Jum'at, 02 Maret 2007
Berkunjung Ke Rumah Prof. Dr Jan PLUVIER
Kalau bukan karena kekerasan hati Boni Triyana dan kesabaran sahabatku Gogol dan kendaraan mobil kawanku Suwarto, memang tak akan bisa terjadi pertemuan dengan Prof. Dr Jan Meinhard Pluvier, Indonesianis Belanda ternama., yang juga duduk di pimpinan Wertheim Foundation.
Sebenarnya sudah lama kesehatan Prof Dr. Pluvier, tidak memungkinkannya untuk menerima tamu. Namun, berkat permintaan dan desakan Boni yang berulang-kali diajukan kepadaku lewat Gogol, aku h u b u n g i
l a g i Prof. Pluvier, dan seolah mengiba-iba aku minta kepada Prof Pluvier, sudilah kiranya beliau menerima Boni Triyana. Walaupun hanya 10 menit sekalipun. Boni Triyana jauh-jauh dari Indonesia ingin sekali bertemu tatap muka dengan Anda, begitu himbawanku kepada Pluvier lewat tilpun. Akhirnya mau juga Pluvier menerima Boni Triyana. Alangkah baik hatinya dan ramah sikapnya. Dalam keadaan kesehatan yang demikian itu, ia masih menyempatkan diri untuk ditemui dan diwancarai oleh seorang jurnalis muda dari Indonesia. Menerima kami berempat: Boni Triyana, Suwarto, Gogol dan aku.
Aku amat menghargai sikap Pluvier ini. Pluvier menunjukkan betapa beliau tidak ingin mengecewakan kita-kita orang Indonesia yang ingin menemuinya, dan yang menganggapnya sebagai sahabat Indonesia.
Bahwa Pluvier tidak sehat, dan sudah banyak lupa (umurnya 80th), hal itu sudah dikemukakanya kepadaku berkali- kali. Tetapi rupanya Boni Triyana, historikus muda kita dari Indonesia, dan jurnalis 'Jurnal Nasional', punya keinginan keras sekali untuk bertemu dengan ilmuwan dan gurubesar Belanda terkenal ini. Soalnya, Prof. Pluvier memang pernah menulis tentang 'pembunuhan masal di Purwodadi' pada periode sesudah Jendral Suharto merebut kekuasaan. Jadi nyambung dengan niat Boni, yang akan membuat (film)dokumenter sekitar 'pembunuhan masal di Purwodadi'. 'Pembunuhan masal Purwodadi', adalah tema skripsi Boni Tryiana, ketika ia dulu mengambil gelarnya di UNPAD.
* * *
Masyarakat mancanegara mengetahui tentang 'pembantaian Puwodadi' tsb, berkat antara lain penelitian, tulisan dan siaran yang dilakukan oleh seorang romo di Jawa, dan Haji Poncke Prinsen. Menyinggung nama Haji Poncke Prinsen, mungkin akan ada yang bertanya, siapa gerangan Haji Poncke Pirnsen itu? Banyak juga yang tahu bahwa Haji Poncke Prinsen adalah aktivis HAM Indonesia yang cukup dikenal pada zamannya. Sekaligus sangat tidak disukai Orba. Prinsen pernah anggota DPR dari partai IPKI. Partainya Ibu Jendral Hidayat, yang pada periode Presiden Sukarno adalah anggota DPR. Ibu Hidayat juga adalah Ketua Komite Perdamaian Indonesia, yang kukenal sekali. Kemana-mana Ibu Hidayat selalu membawa kaleng tempat meludah – - - - Ibu Hidayat, tak bisa lepas dari MENYIRIH, selalu makan daun sirih. Sehingga mulutnya selalu tampak berwarna merah, bukan karena lipstick tapi karena 'makan sirih'.
Haji Poncke Prinsen bukan sebarang aktivis HAM! Ia adalah mantan anggota Tentara Kerajaan Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam serbuan Agresi Ke- II Belanda terhadap Republik Indonesia. Atas kesadarannya sendiri, demi mendengar suara hati nuraninya, ia memutuskan untuk berbalik. Dengan tegas memihak kepada Republik Indonesia. Lalu bersama TNI, berjuang, kongkrit bertempur melawan tentara agresor Belanda. Haji Poncke Prinsen kemudian menjadi warganegara Indonesia dan melakukan kegiatan untuk HAM di Indonesia. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Februari 2002 (76th), sebagai warganegara Indonesia.
* * *
Kemarin itu, kebetulan cuaca cerah. Sang Surya kali ini tidak malu-malu menampakkan wajah ramahnya. Dalam suasana musim semi demikian itulah, kami, empat orang Indonesia, berkunjung ke rumah seorang gurubesar dan Indonesianis simpatisan Indonesia, Prof. Dr. Jan Pluvier.
Rumah beliau agak jauih dari Amsterdam. Meskipun berkendaraan mobil (Suwarto), dengan bantuan petunjuk dan peta yang diambil dari internet, dipandu oleh Gogol yang duduk di sebelah Suwarto, ternyata tidak mudah juga menemui rumah Prof. Pluvier. Agak nyasar-nyasar juga. Letaknya di daerah perumahan indah dan tenang di Heideweg No 5, Soest, Nederland. Sayang karena usia dan keadaan kesehatan beliau, maka tidak bisa lama kami berbincang-bincang. Namun cukup berkesan. Tokh bisa bercakap-cakap sampai hampir 1 jam. Boni Triyana berhasil merekam di cameranya selama paling tidak 20 menit. Boni puas sekali. Dan aku berkali-kali menyatakan rasa terima kasih kami, bahwa Prof Pluvier, meski keadaan kesehatan yang sesunguhnya rapuh itu, yang tidak bisa berjalan tanpa menggunakan 'rollator' , tokh, ternyata akhirnya mau menerima dan berbincang-bincang dengan kami, melebihi janji beberapa menit saja seperti disetujuinya semula. Itulah Prof Pluvier yang simpatik dan ramah. Dalam fikiranku: Sayang manusia begini jernih dan simpatik pendiriannya terhadap Indonesia, berada dalam kesehatan yang tidak baik. Meskipun kesehatan beliau dalam posisi seperti itu, dan dalam waktu yang tidak lama, terasa hubungan persahabtan antara profesor Indonesianis berbangsa Belanda ini dengan Indonesia, masih tetap kokoh, solidair dan dengan kunjungan kami itu rasanya bertambah kuat dan mesra. Suatu pencerminan dari pesahabatan antara dua rakyat, Indonesia dan Belanda.
Kepedulian Prof. Dr. Pluvier dengan Indonesia, begitu besar, sehingga tidak mengherankan bahwa beliau bersama Prof. Dr Wertheim, Dr Go Gien Tjwan, Slamet Faiman, kemudian dibantu Drs Yvet Lawson dan sahabat-sahaba Belanda dan Indonesia lainnya, dalam tahun 1968, mendirikan Komite Indonesia di Belanda, 2 tahun sesudah Jendral Suharto merebut kekuasaan. Komite Indonesia adalah suatu badan informasi dan penggiat yang melakukan studi dan publikasi mengenai pelanggaran HAM di Indonesia di bawah Orba, mensosialisasikannya ke masyarakat Belanda, dan memajukan usaha demokrasi dan HAM di Indonesia.
Sebagai seorang cendekiawan, Prof Pluvier telah menulis banyak buku, artikel dan esay politik mengenai perkembangan politik di Asia umumnya dan Asia Tenggara serta Indonesia khususnya.
Buku yang jelas dan cekak aos, serta secara obyektif mencatat sejarah perkembangan gerakan nasional di Indonesia selama 12 tahun, antara 1930 s/d 1942, yang terbit segera setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, adalah yang ditulis oleh Prof. Dr Jan Meinhard Pluvier dalam tahun 1952.
Prof Dr Pluvier juga adalah juga seorang pendiri dan pernah menjadi ketua Wertheim Foundation, yang tujuan pokoknya adalah memajukan usaha emansipasi bangsa Indonesia.
* * *
Dalam pembicaraan kami yang berlangsung dengan kehangatan suasana persahabatan, Prof. Pluvier berbicara mengenai penghargaan dan penghormatannya terhadap Presiden Sukarno, yang dinilainya sebagai pemimpin kemerdekaan bangsa Indonesia, serta negarawan besar Asia. Sekaligus Pluvier menunjukkan kemarahannya terhadap Jendral Suharto yang dikatakannya tidak beda dengan Chiang Kai-syek dan Pinnochet yang membantai rakyatnya sendiri demi merebut kekuasaan negara untuk kepentingannya sendiri.
Pada waktunya nanti Boni Triyana pasti akan menampilkan kesan dan wawancaranya dengan Prof. Dr Pluvier. Baik kita tunggu. Paling tidak kira-kira akan muncul di JURNAL NASIONAL.
Kuselesaikan 'BERBAGI CERITA' di sini. Besok Sabtu, 03 Maret, akan bertemu lagi dengan Boni Triyana di rumah Mintardjo di Oestgeest, Leiden. Pertemuan itu khusus diadakan untuk temu-muka dan temu wicara Boni Triyana dengan para sahabat Indonesia, baik yang sedang studi di Belanda, maupun teman-teman lainnya. Organisatornya adalah Mintardjo dari Yayasan Sapu Lidi.
* * *
No comments:
Post a Comment