Kemis, 20 Oktober 2006.
-----------------------
-- PERIHAL NAMA “CINA” Dan
-- “JAILNYA” Mulut Mantan PM S'Pore LEE
Belakangan ini di media internet, -- HKSIS agak reguler mentayangkannya--, muncul lagi tulisan-tulisan sekitar penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa'. Di bumi Nusantara sendiri: Aku kurang jelas bagaimana persisnya media pers dan eletronik Indonesia apakah diskusi sekitar penggunaan nama ”Cina” atau “Tionghoa” masih berlangsung “hangat”.
Mungkin sudah mereda. Karena, ----, bukankah yang berwewenang, yang kuasa di Indonesia, kongkritnya sejak gerakan Reformasi berhasil menggulingkan Presiden Jendral Suharto, pemerintah “sedikit banyak”, telah mengkoreksi kewenang-wenangan Orba yang
* * *
Namun, disana sini masih terungkap praktek-praktek penguasa setempat, atau birokrasinya, yang masih saja diskriminatif terhadap asal etnis Tionghoa. A.l. seperti yang diberitakan oleh s.k. Sinar Harapan (18 Okt 2006). Dalam tulisan tsb diungkap bahwa meskipun sejak pemerintahan Gus Dur, keharusan memiliki SBKRI bagi asal etnis Tionghoa sudah dihapuskan, tetapi dalam praktek masih terus saja berlangsung. Motifnya tak lain karena pejabat yang bersangkutan menggunakan jabatan yang dikuasainya itu untuk melakukan praktek 'pungli'. Populer disebut 'UUD' –ujung-ujungnya duit.
Jangan lupa dicatat bawa praktek 'pungli' itu sangat luas pasarannya. Berlaku dimana-mana. Mulai dari keperluan untuk 'surat ini atau surat itu' dari pejabat; atau bahkan dari pegawai 'tukang ketik' dari salah satu kantor gurem; bisa saja itu kantor notaris, atau dalam proses mendapatkan SIM lewat cara 'menembak'; atau praktek sementara 'oknum' polisi di tikungan sebuah jalan; sampai ke sementara komisi DPR atau bahkan di bagian imigrasi dari salah satu KBRI, seperti yang pernah terjadi di KBRI Tokyo. Yang begini ini korbannya bukan hanya yang etnis Tionghoa. Pokoknya, kalau sudah menyangkut 'amplop berisi', itu dipraktekkan tanpa pandang bulu. Siapa saja 'dilalap' oleh sang pejabat. Barangkali ini yang dikatakan bahwa korupsi sudah 'membudaya'.
Maka ada anggapan apakah masih relevan untuk masih memperdebatkan maslah penggunaan nama 'cina'atau 'Tionghoa'.
* * *
Namun ada kecenderungan untuk mempersoalkan masalah penggunaan nama 'cina' atau 'Tionghoa' itu terrengut dari latar belakang sejarah, mungkin baik juga masalah ini masih dibicarakan secara serius dan baik-baik .
* * *
Tulisan ini dimaksudkan agar dalam meninjau masalah penggunaan nama “Cina” sebagai pengganti nama “Tionghoa” dan “Tiongkok”, yang itu semua asal mulanya adalah ulahnya politik Orba, --- janganlah pendiskusian itu dilakukan sadar atau tidak, sengaja atau bukan, terpisah dari masalah politik. Karena soal tsb nyatanya adalah soal politik. Inti sarinya adalah masalah politik. Bukan soal istilah atau soal bahasa semata-mata. Apalagi samasekali bukan masalah 'trauma' dan lain sebagainya. Pun bukan masalah perasaan.
SOALNYA ADALAH POLITIK. POLITIK rezim Suharto, yang rasialis dan teramat diskrimiantif, ditujukan terhadap orang-orang Indonesia asal keturunan Tionghoa. Ataupun terhadap mereka-mereka yang masih berkewarganegaraan Tiongkok atau yang 'stateles'. Namun, keluarnya amat jelas. Sasaran utama dari politik ini adalah ANTI REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK. Persis sejalan dengan strategi global AS selama 'perang dingin', yang anti Komunis, anti negeri-negeri yang melakukan politik bebas dan aktif membela kemedekaan nasional dan mendukung gerakan perdamaian dunia, seperti yang dilakukan oleh RI pada zaman pemerintahan Presiden Sukarno. AS juga aktif sekali menggalakkan politik 'China containment'.
Rezim Orba dengan erat mengkaitkan politik anti-Tionghoa dan anti-Tingkoknya, dengan tuduhan/fitnahan bahwa Republik Rakyat Tiongkok 'terlibat' dengan G30S. Padahal, bisa dilacak, bisa dicek, bisa diperiksa di dalam dokumen-dokumen negara, bahwa pengiriman senjata oleh RRT ke pemerintah Presiden Sukarno, itu semata-mata sebagai sumbangan Tiongkok kepada Indonesia dalam rangka perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat.
* * *
Penggantian nama Tiongkok dan Tionghoa menjadi “Cina” oleh Orba, a.l. merupakan pertanda, awal berkecamuknya kampanje diskriminasi dan rasis anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok yang dimulai tahun 1965. Hal itu berlangsung berbarengan dengan kampanye pembunuhan masal terhadap rakyat Indonesia yang tidak beralah.
Masa itu, tidak sedikit warga Indonesia asal etnis Tionghoa yang jadi korban. Ya korban politik, ya harta, ya korban nama dan lebih-lebih lagi korban kehormatan. Masalah penggantian nama Tionghoa dan Tiongkok dengan nama “Cina” oleh Orba tidak berdiri sendiri. Ia merupakan suatu paket kebijaksanaan dan tindakan politik lainnya, seperti melarang penggunaan bahasa Tionghoa, keharusan menggantikan nama toko-toko berbahasa Tionghoa dengan nama Indonesia atau asing lainnya; menutup semua sekolah-sekolah Tionghoa; menutup penerbitan berbahasa Tionghoa; membatasi quotum mahasiswa asal etnis Tionghoa masuk universitas Indonesia, dan sampai-sampai kampanye agar asal etnis Tionghoa mengganti namanya dengan nama 'asli'.
Padahal (ini intermezo) -- andaikata nama 'Lim S.L.' digantikan dengan nama 'Tommy S', ya nama 'Tommy' itu kan bukan nama Indonesia 'asli', meskipun tinggalnya di Cendana. Dan siapa bilang nama 'Alatas' itu nama asli. Atau ambillah nama 'Benny M' itu kan nama asing juga.
Politik anti-etnis Tionghoa dan anti-Tiongkok tsb telah menyebabkan ribuan orang-orang Tionghoa yang telah tinggal di Indonesia turun-temurun terpaksa meninggalkan negeri yang dicintainya, Indonesia, untuk berlindung ke negeri leluhur, Republik Rakyat Tiongkok. Hubungan diplomatik Indonesia-RRT menjadi beku. Inilah hasil politik anti-Tiongkok dan anti etnis-Tionghua yang dicetuskan oleh rezim Jendral Suharto. Merusak persahabatan dua negeri dan dua bangsa, Indonesia dan Tiongkok!
Jadi soalnya masalahnya bukanlah semata-mata masalah mengganti nama Tionghoa dengan nama 'Cina'. Ketika, setelah jatuhnya Suharto, pemerintah Indonesia dengan formal mengkoreksi politik salah Orba itu; nama Tionghoa dan Tiongkok dikembalikan seperti semula, maka itu juga adalah suatu tindakan politik 'pure and simple'. Bukan masalah bahasa, istilah ataupun masalah trauma! Inilah yang harus dicengkam dalam mempersoalkan masalah ganti nama tsb. diatas.
* * *
MULUT JAIL MANTAN PM SINGAPORE, LEE KUAN YEW.
Soal yang ada kaitannya dengan 'masalah etnis Tionghoa' adalah masalah yang dinyatakan oleh mantan PM Singapore Lee Kuan Yu belum lama berselang. Kiranya juga ada latar belakang politiknya. Meskipun belum terlalu jelas apa. Sehingga, orang menduga-duga saja. Soalnya begini:
Entah apa pasal atau penyulutnya, tiba-tiba saja, betul seperti sambaran gelédék pada siang hari, Lee Kuan Yew membikin ocehan yang pasti memancing reaksi heran bercampur marah, di Kuala Lumpur dan Jakarta.
Kata Lee, (diterjemahkan-bebas dari 'The Jakarta Post', 04 Oct 06> 'adalah maha penting
Kementerian Luarnegeri Indonesia telah memanggil Dubes Singapore untuk Indonesia, Ashok Kumar Mirpuri, untuk dimintai keterangan dan penjelasan mengenai pernyataan Lee Kuan Yew yang kontroversial itu. Katanya, pemerintah Singapore telah memberikan jawaban bahwa mereka (Singapore) tak ada maksud untuk campur tangan dalam urusan intern Indonesia. Bahwa Singapore berkehendak memperkokoh hubungan yang sekarang ini.
Membaca pernyataan Lee Kuan Yew, yang notabene 'sudah pensiunan itu', dan dianggap oleh Singapore sebagai 'the elderly statesman' jangan disesalkan, bila muncul kesimpulan bahwa mantan PM Singapore itu, kiranya , menyimpan maksud tersembunyi, --- maka ia bicara seperti itu. Bisa juga ada kesimpulan lain, yaitu mantan PM Singapore itu 'sudah pikun'. Dia tidak tahu lagi apa yang diomongkannya. Dia sungguh tidak tahu betapa pekanya masalah hubungan etnis Tionghoa dengan etnis Melayu terutama di Malaysia.
Lee samasekali tidak tahu situasi baru yang berkembang di Indonesia sejak gerakan Reformasi dan Demokratisasi. Pelbagai fihak yang bersangkutan peras otak dan ambil inisiatif untuk 'cancut tali wondo' dalam usaha memperbaiki hubungan-kebangsaan, antara warga Indonesia asal etnis-Tionghoa dengan suku-suku bangsa lainnya. Misalnya, dalam UUD Indonesia yang sudah diamandir, sudah tak dicantumkan lagi kata-kata bahwa yang bisa jadi presiden RI adalah orang Indonesia asli. Pemerintah-pemrintah Indonesia pasca Suharto, juga telah mengambil langkah-langkah untuk mengkoreksi serentetan uu, peraturan dan kebijaksanaan diskriminatif terhadap asal etnis-Tionghoa, yang dibuat Orba. Hal-hal tsb kondusif kearah kehidupan harmonis bangsa Indonesia, yang terdiri dari begitu banyak suku bangsa dan etnis asal asing, seperti Tionghoa, Indo-Belanda, Arab dan India.
* * *
Mereka (orang-orang Tionghoa itu) sukses sekali. Mereka rajin bekerja dan, oleh karena itu, secara sistimatis dimarginalisasikan'. Demikian Lee Kuan Yew.
Minggu lalu Kementerian Luarnegeri Indonesia telah memanggil Dubes Singapore untuk Indonesia, Ashok Kumar Mirpuri, untuk dimintai keterangan dan penjelasan mengenai pernyataan Lee Kuan Yew yang kontroversial itu. Katanya pemerintah Singapore telah memberikan jawaban bahwa mereka (Singapore) tak ada maksud untuk campur tangan dalam urusan intern Indonesia. Bahwa Singapore brekhendak memperkokoh hubungan yang sekarang ini.
Membaca pernyataan Lee Kuan Yew, yang notabene 'sudah pensiunan itu', jangan disesalkan, bila muncul kesimpulan bahwa mantan PM Singapore itu, kiranya , menyimpan maksud-jahat yang tersembunyi, --- maka ia bicara seperti itu. Bisa juga ada kesimpulan lain, yaitu mantan PM Singapore itu 'sudah pikun'. Dia tidak tahu lagi apa yang diomongkannya. Dia sungguh tidak tahu betapa pekanya masalah hubungan etnis Tionghoa dengan etnis Melayu terutama di Malaysia. Apalagi mengenai situasi baru yang berkembang di Indonesia sejak gerakan Reformasi dan Demokratisasi. Pelbagai fihak yang bersangkutan peras otak dan ambil inisiatif untuk 'cancut tali wondo' dalam usaha memperbaiki hubungan-kebangsaan, antara warga Indonesia asal etnis-Tionghoa dengan suku-suku bangsa lainnya. Misalnya, dalam UUD Indonesia yang sudah diamndir, sudah tak dicantumkan lagi kata-kata bahwa yang bisa jadi presiden RI adalah orang Indonesia asli. Pemerintah-pemrintah Indonesia pasca Suharto, juga telah mengambil langkah-langkah untuk mengkoreksi serentetan uu, peraturan dan kebijaksanaan diskriminatif terhadap asal etnis-Tionghoa, yang dibuat Orba. Hal-hal tsb kondusif kearah kehidupan harmonis bangsa Indonesia, yang terdiri dari begitu banyak suku bangsa dan etnis asal asing, seperti Tionghoa, Indo-Belanda, Arab dan India.
* * *
No comments:
Post a Comment