-------------------------
Kemis, 30 Maret 2006
MUSLIMIN L.FARRAKHAN, CUBA dan KITA
Akhir pekan ini, rencanaku akan merampungkan tulisan tentang Ultah ke-30
"The Dirty War" di Argentina. Peristiwa itu di seluruh Argentina di
diperingati secara khidmat dan besar-besaran pada tanggal 25 Maret
yang lalu. Kiranya pembaca tahu apa yang dimaksud dengan "The Dirty War"
di Argentina. Saat itu, tiga puluh tahun yang lalu, Jendral Jorge
Videla merebut kekuasan dan mendirikan suatu junta militer - Orba-nya-
Argentina. Dalam periode "The Dirty War" itu menurut pemberitaan dari
Argentina kira-kira 30.000 orang, terdiri dari para pemimpin dan
anggota-anggota serikat buruh, organisasi mahasiswa, dan aktivis politik
lainnya yang prodem yang menentang junta militer telah ditangkap,
ditahan, disiksa dan . . . . . dihabisi. Mengenai watak rezim junta
militer Videla di Argentina itu ada kesamaan besar dengan rezim
Orba--nya Jendral Suharto. Kedua-duanya adalah rezim diktatur militer.
Kedua-duanya melakukan pelanggaran HAM besar-besaran. Kedua-duanya
akhirya terguling oleh gerakan pro demokrasi. Namun, antara Argentina
dan Indonesia sekarang ada bedanya. Dan perbedaan itu cukup besar.
Kesitulah aku bermaksud menulis. Sebenarnya sudah hampir rampung tulisan
itu. Tinggal sedikit lagi selesai. Kufikir akan kusiarkan akhir pekan
ini. Tap akhirnya kutunda dulu.
Hari ini topik lain yang kutulis. Itu berkenaan dengan Amerika, Cuba dan
ada hubungannya juga dengan keadaan kita. Bukan Amerikanya George W.
Bush. Tetapi Amerika-nya salah seorang tokoh Islam berkulit Hitam, lebih
populer dikenal dengan nama Louis Farrakhan. Dimana letak menariknya
tokoh Islam Amerika Hitam Louis Farrakhan ini?
Yang membikin menarik ialah kesan, fikiran, kesimpulan tokoh agama
(Islam) Afro-American, mengenai suatu negeri sosialis. Kesan atau
kesimpulannya itu sehubungan dengan kunjungannya belum lama ke Cuba. Ia
tergolong tokoh pimpinan Islam di Amerika. Mengapa aku anggap menarik.
Karena ini adalah kesan dan tanggapan seorang tokoh Islam mengenai apa
yang terjadi di Cuba dewasa ini. Orang tahu bahwa Cuba, adalah sebuah
negeri Sosialis, dipimpin oleh partai Komunis. Nah, apa tidak menarik
topik ini? Bisa orang bilang bagaimana ini, seorang tokoh Islam simpati
dengan negeri sosialis yang di bawah Partai Komunis. Bukankah, biasanya,
apa saja yang komunis, atau berbau Komunis, komentar pers Barat --
asosiasinya biasa: "Itu a-theis, itu "anti-agama", bahkan "Awas itu
anti-Tuhan".
Nah, bagaimana mungkin, -- kok ada komentar yang positif mengenai negeri
yang dipimpin oleh orang-orang Komunis? Notabene yang mengomentari
secara positif itu adalah seorang tokoh Islam Afro-America.
Aku anggap topik ini menarik dan patut diperhatikan, mungkin ada gunanya
bagi pembaca, sebagai pembuka fikiran. Karena, bukankah di negeri kita
ini
keadaannya: Di sementara kalangan, terutama di kalangan yang berkuasa,
begitu dengar kata k o m u n i s , maka dalam fikirannnya dan biasanya
juga diutarakan: Awas bahaya laten komunis! Di Indonesia orang masih
belum lupa, pernyataan Panglima Pangdam Jaya belum lama. "Awas, bahaya
bangkitnya kembali PKI!", ujar sang Jendral TNI itu. Tidak salah bila
disimpulkan bahwa, reaksi seperti itu, di negeri kita, penyebabnya yang
utama barangkali karena propaganda Orba yang telah berlangsung lebih
dari 30 tahun mengenai "kebiadaban dan bahaya Komunis". Maka akibatnya,
orang sudah tidak lagi mau capé-capé menggunakan otaknya sendiri. Ikuti
saja kesimpulan Orba. Patuhi saja "his master's voice". Akhirnya
fikirannya sendiri jadi lumpuh. Sudah tidak percaya lagi pada kemampuan
diri sendiri untuk berfikir secara mandiri. Bagi cara berfikir seperti
itu, kesimpulannya sudah harga mati. Komunis? Itu pasti jeleknya! Maka
harus ditentang, harus dilawan. Dibasmi!
Namun, di sementara kalangan muda Islam di Indonesia, yang syukur
alhamdulillah, jumlahnya tidak kecil, masih segar kemampuannya untuk
berfikir sendiri. Antara lain mereka ini terdapat di kalangan kaum muda
Islam yang tergolong Islam Liberal. Kantornya di Utan Kayu, Jakarta,
yang nyaris kena "sweeping" oleh sementara golongan Islam lainnya. Kalau
pembaca berkenan ingin menelusuri lebih lanjut mengenai pemikiran yang
hidup dikalangan muda Islam lainnya, maka hal ini bisa a.l. diteliti
dari buku berjudul "ISLAM KIRI-Jalan Menuju Revolusi Sosial". Ditulis
oleh Eko Prasetyo, sekarang manajer Penerbit Insist Press dan ketua
divisi program Pusham UII.
Tulisanku ini dimaksudkan, insya Allah, untuk menggugah pembaca agar
mempertimbangkan sebuah artikel yang ditulis oleh penulis Cuba, Nidia
Diaz, dari "Granma International" ( Havana, 28 Maret 2006).
Lengkapnya tulisan Diaz dalam bahasa Inggris bisa dibaca dalam situs mereka.
Yang kiranya penting dari kesan Louis Farrakhan seusai mengunjungi Cuba
ialah bahwa: "Amerika Serikat Harus Mengakhiri Blokade" (Terhadap Cuba)
dan "Memperlakukan Adil terhadap LIMA ORANG" < anti-teroris Cuba yang
dipenjarakan oleh pemerintah Amerika>.
Louis Farakkhan mengingatkan hadirin ketika ia mengadakan konferensi
pers di Havana, ---- pada kesedihannya ketika mendengar berita waktu itu
bahwa pemerintah George W.Bush, telah menolak tawaran bantuan pemerintah
Cuba yang tanpa pamrih kepada New Orleans, yang terdiri dari 1.100
dokter untuk mambantu para korban
Farrakhan ke Cuba adalah untuk belajar dari Cuba. Bagaimana rakyat Cuba
dengan kekuatan sendiri, secara mandiri mengatasi bencana taufan yang
boleh dibilang berlangsung berturut-turut selama 47 ini.
Farrakhan dan delegasinya memperoleh pelajaran yang menggugah setelah
menyaksikan sendiri, bagaimana setiap warga Cuba mengetahui apa yang
terjadi, bagaimana setiap orang mengerti harus pergi kemana pada saat
datangnya bencana. Maksudnya, keadaannya tidak kacau balau seperti
keadaan rakyat Amerika di New Orleans, ketika daerah itu dilanda bencana
taufan yang sama, Katrina . Karena kesiap-siagaan rakyatnya itu maka di
Cuba bisa dicegah korban manusia dan bisa dibatasi sesedikit mungkin
kerugian material.
Farrakhan juga terkesan sekali dengan situasi rakyat Cuba, yang,
meskipun hidup dalam keadaan yang kekurangan disebabkan oleh politik
blokade yang ditimpakan oleh pemerintah AS terhadap Cuba, namun,
memiliki "tingkat yang kaya dalam kemanusiawian". Dengan mengunjungi
Cuba, kata Farrakhan, ia dapat belajar tentang ide orisinil Revolusi
Cuba, yang adalah lebih haumanistik terbanding semua agama-agama yang
diketahuinya. Semua agama, kata Farrakhan bisa belajar dari pengalaman
Cuba, di situ pemerintah menjamin kesehatan dan pendidikan setiap
warganegara yang bebas dari bayaran. Sedangkan di Amerika, setiap
mahasiwa kedokteran pada waktu akhir studinya mengemban utang tidak
kurang dari 150.000 US dolar.
Sehubungan dengan apa yang terjadi di Cuba itu, Farrakhan mengatakan
bahwa Revolusi Cuba menawarkan 500 beasiswa kepada kaum muda Amerika
Serikat untuk studi kedokteran di Cuba bebas dari ongkos. Satu-satunya
tuntutan Cuba ialah bahwa, seusai studi, mereka harus kembali ke
masyarakat mereka masing-masing untuk membantu rakyat.
Dengan segala kekuatan dan kemampuan luar biasa, di negerinya
(Farrakhan) terdapat 30 juta orang yang buta huruf, 40 juta yang tidak
punya asuransi kesehatan dan berjuta-juta lagi hidup pada garis kemiskinan.
Farrakhan menegaskan bahwa ia mewajibkan dirinya untuk menyampaikan yang
benar tentang Cuba kepada rakyat AS, tentang bagaimana rakyat Cuba
mempersiapkan diri terhadap bencana alam, mengenai keajaiban tentang
Operasi Ajaib, tentang pendidikan dan latihan terhadap anak-anak muda
yang tadinya gelandangan dan sekarang menjadi karyawan sosial. Rakyat
AS, kata Farrakhan, akan lebih baik keadaannya bila mereka memperoleh
informasi lebih banyak tentang Cuba.
"Bila kita tidak terlalu bangga dan arogan di AS". kata Farrakhan,
"maka banyak yang dapat dipelajari dari Cuba."
"Kita selalu repot membikin kesulitan bagi negeri-negeri yang tidak
menyukai politik kita, yang tidak suka kepada kepentingan korporasi
transnasional dan para pemilik bank.
"Bagi saya, tidaklah sulit untuk menyadari bahwa pemerintah kita sibuk
sekali dengan soal Cuba, menimbulkan kesulitan bagi Revolusi Cuba,
dengan mengongkosi agen-agennya di sana. Farrakhan mengutuk politik
Washington yang menghisap darah rakyat tanpa membagi-bagi kekayaanyan
sendiri dan kemajuannya -- kepada rakyat yang miskin dan lemah di dunia
ini. Maka, kata Farrakhan, mereka yang hidup dengan (menggunakan)
pedang, akan mati oleh pedang. Dengan demikian seluruh dunia akan
bangkit melawan pemerintah AS. Demikian tokoh Muslim Amerika, Louis
Farrakhan.
Meskipun sudah berumur 71 tahun, Louis Farrakhan masih sibuk, antara
lain dengan menemui serta melakukan pembicaraan dengan banyak pejabat
gereja Nasrani, menunjukkan bahwa perbedan agama tidak menjadi rintangan
untuk bertukar fikiran dan bertukar pengalaman dalam kepercayaan bersama
terhadap Tuhan yang satu. Ia banyak mengadakan ceramah di pelbagai
organisasi masyarakat. Ia juga diundang oleh banyak negeri-negeri
Muslim sebagai seorang pemikir dan guru Islam. Dan Farrakhan banyak
berkunjung ke negeri-negeri Afrika, Caribea dan Asia, sebagai pejuang
kemerdekaan, keadilan dan kesamaan.
Tidakkah ceritera tentang tokoh Islam Amerika, Louis Farrakhan ini,
patut difikirkan dan diperimbangkan? Agar fikiran, khususnya yang
menganggap diri amat mengetahui segala sesuatu yang bersangkutan dengan
agama, mengenal Tuhan, menjadi sedikit rendah hati
terhadap fikiran makhluk-makhluk Tuhan lainnya di dunia ini. ***
No comments:
Post a Comment