-------------------
Sabtu, 12 Mei 2007
SUMBANGAN BERMUTU PRO LITERATUR SOSIALISME di INDONESIA (1)
* * *
Memang agak anéh kedengarannya, tetapi benar!
Generasi muda kita sekarang banyak yang tidak tau, bahwa Indonesia pernah mengalami kehidupan demokrasi parlementer pada periode Presiden Sukarno, sampai 5 Juli 1959, ketika Presiden Sukarno dengan keterlibatan dan dukungan TNI, Presiden Sukarno maklumkan DEKRIT PRESIDEN.
Sampai ketika itu ada kebebasan berbicara, kebebasan pers, berorganisasi, berparpol, ada hak berdemo dan mogok. Ada pemilu yang 'lubér', ada parlemen yang pada pokoknya berfungsi sebagai badan legeslatif, pembuat uu serta mengontrol pekerjaan pemerintah, punya wewenang untuk menjatuhkan pemerintah. Parlemen ketika itu mencerminkan kekuatan politik di dalam masyarakat. Generasi muda kita banyak yang tidak menyadari hal ini. Karena semasa rezim Orba, yang diajarkan kepada mereka, adalah suatu cerita rekayasa mengenai pemerintahan pra Orba, yang secara sinis dijuluki sebagai 'orde lama', yang serba bréngsék. Maka 'Orla' di-kup dan ditegakkanlah rezim Orba.
Dekrit Presiden Juli 1959 punya dampak negatif, yang telah mengakibatkan dikuranginya hak-hak demokrasi parlementer yang berlaku selama itu. Di lain fihak, melalui Undang-undang Darurat Perang, (SOB), sistim pemerintahan menurut konsep Dekrit tsb lebih memperbesar keterlibatan dan campur tangan militer dalam sistim kekuasaan politik negara. Secara hakikah menjadikan tentara yang sesungguhnya merupakan aparat kekuasaan negara di tangan pemerintah, menjadi kekutan politik yang berdiri sendiri. Bahkan bebas dari kontrol kepala negara dan pemerintah.Perkembangan politik Indonesia menunjukkan bahwa periode Dekrit Presiden telah memberikan syarat bagi tentara untuk lebih banyak dan lebih mendalam BERPOLITIK.
Mungkin generasi muda kita juga tidak menyadari bahwa semasa Indonesia masih dikuasai oleh kolonialisme Belanda, di zaman perjuangan untuk kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda masih memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk bicara. Sebagai tertuduh Bung Karno masih bisa menggugat kolonialisme Belanda di muka pengadilan Bandung (1930). Yang menarik dan penting diketahui ialah bahwa, ketika itu Bung Karno sudah pandai menggunakan pisau analisa Marxis untuk menjelaskan apa itu kolonialisme, apa itu imperialisme. Bung Karno menerangkan bagaimana kapitalisme dan imperialisme beroperasi di Indonesia mengeksploitasi rakyat kita. Bung Karno menjelaskan bahwa imperialisme adalah produk dari kapitalisme, yang menguasai, menindas dan mengeksploitasi kekayaan bumi dan air dan rakyat Indonesia. Gugatan Bung Karno terhadap kolonialisme Belanda itu, telah menjadi literatur bahan pendidikan politik penting bagi kader-kader pejuang kemerdekaan. Kemudian, pembelaan Bung Karno itu, setelah disiarkan menjadi terkenal dengan nama INDONESIA MENGGUGAT. Suatu karya klasik yang unik, patrotik dan progresif, dalam literatur perjuangan kemerdekaan negeri kita.
Dalam periode pasca perang kemerdekaan, setelah kedaulatan Republik Indonesia diakui dunia internasional, Indonesia mengalami periode demokrasi parlementer. Partai-partai politik menikmati kehidupannya yang wajar, dan rakyat mengenal lebih lanjut apa itu faham demokrasi, melalui literatur dan praktek kongkrit kehidupan politik. Buku-buku politik termasuk buku-buku Sosialis, Marxis dan Sosial demokrat banyak diimpor, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Tetapi, meski syarat-syaratnya ada, seperti kebebasan menerbitkan, dsb, namun, karya klasik Marx dan Engels yang terbesar yaitu Das Kapital, juga karya klasik F. Engels 'Anti-Dühring', tidak pernah terbit dalam bahasa Indonesia. Entah mengapa? Mungkin saja karya-karya klasik Marx dan Engels tsb terlalu 'njelimet'. Memang karya-karya tsb adalah literatur ilmu. Bisa juga dianggap orang bahwa tokh sudah ada bahasa asingnya. Mungkinkah ketika itu belum ada yang sanggup atau mampu menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia yang baik? 'A good question!'.
Pada periode berikutnya, ketika di Indonesia berkuasa suatu rezim otoriter di bawah Presiden Jendral Suharto, Marxisme dan semua literatur Kiri dilarang. Segera larangan ini 'dilegalisasi' melalui TAP MPRS No XXV Th 1966. Semua buku Marxis dibeslah, dibakar dan penerbitan baru dilarang.
* * *
Dewasa ini, di satu fihak, TAP MPRS No XXV/1966, masih dianggap berlaku, masih belum dicabut. Penguasa tidak setuju usul Gus Dur membatalkan TAP MPRS No XXV/1966, yang berentangan dengan UUD dan HAM itu. Di lain fihak berkat gerakan Reformasi dan Demokratisasi, dan jatuhnya Presiden Suharto, serta Orba formal sudah tak ada lagi, kebebasan demokratis sampai batas cukup jauh, diberlakukan di Indonesia.
Antara lain, berlaku kebebasan menyatakan pendapat dan menerbitkan. Demikianlah, kita saksikan banyak bermunculan buku-buku sosialis dan Marxis. Dalam periode inilah telah diterjemahkan dan terbit a.l. karya-karya klasik ilmiah Marx dan Engels DAS KAPITAL, jilid I, II dan belakangan ini Jilid III.
Jerih payah penterjemahnya Oe Hai Djoen, penerbitnya Hasta Mitra serta dukungan Institute for Global Justicse, menerbitkan DAS KAPITAL Jilid III, adalah suatu sumbangan berharga terhadap khazanah literatur Sosialisme di Indonesia.
Di bawah ini, dengan persetujuan penulisnya disiarkan ulasan Sucipto Munandar, Ketua Harian Stichting Azië Studies, Onderzoek en Informatie, Amsterdam, pada peluncuran DAS KAPITAL Jilid III, di Jakarta pada tanggal 03 Mei 2007 y.l.
* * *
PENGANTAR pada PELUNCURAN BUKU III KAPITAL KARL MARX
JAKARTA, 03 MEI 2007
Para hadirin yang terhormat,
Pada malam hari ini kita menghadiri peluncuran penerbitan Buku III Das Kapital, karya besar dan utama KARL MARX. Saya mendapat kehormatan memberi pengantar pada peluncuran penerbitan ini. Terima kasih saya atas kesempatan ini kepada para penyelenggara pertemuan malam ini.
Karya Karl Marx Das Kapital terdiri atas tiga Buku. Buku I mengupas Proses Produksi Kapital. Buku II bertemakan Proses Sirkulasi Kapital dan Buku III mengenai Proses Produksi Kapitalis secara Menyeluruh. Untuk menyiapkan dan menulis karya utama ini Marx melakukan penelitian dan pengkajian selama hampir duapuluh tahun. Hanya Buku I yang sempat diselesaikan dan diterbitkan pada 1867 semasa Marx masih hidup. Tapi manuskrip-manuskrip serta catatan rinci dan luas telah ditinggalkan oleh Marx untuk menulis buku-buku berikutnya. Buku II dan Buku III Das Kapital digarap dan diselesaikan oleh Fredrick Engels dengan mendasarkan diri pada manuskrip-manuskrip dan catatan luas yang ditinggalkan oleh Marx itu. Buku II terbit pada 1885 dan Buku III pada 1894. Penggarapan dan penyelesaian kedua Buku itu dapat terlaksana karena kesepahaman dan kesepikiran yang terbangun selama puluhan tahun pergaulan dan aktivitas bersama antara Marx dan Engels, dua kawan seperjuangan dan sahabat karib itu.
Buku III mengenai produksi kapitalis secara menyeluruh melengkapi kritik Marx atas sistem ekonomi kapitalisme. Hal-hal yang belum atau kurang dikupas dalam Buku I dan II diuraikan dalam Buku III. Antara lain penelitian mengenai empat kelompok kelas berkuasa: kaum kapitalis industri, kaum kapitalis komersial, kaum bankir dan para pemilik-tanah kapitalis. Kemudian pengupasan mengenai masalah penyetaraan tingkat laba, masalah sewa tanah mutlak dan hal-hal lain. Dari pekerjaan Engels untuk menyusun Buku III ini kita terkesan oleh sikap Engels yang amat bertangungjawab di satu pihak dan rendah hati di pihak lain. Dalam SUPLEMEN DAN ADDENDUM PADA KAPITAL BUKU III ini Engels menulis, “Buku ketiga Kapital sudah mengalami berbagai jenis penafsiran karena ia telah terbuka bagi penilaian publik. Ini sudah dapat diduga sebelumnya. Dalam penyuntinganku aku di atas segala-galanya berusaha menghasilkan sebuah teks yang seotentik mungkin, menyajikan hasil-hasil baru yang telah dicapai Marx sejauh-jauh mungkin dalam kata-kata Marx sendiri ... Tulis Engels selanjutnya: “Aku tidak mempunyai kewenangan...” ‘mengorbankan keotentikan teks itu demi untuk kemudahan para pembaca’. “Aku juga tidak mempunyai suatu hasrat .....bercampurtangan sedemikian rupa dengan warisan seseorang yang begitu lebih unggul daripada diriku akan sepertinya aku melakukan suatu perbuatan ketidaksetiaan”.
Para peminat dan pengkaji Indonesia atas pemikiran Karl Marx yang dipaparkan dalam karya utamanya ini selama puluhan tahun tak dapat mengaksesnya dalam bahasa Indonesia. Mereka bergantung pada penerbitan dalam bahasa asing, khususnya bahasa Jerman dan Inggris. Pada 2004 terbitlah Buku I dalam bahasa Indonesia. Buku II terbit pada tahun 2006. Kini pada tahun 2007 dengan sudah terbitnya Buku III, ketiga Buku Das Kapital, Karl Marx, boleh dikatakan, karya utama sudah lengkap dapat diakses dalam bahasa Indonesia. Patutlah kita memberi penghargaan serta pengucapan selamat atas prestasi besar ini kepada pak Oey Hay Djoen, yang dengan tekun, sabar dan ulet mengatasi bermacam-macam kesulitan dalam pengalihan-bahasanya. Tak kurang penghargaan serta ucapan selamat kita kepada pak Joesoef Isak, penerbit Hasta Mitra yang memperkaya Kepustakaan Ilmu Indonesia dengan menerbitkannya dalam Seri Buku Ilmiah.
Sistem kapitalisme sebagai sistem masyarakat yang tumbuh dan berkembang di Inggris menjadi subjek studi, analisis dan penelitian Marx. Dari studi ini telah ditarik kesimpulan-kesimpulan serta hukum-hukum yang berlaku pada sistem kapitalisme pada umumnya. Materi yang dibahas dan dikupas Marx tidak mudah untuk dipelajari dan dicerna. Pengupasannya tidak saja berkaitan dengan materi fakta yang begitu kaya tapi juga dengan metodologi, cara berpikir yang diterapkan dalam pengkajiannya. Metodologi dan cara berpikir ini menjelujuri semua karya Marx yang berkaitan dengan gerakan pengubahan dan pembaruan sistem masyarakat. Pandangan filosofis Marx bukanlah untuk memahami serta menginterpretasi dunia saja. Yang lebih penting adalah mentransformasi dunia itu sendiri dan sekaligus mentransformasi kesedaran diri kita sendiri mengenainya.
Das Kapital Karl Marx terbit pada abad ke-19. Kita sekarang sudah memasuki abad ke-21. Dunia mengalami perubahan dan pergolakan besar semasa lebih dari satu abad ini. Ilmu pengetahuan pun berkembang, bertambah dalam dan meluas seiring dengan perubahan dan pergolakan itu. Wajarlah kita bertanya, masihkah ada relevansi pemikiran Marx dalam karya utamanya itu pada zaman kita?
Memang lebih dari satu abad memisahkan kita dari terbitnya karya besar Karl Marx itu. Tapi sumbangan Marx dalam membahas, menganalisis serta mengungkap hukum-hukum umum dalam sistem ekonomi kapitalisme tidak surut dengan beralihnya waktu. Tak terbantahkan bahwa bagi siapapun yang ingin memahami sistem ekonomi kapitalisme, karya Kapital Marx menjadi acuan pokok sampai saat ini, baik bagi yang mendukungnya maupun bagi yan mau membantahnya. Almarhum Prof. W.F. Wertheim, seorang warganegara Belanda, seorang ilmuwan dan pakar Indonesia terkemuka, pernah mengkiaskan ‘dengan berdiri di atas bahu Karl Marx memungkinkan aku menatap lebih jauh ke depan’. Sampai saat ini hasil pemikiran Karl Marx berdampak pada kehidupan bermasyarakat kita.
Abad ke-20 menyaksikan meletusnya dua Perang Dunia Besar 1914-1918 dan 1939-1945 yang makan korban jutaan manusia dan menyengsarakan ratusan juta manusia di seluruh dunia. Sumber dan penyebab kedua perang dunia itu adalah imperialisme. Akar imperialisme ada pada sistem kapitalisme yang telah dianalisis dan dipaparkan oleh Karl Marx dalam karya utamanya. Sementara itu, sejak akhir Perang Dunia I dan khususnya sesudah Perang Dunia II, bangkit pergerakan rakyat semakin luas melawan kapitalisme/imperialisme demi menggantikannya dengan sistem masyarakat lebih adil dan manusiawi, masyarakat sosialis. Pergerakan ini langsung dijiwai oleh gagasan Marx yang dipaparkan dalam karya Das Kapital dan karya-karya lainnya. Lahirlah negeri sosialis USSR dan sejumlah negeri sosialis di Eropah Timur. Di Asia berdiri Republik Rakyat Tiongkok, Republik Rakyat Demokratik Korea, Republik Sosialis Vietnam. Di benua Amerika tetap tegak Republik Kuba yang terus berjuang mewujudkan masyarakat sosialis.
Pada akhir tahun 1980-an kita saksikan lagi perubahan dan pergolakan besar di skala internasional. Uni Soviet runtuh dan berbagai republik yang tadinya tergabung dalam negeri itu menjadi republik-republik berdiri sendiri. Republik Federasi Sosialis Yugoslavia (Socialist Federal Republic of Yugoslavia juga buyar tercerai-berai melalui empat macam perang berdarah, menjadi republik-republik sendiri. Jerman Timur telah lebur dalam Republik Federasi Jerman. Negeri-negeri Eropah Timur lainnya semua sudah beralih ke sistem kapitalisme. Kapitalisme menjadi sistem global meliputi seluruh dunia, seakan tiada lagi tempat untuk sistem masyarakat yang lain selain kapitalisme. Fukuyama mengexpresikannya sebagai ‘the end of history’(‘berakhirnya sejarah’). Apakah ini realitasnya?
Untuk mayoritas rakyat di kebanyakan negeri di dunia ini kapitalisme, lebih-lebih dalam wujud neo-liberalisme, berarti kesengsaraan dan kemiskinan, bukan kesejahteraan rakyat banyak. Tak putus-putus rakyat mencari jalan keluar dari kesengsaraan ini mengusahakan sistem masyarakat yang akan melenyapkan ketimpangan ekonomi, sosial dan politik, suatu masyarakat yang dapat membawa kesejahteraan untuk rakyat banyak. Di berbagai negeri di Amerika Latin rakyat tidak menikmati kebaikan-kebaikan kapitalisme. Malah kapitalisme neoliberalisme lebih memperberat penindasan atas rakyat. Berkembanglah gerakan-gerakan sosial rakyat yang melawan penindasan dan ketimpangan itu. Melalui pemilihan umum terpilih pemimpin-pemimpin beraliran kiri seperti di Brasil, Venezuela, Cili, Bolivia dan Ekuador, membantah ‘blessings’ dari globalisasi kapitalisme.
Di Indonesia pergerakan dan perjuangan untuk kemerdekaan nasional berhadapan langsung dengan kolonialisme Belanda -- perwujudan imperialisme dari expansi kapitalis Belanda. Wajarlah bahwa ideologi pergerakan kemerdekaan nasional ini dipengaruhi gagasan-gagasan Karl Marx. Tokoh-tokohnya, mulai dari H.O.S. Tjokroaminoto, dr. Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro, Douwes Dekker, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan banyak lainnya lagi beraliran kiri, sedikit atau banyak, dijiwai oleh pikiran Karl Marx mengenai pembebasan manusia. Pledoi Bung Karno ‘Indonesia Menggugat’ yang disampaikan pada sidang pengadilan kolonial pada Desember 1930.merupakan testimony kuat dan bersejarah menggugat kolonialisme/imperialisme Belanda dan pembenaran atas tuntutan rakyat Indonesia untuk merdeka. Dokumen historis ini sangat berharga dan penting bagi kita untuk dapat sungguh-sungguh memahami dasar-dasar perjuangan kita untuk Indonesia Merdeka. Dari tulisan-tulisan di masa pembuangan, kita tahu Bung Karno mengagumi Karl Marx sebagai manusia yang ‘heibat’.
Banyak tulisan yang diterbitkan mengenai perjuangan sekitar Revolusi Agustus 1945. Dengan tidak mengurangi sumbangan karya-karya beragam mengenai perjuangan kemerdekaan kita saya ingin menyebut di sini salah satunya, yaitu tulisan almarhum Subadio Sastrosatomo ‘Perjuangan Revolusi Indonesia’, terbitan tahun 1970-an. Dalam menguraikan proses perjuangan pada masa 1945-1947 Subadio menggambarkan peranan golongan-golongan kiri (Marxis) yang menonjol pada periode itu. Maka beliau menegaskan dari pengalaman revolusi itu bahwa untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, Marxisme nyata peranannya.
Sampai 1965 ide-ide Marx dan Marxisme dapat beredar dengan leluasa di Indonesia. Bung Karno berkali-kali menyatakan cita-citanya membangun “sosialisme ala Indonesia”.
Keadaan berubah drastis dengan berkuasanya Orde Baru Suharto. Arah pembangunan dibalikkan ke arah kapitalisme dengan membuka Indonesia untuk investasi seluas-luasnya bagi modal asing. Sungguh berkembanglah kapitalisme di Indonesia di semua bidang dengan membawa akibat-akibat buruk seperti yang dipaparkan oleh Karl Marx. Akumulasi primitif kapital berlangsung dengan perampasan alat-alat produksi dari para pekerja, sehingga tercipta barisan penganggur yang luas. Berbagai sarjana asing telah menerbitkan studi mengenai perkembangan ‘kapitalisme kasar’ tersebut. Di Indonesia pun terdapat pengritisi atas jalan kapitalisme yang ditempuh Indonesia. Pada kuranglebih sebulan yang lalu seorang tokoh ekonom Indonesia, Prof. Sarbini Sumawinata meninggal dunia. Pak Sarbini pernah dipenjarakan dua tahun berkaitan dengan peristiwa ‘Malari’.Dari kumpulan wawancara beliau dengan media massa setelah presiden Suharto turun kita ketahui, bahwa pada 1966, pada awal Orde Baru beliau mewakili apa yang dinamakan ketua ‘sindikat politik’, sedangkan Widjojo Nitisastro mewakili ‘sindikat ekonomi’ Suharto. Pak Sarbini mencanangkan bahaya militerisme, menghendaki kerjsasama sederajat sipil-militer dan adanya kebebasan pers. Tapi pikiran-pikirannya tidak diterima dan pak Sarbini tersingkir. Konsepsi beliau mengenai pembangunan yalah ‘ekonomi kerakyatan’. Apa yang dimaksud dengan itu? Kata pak Sarbini: ‘Ekonomi kerakyatan sesunguhnya strategi pembangunan untuk Indonesia dengan dasar sosialisme kerakyatan’. Pemikiran-pemikiran seperti Prof Sarbini juga tersebar di kalangan masyarakat Indonesia yang emoh pembangunan kapitalisme ala Orde Baru. Sayangnya dalam periode reformasi ini belum ada pemutusan radikal dari kebijakan ekonomi yang lalu. Namun cukup banyak pernyataan, baik dalam tindakan maupun pengupasan dari berbagai LSM yang menggugat kapitalisme yang berlaku. Satu tuntutan utama yang dikumandangkan pada Hari Buruh 1 Mei ini yalah ‘Hapuskan Sistem Kerja Kontrak’. Sistem kerja kontrak atau ‘outsourcing’ merupakan suatu sistem eksploatasi kapitalis yang sangat melemahkan posisi kaum buruh. Institute for Global Justice yang turut mendukung penerbitan Buku III Kapital ini telah menerbitkan berbagai artikel yang mengupas neoliberalisme dan bahayanya bagi Indonesia.
Kembali pada Buku III Kapital Marx. Isinya mengungkap berbagai kontroversi dengan menyajikan jawaban-jawabannya. Buku ini melengkapi pemahaman kita mengenai kebesaran pemikiran Marx dalam mengkritik kapitalisme. Marx seorang ilmuwan, aktivis revolusioner dan seorang visioner. Marx bukan seorang peramal kejadian-kejadian masa depan dengan pembatasan waktu, tapi berdasarkan kesimpulan-kesimpulan ilmiah memberi visinya mengenai arah perkembangan masyarakat yang akan menggantikan kapitalisme dengan sosialisme. Perkembangan dunia dengan globalisasinya pada dasarnya memperkuat visi itu dan membawa relevansi karya Marx kepada masakini.
Bagi Marx semua pengetahuan berkaitan dengan mengkritik ide-ide. Subjudul KAPITAL ‘Sebuah Kritik Ekonomi Politik’ memanifestasikan sikap dasar itu. Ilmu pengetahuan dapat dan akan terus maju didorong oleh sikap kritik ini.
Mengakhiri pengantar ini saya kutip dan menggarisbawahi bagian-bagian dari PRAKATA PENERBIT:
‘Yang jelas, dan ini kenyataan yang mesti kita camkan setiap kali kita membaca dan membicarakan atau menggali dari KAPITAL, Marx tidak memberi resep atau dogma apapun.’
Alinea-alinea penutup PRAKATA menegaskan:
‘ ... tidak benarlah teriakan-teriakan bahwa paparan-paparan Marx sudah ketinggalan zaman; bahwa analisis Marx tidak lagi memadai bagi kebutuhan-kebutuhan kita masa kini. Karya Marx merupakan suatu alat kultur intelektual yang tiada bandingannya.
‘Baru dengan dibebaskannya kelas pekerja dari kondisi-kondisi keberadaannya sekarang, metode Marx akan tersosialisasikan berangkaian dengan cara-cara produksi lainnya, sehingga ia dapat sepenuhnya dipergunakan demi keuntungan kemanusiaan seluruhnya, dan dengan demikian dapat dikembangkan sesuai kemampuan fungsinya.’
Terima kasih. 3 Mei 2007
* * *
No comments:
Post a Comment