah apa tujuan Jung Chang dan suaminya historikus Jon
Halliday, menulis buku itu. Buku Jung Chang dan Halliday terkenal,
menjadi bestseller, diterjemahkan entah dalam berapa bahasa. Ada yang
memujinya, ada pula yang mempersoalkan, mengeritik dan menyanggahnya.
Baik dimulai dengan pujian terhadap buku Jung Chang.
PUJIAN-PUJIAN
Perry Link, profesor pada East Asian Studies, Princeton University,
menulis suatu review di penerbitan The Times Literary, August 2005. Ia
menilai positif buku Jung Chang.
Seorang Profesor Emeritus pada London School of Economics, Prof
Michael Yahuda, menyatakan sokongannya pada buku Jung Chang. Dalam
s.k. 'The Guardian' Yahuda menyebut buku Jung Chang itu sebuah 'buku
cemerlang' dan suatu 'karya yang menakjubkan'.
Banyak lagi komentar yang memuji buku Jung Chang dan Jon Halliday.
* * *
KRITIK-KRITIK terhadap buku Jung Chang.
Penulis-penulis dan akademisi-akademisi lainnya mengkritik atau
mempertanyakan tentang buku Jung Chang itu. Umumnya para pengeritisi
itu mempermasalahkan sekitar sifat (maksudnya barangkali: mutu. I.I.)
sumber-sumber yang digunakan buku itu. Teristimewa, karena
sumber-sumber tsb tidak bisa diakses atau samasekali tidak bisa
dipercaya. Point lainnya yang berulang-kali diajukan pengeritisi ialah
bahwa imago Mao, seperti yang digambarkan oleh Jung Chang dan
Halliday, terlalu dangkal, atau fokusnya terlalu disasarkan pada
orangnya dan bukan pada Partai Komunis.
Salah seorang dari pengeritisi buku Jung Chang, Philip Short, seorang
penulis buku 'Mao, Suatu Kehidupan', termasuk yang pertama yang
memberikan reaksi terhadap buku Jung Chang. Philip Short yakin bahwa,
Jung Chang berat sebelah dalam pandangannya bahwa hanyalah Mao yang
disalahkan untuk segala musibah yang diderita Tiongkok.
Pengeritisi lainnnya lagi, Andrew Nathan, Profesor dan Chair pada
Departemen Ilmu Politik pada
Universitas Columbia, menulis (penilaian yang menyeluruh) dalam London
Review of Books. Prof Nathan khawatir bahwa banyak dari penelitian
yang dilakukan oleh Jung Chang, sangatlah sulit dikonfermasi, atau
samasekali tak bisa dipercaya. Prof Nathan menilai bahwa, banyak
sumber yang dikemukakan oleh Jung Chang dan Halliday, tidak bisa
dicek, sedangkan lainnya terang-terangan spekulatif atau didasarkan
atas bukti-bukti tak langsung dan sambil lalu saja , dan sementara
tidak benar. Menurut Prof Nathan, kemarahan penulis, halmana bisa
dimengerti sepenuhnya, telah membentuk buku baru ini.
Pengeritisi lainnya lagi, Profesor Thomas Bernstein dari Columbia
University, menganggap buku Jung Chang dan Halliday sebagai suatu
'bencana besar' bagi usaha penelitian tentang Tiongkok dewasa ini . .
. . . . Karena penulis menggunakan aparat penelitian yang menakjubkan,
maka klaim-klaim mereka, dikira akan diterima orang ..... Namun
kesarjanaan mereka itu digunakan sepenuhnya untuk menghancurkan secara
total reputasi (jasa) Mao. Maka hasilnya ialah sama, yaitu
kutipan-kutipan menakjubkan yang diambil diluar konteks samasekali,
pemalsuan fakta-fakta dan dihilangkannya banyak hal.Yaitu fakta-fakta
yang sebenarnya telah membentuk Mao, sebagai seorang pemimpin yang
kompleks, kontradiktif dan banyak seginya.( A Swan little book of Ire,
07.10.2005)
* * *
Bagiku, untuk mengenal siapa Mao, pasti tidak mungkin bila itu hendak
diperoleh hanya dari ceritera-ceritera, yang dikatakan diperoleh dari
orang yang pernah dekat dengan Mao. Atau dari dokumen-dokumen yang
ternyata banyak yang tidak bisa dicek kebenarannya. Atau dari
ucapan-ucapan Mao yang terlepas dari konteksnya.
Untuk mengetahui siapa Mao, ide-idenya, tidak bisa lain, harus membaca
sendiri karya-karya yang ditulisnya. Selama periode Mao memimpin
Partai Komunis dan negara, paling sedikit ia telah menulis karya
politik teori dan ideologi, terkumpul dalam PILIHAN KARYA MAO TJETUNG,
yang terdiri dari empat jilid. Itu adalah karya-karya pilihan. Belum
lagi lainnya terpisah-pisah yang tidak termasuk pilihan. Selain itu
banyak pembicaraan Mao dalam perbagai periode, yang didokumentasi oleh
CC PKT. Melihat daftar bibliografi/kepustakaan asal Tiongkok dalam
buku Jung Chang dan Jon Halliday – paling tidak ada 21
bahan/buku.dokumen yang dengan nama Mao, pembaca berasumsi semua
bahan-bahan itu dibaca dan dipelajari oleh Jung Chang dan Halliday.
Dengan (cukup) membaca empat jilid 'Pilihan Karya Mao Tjetung' ,
sebagai dasar, orang sudah bisa menyimpulkan bahwa, apa yang ditulis
Mao itu adalah teori dan praktek suatu revolusi. Oleh penulisnya
dinamakan REVOLUSI DEMOKRASI BARU. Revolusi Demokrasi Baru, menurut
teori dan praktek revolusi Tiongkok, hakikatnya adalah revolusi tani.
Hakikatnya perubahan tanah untuk memperbaiki nasib kaum tani. Siapa
bisa menyangkal bahwa ketika Republik Rakyat Tiongkok berdiri, 1
Oktober 1949, itu adalah sangkakala kemenangan Revolusi Demokrasi Baru
Tiongkok.
Bagaimana pula sang novelis Jung Chang dan sejarawan Halliday bisa
menyimpulkan bahwa:
'Latar belakang tani Mao, tidak menyebabkan ia dikhayati oleh
idealisme tentang memperbaiki nasib kaum tani Tiongkok'.
Aku tidak heran mengapa Prof. Thomas Bernstein, sesudah mempelajari
buku Jung Chang dan Halliday, menyimpulkan bahwa buku itu merupakan
'bencana besar' bagi usaha penelitian tentang Tiongkok dewasa ini.
Terserahlah kepada pembaca yang ada tekad untuk membaca tulisan Jung
Chang dan Jon Halliday, menyimpulkan sendiri, sampai dimana nilai dan
mutu buku Jung Chang dan Jon Halliday itu.
* * *
Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 28 Juni 2007
-------------------
TIONGKOK YANG KUKENAL (4)
Tuturan santai ini, adalah kelanjutan dari serentetan tulisanku
berjudul 'TIONGOK YANG KUKENAL'. Ia dimaksukan sebagai suatu
pembeberan dan refleksi kesan-kesan mengenai Tiongkok. Begitu banyak
komentar dan tulisan; begitu berragam buku, film dan hasil karya seni,
mengenai satu negeri itu: -- Tiongkok. Kalau kita baca bahan-bahan
yang banyak ditulis orang tentang Tiongkok dan bangsa Tionghoa yang
berdiam di Republik Rakyat Tiongkok daratan, --- sungguh menakjubkan.
Karena, begitu beraneka ragam dan bervariasi posisi dan titik tolak
serta pendapat orang mengenai negeri dan bangsa berkebudayaan kuno
itu. Begitu memancing orang untuk berargumentasi.
Sebagai contoh: Tentang nama saja, apakah negeri itu tepatnya disebut
Tiongkok atau Cina, --- atau lebih baik dinamakan China (mengikuti
orang Inggris), mengenai itu saja sudah ada perbedaan pendapat. Begitu
juga mengenai nama apa yang semestinya digunakan untuk menyebut
bangsa itu, apakah bangsa Tionghoa, bangsa Chinese atau bangsa Cina?
Penyebutan nama menjadi ramai dibicarakan lagi, terutama sesudah
jatuhnya Presiden Suharto. Asal-muasal timbulnya soal, dimulai pada
mula kekuatan militer di bawah Jendral Suharto menggeser Presiden
Sukarno, mengambil oper kekuasaan atas Republik Indonesia, dan
mendirikan Orde Baru. Orang tidak akan melupakan suasana tegang dan
mengenaska, menyinggung rasa harga diri dan perasaan, ketika
pemerintah Orba melarang penggunaan bahasa Tionghoa, tidak membolehkan
nama-nama Tionghoa digunakan untuk toko-toko, jalan-jalan dan apa
saja. Suratkabar dan penerbitan lainnya dalam bahasa Tionghoa ditutup.
Juga sekolah-sekolah Tionghoa dihentikan. Bahkan nama orangpun dengan
satu atau lain cara diusahakan oleh penguasa supaya diubah, dari nama
Tionghoa, menjadi nama 'a s l i' Indonesia.
Apapun alasan atau dalih yang dikemukakan untuk membenarkan politik
Orba demikian itu, inti sari kebijaksanaan Orba itu adalah d i s k r
i m i n a s i dan r a s i s m e yang ditujukan terhadap
warganegara Indonesia turunan etnis Tionghoa. Dengan sendirinya muncul
pula dampak negatifnya terhadap hubungan kenegaraan kedua negeri
* * *
Tidak sedikit tulisan dan pendapat yang diajukan mengenai Tiongkok
dan bangsa Tionghoa (khususnya) yang di daratan, ----- bertolak dari
suatu sikap yang merasa 'takut' terhadap Tiongkok. Sebab,
fihak-fihak yang dulu menguasai, mendominasi dan mengeksploitasi
Tiongkok, menyaksikan bagaimana Tiongkok yang sekarang ini, bukan
lagi 'the sick man of Asia'. Bukan lagi Tiongkok 'tempo doeloe',
tetapi Tiongkok Baru yang lain samasekali. Tiongkok yang sekarang
ini, sejak 1 Oktober 1949, sudah menjadi suatu kekuatan politik,
ekonomi dan militer di Asia yang selalu harus diperhitungkan. Terutama
oleh Amerika, Jepang dan Eropah, yang begitu lama mendominasi Asia
sebelum Perang Dunia II.
Mencerminkan kekhawairan yang begitu mendalam, sehingga ada yang
menamakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai 'the new superpower',
'negara adikuasa yang baru'. Makanya, kata mereka, Tiongkok harus
'diwaspadai'. Kekhawatiran dan ketakutan tsb terutama disebabkan oleh
berdirinya suatu Tiongkok yang kuat yang berani melawan setiap usaha
untuk mendominasinya. Bertambah besar kekhawatiran itu, dalam
tahun-tahun belakangn ini disebabkan oleh cepat lajunya pertumbuhan
ekonomi Tiongkok, yang luar biasa sejak Deng Xiaobing memegang tampuk
pimpinan pemerintah dan negara. Dengan bertambah kuatnya ekonomi
Tiongkok, juga kekuatan militernya ditakuti. Ketakutan dan
kekhawatiran itu, bila ditelurusuri ke belakang, hal itu tak lepas
dari konsep dan strategi 'politik perang dingin'. Dikatakan juga
kekhawatiran itu disebabkan oleh semangat 'politik perang dingin'
dalam kondisi dan situasi baru.
Politik 'perang dingin' di Asia, sejak semula, terutama ditujukan
terhadap Republik Rakyat Tiongkok. Mengapa RRT dijadikan sasaran
utama strategi 'perang dingin' fihak Barat, di Asia, -- sebab
utamanya ialah, karena Tiongkok ada dibawah kekuasaan Partai Komunis.
Sebagai negeri yang dipimpin oleh Partai Komunis, diperhitungkan pasti
ada dalam satu blok dengan Uni Sovyet. Menurut Barat Blok Sovyet dalam
persaingannya dengan blok Barat punya ambisi untuk menghancurkan Barat
dengan sistim ekonomi kapitalisnya, kemudian menguasai dan
mengkomuniskan seluruh dunia.
Perkembangan kemudian ternyata menunjukkan bahwa, perhitungan Barat
itu meleset samasekali. Ternyata RRT adalah suatu negara, suatu
kekuatan di Asia yang tidak tunduk pada siapapun. Tidak (lagi) tunduk
pada Barat atau pada Jepang seperti pada periode sebelum Perang Dunia
II. Dikatakan bahwa di dalam blok Sovyet dimana RRT tergabung,
pemimpinnya adalah Uni Sovyet. Nyatanya RRT tidak tunduk pada Uni
Sovyet. Tiongkok bukan saja bertolak-belakang dengan Uni Sovyet,
tapi, bahkan sampai terlibat dalam konflik bersenjata dengan Uni
Sovyet. Yang dikenal sebagai perang perbatasan antara RRT dan Uni
Sovyet(1969).
Ditelaah secara seksama, konflik-konflk militer, yang terjadi antara
RRT dengan tetangga-tetangganya, seperti dengan India (1962), kemudian
dengan Sovyet(1969) lalu dengan Vietnam Utara (1979), --- semua itu
adalah konflik-konflik militer atau perang yang menyangkut masalah
perbatasan. Semua itu adalah perang perbatasan. Daerah atau wilayah
tertentu yang dikuasai oleh Tentara RRT ketika perang perbatasan
dengan India, dengan Sovyet maupun dengan Vietam Utara, --- itu semua
menyangkut masalah perbatasan. Perang dimana terlibat RRT itu semua
bukan perang agresi untuk menguasai negeri lain. Makanya, melalui
perundingan damai, bisa dicapai penyelesaian, meskipun belum
sepenuhnya tuntas.
Bisalah disimpulkan bahwa konflik-konflik militer itu, semua
menyangkut masalah yang merupakan problim sisa-sisa zaman ketika
imperialisme menguasai Tiongkok dan Asia. Ketika wilayah Tiongkok
dikacau dan dibagi-bagi, perbatasan serta daerah pengaruh ditentukn
seenaknya oleh imperialisme. Sedangkan bagian-bagian tertentu dari
wilayah Tiongkok menjadi daerah konsesi negeri asing tsb, atau bahkan
menjadi koloni seperti Manchuria (dikuasai Jepang), Hongkong (jadi
koloni Inggris) dan Macau (jadi koloni Portugis).
Bahkan 'Perang Korea' (1950-1953), yang mulanya terjadi antara Korea
Selatan versus Korea Utara, kemudian berkembang menjadi suatu
peperangan terutama antara Tiongkok-Korea Utara dengan bantuan
Sovyet, melawan AS-Korea Selatan dan sekutu-sekutu Barat. Dalam
Perang Korea, RRT menurunkan 'Tentara Sukarelawan'-nya, sesungguhnya
adalah untuk MENJAMIN KEAMANAN PERBATASAN di sepanjang
TIONGKOK-KOREA. Bisa diasumsikan bahwa bagi Tiongkok, Perang Korea
samasekali tidak ada sangkut pautnya dengan usaha untuk mencaplok
wilayah negeri lain, apalagi sebagai usaha untuk 'menyebarkan faham
Komunisme'.
* * *
Politik Barat terhadap Tiongkok itu dikenal populer sebagai 'China
containment policy', 'politik mengekang Tiongkok'. Dari perumusan itu,
orang didorong untuk menyimpulkan bahwa Tiongkok itu adalah suatu
kekuatan yang agresif. Padahal sejak seratus tahun ke belakang,
Tiongkok selalu didominasi dan dieksploitasi oleh imperialisme Barat
dan Jepang. Pernah pula Tiongkok di intervensi oleh belasan tentara
intervensionis asing, dengan tujuan untuk membagi-bagi serta
mendominasi dan mengeksploitasi Tiongkok. Tokh gampang-gampangan saja
sementara fihak menuduh Tiongkok itu sejak dulu agresif dan berambisi
untuk menguasai negeri lain.
* * *
Ketika dilangsungkan Konferensi Asia-Afrika yang bersejarah di Bandung
(1955), Perdana Menteri Zhou En-lai, dengan jelas sekali mengutarakan
politik luarnegeri Tiongkok. Politik luarnegeri Tiongkok, bertolak
dari prinsip-prinsip yang kemudian dirumuskan oleh Presiden Sukarno
(Indonesia), PM Nehru (India), PM U Nu (Birma), John Kotelawala
(Ceylon) dan PM Ali Khan (Pakistan), bersama dengan 24 negeri-negeri
Asia dan Afrika lainnya, dalam PRINSIP-PRINSIP BANDUNG, 10 Prinsip
Hidup Berdampingan antara negeri-negeri yang merdeka dan berdaulat.
Dokumen bersejarah Konferensi Asia-Afrika Bandung mencatat, kata-kata
PM Zhou Enlai dalam Konferensi, a.l., sbb: Delegasi Tiongkok datang ke
Konferensi Bandung dengan kehendak kuat untuk perdamaian dan
persahabatan. Disebabkan oleh serangan-serangan yang dilontarkan oleh
sementara delegasi, dimana hadir Delegasi Tiongkok, yang ditujukan
terhadap komunisme sebagai 'diktatorial'dan 'neo-kolonialisme', bahkan
mencurigai Tiongkok melakukan kegiatan subversi terhadap negeri-negeri
tetangganya, PM Zhou Enlai menyatakan dengan tegas, bahwa:
Delegasi Tiongkok datang kemari (Bandung) untuk mencari persatuan dan
bukan untuk bersengketa, untuk mencari landasan bersama dan bukan
untuk menciptakan perbedaan-perbedaan. Di antara negeri-negeri Asia
dan Afrika dan rakyat-rakyatnya terdapat landasan bersama yang
didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar negeri-negeri dan
rakyat-rakyt Asia dan Afrika, menderita dan masih menderita dari
bencana kolonialisme. Tak peduli apakah dipimpin oleh kaum komunis
ataupun nasionalis negeri-negeri ini mencapai kemerdekaannya dari
kolonialisme.
PM Zhou: -- Kita harus mencari dan mencapai saling pengertian dan
saling menghormati satu sama lain, bersimpati dengan dan mendukung
satu sama lainnya dan bahwa Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara
Damai dapat sepenuhnya menjadi dasar bagi kita semua untuk mencapai
hubungan persahabatan, kerjaasma dan bertangga-baik.
Politik luarnegeri RRT terhadap negeri-negeri tetangga Asia-Afrika
yang mengutamakan persamaan besar dan menyisihkan perbedaan, sesuai
dengan politik luarnegeri RI ketika itu, maka bersama telah
menyelamatkan Konferensi Bandung dari terseret pada kontroversi
mengenai komunisme dan diktatur serta tuduhan-tuduhan subversi.
* *
Telah ditelusuri politik luarnegeri Tiongkok terhadap negeri-negeri
lain, khsususnya terhadap negeri-negeri Asia-Afrika. Telah kita kenal
politik luarnegeri Republik Indonesia sejak proklamasi kemerderkaan
Indonesia. Telah kita saksikan pula kerjasama yang baik antara
Delegasi Indonesia dan Delegasi RRT dalam Konferensi Asia-Afrika di
Bandung (1955).
Dari situ bisa dikonstatasi bahwa politik luarnegeri Republik
Indonesia di bawah Presiden Sukarno terhadp RRT, adalah politik
luarnegeri yang brinsip dan konsisten, didasarkan atas prinsip-prinsip
bebas mandiri dan bertetangga baik, atas dasar soliaritas A-A dalam
perjuangan melawan kolonailisme dan mempertahankan kemerdekaan dan
perdamaian dunia. Prinsip-prinsip tersebut kemudian dirumuskan bersama
oleh semua peserta Konferensi Asia-Arika (1955), dalam Prinsip-Prinsip
Bandung.
Dengan demikian, perkembangan hubungan RI-RRT tahun-tahun belakangan
ini, terutama pada periode pasca Suharto, perlu diasmbut baik. Karena
hal itu memperbesar dan memperluas bidang-bidang kerjasama antara
kedua negeri. Suatu perkembangan yang mempererat tali perasahabatan,
memajukan hubungan ekonomi dan kebudayaan. Suatu politik yang punya
latar belakang sejarah yang cukup lama, yaitu sejak berdirinya RI dan
RRT. Suatu politik yang tidak terprovokasi oleh kecohan-kecohan
sementara fihak yang ditujukan untuk merusak hubungan baik dan
bersahabat antara Indonesia dan Tiongkok. * * *
No comments:
Post a Comment