Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 18 Februari 2007
RAYAKAN BERSAMA HARI RAYA
NASIONAL 'IMLEK'
Bersama-sama, ----- seluruh bangsa, seantero nasion ini, merayakan Hari Raya IMLEK. Memang begitulah seyogianya. Begitulah seharusnya bangsa ini sebagai nasion yang berbudaya, yang tidak mengidap 'chauvinisme' dan rasisme terhadap warga negara sendiri yang berasal dari etnis-lain.
Tibalah waktunya bagi bangsa kita untuk saling menghargai dan saling menghormati masing-masing adat istiadat, tradisi dan budaya setiap etnis anggota keluarga nasion Indonesia. Sudahlah tiba masanya, istilah 'pribumi' dan 'non-pribumi' dengan aneka-ragam interpretasinya, dihapuskan dari fikiran rasis dan diskriminatif yang masih melekat pada masing-masing suku bangsa kita. Terutama pada pejabat dan penguasa dimanapun mereka berada. Sudahlah tiba saatnya meningkatkan kesadaran berbangsa, kesadaran ber-BHINNEKA TUNGGAL IKA. Agar kata-kata dan semboyan indah itu, tidak sekadar tercantum menghiasi U.U.D dan Lambang Negara Republik Indonesia, tidak tinggal di atas kertas belaka, tetapi diberlakukan d a l a m k e h i d u p a n
n y a t a s e h a r i – h a r i , lebih-lebih lagi dalam kehidupan politik bernegara. Hanyalah dengan demikian bangsa ini bisa tumbuh dan berkembang dengan mantap serta sehat mendewasa.
Bersama merayakan Hari Raya Imlek. Adalah sama halnya dengan Bersama Merayakan Hari Raya Tahun Baru, Bersama Merayakan Hari Lebaran. Bersama Berbhnineka Tunggal Ika. Dengan demikian kita tidak ber-'icak-icak'. Berpura-pura saja, menipu diri sendiri!
* * *
Sejauh ingatan ke 'tempo dulu', ketika orang Belanda masih menjadi penguasa negeri terindah di dunia, yang sekarang kita kenal dengan nama IMLEK, dulu namanya, menurut logat Betawi, disebut 'Taon baru Ciné'. Sedangkan yang sudah sejak lama juga kita rayakan sebagai Hari Raya Tahun Baru, dulunya di kampung-kampung di Jakarta dikenal sebagai 'Taon Baru Belandé'.
Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang sangkakalanya bergema dari Jalan Pengangsaan Timur 56, Jakarta, diproklamasikan oleh Sukarno dan Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945, telah membuka lembaran baru dalam sejarah Indonesia. Bangsa kita telah merdeka. Berbagai suku-bangsa kita seperti suku bangsa Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, Madura, Aceh, Makasar, Bugis, Minahasa, Maluku, Timor, Flores, Bali, Papua, dan banyak lainnya, ---- kemudian yang berasal etnis Tionghoa, etnis asal Arab, etnis asal Belanda, etnis asal India, Pakistan, dll telah sama-sama menyingsingkan lengan baju, berjuang bersama, mengalirkan keringat, mengujurkan darah, berkorban demi Indonesia Baru yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dan ber-Pancasila. Semua punya peranan, menurut kemampuan dan situasinya. Masing-masing telah memberikan sumbangannya.
Kita juga mengenal nama-nama asal etnis Tionghoa seperti a.l. Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sek Ien, Tan Po Goan, Tan Ling Dji, Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hin, John Lie, dll yang telah memberikan seluruh hidupnya demi usaha kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang tidak bisa dihapuskan namanya dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
* * *
Sejak 1965 , Jendral Suharto dengan rezim Orbanya, telah memutar mundur jarum sejarah kemajuan bangsa kita. Politik dan kebijakan Orba telah sangat merusak persatuan dan kesatuan bangsa yang telah digalang dan dikembangkan dengan susah payah, oleh para 'founding fathers' bangsa.
Politik anti-Tionghoa yang sudah lama dikonsep oleh golongan Kanan TNI-AD, berkembang subur, merajalela sejadi-jadinya, begitu ia menjadi kebijakan dan politik resmi pemerintah Orba. Politik anti-Tionghoa tsb terus berlangsung, sampai jatuhnya Presiden Suharto. Masih segar dalam ingatan masyarakat, betapa media dan pers, nama-nama jalan serta toko-toko tidak boleh menggunakan bahasa dan kata Tionghoa. Masih teringat betapa semua sekolah Tionghoa ditutup, dan bahasa Tionghoa dilarang, - - - - sampai-sampai nama-nama Tionghoapun, - - - - sesuatu yang bersifat amat pribadi dan merupakan hak azasi manusia yang paling elementer, itupun, dengan berbagai cara dipaksakan supaya diganti dengan nama 'pribumi' , nama Indonesia 'asli' .
Poltik penindasan dan pembelengguan terhadap kebiasaan, adat istiadat serta tradisi budaya Tionghoa, bertujuan a.l untuk mengakhiri pengaruh budaya Tionghoa terhadap yang mereka namakan 'bangsa pribumi' Indonesia. Anéh kedengarannya, begaimana mungkin, bahwa, pada masa ketika ide-ide pencerahan dan demokrasi berkumandang di mancanegara, namun, di negeri kita bisa terjadi penindasan terhadap adat istiadat, tradisi dan budaya etnis tertentu bangsa sendiri, kongkritnya bangsa Indonesia asal etnis-Tionghoa.
* * *
Sejak jatuhnya rezim reperesif Orba, meski masih begitu banyak kekurangan dan kendala yang memperlambat bahkan berusaha merintangi pelaksanaan tuntutan reformasi dan demokratisasi, namun, - - - hati kita menjadi lega, semakin optimis melihat haridepan bangsa ini. Sebab utamanya ialah, sedikit banyak bangsa kita telah menarik pelajaran dari pengalamannya sendiri. Memilih jalan reformasi dan demokratisasi ketimbang jalan otokrasi, rasialisme dan diskriminasi terhadap warga bangsa sendiri. Optimisme tsb beralasan, karena rezim laknat yang dalam sejarah bangsa kita menjalankan politk anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok yang paling biadab, formalya telah berakhir pada bulan Mei 1998.
* * *
Ada beberapa hal yang perlu dicatat, peristiwa-peristiwa bersejarah yang patut disambut dan didukung sejak jatuhnya Presiden Suharto dan mulai diusahakannya reformasi dan demokrtisasi dalam kehidupan bernegara hukum.
Pertama PERANAN GUS DUR, yang sejak beliau menjabat Presiden RI, hari Raya Imlek dilepaskan dari belenggu yang memasung hidup dan berkembanganya budaya etnis-Tionghoa Indonesia. Sehingga mulai berkiprahlah semangat dan langgam demokrasi dan saling menghormati di antara pelbagai suku dan etnis, khususnya etnis-Tionghoa.
Kedua, keputusan Presiden Megawati Sukarnoputri ketika beliau masih menjabat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang secara resmi dan tegas menyatakan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi HARI RAYA NASIONAL INDONESIA.
Ketiga, adalah disahkannya oleh DPR UU No. 12/2006 mengenai Kewarganegaraan Indonesia. Presideh SBY mengatakan bahwa UU No12/2006 tsb sebagai sebuah karya monumental yang mengubah paradigma perilaku. Yang dimaksudkan ialah bahwa kewarganegaraan seorang Indonesia tidak lagi ditandai oleh ciri-ciri fisiknya, tetapi oleh status hukumnya. Mungkin agak berkelebihan apa yang dikatakan oleh Menteri Hukum dan HAM bahwa dengan UU yang baru tsb telah dinihilkan diskriminasi atas ras-etnik. Menteri Hukum dan HAM dengan tegas mengatakan, UU 12/2006 menjadikan orang Tionghoa Indonesia menjadi suku Tionghoa Indonesia.
Keempat, ialah pernyataan fihak Kepolisian Kalimantan Timur, yang mengundang warganegara Indonesia asal etnis-Tionghoa untuk ambil bagian dalam seleksi untuk menjadi calon perwira kepolisian (Berita Xinhua/Antara). Kepala Kepolisian Inspektur Jendral Indarto menyatakan bahwa semua orang Indonesia, termasuk etnis-Tionghoa punya hak sama untuk menjadi perwira Kepolisian.
Kelima, DIKELUARKANNYA oleh Jawatan Pos Indonesia, perangko-perangko 12 Shio Tiongkok. Yakni 12 macam binatang yang mewakili 12 cabang bumi, yang digunakan sebagai lambang tahun kelahiran seseorang. Dalam pemberitaannya KB Xinhua menyatakan bahwa penerbitan seri perangko Indonesia itu, telah menambah suasana gembira kegiatan perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia. Indonesia kali ini menerbitkan 200.000 helai prangko Shio, dan lebih dari 200.000 album edisi khusus, sampul hari pertama dan carik kenangan. Juga terdapat keterangan rinci mengenai asal usul almanak Imlek, tahun baru Imlek serta Shio dalam bahasa-bahasa Mandarin, Indonesia dan Inggris. Diperkenalkan pula sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan harapan agar berbagai etnis di Indonesia dapat bersama-sama membangun sebuah negara yang indah.
* * *
Perkembangan sekitar masalah etnis-Tionghoa dewasa ini, --- ditinjau dengan latar belakang betapa lebih dari 32 tahun rezim Orba, ketika politik diskriminasi anti-etnik Tionghoa berlangsung, -- bolehlah dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup besar dan mendalam. Meskipun, seperti diingatkan Gu Dur baru-baru ini, dalam praktek politik sehari-hari, diskriminasi Orba terhadap etnis-Tionhoa, di sana-sini masih dengan keras kepala masih saja dilaksanakan oleh sementara pejabat.
Dalam hal seperti itu, tidak ada jalan lain bagi pemerintah, harus menindak para pejabat yang masih bersikeras hendak mempertahankan kebijakan dan politik Orba terhadap para warganegara Indonesia asal etnis-Tionghoa. Yang melakukaknnya banyak dengan motif untuk memperoleh keuntungan materil dan finansil.
* * *
Hari Raya Imlek Tahun ini, bisalah dikatakan telah berlansung dalam suasana yang lebih baik dan lebih meriah, lebih mendalam artinya dihubungkan dengan kesatuan dan persatuan bangsa. Ini semua adalah hasil perjuangan yang lama dan susah payah, baik dari golongan etnis-Tionghoa sendiri, maupun dari seluruh kekuatan reformasi dan demokratisasi negeri ini.
Akhirul kalam marilah:
KITA RAYAKAN BERSAMA HARI RAYA NASIONAL IMLEK.
* * *
Monday, April 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment