*Selasa, 30 Januari 2007*
*------------------------*
*IMAGO TNI Bisa Membaik H a n y a Lewat REFORMASI Yang Konsisten*
Dalam esay politik tertanggal 26 Jan 2007, berjudul 'BETULKAH ADA DEWAN REVOLUSI?', dinyatakan bahwa, usaha-usaha TNI untuk menjadikan TNI seperti pada Revolusi Kemerdekaan, yaitu TNI yang tugas utamanya adalah membela dan memperkokoh pertahanan negara, menjadikan TNI salah satu sokoguru dari Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauké, menjauhkan diri dari campur tangan dalam urusan yang bukan bidang wewenangnya, lepas samasekali dari kegiatan aktif politik negeri dsb, ---- Niat TNI itu patut disambut. Lebih dari itu seyogianya didukung sepenuh hati oleh setiap patriot Indonesia.
Perkembangan TNI dalam masa kira-lebih 40 tahun belakangan ini, kongkritnya selama periode Orba, sangat gamblang termanifestasi dalam praktek pelaksanaan konsep 'DWIFUNGSI ABRI'. 'Dwifungsi Abri' menjadikan tentara berkuasa di segala bidang, melalui pelakasanaan doktrin 'komando teritorial', tegaklah kekuasaan militer melalui lembaga Babinsa di akar rumput, sampai ke KODAM. 'Dwifungsi Abri' sekaligus menjadikan TNI diatas hukum, sehingga yang menentukan hukum adalah militer. Militer telah menjadikan dirinya suatu lapisan masyarakat yang punya hak istimewa.
Situasi hukum yang diciptakannya adalah, lenyapnya 'negara-hukum Indonesia', -- berdirinya di Indonesia suatu rezim militer yang teramat otoriter dan opresif. Suatu situasi yang dengan terpusat dan menyolok terfokus dalam 'kultur hukum' dan politik ' I M P U N I T Y '. Suatu rezim supuresif yang kebal hukum, dengan leluasa melakukan pelanggaran HAM yang paling besar di negeri kita yang terjadi dalam Peristiwa Pembantaian Masal 1965-1966. Suatu rezim militer yang melakukan pelanggaran tindak korupsi dan KKN paling dahsyat sepanjang sejarah Republik Indonesia.
* * *
Kadang-kadang, bila dibicarakan dan diktitik konsep 'Dwifungsi Abri' yang telah mencemarkan nama baik TNI dan membawa malapetaka pada bangsa dan tanah air, yang membikin banyak perwira-perwiranya menjadi koruptor-koruptor kakap yang hidup dalam suasana mewah, -- Ada sementara pendapat yang merasa kritik terhadap konsep 'Dwifungsi Abri' sudah 'kebanyakan' dan bahkan 'sudah tak relevan' lagi. Karena, begitu logikanya, diajukan argumentasi berikut ini: Bukankah konsep 'Dwifungsi Abri' itu sudah jadi 'almarhum'?. Marilah kita sekarang ini menatap ke depan. Bukankah TNI sudah berulangkali menyatakan akan mengadakan Reformasi di kalangan sendiri. Bukankah sekarang ini TNI, 'tidak lagi mencampuri politik'?.
Keadaan negeri kita dengan sejarah berkuasanya rezim milier Orba, sedikit banyak ada persamaannya dengan sementara negeri Amerika Latin. Maka ada baiknya menoleh sejenak ke Amerika Latin.
* * *
Di Amerika Latin
'JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKANNYA!'.
'JANGAN SEKALI-KALI MEMAAFKANNYA!'.
Sepenuhnya bisa difahami perasaan yang muncul dalam slogan seperti itu, karena sampai sekarang masih ada para algojo pelaku pelanggaran HAM fihak militer di Amerika Latin, yang masih b e b a s . Tidakkah ada persamaannya dengan Indonesia?
* * *
KONSEP 'DWIFUNGSI ABRI' YANG MASIH HIDUP DI KEMLU INDONESIA
Di Indonesia, oleh negara, konsep 'Dwifungsi Abri' itu sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. namun, -- tiba-tiba orang tersentak, dikejutkan oleh fikiran di kalangan sementara pejabat tinggi RI, yang masih dengan getolnya menjajakan konsep 'Dewifungsi Abri' itu bahkan di luarnegeri. Ini bukan berita burung. Tercetak hitam di atas putih. Kongkrit, bukan berita bohong, bukan isapan jempol. Adalah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, yang ternyata masih ngeloni konsep 'Dwifungsi Abri'. Lebih-lebih lagi tidak bisa dimengerti, bahwa konsep 'Dwifungsi Abri' yang sudah almarhum (formalnya), itu ditawar-tawarkan oleh wakil Indonesia di Dewan Keamanan PBB kepada Myanmar (Birma).
Seakan-akan Kemlu Indonesia memberi nasihat kepada para jendral Myanmar, yang sudah puluhan tahun secara inkonstitusional mengangkangi kekuasaan negara dan bertahun-tahun lamanya mengenakan tahanan rumah terhadap pejuang Demokrasi Myanmar. Notabene, pejuang demokrasi Birma ini, Aung San Suu Kyi, adalah tokoh pemimpin parpol Birma yang telah memenangkan pemilu. Apa nasihat Menlu 'kita' itu? Ini dia: Wahai para jendral Myanmar Yth.: 'Cobalah trapkan formula 'Dwifungsi militer' di negeri Anda, sehingga dengan demikian bisa menyelubungi watak rezim militer kalian, seperti apa yang dengan sukses kami lakukan di Indonesia selama lebih dari 30 tahun'.
Masya Allah! Luar biasa! Sungguh keterlaluan dan konyol.
* * *
Patutlah kita angkat topi dan serukan 'bravo' kepada anggota-anggota DPR dari PKB, M. Hikam' dan Jefffrey M Massie dari Partai Damai Sejahtera, yang 'menjewer' Menlu Wirayuda dengan kebijaksanaan Birmanya yang aneh dan 'konyol' itu. Seperti diberitakan (Kompas 27/1) bahwa, sikap abstain Indonesia dalam resolusi Myanmar (di DK-PBB) mendapat kritik keras dari Dewan Perwakilan Rakyat. Usulan Indonesia agar Myanmar mengadopsi sistem dwifungsi militer yang pernah berlaku di Indonesia juga dipandang aneh dan konyol karena bertentangan dengan semangat reformasi.
Anggota Komisi I Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa AS Hikam mengatakan, dengan posisi abstain, penampilan perdana Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB kurang bagus. "Indonesia perlu menunjukkan kalau negara ini memiliki komitmen tentang hak asasi dan demokrasi," katanya.
Hikam: Tawaran Indonesia untuk memberlakukan dwifungsi militer juga membingungkan. Dengan menawarkan model dwifungsi militer, seolah-olah Indonesia menganggap dwifungsi merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses transisi ke demokrasi. Padahal, reformasi lahir untuk menghentikan dwifungsi karena dianggap bagian dari otoritarianisme.
"Menurut saya ini aneh sekali. Kita justru menawarkan sesuatu yang pernah membuat bangsa kita menderita. Ini konyol karena bukan saja bertentangan dengan teori transisi demokrasi, tetapi juga semangat reformasi," ujar Hikam. Myanmar, justru telah menerapkan dwifungsi militer dan bangga dengan model itu.
Sedangkan Jeffrey J Massie dari Fraksi Partai Damai Sejahtera juga menyayangkan sikap abstain Indonesia yang tidak mencerminkan perjuangan legislatif di forum internasional. "Barangkali karena Indonesia masih memiliki 'utang' penyelesaian persoalan HAM di dalam negeri, pemerintah enggan untuk bersikap tegas dan jelas," katanya.
* * *
Makényé .. !, kata orang Jakarté, kritik-kritik dan analisis yang tajam dan wajar terhadap konsep 'Dwifungsi Abri' samasekali tidak kebanyakan, karena nyatanya kritik-kritik itu masih amat, amat, diperlukan, meskipun TNI sekarang ini sudah hendak 'cancut tali wondo' memberlakukan Reformasi di kalangan sendiri.
* * *
Barangkali ada baiknya kita telusuri sedikit apa yang dimaksud, apa yang terkandung dalam kata IMPUNITY. -- DERECHOS HUMAN RIGHTS -- menjelaskan sbb:
'Barangkali tak ada satu 'kata' yang begitu baiknya menyimpulkan pengalaman-pengalaman Amerika Latin seperti dalam kata ' I M P U N I T Y ' . Kata itu berarti ketiadaan hukuman bagi
Mengampuni dan melupakan tanpa mengingatnya kembali -- atau, sesungguhnya ingat betul, tetapi tak peduli – bahwa apa yang dilupakan itu akan terulang lagi. Dengan demikian apa yang sudah dilakukan tanpa risiko akan kena hukuman, bisa diulangi lagi tanpa usah takut apa-apa.
Berapa yang sudah terbunuh? Berapa banyak yang diamankan dari rumah-rumah mereka, direnggut dari anak-anak mereka, untuk kemudian menemukannya telah menjadi mayat bergelimpangan, di bawah kereta-pedati, di muka regu tembak, atau (dilemparkan) dari pesawat udara? Berlusin-lusin, ratusan, barangkali ribuan, bila jumlah itu disatukan dengan korban yang terjadi di semua negeri Amerika Latin jadi satu. Dan yang bersalah, begitu saja bebas, menikmati kehidupan sehari-hari seperti biasa, dan seringkali para pelaku itu tetap berada di posisi jabatan mereka yang lama, dimana mereka dapat melakukan (kejahatan) itu lagi.
Berapa lagi yang telah terbunuh dewasa ini di tangan mereka?
* * *
Mengapa diperlukan untuk mengkhayati, berkali-kali lagi mengkhayatinya, mengenai gawatnya situasi ketiadaan hukum, bebas hukum, situasi 'impunity' yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya dinegeri kita. Apakah benar tidak diketahui bahwa, sampai sekarang ini, situasi 'impunity' uang berlangsung selama rezim Orba, yang menyebabkan kurang lebih 20 juta keluarga didiskriminasi, dimarjinalisasi dijadikan warganegara kelas dua, dicap semena-mena menjadi 'orang bermasalah' , 'terlibat', 'berindikasi' dsb; itu semua masih berlangsung terus? Bahwa nama baik dan kehormatan mereka telah dicemarkan. Yang sampai detik ini nama baik dan kehormatan para korban Peristiwa 1965 tsb masih belum d i r e h a l i t a s i .
Itu semua adalah akibat dari kekejaman dan kejahatan dari suatu rezim militer. Suatu kekuasaan politik dimana yang menguasai senjata adalah yang menentukan segala-galanya.
Kesalahan-kesalahan lampau yang dilakukan oleh rezim militer (Orba) samasekali belum dikoreksi.
* * *
Saat ini diberitakan tentang kembalinya militer ke barak-barak, dipisahkannya militer dari kegiatan politik praktis, dilaranganya campur tangan militer dalam kebijaksanaan mengurus negeri. Semua itu, dikatakan tercakup dalam doktrin TNI yang baru, yang menggantikan doktrin 'Catur Dharma Eka Karma' dengan 'Tri Dharma Eka Karma'. Dikatakan bahwa itu berarti, menguatkan posisi angkatan bersenjata terlepas dari politik. Tanggapan yang logis seyogianya kiranya adalah demikian ini:
1) Jangan sekali-kali melupakan situasi 'Impunity' dimana
berlangsung 'lawlessnes', ketiadaan hukum, akibat supremasi militer.
*
2) Menyambut dan mendukung niat baik TNI untuk melepaskan tentara
dari politik, agar tentara tidak lagi campur tangan dalam
kehidupan politik sehari-hari.
Mari kita baca berita yang a.l tersiar sehubungan dengan masaalah tsb berjudul:
'RAPIM TNI HASILKAN DOKTRIN BARU
Rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia menetapkan doktrin baru TNI, dari sebelumnya "Catur Dharma Eka Karma" menjadi "Tri Dharma Eka Karma", yang kian menguatkan posisi angkatan bersenjata yang tak berpolitik. Menurut Djoko, perbedaan paling menonjol dalam doktrin terbaru TNI itu adalah doktrin Polri, yang dahulu memang menjadi bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tak lagi dimasukkan. Doktrin TNI itu hanya gabungan doktrin tiga angkatan.
Perubahan lain, keberadaan doktrin tentang fungsi dan tugas pokok ABRI (TNI) sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan kekuatan sosial politik (sospol) juga dihapus serta diganti dengan fungsi pertahanan TNI sebagai kekuatan penangkal, penindak, dan pemulih.
Dalam doktrin baru, TNI hanya menjadi alat pertahanan, yang dalam menjalankan tugasnya didasari kebijakan dan politik negara sesuai amanat UU. Sedangkan tugas pokok TNI hanya untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi bangsa dari ancaman dan gangguan," ujar Djoko.Dengan demikian, ujar dia, TNI tak lagi melibatkan diri dalam aktivitas politik dan lebih menekankan pada pembinaan ke dalam institusi. Ia yakin sekarang tidak ada lagi komandan Kodim atau Korem yang memaksa masyarakat memilih partai politik tertentu seperti dahulu.
Selain itu, Djoko mengakui, saat ini dalam tubuh TNI terdapat dua pendapat berbeda, terkait kemungkinan penggunaan hak pilih prajurit dalam pemilu dan pemilihan presiden tahun 2009. Ia mengatakan, sampai kini institusinya masih mempelajari manfaat maupun mudarat kemungkinan
pilihan itu. (DWA)' Demikian berita Kompas tsb.
* * *
Ditinjau dari isi pemberitaan yang sumbernya adalah Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, bolehlah dikatakan bahwa ini adalah salah satu langkah ke arah realisasi REFORMASI di kalangan TNI. Berarti kemajuan..
Namun, kemajuan itu, hanya bisa dikatakan dengan pasti dan yakin, bila dalam praktek kehidupan yang nyata, memang benarlah TNI dan Polisi tidak lagi mencampuri urusan politik dan kegiatan politik negeri. Bahwa TNI tidak lagi berada diatas hukum.
Selain itu, adalah suatu kebenaran juga, bahwa Reformasi di di kalangan TNI tidak akan punya arti riil yang mendasar, bila pemerintah tidak mengkoreksi kesalahan lampau (fihak TNI pada periode Orba) yang telah menimbulkan pelanggaran HAM terbesar di Indonesia baik dalam Peristiwa Pembantaian Masal 1965-66, Pelanggaran HAM sekitar Referendum Timor Timur, pelanggaran HAM pada waktu aksi-aksi militer di Aceh, dan pelanggaran HAM pada waktu Peristiwa Mei 1998, menjelang jatuhnya Presiden Suharto.
* * *
No comments:
Post a Comment