Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 18 Juli 2007
A. LATIEF
Mantan Kolonel TNI-AD :
Jenderal SOEHARTO -- Manusia Dholim --
Mengkhianati Presiden SOEKARNO
Beberapa hari ini ramai sekali diberitakan dan dibicarakan di media cetak dan elektronik, maksud hendak mengadili mantan Presiden Suharto, menurut hukum perdata (KUHP). Bukan lewat hukum Pidana. Jadi, samasekali bukan diadili oleh ICC, International Criminal Court. Sebagaimana banyak tuntutan diajukan terhadap Suharto mengingat pelanggaran HAM terbesar yang dilakukannya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity).
Kali ini lembaga pengadilan agung Indonesia sekadar akan memperkarakan gugatan (yang masih harus diajukan) mengenai kasus korupsi yang dilakukan mantan Presiden Suharto melalui yayasan-yayasan yang dibentuknya . Sementara orang ada yang antusias. Ada harapan, katanya, tuntutan terhadap Suharto sekali ini, akan berhasil. Dan Suharto akan dicekal dari sisi hukum perdata. Barangkali terbayang pada mereka-mereka itu, kasus pengadilan AS ketika menyeret bandit besar, mafioso kesohor AS, Al Capone. Pengadilan AS ketika itu, berhasil mencekal bandit Al Capone lewat tuntutan perdata (urusan pelanggaran pajak).
Ada yang samasekali tidak percaya bahwa Kejaksaan Agung bersungguh-sungguh akan menuntut Suharto. Dinyatakan bahwa bikin ramai hendak mengadili Suharto, itu adalah untuk mengalihkan perhatian belaka. Pendapat lain, tidak terus terang menuduh bahwa aksi Kejaksaan Agung itu pura-pura saja. Namun, jelas menyatakan keragu-raguannya. Apa benar pengadilan Indonesia yang merupakan lembaga yang paling harus ditoto dan direformasi, akan berhasil menuntut dan memberikan hukuman setimpal kepada Suharto. Dalam golongan ini termasuk wartawan (Pedoman) senior, Rosihan Anwar. Meski umurnya yang lanjut, tetapi sesekali masih memberikan komentar (yang terkadang 'lumayan') atas perkembangan politik Indonesia. Rosihan Anwar tampak sekali meragukan kemampuan dan keberhasilan lembaga pengadilan Indonesia. Juga karena ia yakin bahwa Suharto jauh-jauh hari sudah memikirkan bagaimana korupsinya itu dilindungi dan diselubungi rapat-rapat demikian rupa, sehingga siapapun tidak akan bisa menggungat Suharto.
Yang menarik lagi ialah terbitnya buku (baru) biografi Suharto, ditulis oleh putrinya Ruslan Abdulgani (almarhum), Retnowati Abdulgani-Knapp. Jelas sekali, terbitnya buku ini adalah dalam suatu kampanye PR yang diregisir dan difinansir secara kuat, untuk membela 'wajah baik' mantan Presiden Suharto. Suatu usaha sia-sia untuk membagus-baguskan reputasi Suharto yang akan tercatat dalam sejarah bangsa kita, sebagai penguasa (plus keluarga dan kroni-kroninya) yang paling kejam, paling bersandar pada kekersan dan kekuatan militer, paling licik, paling korup dan paling kaya terbanding mantan-mantan presiden RI sebelumnya.
Masih mengenai buku Retnowati tentang Suharto: -- Seorang pembaca Indonesia di California, Beni Bevly -- Pendiri Overseas Think Thank for Indonesia , presiden Afton Institute, LLC, publishing, training and consulting company, California, USA. berkomentar sbb: -- Retnowati tidak pernah mengungkap permasalahan jutaan orang yang menjadi korban gerakan politik Soeharto. Ia lebih menitik beratkan bagaimana para jenderal dibunuh oleh “socalled” PKI di bawah pimpinan Kolonel Untung.
Kemudian memberikan tanggapan atas komentar Siswono Yudhoyono, mantan menteri zaman Orba, yang dalam peluncuran buku Retnowati, hendak menyamakan Suharto dengan Bung Karno, berucap demikian: “Seperti Bung Karno, Soeharto naik (menjabat) dengan baik-baik tapi diturunkan dengan cara tidak baik.” -- Beni Bevly menegaskan: 'Bagaimana Siswono bisa meng-claim bahwa Soeharto “naik dengan baik-baik” jika jutaan jiwa melayang di tangannya dengan alasan mengamankan negara dari PKI? (baca: John Roosa, Pretext for Mass Murder, 2006). Aku menilai bahwa isi buku ini terdapat kecenderungan untuk menghidupkan Orde Baru dan menghentikan langkah Reformasi. Mudah-mudahan aku salah.
Isinya tak lain adalah membela Suharto sebagai presiden yang dikatakan terlah 'berjasa', dsb., dsb. , bla, bla, bla. Di kalangan masyarakat kita, baik di dalam maupun di luarnegeri, tidak sedikit pembela Suharto. Umumnya adalah mereka-mereka yang dalam ukuran besar-besaran ataupun dalam ukuran kecil-kecillan, dari berbagai jurusan sudah diuntungkan oleh rezim Orba. Mereka-mereka itu amat berterima kasih pada Suharto. Maklumlah berhutang budi. Kalau tidak karena Suharto, mereka itu tidak akan menjadi kaya demikian rupa, tidak akan bisa naik panggung politik begitu tinggi. Rame-rame membela Suharto itu, semacam tanda terima kasih juga pada keluarga Cendana.
Dikatakan mereka bahwa Suharto adalah 'bapak pembangunan Indonesia'. Telah 'berjasa menghancurkan PKI dan dengan itu menyelamatkan Indonesia dari bahaya Komunisme', tak peduli lebih sejuta manusia Indonesia yang tak bersalah telah dibantai, dengan dalih 'membela Pancasila', dsb. Tak peduli untuk itu telah melakukan perebutan kekuasaan (merangkak) terhadap Presiden Sukarno, mengenakan tahanan rumah terhadap beliau, dan memperlakukan Presiden Sukarno lebih buruk dari perlakukan yang diberikan oleh rezim rasis dan fasis Apartheid Afrika Selatan terhadap tahanan (ketika itu), pemimpin perjuangan anti-Apartheid dan kemerdekaan Afrika Selatan Nelson Mandela. Perlakuan sewenang-wenang dan teramat kejam Jenderal Soeharto terhadap Presiden Sukarno telah membunuh Presiden Sukarno secara 'perlahan-lahan'.
* * *
Terlepas dari masalah apakah akan berhasil atau tidak Kejaksaan Agung menyeret Suharto ke meja hijau lembaga hukum tertinggi Indonesia, ------ hendaknya janganlah sekali-kali dilupakan bahwa pelanggaran hukum terbesar yang dilakukan Suharto, adalah penyerobotan kekuasaan negara, insubordinasi terhadap Panglima Tertinggi Presiden Sukarno. Mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, selanjutnya . . . siapa yang tidak tahu kelanjutan dari kup merangkak itu. Persekusi besar-besaran, pembantaian besar-besar terhadap orang-orang PKI, diduga PKI, simpatisan PKI, lalu, kaum nasionalis pengikut dan pendukung Presdien Sukarno. Inilah pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Republik Indonesia.
* * *
Sehubungan dengan yang disebut diatas, banyak gunanya kiranya, untuk menyegarkan ingatan kita, dibaca lagi SURAT PERNYATAAN DAN TUNTUTAN, yang ditulis oleh Kolonel Latief pada tanggal 01 Januari 2003. Surat tsb dikutip selengkapnya di bagian akhir tulisan ini. Kolonel Latief memulai suratnya a.l.: . . . . demi Allah saya menyatakan bahwa Jenderal Soeharto secara langsung TERLIBAT Gerakan Tigapuluh September 1965 yang lalu. . . .
Tulis Kolonel Latief, selanjutnya: . . . Disaat ini yang penting karena saya amat yakin Jendral Suharto adalah pengkhianat bangsa khususnya terhadap Proklamator Bung Karno, kita wajib menuntut Jendral Soeharto untuk diadili, terutama telah mengabaikan hak-hak asasi manusia, melakukan makar/menumbangkan pemerintahan Presiden Soekarno yang sah.
'Saya berharap penuntutan terhadap Jenderal Soeharto dapat terselenggara dengan secepatnya.'
Di dalam kesaksian tambahan, tertanggal 07 Februari 2003, Kolonel A. Latief, menulis a.l. sbb:
. . . . sewaktu berdua dengan saya, Jenderal Soeharto menegaskan pada diri saya bahwa Jenderal SOEHARTO MENGHENDAKI (kata yang ditekankan kepada diri saya) Presiden SOEKARNO DIGANTI, karena selalu bikin ribut. Saya jawab: 'Tidak mungkin, karena BUNG KARNO didukung rakyat!'. . . . . . .(percakapan dalam pertemuan tanggal 28 September 1965 sekitar jam 20.00 (malam hari) ketika bersama istrinya Kolonel Latief berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto di Jl Agus Salim, Jakarta.
* * *
Hendak menuntut Soeharto mengenai kasus korupsi yang jumlahnya luar biasa besar, adalah sesuatu yang yang perlu disambut, dengan harapan lembaga pengadilan Indonesia kali ini bersungguh-sungguh.
Namun, pelanggaran hukum yang lebih besar, yaitu makar dan perebutan kekuasaan negara dengan menggulingkan Presiden Sukarno, adalah kejahatan yang lebih besar, yang harus diadili dan dijatuhi hukuman setimpal. Tak dibenarkan bila mantan Presiden Suharto dibebaskan dari tanggungjawab, seperti dikatakan Kolonel Latief, melakukan makar dan pengkhianatan terhadap Presiden RI Bung Karno.
Demikian juga pelanggaran HAM yang terbesar yang terjadi dibawah kekuasaan Jendral Suharto,
melakukan persekusi dan pembantaian masal biadab terhadap lebih sejuta warganegara yang tak bersalah, pada tahun-tahun 1965-66 dst samasekali tak boleh dibiarkan tanpa penanganan oleh lembaga pengadilan tertiggi Indonesia.
* * *
LAMPIRAN:
A. LATIEF, Mantan Kolonel AD
SURAT PERNYATAAN DAN TUNTUTAN
-------------------------------------------------------
Hari ini Rabu tanggal 01 Januari 2003 di rumah Pak SAWITO Kartowibowo, sekali lagi secara tegas dan sejujurnya, demi Allah saya menyatakan, bahwa benar Jenderal SOEHARTO secara langsung TERLIBAT Gerakan Tigapuluh September 1965 yang lalu, dimana diri saya juga terlibat langsung di dalamnya.
Semula saya yakin sebagai pimpinan Angkatan Darat yang amat saya percayai, karena saya pun adalah anak buah andalan dan kepercayaan beliau, apalagi di medan laga yang kemudian terkenal dalam sejarah militer maupun perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai 'Serangan Satu Maret 1949' di Jogyakarta, dimana diri saya adalah komandan yang paling pegang peranan utamanya tetap percaya, bahwa pak Harto loyal terhadap Presiden Soekarno.
Sebagai bukti kepercayaan itu, sewaktu sebelum peristiwa 01 Oktober 1965, dua kali saya melapor kepada Jenderal Soeharto sebelum menculik para Jenderal yang menurut pendapat saya perlu dihadapkan pada Panglima Tertinggi ABRI BUNG KARNO, saya tidak diperingatkan, ditegor apalgi dilarang melakukan gerakan itu oleh Jenderal Soeharto, sehingga saya berpendapat Jenderal Soeharto masih loyal pada Bung Karno.
Ternyata setelah kejadian, pendapat saya itu sangat bertolak belakang dengan pendapat saya semula, justru sebaliknya, terbalik samasekali. Maka dari itu setelah terjadi peristiwa dan menghadapi kenyataan yang terjadi, saya sungguh merasa diri saya dikhianati oleh panglima saya Jenderal Soeharto. Dan sejak saya diserang di Halim, saya lawan, sebab saya telah yakin Jendral Soeharto berkhianat terhadap Presiden RI Soekarno.
Dalam pleidooi saya, pak SAWITO tahu, biarpun Jenderal Soeharto telah menjadi Presiden RI, tidak ada niat bagi saya untuk mohon grasi atau bentuk keringanan hukum apapun kepada Jenderal Soeharto, sebab saya tidak bakal minta grasi dll kepada pengkhianat terhadap Bung Karno.
Disaat ini yang penting karena saya amat yakin Jenderal Soeharto adalah pengkhianat bangsa khususnya terhadap Proklamator Bung Karno, kita wajib menuntut Jenderal Soeharto untuk diadili, terutama telah mengabaikan hak-hak asasi manusia, melakukan makar/menumbangkan Pemerintahan Presiden Sukarno yang sah.
Tentu saja untuk itu diri saya sanggup untuk dijadikan SAKSI di Pengadilan dalam negeri maupun luarnegeri bilamana diadili di Mahkamah Internasional, agar segalanya jujur sesuai apa yang sebenarnya terjadi.
Saya berharap penuntutan terhadap Jendral Suharto dapat terselenggara dengan secepatnya, dan saya juga tahu kalau Mr ISKAQ TJOKROHADISOERJO telah menayangkan KLACHT (gugatan) kepada Jaksa Agung RI yang memberi bukti-bukti keterlibatan Jenderal Soeharto dalam G.30.S. yang membunuh para Jenderal A. YANI cs. dan melakukan pemunuhan masal beratus ribu rakyat yang tiada dosa apapun yang justru dibantai dikorbankan oleh Jenderal Soeharto.
Semoga tulisan ini yang saya berikan kepada Pak SAWITO bisa dijadikan data/bukti yang meyakinkan masyarakat luas, dan bahwasanya idee penumpasan dan pembunuhan masal terhadap orang-orang/masyarakat yang tidak disukai karena sangkaan mereka adalah pengikut Bung Karno adalah dari pribadi Jenderal Soeharto sendiri. Dan harap diketahui, dahulu Jenderal Soeharto itu saya ketahui dengan pasti termasuk 'kelompok Patuk' yang dirahasiakan, agar tidak terbongkar oleh masyarakat luas.
Dan yang penting agar diketahui, bahwa sebenanya Jenderal Soeharto itu akan ditangkap oleh Jenderal A. YANI karena korupsi terutama di Jawa Tengah, dikenal dengan kasus penyelundupan. Sayangnya waktu itu Bung Karno tidak mengidjinkan, dan sebagai tindakan penyelamatannya Jenderal Soeharto dimasukkan ke SESKOAD (Sekolah Staf & Komando AD) di Bandung, dipimpin oleh Kol. SOEWARTO. Ini saya ketahui, karena saya sendiri adalah Angkatan Kedua SESKOAD itu, sedangkan Jenderal Soeharto adalah Angkatan Pertama.
Heran saya, Jenderal Soeharto yang tahu betul kalau ditolong oleh Bung Karno. akhirnya justru mencekik leher Bung Karno, orang yang telah menolong dan menyelamatkannya.
Jelaslah Jenderal Soeharto benar-benar orang munafik (bicara dusta, janji tidak ditepati, dipercaya malah berkhianat). Jadi manusia dholim alias manusia jahat.
Demikianlah pernyataan dan tuntutan saya untuk menjadikan periksa bagi siapapun, yang saya buat dengan sesungguhnya dan penuh tanggungjawab.
Terimakasih banyak.
Saya yang membuat pernyataan dan menuntut agar Jenderal Soeharto diadili,
tertanda (pada materai): A. LATIEF
Alamat: LIPO KARAWACI
Taman Elok No 596
Tanggerang.
Tel (021) 598 6070
* * *
KESAKSIAN TAMBAHAN ATAS PERNYATAAN DAN TUNTUTAN SAYA
TERTANGGAL 01 JANUARI 2003
Untuk melengkapi Pernyataan dan Tuntutan saya tertanggal 01 Januari 2003 dengan ini saya beri tambahan kesaksian sbb:
1. Bahwa benar sebelum terjadi pengkhianatan/makar Jenderal Soeharto terhadap Presiden RI/PANGTI ABRI BUNG KARNO, saya sekeluarga memiliki hubungan kekeluargaan yang amat akrab dengan Jenderal SOEHARTO sekeluarga, yang dengan sendirinya kami sering beranjangsana ke rumah beliau dan saling membantu ---
2. Dari sekian banyak kunjungan itu, seingat saya sekitar tanggal 18 September 1965 saya sekeluarga berkunjung seperti biasanya ke rumah keluarga Jenderal Soeharto/Pangkostrad di Jl Agus Salim,Jakarta. Dalam kesempatan berdua, saya bertanya kepada Jenderal Soeharto: 'Apakah benar ada Dewan Jenderal AD yang hendak melakukan kup merebut kekuasaan dari tangan Presiden RI BUNG KARNO?
Jendral Soeharto menjawab: 'Ya, saya sudah tahu dan sudah mendengar dari bekas anak buah Mayor CTN/Vet. SOEBAGYO dari Jogyakarta'.
Saya bertanya lagi: 'Siapa Jenderal itu dan dimana?' Jenderal Soeharto menjawab lagi: 'Akan diselidiki dulu.'
Mendengar jawaban Jenderal Soeharto demikian, saya berkata kepada Jenderal Soeharto: 'Kalau benar ada yang mau kup terhadap Presiden RI Bung Karno, saya siap menghadapinya!'.
3. Seperti biasanya pada tanggal 28 September 1965 sekitar pukul 20,00 (malam hari) saya dan istri berkunjung ke rumah Jenderal Soeharto/Pangkostrad di Jl Agus Salim Jakarta, di saat itu sewaktu berdua dengan saya, Jenderal Soeharto menegaskan pada diri saya bahwa Jenderal Soeharto MENHENDAKI (kata yang ditekankan kepada diri saya) Presiden SOEKARNO DIGANTI, karena selalu membikim ribut.
Saya jawab: 'Tidak mungkin, karena BUNG KARNO didukung rakyat!'; ----
4. Pada tanggal 29 September 1965, antara pukul 09.00 - 10.00 (siang hari) saya menemui Jenderal Soeharto yang di saat itu sedang menunggu putranya yang tersiram sup panas yang sedang dirawat di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, disitu saya melapor kepada Jenderal Soeharto, bahwa kami akan menculik para jJenderal Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada PANGTI-ABRI Presiden SOEKARNO, dan yang akan dilaksanakan besok malam (sehari berikutnya) tanggal 30 September 1965; ..... Menanggapi laporan saya itu, Jenderal SOEHARTO bertanya: 'Siapa Komandan Operasinya?' Saya jawab: 'Letkol UNTUNG' (yang saya mengetahui Letkol Untung telah dikenal baik oleh Jenderal Soeharto). Seterusnya Jenderal Soeharto lalu berkomentar: 'Ya sudah, saya mau istirahat'. Selanjutnya kami berdua berpisahan.
5. Kesaksian seperti yang tersebut diatas, sebetulnya juga telah saya kemukakan dalam pemeriksaan untuk B.A.P. (Berita Acara Pemeriksaan) maupun dalam persidangan sewaktu saya sendiri diajukan selaku TERDAKWA, tetapi tidak diurus sebagaimana seharusnya, termasuk permohonan saya selaku tertuduh, agar Jenderal Soeharto dapat diajukan di muka Pengadilan Militer itu selaku SAKSI UTAMA, selalu DITOLAK!
Demikian kesaksian tambahan ini saya buat dengan sesungguhnya untuk melengkapi dan yang tidak dapat dipisahkan dengan Surat Pernyataan dan Tuntutan saya tertanggal 01 Januri 2003 untuk kesaksian dan bukti pengadilan terhadap tertuduh Jenderal Soeharto karena telah memimpin melakukan coup d'etat/makar dengan menggunakan kekuatan senjata militer terhadap Presiden R.I. yang sah BUNG KARNO, diseertai membantai rakyat banyak yang tidak berdosa yang saya tuntut dan ajukan demi tegaknya kedaulatan hukum, kebenaran dan keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jakarta, 07 Februari 2003
Saya yang membuat Pernyataam dan Kesaksian
tertanda (di atas materai)
A. LATIEF
Mantan Kolonel AD (Nrp. 10685)
Alamat:
LIPO KARAWACI
Taman Elok No 596
Tanggerang. Telp. (021) 5986070
* * *
Sunday, August 5, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment