31 Desember 2006
TOPIK AKHIR TAHUN YG SEYOGIANYA HARUS LEBIH DI-PRIHATIN-KAN!
Kasus Polygami Mencuat Jadi 'Topik Nasional'
Pada penghujung tahun 2006, rupanya ada satu topik yang (dibanding dengan topik lainnya) lebih menarik perhatian banyak orang, oleh karena itu banyak disoroti di dalam media pers dan menjadi buah mulut dan pembicaraan terus-terusan dikalangan masyarakat umum. Topik itu adalah POLYGAMI.
Siapa yang tidak tahu, bahwa masalah polygami, bukanlah suatu 'surprise' di masyarakat kita yang masih sarat dengan peninggalan kultur dan kebiasaan feodal. Sultan-sultan 'kita', apakah darii ujung Utara atau Selatan bagian negeri, apakah itu Sultan Jawa atau 'Raja' di bagian ujung Timur Nusantara sana , praktek punya selir lebih dari satu - tanpa nikah, atau istri muda bukan suatu rahasia. 'Prinsip' agama bahwa seorang umat boleh punya istri sampai empat, tidak pernah digugat atau disanggah secara prinsipil. Mengapa ketika belakangan ini terungkap masalah polygami di kalangan kok reaksinya begitu ramai, seperti orang baru siuman dari koma yang panjang layaknya.
Mungkin ini sebabnya: Pelaku polygami kali ini adalah dari kalangan 'tertentu'. Dari kalangan
'orang terpandang' , apalagi 'tokoh religius', yang diharapkan bisa jadi teladan dalam soal norma, nilai hidup dan etika. Ketika harapan itu ternyata melését, maka kekecewaan orang banyak membeludak menjadi kritik dan kecaman, gugatan dan cemoohan terbuka. Tambahan pula dengan terungkapnya kasus hubungan mesum seorang elite pimpinan DPR yang sudah berrumah tangga yang melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain di sebuah hotel. Walaupun masalah polygami dan masalah perselingkuhan, kasus zinah, itu dua hal yang tidak sama, namun orang membicarakannya dalam satu tarikan nafas yang sama.
Sebab lainnya, ialah, karena sudah begitu lama dan pedihnya penderitaan, disebabkan oleh kesulitan hidup sehari-hari. Pengangguran yang bertambah terus, semakin menganganya perbedaan antara yang miskin dan yang berpunya; menumpuknya dosa-dosa yang dibuat kalangan atas, dan harapan rakyat akan perbaikan semakin menipis. Jangan lagi disebut bertubi-tubinya bencana alam yang melanda tanah air dan bangsa, mulai dari Tsunami, Gempa Jogja, lumpur polusi, banjir di Sumatra sampai pada kecelakaan tenggelamnya kapal penumpang di Laut Jawa beberapa hari ini.
* * *
Sebenarnya masalah polygami, bukan barang baru. Cobalah diingat-ingat Pada tahun limapuluhan abad lalu, pers ramai membicarakan masalah Ibu Negara Fatmawati dimadu oleh Presiden Sukarno. Bung Karno kawin lagi dengan seorang janda, Ny. Hartini. Wah, habislah Bung Karno dikritik sana-sini. Oleh golongan kanan Bung Karno dihujat habis-habisan. Soalnya, karena ketika itu adalah kesempatan paling baik untuk 'mengganyang' dan menghitamkan Bung Karno. Karena dari segi politik memang sulit menggugat Bung Karno, yang ketika itu tidak jemu-jemunya mengingatkan bangsa bahwa ketika Irian Barat masih belum kembali ke pangkuan Ibu Tertiwi. Bung Karno memupuk terus semangat bangsa, bahwa perjuangan untuk membebaskan Irian Barat harus dilanjutkan sampai kemenangan akhir tercapai!.
Dari golongan Kiri, juga tidak kurang kritik. Tetapi bagi golongan Kiri, kepentingan politik dinilai lebih penting dari masalah polygami. Akhirnya kritik-kritik itu melemah. Membikin Bung Karno seperti 'lupa daratan'. Bung Karno kawin lagi, dan kawin lagi. Sehinga ada orang berkomentar: Bung Karno adalah seorang pemimpin besar bangsa, yang genius yang pengabdian dan pengorbanan terhadap bangsa dan tanah air, tak sedikitpun diragukan. Sayang, ada kelemahan 'fatal'. Yaitu masalah perempuan!
* * *
Media tampaknya lebih banyak disibukkan, sepert diasyikkan dengan berita-berita sekitar ulah Kiayi/Ustaz populer, Aa Gym, dan Wakil Ketua DPR yang memberlakukan 'hak untuk berpoligami', alias kawin lagi. Memang keterlaluan, karena sampai-sampai ada suara yang setengah berteriak dan setentah mengiba-iba, menyatakan bahwa bila ada larangan berpolygami, maka itu berarti menentang 'Al quran'. Karena, di dalam 'Al Quran' berpolygami itu dibenarkan adanya.
Tokh, kiranya suatu diskusi dan polemik yang berkepanjangan mengenai kasus polygami yang terjadi di kalangan elite itu tidak begitu bemanfaat. Nyatanya juga, sudah lama polygami itu dipraktekkan oleh 'orang-orang biasa' , bahkan oleh 'wong cilik' di masyarakat pedesaan. Tentu ada baiknya, bahkan baik sekali, bahwa ada perlawanan keras terhadap praktek polygami yang sekrang ini menjadi sorotan, karena kebetulan yang melakukan kali ini ketahuan adalah terjadi di kalangan elite. Di kalangan elite atau bawahan, polygami adalah suatu kebiasaan, suatu kultur yang harus diakhiri.
Namun, yang penting ialah, bahwa, yang berwewenang mengambil kebijakan dan langkah untuk memulihkan kedilan bagi kaum perempuan. Maka tidak banyak gunanya untuk tenggelam atau asyik berkecimpung dalam perdebatan antara pro dan kontra polygami.
Benarlah kiranya, suatu protes sekeras-kerasnya terhadap praktek ploygami, patut disokong tanpa reserve. Karena, apapun alasan dan dalih yang dikemukakan untuk membenarkan dan memberikan legitim, atau landasan pembenaran religius terhadap keinginan punya istri muda, bahkan lebih dari satutu, - - - - polygami itu adalah tak adil terhadap kaum perempuan. Suatu kultur peninggalan zaman feodal yang sudah usang dan tidak pas dengan semangat demokratis dan samahak dan samaderajat antara perempuan dan laki-laki.
* * *
Mengapa Aksi-Kekerasan 'Permak'
Dibiarkan Saja?
Sekitar pertengahan bulan ini, pada hari Kemis 14 Desember 2006 , menjelang HARI NATAL, Hari Kudus dan Hari Raya yang Damai, Hari Bersyukur umat Nasrani, ------ orang dikejutkan dan
d i k e c u t k a n oleh suatu 'a k s i k e k e r a s a n' di Bandung dan Surabaya. Pelakunya mengaku sebagai organisasi non-pemerintah, yang menamakan dirinya: 'Permak' (Persatuan Masyarakat Anti Komunis). Aksi tsb ditujukan terhadap sekelompak anak muda, mahasiswa, yang berrencana mengadakan diskusi memperingati Hari Pernyataan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia, dengan tema Gerakan Marxis Internasional. Menurut penyelenggara peringatan HAM tsb diskusi itu adalah diskusi berkarakter ilmiah. Meskipun penjelasan sudah diberikan mengenai isi peringatan, tokh kegiatan itu ditindak kekerasan dan digagalkan!
Aksi kekerasan mengambil cara suatu PENGGEREBEGAN, semacam ' r a z i a ' untuk menggagalkan dan membubarkan kegiatan diskusi ilmiah yang berlangsung di sebuah tokoh buku (Ultimus), di depan kampus Universitas Pasundan. Tidak beda dengan apa yang terjadi pada zaman Orbanya Suharto. Ketika itu, kegiatan bedah buku Pramoedya Ananta Toe di kampus universitas, digerebek aparat, dan penyelenggarannya ditahan, diinterogasi, kemudian yang 'terlibat' dikeluarkan dari universitas. Aksi-kekerasan 'Permak' tsb adalah aksi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokratis seperti yang dicantumkan dalam UUD RI.
Hakikatnya tidak berbeda dengan tujuan aksi ( yang tidak speenuhnya sama dengan aksi-kekerasan seperti yang dilakukan oleh 'Permak', tapi tokh . . .) yang dilakukan pada periode akhir pemerintahan Presiden Sukarno, untuk membubarkan organisasi kebudayaan 'MANIKEBU'. Karena tujuannya adalah untuk membungkam suara yang berbeda., melarang suara-suara yang dianggap sumbang waktu itu, bahkan bertentangan dengan pendapat pemerintah, pendapat main- stream, atau pendapat yang umum, maka aksi tsb berakhir memang dengan pembubaran MANIKEBU.
Apapun alasannya, setiap aksi untuk membungkam, menyetop fikiran dan suara yang berbeda, tidak lain dan tidak bukan adalah suatu aksi anti-demokratis. Kebebasan menyakan fikiran dan mempublikasikannya adalah salah satu sokoguru, pilar dari demokrasi. Melarang suatu aliran fikiran yang berbeda, yang lain, adalah bertentangan dengan kebebasan menyatakan fikiran dan pendapat. Berarti menolak prinsip-prinsip Hak-Hak Azasi Manusia.
* * *
Agak aneh dan mengecewakan bahwa dalam periode pasca-Suharto dimana Reformasi dan Demokratisasi menjadi program hampir semua parpol, bahkan menjadi sesuatu yang dinyatakan sebagai tujuan dari pemerintah yang sekarang, aksi-kekerasan 'Permak' yang telah membungkam suara/fikiran yang berbeda, seakan-akan dianggap 'boleh-boleh' saja. Sebagai sesuatu yang 'biasa-biasa' saja. Yang mengkhawatirkan ialah (siapa tahu), aksi-kekerasan 'Permak' itu adalah suatu rekayasa, suatu langkah surut untuk kembali ke zaman Orba.
Suara dikalangan masyarakat tidak begitu kedengaran santer mengecam tindakan anti-demkratis yang dilakukan oleh 'Permak' baru-baru ini. Kemungkinan besar karena aksi kekerasan tsb dilakukan atas nama mencegah bangkitnya kembali Komunisme dan/atau PKI di Indonesia.
* * *
Yang patut dipertanyakan disini, ialah, bagaimana pendapat dan sikap begitu banyak pelbagai organisasi masyarakat, LSM, yang menyatakan diri peduli demokrasi dan HAM. Apakah mereka menganggap aksi kekerasan memungkam suatu diskusi ilmiah mengenai Marxisme itu bukan merupakan pelanggaran telajang terhadap hak dengan bebas menyatakan fikiran dan berbicara serta menyiarkannya? Bisakah kebungkaman mereka itu dianggap sebagai suatu kebatulan saja? Atau suatu rekayasa. Karena, yang dibungkam itu menyangkut masalah kebebasan menytakan pendapat, berdikusi dsb menyangkut tema Marxisme, maka tiu d e n g a n s e d i r i n y a , boleh-boleh saja. Dengar alasan mereka: Bukankah Marxisme dan PKI itu dilarang (lihat TAP MPRS No XXV Tahun 1966. Bukankah sudah jelas bahwa tidak boleh bicara apalagi membicarakan Marxisme. Karena itu akan menjurus pada dibangkitkanya kembali PKI. Yang juga dilaranag?) . Dengan sendirinya dianggaplah bahwa setiap pernyataan pendapat apalagi diskusi mengenai Marxisme adalah g a w a t. Membikin 'bahaya PKI' itu menjadi laten!
Dari suara-suara yang terdengar mengecam aksi-kekerasan untuk membungkam dengan bebas menyatakan fikiran, bisa diangkat di sini yang diajukan oleh LPRKROB. Ketuanya Semaun Utomo mengeljuarkan SURAT TERBUKA. Antra lain digugat Kapolri, Kapolda Jtim dan Jabar yang masih membungkam terhadap aksi kekerasan anti-demokratis tsb. Diserukan dengan khidmat agar
menegakkan Demoirasi, HAM dan Keadilan.
* * *
Bisalah kiranya disimpulkan bahwa masalah Demokrasi dan Reformasi masih merupakan dua tugas yang lahir dari Gerakan Massa Mei 1998, yang masih jauh dari selesai. Setiap pelanggaran terhadap hak-hak demokrasi, diantaranya yang terpenting adalah kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat, betapapun kecilnya patut menjadi perhatian dan dilawan sekeras-kerasnya.
Bagi masyrakat, terutama bagi rakyat kecil, bagi wong cilik, tak ada syarat perjuangan yang lebih penting selain pemberlakuan KEHIDUPAN DEMOKRATIS. Hak-hak demokrasi adalah conditio sine qua non, bagi perjuangan untuk perbaikan nasib dan hak-hak politik yang lebih baik.
* * *
No comments:
Post a Comment