Friday, January 1, 2010

Berbagi Cerita - Menyongsong “TAHUN BARU” Bersama LU XUN

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Kemis, 31 Desember 2009

------------------------------------------



Menyongsong “TAHUN BARU” Bersama LU XUN



* * *


Menutup tahun 2009 – menyongsong tahun 2010, aku fikir-fikir, apa sebaiknya yang cocok ditulis. Kebetulan ketika menoto kembali buku-buku di 'perpustakaan-ku', mataku tertarik lagi pada buku 'LU XUN, Selected Works', Volume Four. Cetakan ketiga – Peking, 1980. Selama periode Revolusi Kebudayaan Tiongkok (1966-1975) buku Lu Xun tsb tak pernah dicetak ulang. Terbitan pertama edisi Inggris adalah pada th 1964, pas dua tahun s e b e l u m diluncurkannya Revolusi Kebudayaan. Tentang apa sebabnya, selama Revolusi Kebudayaan buku Lu Xun tsb tidak diterbitkan ulang, hal itu merupakan tema menarik tersendiri. Namun, tidak dimaksudkan untuk dibicarakan sekarang.


Kali ini aku ingin mengajak teman-teman dan para sahabat membaca, menikmati dan meresapi cerpen-cerpen Lu Xun. Problimnya: Cerpen Lu Xun yang mana? Meskipun ia mati-muda, pada umur 55 th, namun, begitu banyak cerpen yang ditulis oleh Lu Xun.


Ketika membaca kembali buku tsb diatas, kutemui dua cerpen Lu Xun yang kira-kira cocok untuk dihidangkan kepada pembaca, menjelang tahun baru: Satu, yang berjudul 'TAHUN BARU'. Meskipun cerpen Lu Xun itu mengenai Tahun Baru Tionghoa, namun suasanya seperti Tahun Baru dimana-mana. Kedua, yang berjudul 'NASIB'. Melalui konsultasi dengan Murti, kami simpulkan: Yang paling cocok untuk disiarkan kali ini, berkenaan dengan suasana menyongsong tahun baru 2010, ialah cerpen Lu Xun yang berjudul: 'TAHUN BARU'.


* * *


Kiranya cukup banyak di Indonesia yang masih ingat penulis besar Tiongkok Baru, Lu Xun (1881-1936). Penulis raksasa ini hidup dalam periode ketika Tiongkok memasuki zaman pancaroba dan pergolakan besar. Dari feodalisme klasik Tiongkok menuju ke zaman baru, zaman perubahan dan REVOLUSI.


Zaman itu adalah ketika berlangsungnya Revolusi Nasiona Tiongkok di bawah pimpinan Dr Sun Yat-sen; zaman koalisi Kuomintang (KMT) dengan Partai Komunis Tionngkok (PKT); zaman ketika kemudian pecahnya koalisi tsb. Disusul dengan periode perang dalam negeri KMT vs PKT. Periode itu adalah ketika Partai Komunis Tiongkok melakukan perlawanan bersenjata dengan memobilisasi kaum tani, mengadakan revolusi tani, melawan kampanye teror pemerintah KMT; di saat ketika PKT membangun daerah basis revolisoner di Tjiangsi. Kemudian melakukan 'Long March' dan dibangunnya pemerintah Merah di Yenan, Tiongkok Utara. Ketika Tiongkoak dihadapkan pada tugas baru diperlukannya koalisi kembali dengan KMT untuk melawan agresi Jepang terhadap Tiongkok.


Untuk menyegarkan kembali ingatan kita: Aku sependapat dengan penilaian penerbit di Beijing, bahwa Lu Xun, adalahBapak Kesusasteraan Tiongkok Kontemporer. Lu Xun bukan saja seorang penulis dan pemikir besar, tapi juga seorang revolusioner. Lu Xun menggunakan pena sebagai senjata dalam perjuangan luar biasa terhadap imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat di Tiongkok. Cerpen-cerpen dan esay Lu Xun merupakan kombinasi puisi dengan komentar politik. Punya arti politik mendalam dan menggunakan bahasa yang tajam. Tulisannya yang menggunakan style yang menarik mencerminkan syarat-syarat sosial Tiongkok ketika itu.


* * *


Hampir 10 tahun yang lalu pernah kupublikasikan salah satu cerpen Lu Xun, brjudul

'MENNANTIKAN SEORANG GENIUS?' Dalam cerpennya itu Lu Xun mengemukakan bahwa, adalah masuk akal orang-orang Tionghoa ketika itu menantikan munculnya seorang GENIUS yang akan menyelamatkan Tiongkok yang sedang krisis. Tapi, Lu Xun juga menegaskan satu pandangan tegas. Bahwa GENIUS itu tak akan lahiar begitu saja, dengan sendiriny. Genius itu hanya bisa lahir bila l a h a n di mana ia lahir dan tumbuh, tersedia. Disediakan oleh masyarakat itu sendiri. Seperti tanaman yang bagus dan kuat, tidak akan tumbuh bila tersedia lahannya yang sesuai! Suatu logika yang tajam dan mendalam! (Terfikir untuk mempublikasikan lagi cerpen Lu Xun tsb.)


Baiklah, sekarang ini mari kita ikuti dan nikmati bersama cerpen Lu Xun berjudul:



TAHUN BARU

Oleh: Lu Xun

< 5 Februari 1934>


Tahun Baru Lunar di Shanghai kali ini lebih hidup terbanding tahun lalu.


Berbagai julukan digunakan dalam media cetak dan pidato-pidato: Ada yang mengemukakannya dengan nada menghina, bahwa itu dari 'penanggalan usang' (*), sedang lainnya mengemukakannya sebagai 'kalender tua'. Tetapi perangai orang pada “Tahun Baru” ini sama saja: Mereka melakukan perhitungan, menyajikan korban untuk roh-roh dan kepada leluhur, membakar mercon, main mahyong, melakukan kunjungan Tahun Baru, dan menyampaikan harapan kebahagiaan dan kemakmuran satu sama lainnya.


Meskipun surat-surat kabar yang terus menerus muncul meskipun hari itu adalah hari Tahun Baru menyatakan penyesalan mereka (**), itu semata-mata sentimen saja, dan samasekali bukan demikian kenyataannya. Sementara penulis heroik lainnya mengeluarkan seruan untuk berjuang, menunjukkan kemarahan mereka dan memperingati mereka yang mati di sepanjang tahun; tetapi desakan dan peringatan semata-mata, samasekali tak nyambung dengan realita. Tiongkok telalu banyak hari yang memperingati penderitaan yang, biasanya, seyogianya paling tidak dipengeringati dalam suasana sunyi. Terdapat juga beberapa hari peringatan yang gembira, tetapi karena kita takut hal ini bisa 'digunakan oleh elemen-elemen reaksioner untuk menimbulkan kekacauan,' maka orang juga tidak bisa bergembira. Apa yang dengan cara penindasan dan boikot, semua festival yang baik telah direnggutkan; dan sejak apa yang masih tinggal untuk kita sekarang ini, ialah Tahun Baru 'usang' atau 'kuno' yang cepat punah, maka hari-hari itu malah menjadi lebih disukai. Maka kita harus mengadakan perayaan istimewa – ini bukan sesuatu yang harus dilewati dengan ringan begitu saja sebagai sisa-sisa feodalisme”.


Para pahlawan yang menyerukan pada orang lain untuk menderita dan bekerja sepanjang tahun, --- tidak mengerti apa arti penderitaan atau apa arti bekerja. Sesungguhnya mereka yang menderita dan bekerja itu memerlukan istirahat dan relaks dari waktu ke waktu. Bahkan kaum budk pada zaman Mesir Kuno kadang-kadang bisa tertawa. Tertawa semacam itu mengekspresikan perasaan jijik mereka terhadap segala sesuatu. Dan satu-satunya yang tak dapat mengerti artinya adalah kaum pemilik budak, mereka-mereka yang puas sebagai budak, dan budak-budak yang kerjanya ringan, yang sudah berhenti menderita.


Sudah duapuluh tahun lamanya saya tidak merayakan Tahun Baru yang tua, tetapi kali ini saya menyulut mercon selama tiga malam terus menerus, sampai-sampai tetangga saya yang orang asing itu mengeluh. Inilah dan mercon itu merupakan satu-satunya kesenangan saya tahun ini.


15 Februari, 1934


(*) Kuomintang mengumumkan bahwa penanggalan lunar itu sudah usang.


(**) Pada tanggal 13 Februari, tahun 1934, adalah hari Tahun Baru Lunar. S.k. Shen Bao menerbitkan suplemen ekstra, seorang penulis dalam kolomnya menyatakan menyesal sekitar pekerjaan tambahan yang harus dilakukannya pada hari libur nasional ini.


* * *