3 September, 2002.
---------------------------
TAKTIK-KAH? - STRATEGI-KAH?- , ATAUKAH . . . .PRAGMATISME POLITIK?
Dua-tiga minggu belakangan ini telah berlangsung "polemik" atau "diskusi"
di media internet berbahasa Indonesia. Masalah yang disinggung cukup banyak,
misalnya -- mengenai "Pansus Buloggate II", yang "gugur dalam kandungan";
peranan IMF terhadap Indonesia; hasil-hasil ST MPR 2002; apa itu
'nasionalisme', dan . . . masalah dukungan Ketua Umum PDI-P dan Presiden
Republik Indonesia, Megawati Sukarnoputeri terhadap Sutiyoso, untuk kembali
menjabat gubernur Jakarta, dll. Masalah-masalah yang dibawa ke diskusi itu
semuanya penting. Semuanya bertalian dengan situasi kongkrit yang dihadapi
bangsa dan negeri ini. Berlangsungnya diskusi seperti ini, menandakan
bahwa kepedulian terhadap bangsa ini tetap tinggi.
<< CATATAN : --Namun, sayang sekali, - - - tidak jarang sementara tulisan
melenceng menjadi begitu emosionil, sampai tidak jelas lagi, apakah
masalah-masalah, problim-problim yang didiskusikan, - - - ataukah
pribadi-pribadi yang bersangkutan yang menjadi masalah utama. Tidak sedikit
pembaca internet, bukan saja menjadi kecewa dan bosan, tetapi juga jemu dan
jengkel, melihat perkembangan itu. Dikhawatir, dan disayangkan,
jangan-jangan media internet ini, tanpa disadari dan diinginkan oleh yang
bersangkutan sendiri, yang tadinya adalah sumber yang berguna untuk
informasi dan juga sebagai wadah tempat bertukar-fikiran, berubah menjadi
arena pertarungan. Suatu arena dimana seolah-olah tampil di situ "para
gladiator" , yang turun ke medan-laga arena, untuk saling "membeleti" dan
"menghabisi" pribadi masing-masing lawannya, yang terlibat dalam diskusi .
Akibatnya, ialah, masalahnya sendiri sudah jauh ketinggalan, terselubung
dibalik emosi, atau sudah terlupakan. Keadaan seperti ini diharapkan jangan
sampai berlarut-larut. Para moderator- - - umpamanya, dari CARI, WAHANA,
HKSIS, APAKABAR, NASIONAL, DLL, diharapkan pada waktunya turun tangan,
memberikan saran, minta perhatian para MAILIST, agar berkepala dingin dan
jangan membiarkan diri dikuasai oleh emosi, agar, jangan sampai -- tanpa
disengaja, tanpa diinginkan, melupakan tujuan bertukar informasi dan
bertukar fikiran. Jangan sampai lupa, bahwa sesungguhnya diskusi dan tukar
fikiran itu adalah antara sesama sahabat, bahkan sesama penggiat untuk
reformasi dan demokratisasi di Indonesia. >>
Yang tampak menjadi sorotan agak terpusat, ialah yang menyangkut tokoh
militer-politisi gubernur Jakarta Raya, Sutiyoso. Sutiyoso telah terpilih
kembali menjadi gubernur Jakarta Raya, berkat dukungan PDI-P dan pribadi
Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri. Kwik Kian Gie, sebagai salah seorang
Ketua PDI-P tampil menjelaskan politik PDI-P mengenai pelbagai masalah,
termasuk tentang politik PDI-P, kongkritnya beleid Ketua Umumnya, Megawati
Sukarnoputri, yang mendukung Sutiyoso. Dukungan Ketua Umum PDI-P Megawati
Sukarnoputri, yang juga adalah Presiden Republik Indonesia, banyak
dipermasalahkan dan dipersoalkan.
Mengapa dukungan Ketua Umum PDI-P ini begitu tajam dipersoalkan?
Sebab utama ialah, karena Jendral Sutiyoso, sebagai mantan Panglima TNI di
Jakarta, adalah orang yang seharusnya dituntut di pengadilan, karena tuduhan
menggunakan kekerasan senjata terhadap massa PDI dan pendukung-pendukungnya,
sampai jatuh tidak sedikit korban, pada kasus penggerebegan dan
pendudukan Kantor PDI Mega dalam tahun 1996. Sutiyoso punya latar belakang
sebagai tokoh militer yang melakukan penindasan terhadap hak-hak Demokrasi.
Selain itu selama jabatannya sebagai gubernur Jakarta (1997-2002), sejak
masih berkuasanya Suharto, Sutiyoso bukanlah gubernur yang memberikan
perhatian dan kepeduliannya pada rakyat kecil di wilayah Jakarta-Raya.
Kebalikannya, ia paling sering berkonfrontasi dengan para Wong Cilik
Jakarta. "Prestasinya" hanya "dikenal" dan "dirasakan" oleh para elite,
sedangkan di kalangan rakyat namanya dikaitkan (bukan tanpa alasan) --
dengan masalah penggusuran dan pelarangan beroperasi terhadap abang-abang
becak.
Maka, tidaklah aneh jika orang mempertanyakan APAKAH DUKUNGAN MEGAWATI
TERHADAP SUTIYOSO BISA DIBENARKAN? Tidak kebetulan bahwa diantara yang
mengajukan pertanyaan demikian itu, a.l. adalah Prof. Arief Budiman, dosen
pada University of Melbourne, Australia. Orang kenal, bahwa Prof. Arief
Budiman, orangnya memang kritis! Apakah itu terhadap Bung Karno, Suharto,
Habibie, Gus Dur, Megawati, atau yang lain-lain.
Kiranya, pertanyaan seperti yang diajukan itu, bertolak dari kenyataan
bahwa PDI-P yang diketuai oleh Megawati Sukarnoputri, adalah korban dari
"tangan besi" Sutiyoso, ketika sang jendral menjabat sebagai panglima TNI
di Jakarta Raya, -- dalam kasus penggerebekan dan pendudukan Kantor
PDI-Mega di Jalan Diponegoro, Jakarta. Banyak fihak, yang mempertanyakan itu
bertolak dari asumsi, dan, atau, harapan, bahwa PDI-P adalah kekuatan
yang mendukung Reformasi dan Demokratisasi, dan bahwa mereka-mereka itu juga
adalah pemilih PDI-P pada pemilu 1999. Mengapa sekarang ini, sang korban
yang sudah menduduki tampuk kekuasaasan pemerintahan, lalu (kok) membela
sang algojo? Bukankah beralasan sekali adanya kekecewaan dan tidak bisa
memahami politik PDI-P dewasa ini.
Mengapa? Mengapa? Mengapa?
Pertanyaan itulah yang menenuhi sebagian tidak kecil dari masyarakat.
Pertanyaan itu bukan saja timbul dari kalangan pendukung Reformasi dan
Demokrasi, dan dari simpatisan PDI-P; -- tetapi juga dari kalangan
intern-PDI-P sendiri, bahkan dari kader-kadernya sendiri. Jadi terang,
masalahnya dinilai amat-amat SERIUS. Kwik Kian Gie, sebagai Ketua PDI-P,
sudah berusaha memberikan penjelasan. Tetapi, inti penjelasannya itu ialah
bahwa ia (Kwik Kian Gie) BISA MEMAHAMI beleid PDI-P dan Ketua Umumnya
Megawati. Sayang, "penjelasan" Kwik Kian Gie itu, sesungguhnya bukanlah
penjelasan, tetapi sekadar pernyataan bahwa IA BISA MEMAHAMINYA. Apa yang
dipahaminya itu, juga tidak jelas.
Paling tidak, tidak jelas bagi sementara kalangan yang masih punya harapan,
PDI-P benar-benar akan tetap merupakan kekuatan politik yang mengusahakan
berlangsungnya Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia, suatu partai yang
berniat membela Wong Cilik. Bahwa PDI-P akan tetap merupakan kekuatan
politik yang bisa diharapkan dan dipercaya akan sepenuh hati menggalakkan
gerak Reformasi dan Demokratisasi.
Nah, yanag berharap dan percaya ini, jadi TERSENTAK oleh antara lain,
politik dukungan PDI-P terhadap Sutiyoso.
Ada sementara analisis, yang mengemukakan, bahwa beleid PDI-P mendukung
Sutiyoso kembali jadi gubernur Jakarta, adalah suatu TAKTIK dalam suatu
STRATEGI yang lebih besar dan lebih penting lagi. Yaitu suatu taktik politik
yang pada suatu saat tertentu, melakukan langkah mundur, yaitu, tidak
mengajukan orang PDI-P sendiri, sebagai calon gubernur pengganti Sutiyoso.
Taktik mundur selangkah ini dimaksudkan, untuk nantinya bisa maju dengan
langkah yang lebih besar dan menentukan. Karena, bukankah STRATEGI, lebih
penting dari TAKTIK? Bagaimanapun, bukankah TAKTIK harus mengabdi
STRATEGI?Oleh karena itu, taktik mencalonkan Sutiyoso kembali jadi gubernur
Jakarta, betapapun hal itu 'sulit dimengerti', oleh masyarakat, termasuk
sulit dimengerti oleh tidak sedikit kader-kader PDI-P sendiri, taktik itu
adalah politik yang "tepat". Maka taktik itu harus diterima dan dibenarkan.
Begitu sementara fihak menganalisis.
Diperhitungkan (oleh pimpinan PDI-P, menurut analisis tadi) , dengan
memberikan jaminan kepada Sutiyoso untuk kembali sebagai gubernur, ia
(Sutiyoso) akan lebih mudah "diatur", "diurus" bahkan "dikendalikan(?)"
oleh pimpinan PDI-P dalam rangka "mengamankan" dan "menstabilkan"
Jakarta-Raya, dan "membikin lancar pemilu 2004".
Resmi ataupun tidak resmi, Sutiyoso, kecuali militer juga adalah orang
Golkar. Juga dikalkulasikan, bila, katakanlah, muncul gubernur baru,
meskipun orang itu adalah calon dari PDI-P, PDI-P akan menghadapi situasi
dimana "gubernurnya" itu belum berpengalaman, belum punya relasi-relasi,
bleum punya sistim dan struktur kekuasaan yang diperlukan untuk bisa dengan
baik mengurus Jakarta menghadapi pemilu. Apalagi bila diingat, pemilu 2004
cuma tinggal dua tahun lagi. Dan siapa bisa menjamin, . . . . bahwa sang
gubernur baru itu akan lebih patuh, lebih mudah dikontrol dan diawasi,
terbanding Sutiyoso. Mungkin juga, - - - gubernur baru dari PDI-P itu,
tidak tahan menghadapi rayuan "money politics". Sehingga nantinya sang
gubernur baru bisa-bisa akan menjadi tawanan dari Golkar, yang punya dana
tidak terbatas itu. Atau menjadi tawanan fihak-fihak yang punya duit, yang
ada konflik dengan PDI-P. Lagipula, begitu ditimbang-timbang, dengan
mendukung Sutiyoso, paling tidak, telah tambah satu angka plus lagi untuk
PDI-P, vis-à-vis anggaran-politik TNI dan Golkar, dalam skala lokal maupun
nasional. Dengan demikian 'sekali merangkuh dayung dua-tiga pula
terlampaui" , seperti kata pepatah. Bagi PDI-P adalah penting untuk
mengamankan koalisi PDI-P pertama-tama dengan TNI, kemudian, dengan Golkar.
Ini memang bisa dikatakan TAKTIK atau apa sajalah, tetapi hakikatnya
adalah PRAGMATISME YANG SETULEN-TULENNYA. Seperti yang dikemukakan oleh Kwik
Kian Gie, yang kira-kira maksudnya: BEGITULAH CARANYA KALAU ORANG MAU
BERPOLITIK. ITULAH YANG NAMANYA POLITIK!
Bagaimanapun jangan dilupakan, bahwa yang memerintah Indonesia dewasa ini,
adalah suatu koalisi antara PDI-P, Golkar, TNI, PPP, PAN, PBB dan lain-lain.
Porosnya ialah PDI-P, Golkar dan TNI. Kita harus realis, koalisi semacam ini
sungguh sulit untuk diharapkan akan mampu, ataupun punya 'political will'
untuk mendorong maju Reformasi dan Demokratisasi, apalagi membimbingnya,
tak peduli taktik yang bagaimanapun yang akan ditrapkan.
Mengikuti perkembangan politik Indonesia, khususnya sejak berhasil
dilangsungkannya pemilihan umum 7 Juni 1999 y.l. , yang syukur sudah
berjalan secara "LUBER" - Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia - bisa kiranya
dicatat tahap-tahap perkembangan, sbb:
-- Sebagai kelanjutan dari pemilu 1999, telah lahir pemerintahan Abdurrahman
Wahid-Megawati Sukarnoputeri, sesuai pula dengan ketentuan-ketentuan di
dalam UUD-45. Telah berdiri pemerintahan presidensiil. Suatu pemerintahan
Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputeri, yang berporoskan PDI-P dengan
PKB, sesungguhnya adalah suatu pemerintahan yang bisa berbuat positif untuk
kepentingan keberlansungan Reformasi dan Demokratisasi, meskipun itu bukan
suatu pemerintahan yang seharusnya menurut hasil pemilu.
- - Melihat, bahwa PDI-P keluar dari pemilu sebagai partai terbesar, maka
seyogianya, "logikanya", kursi peresiden akan jatuh pada Megawati
Sukarnoputeri. Seharusnya Megawati yang menjadi presiden RI ke-4.
Namun, jalannya cerita adalah lain samasekali.
Mengapa? - - Sebabnya banyak. Yang bisa dicatat sebagai alasan-alasan
penting mengapa Mega tidak bisa menjadi presiden ketika itu, pertama-tama
bisa disebutkan -- disebabkan oleh tentangan atau perlawanan habis-habisan
yang dibangun dan dikembangkan oleh Golkar-TNI- dan Poros Tengah dengan
Ketua Umum PAN, Amien Rais -- Koalisi Golkar-TNI- dan Poros Tengah. Aliansi
itulah yang menggagalkan terpilihnya Megawati sebagai presiden.
Macam-macam argumentasi, alasan atau dalih yang dikemukakan, mengapa aliansi
anti-Mega berkeras menentang dan mengganjel Mega. Sekali tempo, digunakan
alasan agama, --- digembar-gemborkan bahwa menurut agama, perempuan tidak
dihenarkan untuk menjadi pemimpin negara; kali lain, dibilang bahwa Mega
adalah ibu rumah tangga yang biasa-biasa saja, sama dengan ibu rumah tangga
lainnya. Dilontarkan asumsi bahwa sebagai perempuan Mega pasti tidak
punya kemampuan untuk jadi presiden. Pribadinyapun diogrok-ogrok. Terjadilah
usaha "character assassination" terhadap Mega dengan cara mencemoohkan
kehidupan pribadi dan pendidikannya.
Bisa dipastikan bahwa semua lawan Mega masih ingat bahwa Mega adalah
orangnya yang berani berhadap-hadapan menantang Suharto, bahkan pada suatu
ketika menyatakan bahwa ia sanggup menggantikan Suharto, memikul jabatan
sebagai presiden, bila rakyat menghendakinya.
Tidak sulit untuk melihat bahwa, Golkar yang lewat pemilu telah berhasil
menggondol kedudukan dalam DPR sebagai partai terbesar nomor 2, amat takut
pada PDI-P dan oleh karena itu dengan keras menolak Megawati menjadi
presiden. Bukankah adalah Golkar, sebagai parpol penyangga kekuasaan Orba,
yang langsung terlibat dengan persekusi ORBA terhadap Megawati dengan sayap
PDI yang dipimpinnya. Ketika itu PDI pimpinan Megawati, adalah satu-satunya
parpol yang berani terang-terangan melawan pengontrolan Suharto terhadap PDI
yang ia pimpin. Golkar menentang Megawati menjadi presiden, karena Golkar
sendiri ingin berkuasa penuh lagi, dan - ini penting: Golkar amat khawatir,
bila PDI-P dengan Megawati sebagai pemimpinnua, akan melakukan politik
"balas denam" terhadap Golkar. Begitu juga TNI, PPP, dll khawatir bahwa
bila Mega jadi presiden, mereka akan mengalami "pembalasan" dari PDI-P.
Selain itu. mereka-mereka itu juga mengidap kekhawatiran, bahwa dengan
Megawati sebagai presiden, gerak Reformasi dan Demokratisasi akan
menggebu-gebu kembali, seperti saat sekitar gerakan menggulingkan Suharto
pada tahun 1998. Dan kita tahu betul bagaimana takutnya Golkar, TNI dan para
pendukung Orba itu takut setengah mati pada Reformasi dan Demokratisasi,
meskiopun di mulut mereka meniakkan Reformasi dan Demokratisasi.
Manuver demi manuver, yang keluar tampak dipelopori oleh Amien Rais, yang
juga adalah penentang keras Mega jadi presiden, berhasil mendapatkan calon
alternatif sebagai presiden RI yang ke-4: ABDURRAHMAN WAHID, Ketua Umum PB
NU. Bersamasama, mereka-mereka itu berhasil pula meyakinkan Mega dan PDI-P
untuk menyetujui menjadi Wapres saja, meskipun dilihat dari jumlah kursi
dalam MPR, PDI-P yang diketuainya berada jauh diatas PKB yang kelahirannya
dibidani oleh Abdurrahman Wahid. Kompromi ini dilakukan demi "mengatasi
krisis" dalam pemilihan presiden dan wapres. Begitulah menurut yang empunya
analisis.
Hanya lebih sedikit setahun kombinasi Gus Dur-Mega bisa bertahan sebagai
presiden dan wakil presiden. Sayang, karena, di lihat dari latar belakang
politik kedua tokoh maupun parpolnya, koalisi kedua partai ini, PDI-P dan
PKB, adalah kombinasi yang terbaik saat itu untuk membuat roda Reformasi
dan Demokratisasi bisa jalan terus.
Yang berikut ini adalah mungkinlah merupakan kunci untuk memahami mengapa
PDI-P yang dipimpin oleh Megawati sampai begitu jauh dalam berpolitik
sampai-sampai menyokong Surtiyoso kembali menjadi gubernur Jakarta Raya.
Begini analisis saya:
Pada suatu ketika, para partisipan koalisi sudah begitu tidak cocoknya
dengan politik dan cara memimpin pemerintahan dan negara oleh Gus Dur,
mereka - para partisipan koalisi pemerintahan Gus Dur-Mega, mengadakan
pertemuan tanpa Gus Dur, dan memutuskan untuk menggulingkan Gus Dur dan
menggantikannya dengan Megawati sebagai presiden yang ke-5. Mengenai
sebab-musabab mengapa mereka-mereka itu tidak cocol lagi dengan Gus Dur,
bisa dianalisis lagi belakang hari, bila berkenan untuk itu. Walhasil, Gus
Dur jatuh dan Megawati naik. Nah, koalisi baru yang menjatuhkan Gus Dur dan
menaikkan Mega, inilah yang sekarang sedang memerintah. Pemerintah ini
sudah berniat untuk bertahan terus sampai pemilu 2004. Untuk itu dari waktu
harus mengadakan kompromi demi kompromi. Jalan lain tak ada.
Jadi, bila suatu koalisi, pada suatu ketika, sudah sebegitu jauh sampai
menjatuhkan partner koalisinya sendiri, yaitu Gus Dur, melalui berbagai
manuver politik, maka apa perlu mempertanyakan lagi, mengapa PDI-P
mendukung sang militer Sutiyoso. Bukankah Sutiyoso, adalah partner baru dari
koalisi yang berkuasa dewasa ini? Kalau tokh ada yang masih mau
dipertanyakan, maka kiranya pertanyaan berikut ini adalah lebih interesan
untuk dicari jawabnya:
APAKAH BISA DIBENARKAN SUATU KEKUATAN POLITIK YANG MENGANGGAP DIRINYA
SEBAGAI KEKUATAN REFORMASI DAN DEMOKRASI, BERKOALISI BERSAMA KEKUATAN
STATUSQUO, PENINGGALAN ORBA, AMBIL BAGIAN DALAM MENJATUHKAN PRESIDEN
ABDURRAHMAN WAHID?
* * * * *
No comments:
Post a Comment