Rabu, 22 November 2006
Hungan INDONESIA --- AMERIKA SERIKAT
Terpenting adalah MEMPERTAHANKAN KEBEBASAN
Hari Senin kemarin dulu Presiden AS, George W Bush, berkenan mengadakan kunjungan kenegaraan kilat selama 6 jam ke Indonesia. Waktu Bush meninggalkan Indonesia, dikeluarkan keterangan pers bersama. Dinyatakan bahwa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Amerika Serikat George W. Bush sepakat mendorong jalan damai untuk menyelesaikan berbagai krisis dan konflik di dunia.
Kata Bush: 'Kami mendiskusikan berbagai ancaman terhadap keamanan global dan berdiskusi bagaimana kedua negara bisa membantu mencari jalan damai ke depan'. Kedua kepala negara juga membahas soal 'krisis nuklir' Iran dan Korea Utara dan sepakat untuk mencari solusi damai dan diplomatik terhadap 'krisis nuklir' Iran dan Korea Utara. Menurut Bush, Iran dan Korut adalah dua negara yang mempunyai ambisi besar dalam pengembangan nuklir. Senjata nuklir ditangan kedua rezim ini akan menggangu keamanan masyarakat di Timur tengah dan Asia Timur,' ujarnya.(Tempo Interaktif, 20.11.06). Tahu-tahu, kita dengar berita bahwa kalangan CIA menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa Iran sedang melakukan program senjata nuklir.
Bagaimana penilaian Presiden SBY terhadap apa yang dikatakan oleh Bush sebagai 'ancaman terhadap keamanan global', itu tidak kita ketahui. Karena pembicaraan beliau-beliau itu tertutup adanya. Bagi Bush kiranya jelas, yang ia maksudkan dengan 'terorisme dunia' adalah yang berpusat di Timur Tengah. Kongkritnya aksi-aksi pemboman (bunuh diri), dan lain-lian aksi kekerasan terhadap Amerika dan Barat umumnya, yang dilakukan oleh Osama bin Laden dan gerakannya. Menurut Bush, aksi terorisme Bin Laden itu disokong oleh rezim Thaliban di Afghanistan dulu, dan sekarang ini disokong oleh Iran dan Syria. Rumusan Bush: Iran, Irak dan (di Asia) Korea Utara adalah negeri-negeri yang digolongkannya sebagai 'axis of evil' ('Persekutuan Syaitan'). Wakil AS di PBB, John Bolton, menambahkan kemudian bahwa 'Axis of Evil' itu juga termasuk Cuba, Lybia dan Syria. Negeri-negeri 'Persekutuan Syaitan' itu, menurut Bush dan John Bolton, adalah negeri-negeri yang pemerintahnya mensponsori terorisme dan berusaha untuk memiliki 'senjata pemunahan masal' , seperti bom atom, nuklir, kimia dsb.
Sesudah Thaliban di Afghanistan dihancurkan AS, bahaya terhadap keamanan dan kestabilan, terhadap perdamaian, menurut Bush, masih bersumber dari negeri-negeri 'axis of evil' tsb. Ketidak stabilan, ketidak-amanan, dan bahaya terhadap AS dan perdamaian dunia, penyebabnya dikatakan adalah terorisme yang dipicu oleh fundamentalisme Islam dengan Osama Bin Laden sebagai biang keladinya.
* * *
Bagaimana posisi Indonesia?
Pendirian Indonesia yang tradisionil mengenai politik luarnegeri, selain menempuh kebijakan 'politik bertetangga baik', yang utama adalah didasarkan atas prinsip politik 'bebas dan aktif', 'menyokong perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa', 'mengusahaskan perdamaian dunia'. Pendirian ini didukung dan diperkuat oleh Prinsip-prinsip Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955). Maka pendirian kongkrit Indonesia menghadapai situasi Timur Tengah, adalah sbb: Ketidak-amanan dan ketidak stabilan di Timur Tengah, bahaya terhadap perdamaian di seluruh Timur Tengah, ------ bersumber dari pendudukan tentara Israel terhadap Palestina. Masih didudukinya oleh Israel wilayah Arab Palestina, dilakukannya oleh Israel penindasan sewenang-wenang terhadap rakyat Arab Palestina, -- yaitu daerah Tepi Sungai Yordan dan Gaza, ---- itulah yang menjadi penyebab utama ketidak-stabilan dan ketidak-amanan, serta ancaman terhadap perdamaian di Timur Tengah. Diketahui paling tidak dari catatan PBB, bahwa pendirian AS dan Barat selalu menyokong pendirian dan politik fundamental Israel terhadap Palestina.
Republik Indonesia dari dulu menyokong perjuangan rakyat Palestina untuk bebas dan berdiri sendiri sebagai bangsa dan negara merdeka dan berdaulat. Itulah sebabnya, a.l. sampai dewasa ini Indonesia menolak untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Israel. Apakah
Apakah Presiden Yudhoyono meyatakan dengan tegas kepada Presiden Bush, pendirian politik luarnegeri Indonesia selama ini yang bersangkutan dengan Palestina, Israel dan Timur Tengah? Mudah-mudahan demikian adanya.
Juga mengenai Iran. Pendapat umum Indonesia diketahui menyambut dan mendukung digulingkannya rezim Syah Iran. Meskipun ada pelbagai pendapat yang berbeda-beda terhadap politik luarnegeri pemerintah Iran yang kongkrit dewasa ini, tetapi RI punya huhungan normal sebagai dua negeri yang berdaulat dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.
Dengan demikian AS punya politik luarnegeri yang amat berbeda dengan RI sehubungan dengan Iran. AS masih menganggap Iran sebagai salah satu dari 'Axis of Evil' yang mesti 'ditanganinya'. Meskipun belakangan, sesudah kewalahan di Irak, di AS terdengar suara santer yang seakan-akan 'minta jasa-jasa baik' Iran dalam rangka mencari 'solusi' terhadap 'masalah Irak'.
* * *
Kunjungan kilat Bush ke Indonesia kali ini, adalah kunjungan pertama bagi Bush. Dilakukan dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi Bush. Politk Bush mengenai Irak mendapat kritik keras dari lapisan luas masyarakat AS. Politik Irak yang dilakukan Presiden Bush dianggap gagal. Bahkan kongrit diajukan supaya Bush membikin agenda bagaimana cara yang paling baik bagi Amerika menarik diri dari Irak.
Karena partainya, Partai Republik, baru saja mengalami kekalahan dalam 'midterm election' y.l. Bush, kehilangan mayoritas yang mendukungnya selama ini, baik di Senate maupun di House of Representative. Dalam situasi pasca-midterm election seperti itu, ruang gerak dan manuver menjadi sempit bagi Presiden Bush. Dalam sistim kenegaraan AS, meskipun orang sudah menang dalam pemilihan dan terpilih sebagai Presiden, banyak kebijakan penting pemerintah harus terlebih dahulu memperoleh OK dari badan legeslatif, sebelum bisa dilaksanakan. Suatu petunjuk bahwa di AS sistim 'check and balance' membikin seorang Presiden tidak mudah untuk bertindak semaunya, mentang-mentang menduduki jabatan Presiden.
Situasi perang Irak yang semakin menjurus ke 'perang saudara total' antara ummat Suni dan Syiit, antara pro dan kontra Sadam Hussein, antara penduduk umumnya dengan pasukan AS dan Inggris, membikin Irak di bawah pendudukan yang katanya sudah 'dibebaskan' dari rezim Sadam itu, ternyata semakin tidak aman, tambah kacau dan terancam keutuhan Republik Irak perpecahan. Keadaan Irak yang carut marut justru sesudah invasi AS dan Inggris, memberikan angka buruk terhadap kebijakan luarnegeri Presiden G.W. Bush, khususnya dalam pelaksanaan 'perang melawan terorisme' seperti yang dimaklumkannya. Dan orang belum lupa bahwa perang Irak itu dilancarkan AS dan Inggris tanpa mempedulikan pendapat dunia, khususnya PBB.
* * *
Dalam keadaan seperti itulah Bush hadir di sidang APEC di Hanoi sebelum ia berkunjung ke Indonesia. Bisa dianalisis bahwa maksud Bush datang ke Indonesia, adalah untuk memperoleh dukungan atas 'perang Irak' dan beleid AS di Timur Tengah. Lebih-lebih sangat diperhatikannya posisi Indonesia sebagai negeri yang berpenduduk beragama Islam terbesar di dunia, yang sekularis. Dukungan, paling tidak 'pengertian' Indonesia terhadap agenda 'perang melawan terorisme dunia' yang dilancarkan Amerika sekarang ini, sangat diperlukannya.
Di segi lain dari fihak Indonesia angkatan bersenjata Indonesia masih memerlukan dari AS, paling tidak, suku-cadang dll. Selain itu, tampaknya pemerintah Indonesia masih mengharapkan tambahan penanaman modal AS dalam proses pembangunan ekonomi negeri.
Posisi Indonesia seyogianya disadari benar oleh pemerintah Indoneisa. Seharusnya pemerintah memperkokoh politik luarnegeri Indonesia sesuai prinsip 'bebas dan aktif'. Kenyataan bahwa Indonesia bukan suatu 'negara Islam' seperti halnya Saudi Arabia atau Sudan, membikin kedudukan Indonesia semakin penting adanya bagi AS untuk dijadikan 'partner' dalam agenda perang 'anti-terorisme'. Kedudukan bagus Indonesia ini, bila disadari benar, akan memberikan Indonesia ruang baik untuk memainkan peranan positif demi kepentingan bangsa dan negeri sendiri dan merintis usaha perdamaian di Timur Tengah, bahkan di dunia. Apalagi ketika Indonesia dewasa ini menjadi anggota (tidak tetap) Dewan Keamanan PBB.
* * *
Sejak Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, bisa dikatakan, sejak saat itulah dimulai hubungan antara wakil-wakil dua bangsa dan dua negeri yang merdeka. Ketika bangsa kita sedang terlibat dalam perjuangan sengit, berkutat dalam perang kemerdekaan, demi membela Republik Indonesia melawan kolonialisme Belanda yang hendak memutar kembali jarum sejarah, sejak itu kita sudah mulai menjalin hubungan internasional. Sudah mulai menggalang hubungan dengan Amerika Serikat. Ini tidak kebetulan. Para pemimpin bangsa Indonesia ketika itu menyadari bahwa, situasi piolitik internasional sesudah Perang Dunia II, ditandai dan dipengaruhi oleh munculnya di dunia ini dua kekuatan raksasa yang berhadap-hadapan. Yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh AS dan Blok Timur, blok negeri-negeri sosialis, yang dipimpin oleh Uni Sovyet. RI juga menyadari bahwa secara pokok blok Sovyet mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan fihak Barat yang dikepalai oleh AS, secara pokok mendukung pemerintah Belanda.
Para diplomat muda Indonesia di bawah pimpinan PM/Menlu Sutan Syahrir dan diplomat ulung Haji Agus Salim, berusaha keras memanfaatkan situasi 'Perang Dingin' yang demikian itu. Sehingga di satu fihak berhasil a.l memperoleh dukungan diplomatik dari negeri-negeri Sosialis seperti Ukraina dan Tjekoslowakia. Di lain fihak ketika Belanda untuk kedua kalinya melancarkan perang agresi kedua terhadap Republik Indonesia, dan kita mampu bertahan dengan melancarkan perang gerilya yang sukses, Republik Indonesia berhasil mendorong AS untuk menekan Belanda menghentikan peperangannya terhadap RI dan mengadakan perundingan dengan Republik Indonesia untuk diakhirinya kolonialisme di Indonesia.
Tentu, keputusan AS untuk menekan Belanda 'menyelesaikan' konfliknya dengan Republik Indonesia, pertama-tama bertolak dari strategi pokok AS dalam 'Perang Dingin'. Yang lebih mengutamakan kepentingan persekutuan militer/politik NATO, dimana Belanda adalah salah satu anggotanya, menghadapi Blok Timur di bawah pimpinan Sovyet, --- ketimbang mememberikan sokongan terus pada kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Karena berlangsungnya konflik Belanda dengan Indonesia yang berkepanjangan, akan meminta perhatian, dana dan kekuatan militer Belanda demi mempertahanakan kolonialismenya. Hal mana mengalihkan perhatian Belanda dari kewajibannya sebagai anggota NATO yang punya tugas utama menghadapi blok Sovyet.
Perljuangan 'mati-matian'
Pelajaran dan pengalaman berharga ini perlu dipertahankan terus, khususnya dalam hubungan Indonesia dengan AS. Dan dalam geo-politik dunia yang multipolar dimana globalisasi mondial merupakan fenomena yang amat agresif. Kita memerlukan hubungan internasional yang baik, termasuk perlu hubungan yang normal dan wajar dengan Amerika Serikat. Semua itu demi kepentingan tanah air dan bangsa, demi usaha pembangunan dan memajukan negeri sendiri.
Namun, adalah pantang bagi suatu negara yang ingin tetap mempertahankan kebebasan dan kedaulatannya, untuk menggantungkan usaha pembangunan nasional pada 'bantuan' ataupun 'maksud baik' negeri lain, termasuk tidak pada Amerika Serikat.
Di atas segala-galanya yang samasekali pantang adalah mengkompromikan, mengorbankan kebebasan dan kemandirian Indonesia demi harapan bantuan dari luarnegeri, termasuk dari Amerika Serikat.
* * *
No comments:
Post a Comment