--------------------
Sabtu, 21 April 2007
LANGKAH KECIL DLM 'LONG MARCH' MEMBERLAKUKAN
HAK-HAK AZASI MANUSIA (HAM)
Bagaimana sebaiknya menyingkapi pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi baru-baru ini? Ini suatu pertanyaan yang tidak sederhana untuk menjawabnya. Betapapun kecil artinya, bila pernyataan itu dikeluarkan dengan tulus dan sungguh-sungguh, hal itu penting untuk diperhatikan. Soalnya, pernyataan itu dikeluarkan oleh seorang pejabat tinggi dari Mahkamah Konstitusi.
Kepada pers Ketua Mahkamah Konstitusi(MK) Jimly Asshidiqie menyatakan (Liputan T. Herlina, 'Sinar Harapan', 18/4) bahwa: 'Paham komunis di masyarakat saat ini tidak perlu dilarang. Kepolisian maupun kejaksaan bahkan harus menindak jika ada pihak-pihak yang melakukan anarki karena tidak suka dengan suatu paham'.
Dengan sedikit lagi keberanian dan ketegasan, seyogianya Asshidiqie, seperti halnya Gus Dur, akan berseru lantang untuk dibatalkannya TAP MPRS No. XXV/1966.
Selanjutnya Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa UUD 1945 yang menjadi landasan hukum tertinggi bagi kehidupan bernegara menjamin secara tegas tentang kebebasan bagi setiap warga negara untuk berpikir dan berkeyakinan. Menurutnya, pemerintah harus meluruskan kondisi masyarakat yang seperti ini.
* * *
Perhatikan dua kalimat yang teramat penting dalam pernyataan tsb, yaitu sbb:
1)'Kepolisian maupun kejaksaan bahkan harus menindak jika ada pihak-pihak yang melakukan anarki karena tidak suka dengan suatu paham'.
2)UUD 1945 yang menjadi landasan hukum tertinggi bagi kehidupan bernegara menjamin secara tegas tentang kebebasan bagi setiap warga negara untuk berpikir dan berkeyakinan.
Kedua kalimat yang terdapat dalam pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi tidak pernah sebelumnya terdengar dari seorang pejabat elite setinggi itu. Karena, jelas sekali, dalam pernyataan tsb penguasa diperingatkan untuk tidak bersikap masabodoh terhadap pelanggaran hukum, apalagi suatu pelanggaran yang menyangkut salah satu prinsip utama dari HAM. Pernyataan serupa dari kalangan elite/pimpinan nasional, memang tidak jarang kita dengar. Yang kita sering dengar adalah yang keluar dari mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid.
Ketika itu Gus Dur, mantan Presiden RI, adalah satu-satunya tokoh nasional yang secara blak-blakan, di muka umum berseru agar TAP MPRS No XXV/1966 dibatalkan. Karena TAP tsb bertentatangan dengan hak-hak demokrasi, bertentangan dengan UUD 1945. Elite lainnya maupun pers, mengambil sikap 'diam' atau dengan galak tegas menentang.
* * *
Bisalah dikatakan bahwa adalah lebih bijakasana untuk tidak bersikap apriori, terhadap munculnya gejala 'perkembangan' dalam pemikiran dan pandangan dari kalangan elite. Apalagi bila 'perkembangan' itu terjadi di suatu lembaga yang penting seperti Mahkamah Konstitusi. Memang dari kalangan masyarakat kita masih ada semacam harapan bahwa lembaga Mahkamah Konstitusi seyogianya 'dikit-dikit' turutlah memainkan peranan, agar negara ini berangsur-angsur menuju ke suatu negara hukum, yang mematuhi konstitusi yang demokratis, yang memberlakukan prinsip-prinsip HAM.
'Perkembangan pemikiran' yang dimaksudkan ialah sehubungan dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi menyangkut soal besar seperti HAM, seperti dikutip diatas.
HAK-AZASI MANUSIA, populer disebut HAM, adalah sesuatu yang belum lama dikenal apalai dikhayati di kalangan bangsa kita. Dalam waktu yang cukup lama dalam sejarah bangsa ini, masyarakat kita hidup dalam sistim dan kultur feodal otokratis yang sudah usang yang dilindungi dan bertautan dengan sistim dan kultur kolonialisme. Dimana hak raja-raja, sultan-sultan atau tuan tanah feodal seperti aparat kekuasaan lainnya dari kolonialisme, yang memonopoli segala hak, sedangkan kaum tani dan rakyat umumnya hidup di bawah penindasan, penghisapan dan kekangan penguasa yang punya wewenang.
Baru pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, ketika mulai tumbuh dan berkembang kesadaran berbangsa serta gerakan kemerdekaan nasional, lapisan tertentu masyrakat kita, umummya pada kaum terpelajar, lahir fikiran-fikiran baru dan maju mengenai hak bangsa-bangsa untuk berdiri sendiri sebagai suatu nasion, sama derajat dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini. Ini berkat pengaruh fikiran-fikiran maju yang semakin tersebar di mancanegara sejak Revolusi Perancis dan Revolusi Kemerdekaan Amerika. Lebih-lebih lagi menjelang, selama dan setelah Perang Dunia II.
* * *
Berdirinya Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno/Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945, membuka peluang ditegakkannya hukum, diciptakannya dan diberlakukannya hak-hak warganegara yang melindungi peri kehidupannya. Amandemen demi amandemen terhadap Undang-Undang Dasar RI yang dilakukan berturut-turut, secara formal dan resmi mencantumkan fasal-fasal mengenai HAM, meskipun belum sempurna. Dengan demikian formalnya Republik Indonesia, adalah suatu negara hukum, yang bertekad menegakkan HAM bagi warganegaranya.
Namun, dalam praktek kehidupan politik, eknomi, sosial dan budaya sehari-hari harapan diberlakukannya HAM terhadap warganegara sendiri pada umumnya masih sebatas perumusan diatas kertas saja.
Yang paling parah ialah ketika Orba di bawah Presiden Suharto selama 32 tahun menjadi penguasa negeri dan bangsa ini. Saat itu bangsa kita hidup dalam ketiadaan hak dan hukum bagi wargnegara. Dalam situasi ketika HAM diinjak-injak dan dicampakkan.
Bagaimana situasi pemberlakuan hukum dan HAM dewasa ini? Harus dinyatakan bahwa sejak gerakan Reformasi menggulingkan Presiden Suharto, telah diberlakukan sementara hak-hak demokratis. Tetapi masih jauh dari harapan ketika bergeloranya gerakan Reformasi dan Demokratisasi.
Bukankah sampai detik ini TAP MPRS No. XXV/1966, --- yang 'disahkan' ketika Jendral Suharto, setelah 'mengkutak-katik' komposisi MPRS, praktis telah menjadi penguasa di Republik ini, telah melarang aliran Komunisme, halmana berarti mengekang kebebasan berpendapat dan berkeyakinan --- , masih berlaku terus?< Tidak bisa dipungkiri lagi, TAP MPRS No XXV/1966 tsb adalah kendaraan-politik OrBa untuk melegitimasi 'perebutan kekuasaan merangkak', serta pembantaian masal 1965' , tanpa proses pengadilan apapun terhadap warganegra yang tak bersalah atas tuduhan bahwa mereka itu adalah PKI atau pendukung PKI, yang menganut ajaran Komunisme/Marxisme>
Bukankah sampai saat ini lebih duapuluh juta keluarga korban 1965, keluarga para eks tapol, masih dengan secara kasar dan kejam diiskriminasi dan dimarginalkan oleh penguasa, pejabat dan lapisan tertentu masyarakat? Bukankah hak-hak kewarganegaraan dan politik serta nama baik mereka, belum lagi direhabilitasi oleh pemerintah?
Bukankah baru-baru ini sekelompok préman yang berjubah agama, mengobrak-abrik kegiatan PAPERNAS, suatu partai politik baru yang dituduh komunis?
Bukankah itu suatu kegiatan melanggar hukum dan UUD yang dibiarkan saja berlangsung oleh aparat kekuasaan tanpa diusut sampai sekarang ini?
Bukankah belum lama berselang, Kejaksaan Agung mengambil tindakan sewenang-wenang mengenai kasus yang bukan bidangnya, yaitu melarang/membeslah buku-buku pelajaran sejarah kurikulum 2004, karena tidak membubuhkan nama PKI pada G30S? Hal mana merupakan suatu usaha memperkuat vonis-ilegal Orba atas PKI dalam peristiwa G30S.
Tindakan Kejaksaan Agung yang melarang buku-buku pelajaran sejarah kurikulum 2004 dalam pada itu telah banyak digugat, dikritik dan diprotes oleh kalangan sejarawan, budayawan, ilmu dan guru-guru.
* * *
Lalu kita mengikuti berita-berita yang bertubu-tubi datangnya mengenai keterlibatan mantan Menkumdang Yusril Ihza Mahendra dan Menkumdang Hamid Awaluddin dalam kasus pencairan kekayaan Tommy Suharto (yang keras diduga adalah hasil korupsi uang negara), dari bank Perancis ke bank Inggris; untuk menghindari pelacakan. Kemudian desakan kalangan DPR agar aparat pengadilan menindak Hamid Awaluddin.
Seperti diberitakan, wartawan-wartawan ibukota punya segudang pertanyaan untuk Hamid Awaludin, mulai dari isu penonaktifan dirinya, polemik lagu Indonesia Raya sebagai backsound iklan RUU Kewarganegaraan, dan kasus pencairan uang Tommy Soeharto.
* * *
Semua gejala-gejala tsb menunjukkan bahwa di negeri kita masih belum ada kepastian hukum. Bagi para korban pelanggaran HAM, sejak kasus Pembantaian Masal 1965 sampai dibunuhnya aktivis HAM, Munir, tak ada perlindungan atau jaminan hukum, tak ada hak-hak azasi mereka dilindungi apalagi dibela oleh yang berwewenang.
Maka termasuk tidak anéh bila, pas tanggal 20 April kemarin, harian berbahasa Inggris 'The Jakarta Post'(online), menyiarkan foto dua orang aktivis HAM, yang berdemonstrasi di muka Istana Negara. Tidak diberitakan dua demonstran itu dari organisasi mana, maupun identitasnya. Tapi jelas yang mereka tuntut, seperti tertulis pada papan besar dengan huruf-huruf besar adalah yang menyangkut tuntutan kepada pemerintah, agar ditanganinya segera masalah pelanggaran HAM. Mereka menuntut agar pemerintah secepatnya menyelesaikan kasus gawat HAM diseluruh negeri, termasuk a.l. kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir (2004).
Pada daftar yang mereka pampangkan di muka umum mengenai kasus pelanggaran berat HAM adalah kasus 'Pembantaian Masal '65', 'Peristiwa Tj. Priok, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Penculikan Aktivis, Mei 1998', dll. Meskipun 'hanya' dua orang saja yang berdemonstrasi dengan penjagaan polisi yang lebih dari jumlah demonstran, namun dua orang aktivis HAM tsb menyuarakan jutaan warga yang menuntut pemberlakuan HAM di negeri kita.
* * *
Dilihat secara terpisah pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, merupakan suatu perkembangan fikiran yang baru. Namun, secara keseluruhan, hal itu baru merupakan langkah kecil yang harus diikuti dengan langkah-langkah selanjutnya, yang lebih tegas dan lebih berani, lebih kongkrit dan nyata, kearah pembangunan pengertian dan pemberlakuan HAM di negeri ini.
Di negeri tercinta Indonesia, mengkahayati makna dan arti Hak Azasi Manusia (HAM), lebih-lebih lagi pemberlakuannya, adalah suatu mars yang lebih jauh dari 'long march'-nya kekuatan bersenjata RI ke daerah pendudukan, sekitar agresi ke-II Belanda terhadap Republik Indonesia.
Namun, betapapun jauhnya suatu 'long march', ia selalu dimulai dengan langkah-langkah pertama.
* * *
No comments:
Post a Comment