Kemis, 23 Agustus 2007
-------------------------------
'PAKORBA' SALA Terbitkan 'ORAL HISTORY'
Pagi kemarin sampai siang aku kedatangan tamu seorang sahabat baik cendekiawan Belanda, Kees Mesman Schultz dari Universitas Leiden. Bersama Prof. Dr Leo J. van der Kamp, Kees Mesman belum lama kembali dari kunjungannya ke Indonesia. Rencananya pagi kemarin itu mereka akan datang berdua, tetapi rupanya 'afspraak' mereka 'enggak nyambung'. Sehingga hanya Kees Mesman yang datang. Sebelum berangkat ke Indonesia, kami bertemu dan tukar fikiran. Atas permintaan sahabat-sahabat itu, aku sarankan beberapa nama dan lembaga yang baik mereka temui di Indonesia dalam rangka rencana mereka untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan untuk penulisan mereka nanti.
Kali ini tulisanku belum mengenai isi pembicaraan kami pagi dan siang kemarin. Maksudnya pada kesempatan lain akan dibicarakan di sini.
* * *
Yang hendak disinggung dalam pembicaraan kali ini, ialah mengenai buku yang kuterima sebagai kenang-kenangan dari Ir Setiadi Reksoprodjo, pimpinan PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru) Jakarta, yang dititipkan oleh Ir Setiadi lewat Kees Mesman. Buku tsb di-edit oleh Hersri -- berjudul: 'KIDUNG Untuk KORBAN
Peranan 'Pakorba Sala', bukan sekadar menerbitkan buku mengenai korban Orde Baru. Menurut Ketua YSIK, Zumrotin KS, 'Pakorba Sala' sedang dan akan terus memperjuangkan pemulihan hak-hak sipil dan politik anggotanya dan para korban lain sesamanya. Dewasa ini para anggota Pakorba itu sudah menjadi orang-orang tua yang berusia di atas 60 tahun.
Mereka yang luput dari pembunuhan, lanjut Zumrotin, ---- sepanjang tahun-tahun pasca 'Gerakan 30 September' itu, harus menjalani hukuman hanya dengan alasan kesewenang-wenangan. Diantara mereka yang telah dihukum tanpa proses hukum itu, ada yang sampai 14 tahun ditahan dan atau diasingkan, banyak yang samasekali tidak mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan PKI. Tidak sedikit yang anggota militer aktif dan bahkan perwira intelijen. Mereka tidak tahu persis kesalahan mereka yang membuatnya dihukum, kecuali bahwa mereka mengaku sebagai Sukarnois.
Ada pula seorang pengusaha yang ditangkap karena mempekerjakan orang-orang yang menjadi buron militer. Padahal ia mempekerjakan bukan karena alasan politik, melainkan karena alasan murni kemanusiaan saja. Oleh karena pengusaha itu tidak mau menunjukkan nama dan alamat buruh-buruhnya tsb, ia kemudian disiksa, ditahan dan akhirnya diasingkan ke Pulau Buru selama 14 tahun tanpa peroses pengadilan.
Masih penjelasan Zumrotin: Sebagai organisasi yang anggota-anggotanya terdiri dari para korban politik, Pakorba memiliki misi untuk memperjuangkan pengembalian hak-hak sipil dan politik mereka, agar dapat hidup merdeka di tengah-tengah masyarakat tanpa stigmatisasi seperti sekarang ini. Sampai sekarang, setelah 'era reformasi' berumur lebih dari delapan tahun, mereka masih tetap mengalami diskriminasi baik secara hukum maupun sosial dan politik.Sebagai contoh, salah satu di antara sekian banyak, ialah soal KTP ( Kartu Tanda Penduduk). Menurut peraturan, bagi warganegara yang berumur di atas 65 tahun, mereka berhak mendapat KTP seumur hidup. Tapi pada praktiknya peraturan itu tidak berlaku bagi mereka. Setiap lima tahun sekali mereka harus memperpanjang masa berlaku KTP mereka. Benar, huruf 'ET' (Eks-Tapol) tidak tertera lagi di belakang deretan nomor KTP itu. Tapi kewajiban memperpanjang masa berlaku KTP itu sendiri, sudah memperlihatkan 'perlakuan istimewa' yang diberikan rezim terhadap warganegara yang eks-tapol.
Kiranya cukup jelas apa yang dituturkan oleh ketua YSIK itu.
* * *
Buku 'KIDUNG Untuk KORBAN' yang terdiri dari 291 halaman. Terbit Oktober 2006, dengan kata pengantar dari aktivis HAM, sejarawan muda HILMAR FARID. Sudah setahun buku tsb terbit, tetapi apa yang dikisahkan di situ , tuturan-tuturan sepuluh narasumber Eks-Tapol, adalah tetap penting. Malah penting sekal! Bukan saja untuk tahun ini, tetapi akan selalu penting dalam catatan sejarah modern Indonesia.
Buku ini adalah bagian dari sejarah itu sendiri. Orang meyebutnya -- 'oral history. Suatu penulisan yang dikisahkan oleh para korban itu sendiri. 'Oral history' -- 'sejarah tuturan' , menduduki tempat penting dalam penulisan sejarah dewasa ini. Benar kata Hilmar Farid, sejarah yang resmi tertulis, hitam diatas putih, itupun banyak bersandar pada laporan-laporan dan penulisan yang bila diperiksa juga bersumber pada tuturan, pada yang 'oral'. 'Oral history', bahkan punya nilai khusus, karena ia berasal langsung dari yang bersangkutan, yang terlibat dalam peristiwa sejarah itu.
Buku 'KIDUNG Untuk KORBAN' menuturkan kisah-kisah yang sesungguhnya terjadi. Fakta-fakta sejarah itu selama tigapuluh tahun lebih dibungkam oleh rezim Orba. Kejadian-kejadian yang ditutup terhadap dunia luar itu, adalah lembaran gelap-hitam dalam sejarah Indonesia. Yang digelapkan itu adalah suatu 'kejahatan terhadap kemanusiaan' (Crime Against Humanity). Pelakunya yang bertanggung jawab adalah rezim Orba di bawah Presiden Jendral Suharto.
* * *
Buku yang dibicarakanini, telah melestarikan kisah-kisah para penutur, sbb: Nyadran di Bengawan Solo, oleh Lingkar Tutur Perempuan; J. Bronto - Perwira Staf I Brigif VI Surakarta: Ketika Nakhoda Tidak Satu; Laki-Laki Dimanfaatkan Tenaganya, Perempuan Seluruh-Luruhnya, oleh Sarbinatun (anggota Lekra cabang Sala; Seribusatu Kisah Dari Kebodohan, oleh Subandi, Guru Sekolah Dasar dan Menengah; Bekal Tapol Berani dan Waspada, oleh Sumidi, Pangusaha Batik; Diselamatkan Janin di Perut, oleh Paulina Sriningdadi, Pimpinan Gerwani Cabang Rembang; Ketika Hidup di Tengah Nasib, oleh Suprapto, Pegawai Jawatan Gedung-Gedung; Saksi Pembantaian Jembatan Bacem, oleh Bibit, penari Genjer-Genjer; Aku Tidak Malu Menjadi ET, oleh Christina Sriharyani, Sukwan Pemuda Rakyat; Dalam Bayangan Ada Bayang, oleh Sri Slamet, Guru Sekolah Dasar; Penjara Dan Siksa - Kunci Gereja Umat Kristus, oleh Supeno, Guru Sekolah Teknik.
Hilmar Farid dalam Pengantar buku tsb.: Kumpulan tulisan ini memberi banyak informasi baru yang belum pernah diungkap, seperti kasus pembunuhan massal terhadap 71 orang di Sala; lalu digunakannya kompleks paroki Gereja Antonius, Balai Kota dan banyak tempat yang tidak diduga-duga sebelumnya sebagai tempat penahanan; kenyataan bahwa aktivis KAMI dan KAPPI tidak sekadar berdemonstrasi di jalan-jal;an dan menjadi moral force, tetapi juga melakukan penyiksaan yang sangat tidak bermoral di Balai Kota dan Sasono Mulyo; kekerasan yang dialami orang Tionghoa di Sala dan keterlibatan mereka dalam berbagai gerakan untuk membela diri; kerja paksa yang dijalani para tapol untuk membangun bendungan Sukodono di bawah perintah Zipur IV Magelang, pengalaman anak-anak yang dibawa oleh orangtua mereka ke dalam tahanan, sampai ikut ke kamp tahanan di Pulau Buru dan peran mereka untuk meringankan penderitaan tahanan di Pulau Buru; soal hubungan tapol dengan istri pejabat kamp, pengendakan seama tapol dan berbagai affair seksual lainnya; uang tebusan yang diminta oleh penguasa kamp kepada keluarga tapol, yang membuktikan bahwa kekerasan msassal di masa itu semata-maa masalah kekuasaan dan tidak ada hubungannya dengan 'penyelamatan bangsa dan negara dari bahaya komunis' seperti yang didengungkan selama ini.
'Dari keterangan lisan ini pula muncul kisah-kisah perlawanan. Kisah hidup yang ditampilkan dalam kumpulan ini membongkar mitos 'hantu komunisme' yang d ibuat oleh penguasa Orde Baru. Mereka bukanlah pemuja setan yang haus darah, melainkan orang yang relatif terididk dan, seperti banyak orang muda di masa itu, ingin berbuat sesuatu untuk membangun republik. Bahwa pilihannya kemudian jatuh pada Partai Komunis Indonesia (PKI), yang saat itu merupakan partai terbuka seperti halnya partai politik sekarang ini, adalah perkara pilihan politik. Banyak dari mereka itu ikut berjuang dan setelah perang memilih bekerja sebagai guru untuk mendidik masyarakat. Keterlibatan dalam organisasi massa bagi mereka adalah bentuk pengabdian kepada rakyat, karena melalui organisasi itulah mereka dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perbaikan.
'Namun, jika korban bukan setan seperti yang digambarkan penguasa Orde BAru, mereka pun bukan malaikat. Ada banyak masalah di kalangan mereka yang menjadi sasaran kekerasan massa itu. Seperti cerita Bibit, seorang aktivis kemudian menjadi 'tukang tunjuk', yang iktu mengejar, menangkap dan bahkan menyaksikan penyiksaan serta pembunuhan terhadap aktivis lainnya antara pertengahan 1966 sampai akhir 1968. Semua itu dilakukannya karena 'tidak mau menjadi korban dan mati konyol. Saya mencari selamat'. Bibit tentu bukan satu-satunya aktivis yang berbuat begitu. Di dalam tahanan, korban kerap diperiksa oleh orang yang sebelumnya menjadi pimpinan organisasi tempatnya aktif, dan bahkan oleh 'mentor' yang merekrut mereka ke dalam gerakan.. Di pulau Buru dan kamp tahanan lainnya pun ada beragam masalah, mulai dari tapol cecunguk yang melaporkan aktivitas sesama tahanan kepada penguasa kamp dan para penjilat yang kerjanya mencari muka pada penguasa dan mengorbankan solidaritas, dan seperti dikatakan Subandi, 'rasa saling curiga menyusup hati setiap tapol, sehingga nyaris tidak ada hubungan pergaulan tapol antar-barak.'
'Cerita para korban tentang keadaan sebelum 1965 juga mengungkap banyak hal baru. Dalam pemahaman Orde Baru, kader PKI adalah orang yang sangat terlatih, selalu mementingkan ideologi komunis yang tidak mengenal Tuhan, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Kesaksian yang dikumpulkan dalam buku ini memperlihatkan bahwa orang yang tergabung dalam organisasi massa kiri atau PKI adalah orang biasa yang ingin menyumbangkan tenaga dan pikirannya demi kebaikan hidup masyarakat. Mereka mengusung cita-cita keadilan sosial dan perjuangan melawan imperialisme seperti halnya pejuang nasionalis umumnya. Adalah Orde Baru dan para pendukungnya yang kemudian menganggap cita-cita itu sebagai kejahatan, tidak lain untuk membenarkan kebijakan ekonomi dan politiknya yang mendukung modal internasional, pengusaha besar dan tuan tanah. Cerita tentang keterlibatan mereka dalam gerakan kiri memperlihatkan bahwa PKI dan organisasi massa kiri lainnya lebih menyerupai sebuah komunitas perjuangan yang besar ketimbang himpunan professional revolutionaries a la Bolshevik di bawah Lenin. Demikian Hilmar Farid, yang cukup panjang dikutip disini karena mengungkap, seperti dikatakannya, yang banyak orang belum tahu sebelumnya.
Sungguh tajam dan lugu yang diungkap oleh Sepuluh Narasumber, dan yang ditanggapi oleh Hilmar Farid dalam Pengantar buku.
Siapa saja, yang punya respek pada fakta-fakta sejarah, memahami arti penting buku seperti buku KIDUNG Untuk KORBAN. Khususnya dalam usaha mengungkap masa gelap pelanggaran HAM oleh rezim Orba, dalam usaha menarik pelajaran dari sejarah kita sendiri. Dan dalam usaha merintis ke Pelurusan Sejarah, Rehabilitasi para korban dan Rekonsiliasi Nasional. Maka semakin terasa keperluan lebih banyak lagi terbitnya buku-buku seperti ini.
* * *
Catatan Penerbit buku KIDUNG Untuk KORBAN.:
PAKORBA adalah organisasi korban dan keluarga korban pertistiwa 1965. Organisasi ini memfokuskan pada usaha-usaha untuk pelurusan sejarah dengan melakukan penelitian dan pendokumentasian mengenai peristiwa 1965 dan akibatnya bagi kehidupan korban dan keluarga korban 1965. Organisasi ini bersifat nasional namun mengakui otonomi tiap-tiap daerah yang menjadi wilayah kerja Pakorba. Paguyuban Korban Orde Baru ada di beberapa kota. Salah satunya pengurus Cabang Solo. Mereka melakukan mandat kepengurusan pusat untuk mengkordinasi korban yang ada di Solo dan sekitarnya (Keresidenan Surakarta). Setiap cabang PAKORBA melakukan kegiatan secara mandiri namun tetap berkordinasi dengan pusat.
* * *
No comments:
Post a Comment