Rabu, 14 Maret 2007
--------------------------
LAGI Tentang Tokoh Langka H. PONCKE PRINCEN
Belum lama, 02 Maret 2007, dalam tulisanku 'Berkunjung ke Prof. Dr Pluvier' kusebut nama Haji Poncke Princen, seorang aktivis HAM di Indonesia, mantan anggota Tentara Kerajaan Belanda (KL) yang ambil bagian dalam perang agresi Belanda terhadap RI. Kemudian, menuruti rasa keadilan dan hati nuraninya, ia mengubah pendirian dan sikap yang dianutnya selama itu sebagai anggota Tentara Kerajaan Belanda terhadap Republik Indonesia. Ia berfihak pada kita, pada bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaan melawan Belanda yang hendak kembali sebagai kolonisator Indoneisa, seperti pada periode sebelum Perang Dunia II. Nama H. Poncke Princen kusebut teristimewa dalam rangka terungkapnya pembunuhan masal di Purwodadi yang dilakukan oleh aparat pada periode pasca G30S (dimulai 1965).
Kemudian dalam tulisan-tulisanku berikutnya, i.e.: 'Purwodadi, Purwodadi . . . (1) – 08 Maret; 'Purwodadi, Purwodadi . . . (2) – 09 Maret; dan tulisan 'Sudahkah Anda Berkunjung ke Musium Multatuli?' - 12 Maret; kusebut lagi nama H. Poncke Princen. Nama tokoh H. Ponce Princen, warganegara Indonesia asal Belanda, memancing tanggapan dan komentar pembaca. Antara lain dari Dr Aswi Adam, Pak Husein (yang memberikan fakta-fakta baru tentang Pincen), dan MZ dari Jakarta.
Yang kusiarkan (ulang) kali ini, adalah tanggapan yang diberikan oleh sahabatku WILSON. Tulisan Wilson itu disiarkan di s.k. 'Sinar Harapan', 02 Maret 2003, untuk mengenang tokoh langka H. Poncke Princen. Wilson terutama menyoroti H. Poncke Princen sebagai aktivis dan pejuang konsisten Hak-hak Azasi Manusi dan demokrasi di Indonesia. Wilson mengirimkan tulisannya kepadaku, dalam rangka tanggapan atas suratku yang kukirimkan juga kepada Aswi Adam, Pak Husein dan beberapa kawan lainnya, sekitar tokoh H. Poncke Princen, sbb:
13 MARET 2007
SEKITAR HAJI PONCKE PRINCEN - AKTIVIS/PEJUANG HAM, dll
-------------------------------------------------------
Bung Aswi Adam dan Pak Husein y.b.,
Maaf baru sekarang ini saya berreaksi terhadap tanggapan mengenai H. Poncke Princen. Princen memang adalah seorang tokoh unik dalam hubungan Indonesia-Belanda. Bagi kita Pincen adalah peserta pejuang kemerdekaan Indonesia, yang semula berada di posisi yang berlawanan.
Bagi negara Belanda, Poncke Princen tetap seorang 'desertir', bahkan 'pengkhianat', karena 'menyebrang'
Bagaimana seharusnya SEJARAH menilai dan memperlakukannya.
Bagaimana Bung Aswi dan Pak Husein? Apakah ilmu sejarah sudah punya patron dalam menilai tokoh-tokoh seperti itu. Dalam hubungan Indonesia-Belanda, masih ada tokoh-tokoh lainnya, seperti Multatuli. Pegawai BB Belanda, seorang asisten residen Lebak, yang mengeritik, memprotes kemudian berontak terhadap kebijakan rezim kolonial Hindia Belanda. Ia kemudian dipecat dari jabatan. Bagi Indonesia, ia seorang pembela rakyat miskin dan hatinya ada pada penduduk Lebak yang tertindas dan diperas habis-habisan.
Tapi, masyarakat Belanda yang maju, juga lingkungan luas, sampai sekarang memperlakukan, menilai Multatuli sebagai sastrawan dan humanis besar Belanda. Musiumnya ada di Amsterdam. Kemarin saya menulis tentang Musium Multatuli. Jadi Multatuli adalah tokoh kebanggaan Belanda, sekarang ini.
Ada lagi tokoh seperti mantan Brigjen Artileri Kerajaan Belanda, B. Bouman. Ia masih tetap sebagai pensiunan Tentara Kerajaan Belanda. Tetapi pemahamannya mengenai perang kemerdekaan Indonesia bertentangan dengan pemahaman resmi kerajaan Belanda.
Tokoh yang agak sama dengan H. Poncke Princen adalah Piet van Staveren, seorang anggota KL, yang semasa perang kemerdekaan Indonesia, nyeberang ke fihak RI. Kemudian namanya dikenal sebagai Pitoyo. Menurut berita ia aktif di media propaganda RI dalam perang kemerdekaan kita.
Tanggapan saya di atas tsb sekadar sebagai input bagi para pakar sejarah kita, untuk difikirkan, dan diperlakukan sebagaimana semestinya, obyektif dan adil.
Terima kasih atas tanggapan dan pengkoreksian oleh Pak Husein mengenai fakta-fakta sekitar Poncke Princen.
IBRAHIM ISA
* * *
Sahabatku WILSON, dekat dengan H. Ponce Princen. Ketika Wilson bebas dari penjara Orba, orang pertama yang menilpun Wilson menyambut pembabasannya itu adalah H.Poncke Princen. Artikel di bawah ini ditulisnya 4 tahun yang lalu. Tulisn Wilson itu menyentuh dan menggugah serta mengungkap hal-hal yang mungkin banyak orang belum tahu. Maka kusiarkan ulang. Terimakasih Wilson! Juga harap maafkan, karena siaran ini kusiarkan ulang, tanpa terlebih dahulu memberitahukannya.
Inilah dia:
PONCKE PRINCEN ADALAH MULTATULI, SEEVLIET, DAN DOUWES DEKKER
Oleh : Wilson
-- Pak Poncke, juga dekat dengan banyak para aktivis gerakan demokrasi 1990-an seperti saya. Pada tahun 1994-1996, kebetulan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang diketuai oleh Dita Sari (dan saya juga pengurus pusatnya )menumpang di kantor Poncke (LPHAM) yang kecil dan sederhana di Kramat Asem raya di Jakarta Timur. Ketika saya dan Dita di penjara di Cipinang dan LP Wanita Tangerang, Poncke adalah pembezuk rutin, bahkan Dita Sari sudah seperti dia anggap anaknya sendiri. Ketika saya bebas dari penjara, orang pertama yang menelpon adalah Ponke Princen dari RS Cikini, karena saat itu ia sedang dirawat disana.
Ketika Poncke Princen wafat pada tanggal 2 Februari 2002, saya dan banyak kawan sangat sedih dengan kepergiannya. Bagi saya Poncke bukan saja teladan, guru, tapi juga sudah seperti opa sendiri. Mengiringi kepergiannya, saya menulis sebuah artikel di Sinar Harapan......untuk menggambarkan siapa Poncke Princen menurut penafsiran saya......>
* * *
Poncke Princen Adalah Multatuli, Sneevliet, dan Douwes Dekker
Oleh Wilson
Hari Jumat, 22 Februari 2002, HCJ Princen yang akrab disapa dengan panggilan Poncke telah meninggal dunia dalam usia 77 tahun (1925-2002). Kepergian Poncke dalam situasi Indonesia yang semakin menuju anarkisme sosial dan otoriterianisme baru jelas sebuah kehilangan bagi gerakan demokrasi itu sendiri.
Sebagai seorang pejuang demokrasi, tampaknya Poncke sangat komplet berjuang dalam berbagai front perjuangan. Dari perjuangan bersenjata melawan negerinya sendiri yang menginvasi Indonesia hingga melalui cara parlemeter sebagai anggota DPR GR. Pergaulan Ponke juga begitu luas, dari generasi Angkatan 45 hingga anak-anak muda gerakan pro-demokrasi angkatan 90-an.
Apa yang dilakukan oleh Poncke sepanjang hidupnya adalah representasi dari tiga orang penting dalam sejarah Indonesia, yaitu Multatuli, Sneevliet dan Douwes Dekker. Ketiga orang tersebut sama dengan Poncke mempunyai latar belakang Belanda, tapi ketiga-tiganya membangkang pada kekuasaan kolonial negeri Belanda. Yang membedakan ketiganya dengan Poncke adalah, Poncke dapat mewakili ketiga pemikiran besar tokoh-tokoh tersebut.
Dari Multatuli, Poncke mengambil humanisme sejati dimana ”tugas seorang manusia adalah menjadi manusia”. Dengan paham Multatulian ini Poncke menentang setiap jenis kekuasaan ekonomi dan politik yang menyebabkan dehumanisasi. Karena itu kebebasan dan fitrah manusia sebagai manusia diperjuangkan oleh Poncke di luar batas-batas pengkotakan ideologi. Ia dapat tegar berdiri membela para anggota PKI yang dibantai di Purwodadi, menjadi pembela para napol Islam Tanjung Priok atau menjadi saksi ahli bagi aktivis PRD yang dituduh komunis dalam persidangan. Dalam hal kemanusiaan Poncke Princen tidak kenal kompromi. Siapa pun akan ia lawan, kritik dan kirimi taklimat (statement) bila ia anggap tidak konsisten atau melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
Nila-nilai kemanusiaan yang dipegang oleh Poncke ini yang membuat dirinya dapat diterima oleh berbagai kelompok politik yang berseberangan dengan Orde Baru yang anti HAM. Sekarang ini tidak banyak orang yang membela kemanusiaan dengan pengorbanan begitu besar bagi karier dan dirinya sendiri seperti Poncke. Banyak para penyuara HAM telah hidup seperti selebritis dan menjalani suatu kemapanan sosial. Sementara Poncke tetap tinggal di kantor LPHAM-nya yang kecil dan sederhana serta rumahnya yang menyelip di tengah kepadatan kota Jakarta di Jakarta Timur.
Tokoh kedua yang gagasannya juga mirip dengan Poncke adalah Sneevliet, seorang pendiri ISDV (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Sneevliet adalah penganjur sosial demokrasi yang penting dalam sejarah Indonesia, karena gerakan sosial-politik yang ia bangun ini mempunyai perhatian dan kosentrasi pada kaum tertindas, baik sebagai sebuah bangsa, atau sebagai kelas buruh.
Poncke Princen juga dapat dianggap sebagai seorang sosial demokrat. Pada tahun l992 ia bersama para aktivis membumikan perjuangan demokrasi dengan membentuk Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM-SK). Dengan serikat buruh ini Poncke berkata pada saya, ” Saya ingin perjuangan demokrasi juga dimengerti oleh rakyat kecil.”
Ketika saya dan Dita Sari berkantor di LPHAM (l994-l996) Poncke sempat melontarkan idenya untuk membuat partai yang membela rakyat kecil secara langsung. Ia lalu mengusulkan berdirinya Partai Butayan, alias Partai Buruh, Tani dan Nelayan.
Sayang ide Partai Butayan ini tidak sempat ia realiasikan, sebab ketika reformasi bergulir dan orang-orang ramai membentuk partai sejak bulan Mei l998, Poncke semakin sering sakit-sakitan. Tapi idenya ini tidak akan pernah basi karena salah satu sebab kebobrokan demokrasi yang ada sekarang ini, karena parpol telah meninggalkan kepentingan massa mayoritas dan mengabdi hanya pada kekuasaan.
Pemikiran ketiga yang saya pikir juga hidup pada diri Poncke Princen adalalah pemikiran Douwes Dekker tentang nilai-nilai nasionalisme yang progresif dan tidak chauvinis. Hal ini sudah dibuktikan oleh Poncke dengan cara membelot dari pasukan invasi Belanda menjadi pasukan republiken Indonesia yang anti-kolonialisme. Untuk itu, ia bahkan dicap sebagai pengkhianat oleh pemerintah Belanda yang chauvinis dan bahkan sempat tidak diberikan visa untuk masuk ke negeri asalnya itu.
Konsistensi Poncke dalam nasionalisme yang progresif ditunjukkan dalam persoalan Timor-Timur. Sejak pembantian Santa Cruz di Dili tahun l991, Poncke Princen bersama LPHAM dan suatu kelompok koalisi pro-demokrasi INFIGHT sudah mengutuk kekerasan militer di sana dan meminta agar PBB turut campur dalam menangani konflik di Timor-Timur. Untuk sikap politiknya ini ia dicap pengkhianat oleh pemerintah Indonesia (yang bersikap seperti negeri Balanda di tahun l940-an dulu).
Dalam berbagai aksi pemuda atau mahasiswa Timor-Timur Poncke Princen selalu siap menjadi mediator dan kuasa hukum. Terbukti pendirian Poncke Princen ini benar. Pada tahun l999 referendum di Timor-Timur di bawah PBB menghasilkan kemenangan mutlak untuk suara pro-kemerdekaan. Sikap Poncke soal Timor-Timur ini yang mempengaruhi saya untuk membuat SPRIM (Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere) di tahun l995.
Melanjutkan Perjuangan Poncke Princen
Perjuangan dan konsistensi Poncke untuk menegakkan kemanusiaan di atas segala-galanya; keberpihakan dia kepada rakyat kecil dan nasionalismenya yang progresif menjadikan Poncke sebagai seorang tokoh yang sulit dicari duanya. Ia adalah figur yang berhasil memberi citra tentang sikap seorang demokrat sejati. Suatu sikap yang jarang kita temui dikalangan aktivis Indonesia.
Berpulangnya Poncke Princen kepada Yang Maha Kuasa, justru meninggalkan pemikirannya yang sangat relevan untuk kondisi Indonesia sekarang ini. Pelanggaran HAM kelas berat yang terus berlangsung dan dilakukan oleh negara; rakyat kecil yang semakin miskin dan dimiskinkan oleh pemerintah yang pro-pasar bebas; pemikiran nasionalisme chauvinis yang dikembangkan pemerintah atas persoalan Aceh dan Papua; dan masih belum adanya sebuah kekuatan politik utama yang secara kongkret membela kepentingan rakyat banyak membuat apa yang diperjuangkan Poncke tidak pernah lapuk oleh zaman.
Semoga kepergian tokoh yang dihormati banyak kalangan dari berbagai generasi dan latar belakang politik ini tidak membuat cita-citanya juga mati. Kepada kita semua yang masih hidup dan mengklaim sebagai demokrat tugas itu sekarang harus dilanjutkan.
Semoga kita tidak mengecewakan apa yang telah dirintis oleh Poncke melalui seluruh kehidupannya.
* * *
No comments:
Post a Comment