Selasa, 27 Maret 2007
--------------------------------------
MASALAH SEJARAH HARUS JADI - AGENDA TETAP BANGSA (1)
KLARIFIKASI SEJARAH BONNIE TRIYANA
Semakin hari semakin dirasakan perlunya, mendesaknya, masalah sejarah bangsa kita dijadikan AGENDA TETAP BANGSA! Suatu Agenda Tetap Bangsa yang harus dicengkam dan ditangani dengan seksama, sungguh-sungguh dan jujur, oleh para pakar sejarah dan seluruh masyarakat. Kita tahu bahwa sejarah suatu bangsa itu menyangkut masalah identitas dan karakter bangsa itu sendiri.
Mengapa dikatakan bahwa masalah sejarah harus menjadi agenda tetap bangsa? Ikutilah argumentasi sbb ini: Tidaklah sesuai dengan karakter bangsa kita, bila lebih sejuta warganegara sendiri yang tidak bersalah, pada tahun-tahun 1965-66-67 telah dibantai penguasa secara ekstra-judisial. Lalu para korban tsb dan keluarganya hingga saat ini masih terus didiskriminasi, dimarginalisi dan masih tetap dianggap oleh penguasa sebagai 'orang bermasalah'. Coreng yang merusak nama bangsa ini, begitu saja dimasukkan dalam peti és. Dilupakan begitu saja. Seakan-akan bangsa ini sudah 'hilang memori', hilang ingatan samasekali. Bertanya kita, bolehkan dibiarkan terus penguasa secara sewenang-wenang menulis kebohongan sekitar masalah tsb?
Itulah nyatanya sikap penguasa, lembaga pengadilannya, kaum elite politiknya dan cendekiawannya terhadap masalah Pembantaian Masal Sekitar Peristiwa 1965.
Suatu kenyatan pahit ialah, bahwa, walaupun sudah 9 tahun gerakan Reformasi dan Demokratisasi menjatuhkan Presiden Suharto; hampir sepuluh tahun Orba formal lenyap dari dunia politik, dan sementara hak-hak demokrasi telah diberlakukan di negeri kita, ----- namun kekuatan Orba yang masih ada di mana-mana, masih punya pengaruh dan kuasa.
Maka akibatnya bisa dilihat dan dirasakan. Antara lain, fakta-fakta sejarah yang direkayasa, diplintir dan dipalsukan oleh Orba. Dan itu akan tetap jadi soal. Bahkan mengenai kurikulum 2004 yang menjadi keputusan pemerintah Megawati, dimentahkan kembali, dibatalkan. Dengan keputusan Kejaksaan Agung, kembalilah dunia pendidikan ke kurikulum versi Orba. 'Kebenaran' sejarah versi Orbalah yang berlaku.
* * *
Sahabatku Bonnie Tryana, adalah salah seorang sejarawan generasi baru yang berlawan terhadap 'brainwshing' Orba. Khususnya yang menyangkut Peristiwa Pembantaian Masal 1965. Bonnie dewasa ini giat meneliti dan menstudi bahan-bahan sejarah, dalam rangka KLARIFIKASI SEJARAH. Bonnie tidak menggunakan istilah 'Penulisan Kembali Sejarah' seperti yang digunakan oleh sejarawan Orba, Taufik Abdullah. Taufik Abdullah beranggapan bahwa, tidak ada fakta-fakta sejarah (Orba) yang perlu diluruskan.
Bonnie juga tidak menggunakan istilah yang dipakai oleh Aswi Adam, yaitu Pelurusan Sejarah. Taufik Abdullah, sebagai intelektual Orba tulen --- tidak setuju dengan istilah Aswi Adam. Karena, istilah Aswi Adam jelas mengungkap bahwa fakta-fakta sejarah resmi Orba, a d a yang perlu diluruskan.
Sesungguhnya pendirian Taufik Abdullah tsb, asing bagi seorang pakar sejarah. Taufik Abdullah tak mau 'membuka matanya' terhadap fakta-fakta keras tentang Peristiwa 1965, yang begitu banyak dewasa ini. Baik yang bersumber di dalam negeri, maupun dari luar negeri. Sikap Taufik Abdullah tsb., tidak lain adalah sikap 'burung unta yang menyembunyikan kepalanya ke dalam pasir' terhadap 'fakta-fakta' versi Orba, yang sarat dengan pemalsuan..
Lihat contoh berikut ini: Mengenai janazah 6 jendral dan seorang perwira yang jadi korban pembunuhan dalam peristiwa G30S, 1965 --- Siapa yang tidak tahu, Taufik Abdullah pun pasti tahu, bahwa menurut 'fakta-fakta' Orba, jenazah-jenazah itu matanya dicungkil dan kemaluannya dipotong, oleh para pembunuhya. Menurut fakta-fakta Orba pelaku kebiadaban tsb adalah wanita-wanita Gerwani di Lubang Buaya. Namun, team forinsic yang dibentuk yang berwewenang ketika itu, menyimpulkan, bahwa jenazah-jenazah para jendral itu utuh, tak ada yang dirusak. Hasil pemeriksasn team forinsic tsbi diperkuat oleh hasil studi dan penelitian pakar asing Dr. Saskia Wirengga. Wirengga mengungkap bahwa apa yang dikatakan 'kebiadaban' wanita-wanita Gerwani, adalah rekayasa belaka, dalam rangka Suharto mempersiapkan pendapat umum untuk melakukan pengejaran dan pembantaian masal terhadap PKI atau yang diduga PKI.
Contoh lainnya bagaimana Orba merekayasa 'fakta' sejarah: 'Supersemar', yang adalah Surat Perintah Presiden Sukarno kepada Jendral Suhato, disulap menjadi 'pelimpahan kekuasaan', atau 'transfer of authority'. Pemberi perintah itu sendiri, Presiden Sukarno berkali-kali menegaskan dalam pidatonya sesudah Supersemar, bahwa Supersemar itu bukan 'transfer of authority' kepada Jendral Suharto. Tetapi penjelasan pemberi Supersemar itu, dianggap angin lalu saja oleh Orba. Tokh sejarawan Orba, Taufik Abdullah, menganggap itu bukan pemutar-balikkan fakta-fakta sejarah.
Dengan persetujuannya, dibawah ini disiarkan kembali makalah sejarawan muda kita Bonnie Triyana, mengenai masalah di sekitar G30S 1965. Soal ini menjadi hangat kembali, teristimewa disebabkan oleh 'kebijakan bodoh' Kejaksaan Agung, yang melarang sementara buku sejarah Indonesia yang tidak menyebut 'PKI' di belakang nama G30S.
Inilah makalah Bonnie Triyana itu:
* * *
Meluruskan Sejarah, Berdamai Dengan Masa Lalu*[1]* Oleh Bonnie Triyana[2]
Entah untuk ke-berapa-kalinya saya diundang untuk bicara tentang sejarah G.30.S 1965. Bak sayur lodeh, perihal yang satu ini semakin lama semakin terasa gurih saja untuk diperbincangkan. Bahkan saya tak pernah merasa bosan untuk mendiskusikannya di berbagai forum. Cilakanya, ternyata kita baru sampai pada tahap membicangkannya saja. Aksi kongkrit untuk meluruskan sejarah dan penyelesaian kasus HAM masa lalu, wabilkhusus peristiwa 1965, selalu saja terhambat – dan bahkan dihambat.
Tepat 40 tahun yang lalu, pada suatu malam di penghujung bulan September 1965, sebuah gerakan “putsch” yang terdiri dari beberapa pasukan Tjakrabirawa menculik dan kemudian membunuh 6 perwira tinggi dan 1 perwira pertama Angkatan Darat. PKI dituduh sebagai aktor utama di balik kejadian itu. Selanjutnya peristiwa tersebut diikuti dengan pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI di berbagai penjuru Republik ini. Pada kurun tahun 1965-1966[3] ,Angkatan Darat dengan dibantu berbagai milisi pemuda afiliasi organisasi keagamaan, mengejar, menangkap bahkan membunuh setiap orang yang diindikasikan sebagai komunis.
Setengah juta pengikut komunis dibantai. Mayatnya dibiarkan membusuk di sungai-sungai, dikubur secara masal atau dibiarkan tergeletak begitu saja di tepi jalan. Mereka yang ditangkap hidup-hidup, ditahan di berbagai penjara. 10 ribu orang di antaranya, diasingkan ke Pulau Buru tanpa proses peradilan. Seluruh rangkaian peristiwa pembunuhan massal itu menjadi cerita “behind the scene” yang tetap jadi misteri. Sejarah G.30.S 1965 versi Orde Baru lebih banyak mencatat tentang pembunuhan di malam 1 Oktober 1965 dan keberhasilan Soeharto dalam “menyelamatkan” Pancasila dari rongrongan komunis. Ini pula yang dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan Orde Baru: bahwa Soeharto layak menggantikan Soekarno oleh karena prestasinya menumpas komunis yang berkhianat.
Kini, setelah kekuasaan Soeharto berakhir, puluhan bahkan ratusan korban/ keluarga korban peristiwa G.30.S 1965 memberikan kesaksian tentang apa yang mereka alami selama ini. Sejarah G.30.S versi Orde Baru digugat dan dipertanyakan kesahihannya.
* *
Tak hanya monopoli penulisan sejarah yang digugat, ratusan eks tapol yang diwakili oleh LBH Jakarta juga menggugat lima presiden Republik untuk bertanggungjawab atas nasib mereka yang selama ini terlunta-lunta. Penyelesaian kasus HAM masa lalu seolah terhenti pada sebuah persimpangan jalan: mengampuni atau mengadili?
* *
Pembentukan KKR yang kini sedang dalam tahap seleksi akhir anggotanya, di satu sisi memberikan harapan cerah bagi korban kejahatan HAM masa lalu. Namun di sisi lain menimbulkan syak wasangka yang mengkhawatirkan: kemungkinan lolosnya pelaku kejahatan HAM berat dari jeratan hukum atas nama rekonsiliasi.
* *
Sejarah Orde Baru dan Amnesia Kolektif*
Joseph Goebels, arsitek propaganda NAZI mengatakan bahwa kebohongan akan menjadi “kebenaran” jika dipropagandakan secara terus menerus. Begitu pula halnya dengan sejarah versi Orde Baru, terkhusus sejarah G.30.S 1965 yang kini telah menjadi “kebenaran” karena dipropagandakan oleh Orde Baru secara terus menerus selama 32 tahun. Baskara T. Wardaya dalam tulisannya di /Kompas/ beberapa waktu lalu mengatakan bahwa seringkali ingatan masa lalu semasa Orde Baru bersifat parsial dan selektif. Dan sering pula ingatan itu didasarkan “penjelasan resmi” pejabat negara atau keterangan pihak pemenang dalam suatu konflik.
Serangkaian upaya peng-amnesia-an kolektif dilakukan dalam bentuk penyeragaman versi sejarah. Peristiwa bersejarah yang seharusnya diperingati malah diganti dengan peringatan momen sejarah yang urgensinya tak memiliki koherensi dengan peristiwa sejarah itu sendiri, semisal peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dinafikan begitu saja. Sebagai gantinya, Orde Baru memeringati 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Berbagai pengingkaran fakta sejarah lain juga dilakukan Orde Baru, misalnya dalam pernyataan bahwa penemu Pancasila bukan Soekarno melainkan Mohammad Yamin atau pencetus “Serangan Oemoem 1 Maret 1949” adalah Soeharto, bukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment