Monday, April 2, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - SILATURAKHMI DI KBRI-DEN HAAG

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 01 Desember 2006
------------------------
SILATURAKHMI DI KBRI-DEN HAAG


Rabu malam, tanggal 29 November y.l, KBRI-Den Haag ramai dikunjungi sebagian masyarakat Indonesia di Belanda. Aku taksir paling tidak ada dua-ratusan. Mereka datang menyambut dan bersilaturakhmi dengan Dubes Baru, Junus Effendi Habibie. Betul, bukan saja namanya yang sama dengan mantan Presiden Habibie. Beliau itu adalah adik kandung mantan Presiden Habibie.Ini dinyatakannya sendiri malam itu. Melihat penuh sesaknya KBRI, Dubes Fanny Habibie tampak gembira dan bangga, mendapat sambutan demikian hangatnya. Semua datang atas undangan KBRI untuk acara BERSILATURAKHMI dengan Dubes RI yang baru, Junus Fanny Habibie.

* * *

Kami bertiga, putri kami Pratiwi dan 'vriend'-nya, serta istriku Murti, hadir di situ. Habibie mengucapkan sambutannya dalam tiga bahasa silih berganti, Indonesia – Belanda dan Inggris, agar hadirin yang datang bisa mengerti. Maklum yang datang ada yang hanya mengerti bahasa Indonesia, ada yang hanya mengerti bahasa Belanda dan ada yang mengerti baik bahasa Belanda maupun bahasa Inggris.

Tak lama setelah menikmati santapan hidangan KBRI, yang kwantitasnya jauh di bawah jumlah hadirin itu, kami siap-siap pulang.Tidak sampai mengikuti acara ramah tamah. Setelah kesibukan acara makan akan diteruskan dengan acara gembira ria dengan musik hidup yang sudah siap.

Bersama-sama istri, aku menghampiri Dubes Habibie ketika beliau kebetulan siap-sia hendak makan. Untuk Dubes, Bu Duta dan sejumlah tertentu hadirin disiapkan tersendiri di salah satu sisi ruangan yang diberi semacam sekat. Aku perlukan bersalaman memperkenalkan diri dengan beliau dan Bu Duta. Ketika kami berdjabat tangan, aku bilang: Saya Ibrahim Isa, datang kesini atas undangan KBRI. Terima kasih atas undangan; kapan-kapan saya ingin bertemu sendiri dengan Pak Dubes. Dalam pidatonya, Dubes ada mengatakan dalam bahasa Inggris, “Do not hasitate to contact me!', 'Jangan ragu-ragu menghubungi saya'. Aku ingat ucapan beliau itu. Mendengar bahwa saya bermaksud berbincang-bincang dengannya, beliau senyum saja. Barangkali beliau tidak menduga akan ada tanggapan kontan atas tawarannya 'Do not hasitate to contact me'.

Aku rasa berhubungan dengan Pak Dubes perlu dan penting, betapapun beliau mewakili sebuah pemerintah pasca-Suharto yang, seperti dinyatakan, punya program Reformasi, Demokratisasi, HAM dan pemberantasan korupsi. Sesudah Suharto jatuh, aku menjalin hubungan dengan KBRI, khususnya dengan Dubes Abdul Irsan dan sempat berkenalan baik dengannya. Pada periode rezim Orba aku tak pernah ke KBRI. Tak bisa lain! Karena rezim Orba sesungguhnya tidak mewakili kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia. Tegaknya Orba adalah atas dasar kekerasan militer, penggulingan Presiden Sukarno dan rekayasa di bidang hukum dan undang-undang. Bagiku rezim Orba samasekali tak punya legitimitas dan keabsahan. Dalam perkembangan selanjutnya rezim otoriter dan korup Jendral Suharto telah digulung oleh arus dan gelombang besar gerakan Reformasi dan Demokratisasi, pada bulan Mei 1998.

DUBES MOH. JUSUF YANG DIGANTIKAN FANNY HABIBIE.
Dutabesar yang digantikan oleh Junus Fanny Habibie, adalah Mohamad Jusuf. Aku kenal baik dengan beliau. Sering berktukar fikiran dengan Dubes Moh. Jusuf. Orangnya ramah, terbuka, menyenangkan.

Namun, bagiku, yang terpenting ialah: --- Beliau menunjukkan kepedulian sungguh-sungguh terhadap keadaan orang-orang Indonesia yang paspornya dicabut sewenang-wenang oleh rezim Orba. Beliau ada perhatian terhadap orang-orang yang HAM-nya dilanggar oleh Orba.

Pada masa akhir tugas Dubes Moh. Jusuf di Belanda, menjelang keberangkatan beliau kembali ke Indonesia, atas undangan beliau, 'kami' sempat berdialog dalam suatu pertemuan bersama di Wisma Nusantara, Wassenaar. Yang aku maksudkan 'kami', ialah 'kami-kami', 'orang-orang yang terhalang pulang'. 'Terhalang pulang' disebabkan oleh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orba, yang dengan sewenang-wenang telah mencabut parpor orang-orang Indonesia yang ketika itu sedang berada di luarnegeri. Mengapa mereka dicabut paspornya? Macam-macam penyebabnya.

Tetapi penyebab utama dan hakiki, ialah karena 'kami-kami' ini tetap setia pada Presiden Republik Indonesia Ir Sukarno; dengan tegas menolak mengutuk Presiden Sukarno, yang ketika itu dituduh kaum militer yang sudah berkuasa di Jakarta dibawah Jendral Suharto, -- terlibat dengan peristiwa G30S, bahkan difitnah sebagai 'dalang G30S', dsb.

Dubes Moh. Jusuf, yang menyelenggarakan 'acara perpisahan' pagi itu, minta kepada 'kami-kami' ini, untuk tanpa sungkan-sungkan menyampaikan isi hati kami, terhadap masalah yang bersangkutan dengan pencabutan paspor tsb. Pada penutupan pertemuan itu beliau berjanji akan menyampaikan dan melakukan apa yang dapat beliau lakukan, demi solusi terhadap 'masalah kami' itu. Ya, menurut istilah ORBA, 'kami-kami ini' adalah 'orang-orang yang bermasalah' . Padahal 'kami-kami ini' adalah sebagian kecil saja dari warganegara Republik Indonesia, yang berjumlah kurang lebih 20 juta orang korban Peristiwa Pelanggaran HAM terbesar 1965. 'Kami-kami' ini adalah warganegara yang tak bersalah dan cinta tanah air, serta setia kepada Republik Indonesia. Sudah puluhan tahun lamnya hak-hak sipil dan hak-hak politiknya dicabut, didiskriminasi, distigmatisasi dan dimarginalisasi oleh rezim Orba.

* * *

Yang juga amat berkesan padaku mengenai Dubes Mohamad Jusuf, ialah ini: Menjelang usai tugas beliau sebagai Dubes RI di Belanda, Moh Jusuf telah memberikan persetujuannya kepada Wertheim Foundation, yang mengajukan permohonan kepada Dubes agar penyampaian 'Wertheim Award' kepada pejuang kemerdekaan pers dan demokrasi Indonesia, yaitu Goenawan Muhammad dan Jusuf Isak, diadakankan di wilayah Republik Indonesia, yaitu di Wisma Nusantara, KBRI Den Haag, Tobias Asserlaan No 8.

* * *

DUBES ABDUL IRSAN
Dubes Mohamad Jusuf mengggantikan Dubes Abdul Irsan. Dengan beliaulah aku pertama kali berhubungan lagi dengan Dubes RI di luarnegeri. Pertama kali kukatakan, karena selama lima tahun bertugas di Cairo, Mesir, mewakili Indonesia dalam Sekretariat Tetap AAPSO – Asian-African People's Solidarity Organization , aku bekerjasama dan berkordinasi erat dengan Kedubesan INDONESIA di pelbagai negeri Asia-Afrika.

Dubes Abdul Irsan memang istimewa. Karena, beliau khusus mendatangi 'kami-kami' ini. Beliau mengambil inisiatif lebih dahulu. Tidak menunggu-nunggu. Mungkin ini pengaruh politik Reformasi dan Demokratisasi yang bergelora di tanah air. Ada dampaknya juga ke KBRI-KBRI.
Aku ingat ketika aku pertama kali datang ke KBRI Den Haag, para diplomat yang bertugas ketika itu, dengan ramah mengatakan kepadaku: 'Pak Isa, anggaplah KBRI ini rumah sendiri'. Wah, aku tak bisa menyembunyikan rasa terharuku. Bayangkan, puluhan tahun lamanya 'label' yang ditimpakan padaku adalah 'pengkhianat bangsa', 'agen G30S/PKI di luarengeri'. Ketika itu kami membicarakan masalah rencana kedatangan Mengteri Menkumdang Yusril Ihza Mahendra yang membawa Instruksi Presiden (Wahid) No. 1, Tahun 2000. Suatu intruksi untuk 'mengurus' 'kami-kami' ini, yang dikatakan 'orang-orang yang terhalang pulang'.Ternyata Menteri Yusril hanya memberikan janji-janji saja, tanpa tindakan kongkrit. Itu enam tahun yang lalu.

Kalau kali ini kedatangan Menteri Menkum HAM Hamid Awaluddin ke Den Haag, tidak bertolak dari pemahaman bahwa sumber masalah adalah pelanggaran HAM Orba dengan pencabutan paspor secara sewenang-wenang terhadap warganegara yang tidak melakukan kesalahan apapun; tidak memahmi bahwa perlakuan Orba ketika itu, adalah suatu pelanggaran HAM yang harus diakuinya terus terang, minta maaf, dan melakukan langkah pengkoreksian, maka masalah 'kami-kami' ini akan tetap menggantung. Memang bagi pemerintah SBY yang sekarang ini tidak gampang mau mengurus masalah ini. Karena masalah ini adalah bagian dari sejarah kita, bagian saja dari pelanggaran HAM terbesar Orba pada tahun-tahun 1965-1966 dst.

* * *

Sehubungan dengan kesanku mengenai Dubes Abdul Irsan ialah sikap beliau terhadap Bung Karno, Bapak Nasion Indonesia dan Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia. Yang bagiku tidak terlupakan, ialah kerjasama masyarakat Indonesia dan Belanda dengan KBRI di bawah Dubes Abdul Irsan dalam tiga hal.

Pertama, sekitar peluncuran buku Prof. Dr. Bob Hering, berjudul 'SOEKARNO FOUNDING FATHER OF INDONESIA 1901-1945'. Memang istimewa. Itu terjadi dalam situasi ketika nama baik, hak-hak politik dan sipil mantan Presiden Sukarno samasekali belum direhabilitasi secara formal oleh pemerintah pasca Orba, berarti formalnya Bung Karno masih 'tahanan rumah'. Dalam situasi seperti itulah, KBRI Den Haag menjadi tempat dari peluncuran buku klasik, historis, terpenting dan terjujur mengenai Bung Karno yang ditulis oleh seorang sarjana Belanda. Dan itu terjadi tepat pada hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, 2002. Memang itu permintaan Bob Hering sendiri, agar peluncuran bukunya itu dilakukan pada Hari Sumpah Pemuda, dan di wilayah RI, yaitu di KBRI. Bagusnya hal inipun disepakati dengan tulus oleh KITLV, penerbit buku Bob Hering tsb.

Itu, fikirku, berkat kebijaksanaan Dubes Abdul Irsan. Sampai dimana itu dibenarkan oleh Menlu ketika itu, aku tak tahu. Andikata Menlu ketika itu tak setuju, belum tentu berani menyatakannya, sebab ketika itu Arus Reformasi dan Demokratisasi masih merupakan angin segar, yang tak berani orang melawannnya secara terus-terang.

Kedua, ialah dukungan dan keterlibatan Dubes Abdul Irsan dan KBRI dengan persiapan dan penyelenggaraan peringatan SEABAD BUNG KARNO, yang inisiatifnya diambil oleh kalangan masyarakat Indonesia di Belanda. Dubes Irsan juga memberikan pidato sambutannya atas peringatan Seabad Bung Karno. Itu terjadi tahun 2001 di Belanda. Arti penting dari peringatan Seabad Bung Karno, ialah, mengigatkan kembali kepada masyarakat kepada seluruh bangsa, terutama generasi muda, betapa penting belajar dari keteladanan Bung Karno sebagai Bapak Bangsa, Penggali Pancasila, falsafah dasar negara Republik Indonesia. Dalam peringatan itu ditekankan betapa pentingnya untuk dengan sungguh-sungguh mempelajari ajaran Bung Karno dan mentrapkannya dalam situasi kongkrit sekarang ini, demi persatuan dan kesatuan Indonesia, demi membina haridepan Indonesia yang adil dan makmur.

Dewasa ini kembali kita mendengar penilaiaan positif tentang Bung Karno, peranan beliau sebagai bapak bangsa , sebagai negarawan ulung, seperti yang dikemukakan oleh Presiden SBY dan Ketua Muhammadiah, Din Syamsudin. Syukur Alhamdulilah. Ada kesadaran seperti itu yang disosialisasikan.

* * *

Yang ketiga, yang selalu akan terkenang sehubungan dengan beleid Dubes Irsan, ialah ketika beliau mengajukan kepada 'kami-kami' ini, agar bersedia memberikan semacam kuliah pada sebuah Lyceum (SMA) Belanda, mengenai masalah SEJARAH PERJUANGAN KEMERDEKAAN
INDONESIA.

Bagiku permintaan Dubes Abdul Irsan itu, memang tak terduga samasekali. Beliau begitu yakin pada kami, sehingga minta kami untuk memberikan kuliah/penjelasan kepada murid-murid Belanda mengenai perjuangan nasional kita. Berarti beliau sedikitpun tidak meragukan patriotisme kami dan kepedulian kami atas nasib bangsa dan tanah air. Sungguh tidak ada kesan yang lebih mendalam selain sikap Dubes Irsan yang begitu percaya pada kami-kami ini sehubungan dengan kepedulian dan kejujuran kami berkenaan dengan masalah sejarah perjuangan nasional kita.

Aku fikir, kalau dengan semangat ini KBRI bekerjasama dengan masyarakat Indonesia, khususnya dengan 'kami-kami' ini, maka akan cerahlah suasana di Belanda ini, sehubungan dengan usaha dan kegiatan masing-masing dalam kepedulian dan pengabdian terhadap bangsa dan anah air

* * *
KUASA USAHA DJAUHARI ORATMANGUN
Dalam pidato sambutannya, Dubes Baru Fanny Habibie, memuji kegiatan KBRI selama ini yang dipimpin oleh Kuasa Usaha Djauhari Oratmangun. Aku kira pada tempatnya pujian tsb.

KBRI di bawah pimpinan Kuasa Usaha Djauhari Oratmangun ketika itu, bekerjasama erat sekali dengan masyarakat Indonesia dalam mensukseskan penyerahan Wertheim Award 2005 kepada Goenawan Mohaamd dan Jusuf Isak. Ini adalah kerjasama pertama yang berhasil antara KBRI dan Wertheim Foundation.

KBRI di bawah Kuasa Usaha Jauhari Oratmangun, juga telah dengan baik menerima seorang sarjana Belanda, purnawiran Brigjen Artileri Tentara Kerajaan Belanda, Dr. Ben Bouman, yang hendak berkunjung ke KBRI untuk menyerahkan bukunya berjudul 'De Logistiek Achter de Indonesische Revolutie, 1945-1950'. Dr Bouman sahabat baikku. Aku usahakan betul ketika itu, agar kunjungan Dr Bouman ke KBRI itu bisa berlangsung dengan lancar. Dalam hal ini Kuasa Usaha Djauhari mengambil kebijakan yang memungkinkan kelancaran kunjungan.

Seperti diketahui buku Dr Bouman akan diluncurkan di Jakarta pada bulan ini. Para mantan perwira TNI peduli sejarah, telah memanfaatkan kesempatan ini untuk melangsungkan bedah buku Dr Bouman, yang akan bertempat di Gedung Erasmus, Jakarta.

* * *

Demikianlah adanya. Pada saat kedatangan Dubes RI yang baru untuk Belanda, Junus Effendi Habibie, kita menoleh sedikit ke belakang, mengenai pengalaman kita dengan para Dubes sebelumnya. Harapan terbaik kita tentunya, di bawah Dubes RI yang baru, kerjasama dan saling pengertian antara masyarakat Indonesia dengan KBRI, akan berlangsung lancar dan semakin baik adanya.

Nah, selamat datang dan selamat bekerja kita ucapkan kepada Junus Fanny Habibie, Dubes RI yang baru untuk Kerajaan Belanda. Semoga sumbangan KBRI Den Haag atas usaha mendorong maju saling pengertian dan kerjasama Indonesia-Belanda, akan mencapai hasil-hasil baru.

* * * * *

No comments: