Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 11 Agustus 2007
----------------------
'LE BANIAN' Nr Jubilium de l 'Association
Franco-Indonesienne .
Ya, benar! 'Le Banian', judul kolom kali ini, itu adalah nama sebuah penerbitan, sebuah majalah yang dikeluarkan oleh sebuah perkumpulan di Paris. Nama perkumpulan: 'l'Association Franco-Indonesienne Pasar Malam', association Loi 1901, pour l'amité entre les peuples francais et indonésien. . Tujuan perkumpulan persahabatan Perancis - Indonesia itu, ialah memajukan hubungan kebudayaan dan persahabatan antara Perancis dan Indonesia.
Untuk pengetahuan pembaca (siapa tau mungkin ada yang kenal), berikut ini adalah Dewan Redaksi dari majalah (non-profit) 'Le Banian: Direktur: Johanna Lederer; anggota-anggota redaksi: Thomas Beaufils, Nathalie Belin-Ridwan, Helene Poitevin-Blancard, Jacqueline Camus, Dominique Maison, Etienne Naveau, Nathalie Wirja, Monique Zaini-Lajoubert.
KBRI di Paris, sesungguhnya, secara tak langsung terbantu dalam salah satu tugas keberadaannya di Paris. Wajarlah diasumsikan bahwa KBRI di Paris, telah menjalin jalur komunkasi dan kerjasama yang harmonis dengan perkumpulan Perancis tsb. Sebagai orang Indonesia, patut menyatakan penghargaan dan terima kasih atas usaha perkumpulan Perancis itu, yang dengan tulus dan sungguh-sungguh giat mempromosi Indonesia di Perancis. Suatu kegiatan yang merupakan manifestasi simpati orang-orang Perancis terhadap bangsa Indonesia.
Bukankah salah satu tugas KBRI, sebagaimana KBRI di semua negeri di dunia ini, ialah memajukan hubungan kebudayaan dan persahabatan antara rakyat Indonesia dengan negeri dan bangsa dimana ia ditugaskan? Yaitu tugas a.l. memperkenalkan kultur dan kebudayaan Indonesia kepada negeri dimana KBRI ditugaskan oleh negara untuk mewakili kepentingannya. Syukur-syukur komunikasi antara KBRI di Paris dengan Association, yang diketuai oleh Ny. Johanna Lederer, sudah digalang. Kalau belum, sebaiknya dimulai saja. Kalau sudah ada komunikasi itu manfaatkan secara maksimal demi usaha persahabatan dua negeri dan bangsa.
* * *
Segi lain, yang perlu difahami (oleh setiap KBRI), ialah bahwa jangan mengharapkan, apa yang dilakukan perkumpulan semacam perkumpulan yang menerbitkan 'Le Banian' di Paris, semuanya sesuai dengan selera KBRI. Malah bisa saja terjadi bahwa sesuatu perkumpulan non pemerintah, yang punya tujuan mempromosi Indonesia, di suatu negeri, namun,, kegiatannya oleh KBRI dianggap sebagai kegiatan 'anti-Indoneia'. Ini adalah masalah perbedaan pemahaman bagaimana menilai apa yang dinamakan promosi. Sering-sering, yang dilakukan oleh organisasi masyarakat yang mempromosi Indonesia itu, adalah sekadar kritik seperlunya dan wajar (yang merupakan salah satu pilar dari kegiatan demokratis) terhadap politik-politik tertentu dari pemerintah yang diwakili oleh KBRI pada suatu ketika.
Ambillah sikap rezim Orba. Umum dikenal dimana-mana bahwa rezim Orba, karena wataknya yang otoriter dan supresif, tidak mentolerir kritik macam apapun terhadap pemerintah Presiden Suharto. Apalagi bila kritik itu menyangkut masalah yang paling gawat, seperti pelanggran HAM seperti yang terjadi sekitar Peristiwa 1965, kekerasan di Aceh dan Papua, dll, antara lain yang menyangkut korupsi di kalangan birokrasi Indonesia..
Sedikit saja dikritik, apalagi bila kritik itu bersangkutan dengan pelanggaran HAM, langsung saja yang mengeritik dicap 'anti-Indonesia' atau, dicap sebagai kegiatan yang disponsori atau diinspirasi oleh 'orang-orang G30S' atau 'PKI' di luarnegeri.
Pada zaman Orba pernah seorang menteri Belanda, Jan Pronk namanya, tergolong menteri yang pandangannya maju, di persona-nongrata-kan oleh pemerintah Suharto. Sang menteri tidak boleh berada di Indonesia. Apa 'salah' Pronk? Pronk dianggap mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Pasalnya, karena Pronk 'kebanyakan' ngomong soal pelanggaran HAM dan korupsi di Indonesia yang masih belum ditangani pemerintah ketika itu. Juga sama halnya sikap gegabah Menteri Menkumdang Yusril Ihza Mahendra, dalam kabinet Presiden Megawati. Ketika itu Yusril mengeluarkan pernyataan, 'I hate the Netherlands'. Karena Belanda, menurut Yusril, selalu menjelek-jelekkan Indonesia. Untuk diketahui, kritik yang dilakukan adalah oleh seorang jurnalis Belanda ketika itu, lagi-lagi yang bersangkutan dengan masalah pemberlakuan HAM di Indonesia, yang masih jauh dari yang seharusnya.
* * *
Mempromosi kultur dan kebudayaan Indonesia di luarnegeri, supaya orang-orang Perancis lebih baik mengenal Indonesia, bukan saja mengenal Bali atau Jakarta, seperti yang dilakukan oleh l'association franco-indonésienne Pasar Malam', ada miripnya dengan apa yang dilakukan oleh RESTORAN INDONESIA PARIS. Restoran itu berdiri berkat prakarsa dan jerih payah orang-orang Indoneisa 'yang terhalang pulang': seperti Umar Said, Budiman Sudharsono (almarhum), Emile Kusni, Sobron Aidit dll, dan kini dikelola oleh Suyoso dkk . Restoran Indonesia Paris, bukan sekadar restoran yang melayani para tamu yang suka masakan Indonesia, tetapi (ini penting sekali) juga melakukan kegiatan teratur dan berrencana memperkenalkan kultur dan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat Perancis. Khsususnya para pelanggan Restoran Indonesia.
Pengalaman pahit masa lalu. Yang hendaknya jangan sampai terulang lagi ialah, bahwa, KBRI di Paris ketika zaman Orba, melarang orang-orang Indonesia mengunjungi Restoran Indonesia Paris. Alasan? Orang-orang KBRI memfitnah bahwa Restoran Indonesia Paris itu, adalah kegiatan 'orang-orang G30S' di luarnegeri. Tengoklah, betapa kerdilnya jiwa dan piciknya pengetahuan politik dan budaya aparat rezim Orba .
Syurkurlah sejak Reformasi, sejak Abdurrahman Wahid jadi Presiden, sudah ada perubahan sikap KBRI Paris. Mudah-mudahan jangan 'angék, angék cirik ayam', kata orang Minang. 'Hangat-hangat tai ayam'. Insyaallah, jangan lagi KBRI kembali lagi ke semangat dan sikap phobi terhadap sesuatu yang mengeritik pemerintah.
* * *
Apa pasalnya kolom ini dibuat khusus mengenai majalah 'Le Banian'?
Memang, 'Le Banian' nomor Jubilium, adalah majalah Perancis yang terbit hampir dua bulan yang lalu. Namun terlalu penting untuk tidak dibicarakan di sini. Kemarin dulu baru saja aku terima per pos dari Paris. Tebalnya 203 halaman lebih. Isinya cukup menarik dan penting. Ada masalah sejarah, ada masalah politik, kultur dan budaya. Pula dimasukkan di situ beberapa foto Indonesia menarik dan bagus mengenai Indonesi, termasuk foto penulis, esayis, penyair dan jurnalis Laksmi Pamuntjak ( di halaman 202).
'Le Banian', nomor Jubilium, Nomor 3 tahun 2007, terbit tanggal 02 Juli yang lalu. Majalah semester kali ini terbit dengn nomor khusus, yaitu dengan tema berjudul : LES ANNÉES TRENTE: Des Inders néerlandaises vers la Republique d'indonésie. Nomor Jubilium ini bisa diperoleh dari penerbitnya seharga Euro 5, diluar ongkos kirim. (Alamat: 14 rue du Cardinal Lemoine -- 75005 Paris. Tel. 01 56 24 94 53). Barangkali ada baiknya dikutip juga disini daftar isi majalah tsb dalam bahasa aslinya. Karena, majalah Perancis itu diperuntukkan terutama bagi masyarakat Perancis, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Perancis.Jadi tak ada edisi Inggris atau Indonsia. Sayang, apa boleh buat!.
Nah inilah isi majalah nomor khusus Le Banian itu.
-Editorial, Johanna Lederer.
-Robert Aarsse, Aux origines du PKI, Sneevliet à Java, 1913 – 1918
-Jean-Luc Aguerra, L'objet d'une rencontre : le pendentif de Ghislaine
-Thomas Beaufils, Des trésors indonésiens partis en fumée
-François-René Dallie, Pantun et pantoum, le fantôme de Victor
-Bernard Dorléans, L'exploitation coloniale et les mouvements nationalistes en Indonésie
de 1825 à 1945
-Martine Estrade, La création d'un Bali littéraire et mythique
-Saraswati Gramich, Le français, langue exotique ?
-David Hanan, Traditions minangkabau, réforme islamique et droits de la femme dans deux films de la fin de la période coloniale à Sumatra-Ouest
-Kunang Helmi Picard, Radical Chic (sur la première épouse indonésienne de Henri Cartier-Bresson)
-Ibrahim Isa, L'émergence d'une nation : l'Indonésie
-Peter Keppy, Le keroncong, les femmes et le combat de l'Indonésie pour la modernité, 1900-1940
-Etienne Naveau, Amir Hamzah, poète indonésien
-Solange Paul-Cavallier, Lointain intérieur (sur Un barbare en Asie de Henri Michaux)
-Josef Prijotomo, Vers la modernité dans l'Indonésie des années 1920-1940
-Jean Rocher, Rijsttafel et années trente
-Kees Snoek, La lutte multiple de Sutan Sjahrir
-Monique Zaini-Lajoubert, La « polémique sur la culture », 1935-1939
-Photo bureaux par F.J.L. Ghijsels
-Laksmi Pamuntjak, Le journal de R.S., nouvelle inédite
* * *
Dilihat sepintas begitu, maka isi majalah 'Le Banian' nomor Jubilium, termasuk representatif yang dengan gairah mempromosikan Indonesia, politik, kultur dan budayanya, di kalangan orang-orang Perancis. Juga untuk kita yang orang-orang Indonesia, isinya patut dibaca. Sayang bagi yang tak mengenal bahasa Perancis, karena 'Le Banian' hanya terbit dalam bahasa Perancis. Kalau ada perhatian, tokh bisa tanya kepada kenalan atau sahabat yang tau bahasa Perancis.
Sebagai perkenalan , berikut ini disiarkan teks Editorial 'Le Banian' nomor Jubilium, No. 3, Juni 2007, yang ditulis oleh Ketua Asssciation, Ny. Johanna Lederer. Juga dalam bahasa Perncis!
Editorial
Johanna Lederer
Des Indes néerlandaises vers la République d'Indonésie
Si Le Banian, troisième numéro (mais quatrième sortie) est consacré à une période, appelée ici rapidement, les « années trente », c'est que celle-ci est très riche en évènements qui forment les traits caractéristiques du visage de l'Indonésie actuelle. Une période exaltante avec une vie politique en ébullition, avec l'intensification des luttes pour l'indépendance, bien sûr, mais aussi avec la naissance de cercles littéraires, de confédérations du travail, et avec une curiosité nouvelle ou accrue pour le cinéma, la musique et la danse indonésiennes – dont le célèbre spectacle de danse et chant kecak, créé à Bali en 1930 par Wayan Limbak pour le film Insel der Dämonen (L'île des démons) du peintre allemand Walter Spies, ou la danse legong qui a donné son nom au film tourné en 1930 à Bali par le Français Henri de La Falaise.
L'architecture occupera une place importante dans ce numéro qui voudrait évoquer l'histoire de l'héritage d'une certaine époque de l'Indonésie moderne.
Si plusieurs villes indonésiennes offrent de beaux exemples du plus pur style d'Art Déco tropical, c'est Bandung qui, aujourd'hui encore, compte comme la ville la plus « années trente », privilège qu'elle partage avec deux autres villes tropicales Miami (Florida) et Napier (Nouvelle Zélande). Si depuis longtemps elle ne peut plus prétendre au titre qu'elle portait jadis, « Bandung, Parijs van Java » (Bandung, le Paris de Java), la ville est toujours aujourd'hui la plus grande vitrine Art Déco de l'Indonésie avec une centaine de bâtiments imposants, dont le Gedung Merdeka (bâtiment de l'Indépendance), entièrement refait dans les années vingt, qui a accueilli Chou-en-Lai, Nasser, Nehru etc. à la première conférence des pays non alignés, organisée par Soekarno en 1955.
Soekarno, personnage très actif pendant la période décrite dans ce numéro et architecte formé par l'Institut de Technologie de Bandung (école et bâtiment créés par les Hollandais dans les années vingt), devenu par la suite le premier président de l'Indonésie, qui est à la fois père fondateur de la nation et grand frère (Bung comme on l'appelait affectueusement), a parfaitement compris et assimilé l'importance du symbolique architectural dans la ville. Contrairement à un pays comme le Brésil qui a construit Brasilia spécialement dans ce but, Soekarno n'a pas changé de capitale, n'a pas choisi Bandung, (il en était plus ou moins question), mais a maintenu l'ancienne Batavia créée par les Hollandais, aujourd'hui Jakarta, comme la capitale de la République d'Indonésie. C'est donc dans la capitale qu'il construit, avec grandeur, visibilité et magnificence, entre autres, le Monument National (Monas) et la mosquée Istiqlal (indépendance en arabe). Tous deux, sont de bons exemples de communication maîtrisée, la mosquée qui communique sur un plan religieux, le Monas sur un plan laïc. Ce dernier, construit sur l'ancienne et coloniale Place du Roi (Koningsplein) , aujourd'hui nommée Medan Merdeka (Champs de bataille pour la liberté), montre un énorme et puissant obélisque, surmonté d'une flamme, jaillissant d'un socle massif et carré, symbolisant, sans doute, le yin et le yang, fécondité de l'ère ambiante…
Nous espérons que vous aurez autant de plaisir à lire ce Banian que nous en avons eu à le concocter. Tous nos remerciements enthousiastes aux contributeurs pour leurs articles écrits ou traduits avec grand sérieux et grande générosité (pensez que Le Banian est tout petit).
Une remarque-on n'y résiste pas- à propos de l'article sur le rijsttafel, ou la « table de riz » qui est, comme on l'apprend dans l'article de Jean Rocher, une invention typiquement hollandaise datant de l'époque coloniale. En effet, on trouve le rijsttafel en premier sur le menu de tous les restaurants indonésiens aux Pays-Bas. Alors qu'en Indonésie il faut, pour le goûter, se rendre dans un restaurant pour touristes… Le concept de rijsttafel lorsqu'on y pense, est en fait très bizarre, puisqu'il consiste à se servir du riz en y ajoutant beaucoup de différents plats de viande, de légumes, etc. Plus il y en a dans l'assiette, mieux c'est. Le résultat est un féroce mélange de plats originaires de Java, de Sumatra, de Bali et d'autres îles encore. Un acte barbare ... Car en Indonésie on ne mélange pas les différentes spécialités.
Ni aux Pays-Bas, d'ailleurs. Y aurait-on l'idée de servir de la choucroute au fromage fondu, avec quelques harengs vinaigrés, le tout arrosé de soupe aux poids cassés ?
Un remerciement spécial à Monsieur Mahatmanto, architecte indonésien, spécialiste de l'architecture coloniale qui, après une thèse sur Maclaine Pont (architecte néerlandais des années vingt et trente), enseigne à l'Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta et à qui nous devons la très belle illustration de la couverture. * * *
No comments:
Post a Comment