Monday, February 28, 2011

MERAYAKAN ULTAH KE-85 CISCA PATTIPILOHY

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Senin, 28 Februari 2011
-------------------------------------------

MERAYAKAN ULTAH KE-85
CISCA PATTIPILOHY

Hujan rintik-rintik dan angin kencang Sabtu sore, 26 Februari y.l. tak kunjung mau berhenti. Teruus saja! . . . . Percuma menunggu sampai reda. TV Belanda, NOS Journal sudah memberitakan bahwa cuaca demikian itu akan berlangsung terus sampai sore hari. Menjelang malam baru akan mereda. Itu baru ramalan. Bisa melését.

Sesuai rencana, Murti dan aku, siap-siap berangkat. Buka payung, lalu kami keluar. Dalam cuaca yang anginnya sampai kedengaran bersiul-siul, akhirnya percuma juga pakai payung. Dari samping hujan membasahi sisi kanan dan kiri. Dan sesekali payungnya 'njeplak'. Kalau sedang sial, payungnya malah robék samasekali.

Kami jalan menerjang hujan menuju stasiun Amsterdam Bijlmer Arena. Selanjutnya dengan Metro-54 ke Amsterdam Centraal. Di sebelah luar pintu Noord, sudah tampak melambai-lambaikan tangan mereka teman-teman dari Grup Wanita Indonesia DIAN: Aminah Idris, ketua Dian; Tuti Supangat, Farida Rakhmat, putrinya Ina dan Darmini. Memang kami janjian bertemu di situ. Menantikan 'pendel-auto' yang akan mengantar kami ke Westerdokpoint, Westerdok 808. Dengan mobil hanya 5 menit saja dari Centraal Station.

* * *

Di Westerdok 808 itulah, tampaknya seperti café-restaurant, berdatangan kira-kira 150 tamu atas undangan keluarga Pattipilohy. Beda benar dengan suasana kelabu diluar. Di dalam semua gembira dan cerah. Semua dalam suasana bahagia mengucapkan selamat kepada Cisca Pattipilohy. Kira-kira jam 15.00 perayaan Ultah Ke-85 Cisca Pattipilohy dibuka dengan nyanyi bersama , Panjang Umurnya Serta Mulia, untuk Cisca tercinta. Seorang sahabat/keluarga Cisca dengan suara tenornya yang merdu menyanyikan lagu ciptaan Schubert, Standchen, dengan iringan piano adiknya Cisca, Paul. Tidak ketinggalan pula dinyanyikan bersama lagu Bengawan Solo, nyanyian-nyanyian Indonesia lainnya, dan banyak lagu-lagu Maluku. Sungguh menggembirakan dan mengesankan perayaan ultah ke-85 Cisca Pattipilohy.

Suguhan minuman dan makanan kecil berlimpah ruah. Kemudian ditutup dengan makan bersama menu Indonesia yang, aduh mak, lezatnya.

Tibalah saat penyerahan buku “LIBER AMICURUM” untuk ibunda Cisca. Buku itu merupakan kenang-kenangan historis yang disiapkan oleh keluarga Pattipilohy untuk dihadiahkan kepada Ibunda dan Nenekanda mereka pada hari tanggal 26 Februari 2011. Sebuah buku indah dihiasi dengan banyak foto-foto sejak Cisca masih muda dan keluarganya, suami, anak-anak, menantu-menantu dan para cucu.

Banyak sahabat Cisca ikut menulis dalam Liber Amicurum untuk Cisca Pattipilohy. Antara lain Murti dan aku juga turut menyumbang tulisan. Di bawah ini adalah tulisan yang kami siapkan untuk ikut merayakan Ultah 85 Cisca, dan dimuat di buku Liber Amicurum.

Pada usia 85 tahun, Cisca tampak amat segar, sehat dan semangatnya tetap tinggi.
Beliau tetap aktif di Lsm ZAMI, di Grup Wanita Indonesia DIAN. Pada kesempatan diundang oleh Perhimpunan Persaudarfaan atau KITLV, Leiden, Cisca sering bersama kawan lainnya ambil bagian dalam caramah ataupun seminar yang diselenggarakan mengenai masalah Indonesia.

* * *

CISCA PATTIPILOHY YANG – KAMI KENAL

Oleh: IBRAHIM ISA Dan MURTI


Cisca Pattipilohy bukan sahabat yang baru saja kami kenal di Holland. Sudah berawal jauh di masa ketika Republik Indonesia baru memasuki fase baru dalam sejarahnya. Periode setelah Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), (1949) yang mengkahiri masa perang antara Republik Indonesia versus Kerajaan Belanda. Dengan kemenangan Republik Indonesia atas Kerajaan Belanda.


Suami Cisca Patti, -- Zain Nasution --, adalah sahabat baikku sejak masa itu. Keluarga Cisca Pattipilohy sangat peduli keadaan kawan-kawannya. Ketika lahir putri pertama kami, Pratiwi Tjandra Rini (1955), Ciscca segera menawarkan kereta-bayi bagus sekali, yang pernah dipakai putri pertama mereka, Maya. Tentu saja kami gembira dengan tawaran tsb. Sejak itu kalau Murti dan aku jalan-jalan pada sore hari, kami sering mampir di rumah kelurga Cisca di Jalan Sibayak, di daerah Pegangsaan, Jakarta. Khusus untuk 'memamerkan' putri kami Pratiwi yang kami bawa dengan kereta-bayi 'pinjaman' dari Cisca. Juga untuk menunjukkan bahwa putri kami Pratiwi senang sekali bisa jalan-jalan dengan kereta-bayi pinjaman dari Cisca itu.


Pada awal tahun limapuluhan abad lalu, gerakan anti-kolonial dan anti-imperialisme di Asia dan Afrika semakin bergolak. Atas inisiatif Indonesia di bawah pimpinan Presiden Sukarno, Indonesia memprakarsai Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955. Konferensi AA Bandung telah mendorong lebih maju gerakan kemerdekaan di kedua benua. Di Jakarta diselenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika (1963), dan didirikan Organisasi Wartawan Asia Afrika – AAJA – Afro-Asian Journalist Association. Cisca Pattipilohy terjun dalam AAJA. Cisca adalah tenaga pokok dalam kegiatan penterjemahan di AAJA. Cisca ikut dalam misi delegasi AAJA ke 9 negeri-negeri Afrika dan Timur Tengah. Antara lain ke Mesir, Alajazair, Syria, Guinea, Mali, Tanzania dan Ethiopia. AAJA melakukan kegiatan pengkonsolidasian. Ketika diselenggarakan sidang GANEFO, Games of The New Emerging Forces di Beijing, 1965, Cisca Patti adalah penterjemah utama dalam sidang yang mengambil kesimpulan mengenai kegiatan Ganefo selanjutnya.


Itulah periode perkenalan dan persahabatan akrab kami dengan keluarga Cisca Pattipilohy, di Indonesia. Yang berkembang terus sampai akhirnya kami jumpa kembali di Amsterdam, Nederland, akhir tahun delapanpuluhan abad lalu.


* * *


Memasuki masa senior, tahun ke delapanpuluh-lima usianya, 26 Februari 2011 ini, yang penuh kisah suka-duka, kutanyakan kepada Murti: Apa yang paling mengesankan padamu, tentang Cisca Pattipilohy. Murti kontan menyatakan: Aku kagum akan keuletan dan ketabahan, kepedulian dan keberhasilan Cisca Pattipilohy. Meskipun sejak bulan Oktober 1965, ia seorang diri mengurus empat orang putri-putri dan putra-putranya. Cisca berhasil dengan sukses membesarkan dan mendidik penerus-penerus mereka menjadi manusia-manusia yang berguna bagi masyarakat.


* * *


Sejak 1965 Cisca Patti yang tabah dan ulet itu, harus seorang diri mengurus kehidupan dan mendidik anak-anaknya: Maya, Dida, Tino dan Benny. Karena ayah anak-anak tsb, Zain Nasution, telah direnggutkan dari keluarganya dan dipenjarakan oleh rezim Orba.


Zain Nasution, sahabat lama dan kentalku itu, adalah seorang pejuang, seorang aktivis di PI ketika belajar di Leiden. Bersama kawan-kawan PI dan mahasiwa-mahasiwa Indonesia lainnya, Zain Nasution melakukan aksi protes melawan tindakan agresi ke-2 Belanda terhadap Republik Indonesia. Mereka mengembalikan beasiswa dari pemerintah Belanda. Dalam kehidupan yang cukup sulit  karena menolak beasiswa dari pemerintah Belanda, datanglah kesempatan baginya untuk belajar di Praha (Cekoslowakia) yang diusahakan oleh Perhimpunan Indonesia dan Sugiono (wakil Indonesia di International Union of Students –IUS). Zain Nasution menggunakan kesempatan itu bersama A.S Munandar, Jack Sumabrata dan Bintang Suradi untuk meneruskan studi mereka di Praha.


Kembali ke Indonesia setelah Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), Zain Nasution aktif membangun s.k. Harian Rakyat. Zain juga ambil bagian aktif sejak awal Gerakan Perdamaian Indonesia bangkit berkembang pada permulaan tahun limapuluhan. Di situlah aku berjumpa dengan Zain Nasution dan banyak aktivis perdamaian lainnya. Selain itu Zain Nasution ambil bagian intensif dalam berbagai forum diskusi berkenaan situasi politik tanah air, setelah KMB, bersama kawan-kawan seperjuangan lainnya. Di situ pula aku mengenal lebih baik lagi Zain Nasution sebagai pemuda yang dengan penuh kepedulian dengan gerakan poitik di tanah air, namun tetap mengikuti perkembangan politik dunia, yang ketika itu didominasi oleh suasana 'perang dingin'.


Kegiatan Zain Nasution sebagai wartawan “Harian Rakyat', gerakan perdamaian dan berbagai kegiatan politik lainnya mendukung politik Presiden Sukarno, menyebabkan ia 'diamankan' oleh fihak militer, pada Peristiwa 1965. Zain dipenjarakan oleh penguasa militer. Tanpa tuduhan dan proses hukum apapun. Suami tercinta Cisca, Zain Nasution, dikirim ke penjara Nusa Kambangan bersama ratusan tapol lainnya. Kesewenang-wenangan rezim Orba, tanpa proses hukum apapun memenjarakan Zain, dan situasi buruk di penjara Nusa Kambangan, akhirnya telah menyebabkan meninggalnya Zain Nasution. Ketika Zain dipenjarakan, putri pertama mereka, Maya, baru berumur tujuh tahun.


* * *


Dalam keadaan yang teramat sulit dan penuh ancaman dan kekhawatiran, Cisca Pattipilohy dengan memboyong empat orang anaknya yang masih kecil-kecil itu berangkat ke negeri Belanda. Mereka sekeluarga masih bisa berangkat ke negeri Belanda, dengan memanfaatkan status keluarga Pattipilohy yang di zaman Hindia Belanda hak kewarganegaraannya disamakan dengan w.n. Belanda. Keluarga Pattipilohy punya status 'gelijkgesteld' ketika itu.


Dimana Zain Nasution dimakamkan, penguasa tutup mulut sepenuhnya. Suatu pelanggaran HAM yang kejam dan biadab tiada taranya.


* * *


Di Negeri Belanda Cisca yang tenaga, fikiran serta perhatiannya sibuk dengan membesarkan dan mendidik empat orang putri-putri dan putra-putranya itu, namun, aktif melakukan kegiatan peduli wanita Indonesia, dalam grup studi wanita di KITV. Dengan didirikannya Komite Indonesia yang diketuai oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim, Cisca aktif ambil bagian dalam grup wanita Komite Indonesia.


Dalam periode itu juga Cisca ambil bagian sebagai pemrakarsa dan pendiri perkumpulan wanita migran “Flamboyant”, suatu organisasi wanita migran di negeri Belanda yang aktif di bidang pembelaan hak-hak wanita dan HAM.


Dalam perkembangan selanjutnya ketika organisasi wanita Flamboyant berkembang menjadi organisasi wanita migran yang lebih besar, “ZAMI”, Cisca Patti, tetap aktif melakukan kegiatannya, samil meneruskan kegiatan lainnya yang memyangkut masalah informasi dan komunikasi di Belanda.


“ZAMI” memberikan penghargaan tinggi pada peranan Cisca dalam perkumpulan dan kegiatan wanita migran. Tahun yang lalu Cisca memperoleh “Zami Award” dalam suatu upacara Zami yang yang diselenggarakan dengan hikmat, tetapi riang dan penuh antusiasme.


Cisca Patti juga bergabung dengan Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di negeri Belanda, serta aktif pula hadir dalam kegiatan-kegiatan Perhimpunan Persaudaraan. Bukan saja itu, Cisca dalam waktu panjang mengetuai Grup Wanita Indonesia, “DIAN” di Amsterdam.


Pada kesempatan diadakannya ceramah ataupun seminar oleh KITLV, dimana Cisca tergabung sebagai anggotanya, ia tidak ketinggalan hadir dan ambil bagian dalam kegiatan itu.


Sehingga di kalangan para sahabat dan kenalannya, Ciusca merupakan teladan, yang dalam usia senior masih tetap aktif, giat, kritis dan antusias ambil bagian dalam pelbagai kegiatan, sosial, solidaritas mapun ilmiah.


Dalam pelbagai kesempatan Cisca selalu mengingatkan sahabat dan kenalan untuk selalu peduli bangsa dan tanah air, supaya aktif mengikuti kegiatan dan perkembangan yang berlangsung di tanah air Indonesia.


Harapan kita ialah agar Cisca Pattipilohy tetap sehat dan aktif, meneruskan sumbangannya yang berharga dalam pelabagai kegiatan sosial, politik dan ilmu di negeri Belanda, dan dalam kegiatan solidaritas dengan tanah air tercinta, Indonesia.


* * *

Friday, February 25, 2011

“MELACAK” HISTORIA BANGSA

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Jum'at, 25 Februari 2011
-----------------------------------------

“MELACAK” HISTORIA BANGSA

Pagi ini bisa dibaca dalam deretan panjang berita-berita, sebuah news-item yang bersangkutan dengan masalah yang paling tidak, merupakan salah satu dari yang paling menarik di Indonesia. Juga merupakan salah satu masalah yang paling gawat. Yaitu masalah SEJARAH. Sejarah INDONESIA. Di kumpulan berita itu kita jumpai, tanggapan sahabatku, sejarawan muda Bonnie Triyana, pengelola website “HISTORIA ONLINE”. Adapun yang ditanggapinya adalah reaksi Salim Said, dulu penulis sekitar masalah Abri, sekarang dubes RI di Praha.

Reaksi Bonnie singkat tapi jelas: “Sepakat dengan Bang Salim Daid!!!!”. Tanda serunya sampai empat kali. Untuk menegaskan bahwa Bonnie setuju banget dengan pendapat Salim Said. Apa gerangan pandangan Salim Said? Rupanya tanggapan Salim Said itu adalah sebuah reaksi terhadap berita sekitar ucapan Jusuf Kala (50th), mantan Wapres RI dan mantan Ketua Umum Golkar, yang terkenal juga adalah pengusaha besar . Ucapan Jusuf Kala itu, menyebabkan beliau didemo, dikonfrontasi. Masalahnya? Sejarah!!!

Berita tsb di-internetkan oleh seorang sejarawan Indonesia lainnya, Hoesein Roesdy. Ia sungguh rajin dan tekun mengumpulkan dokumen-dokumen, foto-foto, berita maupun cerita sehubungan dengan sejarah bangsa kita. Diberitakan bahwa Jusuf Kala, membuat pernyataan kontroversial bersangkutan dengan peiode sejarah pra-1949 di Indonesia. 10 tahun y.l. Pernyataan itulah yang bikin soal. Menyebabkan kemarahan sebagian rakyat (Sulsel). Pasalnya soal Kapten KNIL Belanda, Westerling. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita, khususnya perjuangan rakyat Sulsel, sehubungn dengan nama yang kita kenal, Kapten KNIL Westerling, adalah karena kekejamannya ketika menindas perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terhadap kolonialisme Belanda. Jumlah rakyat kita yang dibantai pasukan Westerling disebut sekitar40.000 warga tak bersalah.

Mengutarakan peristiwa ini, dimaksudkan untuk menunjukkan kekejaman dan kebiadaban pasukan kolonial Belanda. Dilain fihak untuk menyadari betapa besar korban yang diderita rakyat dalam perjuangan kemerdekaan.

Tapi, Jusuf Kala, punya cara memandang sejarah yang berbeda! Tanggal pembantaian tsb, 11 Desember 1946, oleh Jusuf Kala disebut sebagai 'musibah' bagi rakyat Sulawesi Selatan. Dalam waktu singkat, puluhan ribu rakyat dibantai, tanpa perlawanan. Ditambahkannya bahwa kejadian itu memalukan. “Jangan kita membesar-besarkan peristiwa yang justru memalukan”, kata Jusuf Kala.

Timbul protes dari berbagai kalangan, karena pernyataannya itu dianggap meremehkan pengorbanan para pahlawan Sulawesi Selatan. Malah ada yang menuntut supaya Jusuf Kala diajukan ke pengadilan adat. Karena protes cukup luas dan keras, akhirnya Kala minta maaf kepada para pejuang di Sulawesi Selatan, termasuk kepada 40.000 keluarga korban pembantaian Westerling.

Di sini kita saksikan bahwa suatu pandangan berbeda mengenai maslah sejarah, bisa menimbulkan kehebohan dan protes keras. Pandangan yang berbeda bisa dianggap 'menghina' atau 'meremehkan' pengorbanan rakyat dalam perjuangan kemerdekaan.

Meskipun Jusuf Kala sudah minta maaf, belum tentu ia sudah mengubah penilaiannya bahwa 40.000 rakyat dibantai pasukan Westerling tanpa perlawanan, adalah suatu 'kejadian yang memalukan'.

* * *

Kembali ke Salim Said. Ia memberikan tanggapan amat berbeda dengan pendapat 'mainstream', bersangkutan dengan jumlah rakyat yang dibantai oleh pasukan KNIL di bawah komando Kapten Westerling. Mungkin pandangan Salim Said ini lebih krusial, karena didukung oleh 'riset pribadi'. Yaitu ketika Salim Said langsung bertemu dengan Kapten Westerling di Amsterdam (1970).

Mari ikuti apa kata Salim Said:
“Perlu disadari bahwa klaim kita dijajah Belanda selama 350 tahun, maupun klaim Kahar Muzakkar tentang pembantaian Westerling dengan korban 40 000 jiwa di Sulawesi Selatan, adalah klaim politik (huruf tebal dari saya, I.I.). “Seorang teman saya pernah melakukan penelitian kecil-kecilan di Sulawesi selatan mengenai korban Westerling itu, jumlah 2000 korban saja tidak ditemukan. Kepada saya di Amterdam pada tahun 1970, Westerling mengaku hanya membunuh sekitar 470 orang saja di Sulawesi Selatan waktu itu.

Salim Said menunjukkan perbedaan besar antara 'klaim politik' dan keadaan yang, menurutnya, amat berbeda dengan klaim politik tsb. Juga menyangkut masalah 'berapa lama' Indonesia dijajah Belanda. Mengenai jumlah korban di Sulawesi Selatan, beda dengan angka 40.000, Salim Said mengajukan angka 2000, bahkan 'hanya' – 470 orang (menurut klaim Westerling).

Bisakah masyarakat kita, masyarakat sejarah bangsa, termasuk sejarawannya, bertukar fikiran mengadakan penelitian dan diskusi untuk mencari tahu keadaan yang sesungguhnya, tanpa dibayangi oleh kemungkinan akan diprotes atau didemo? Bukankah, sesuatu yang bersangkutan dengan masalah sejarah, harus diriset dan dipelajari dengan teliti, tekun dan sabar, tanpa bias?

Lebih menarik lagi pandangan Salim Said mengenai periode kolonialisme Belanda yang menurut pandangan 'mainstream' dan yang umumnya diterima, bahwa Indonesia dijajah Belanda selama tidak kurang 350 tahun!.

* * *

Salim Said mengemukakan pandangannya mengenai masalah tsb sbb:

“Ketika VOC bubar dan pemerintah Belanda menduduki Nusantra, belum ada Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Maka yang dijajah oleh Belanda masa itu adalah kumpulan wilayah yang lepas-lepas yang dikuasai/dipimpin oleh sejumlah raja, sultan, atau punggawa. Nanti di awal abad ke 20 Belanda menyatukan semua wilayah itu menjadi Hindia Belanda. Wilayah yang dipersatukan itulah (untuk pertama kalinya) yang kemudian kita sebut sebagai Indonesia. Melalui sebuah perjuangan panjang, dari pergerakan nasional hingga revolusi pisik, bekas Hindia Belanda itu kita resmikan sebagai Republik Indonesia.

“Yang jadi soalnya memang adalah berapa lama sebenarnya Indonesia dijajah Belanda? Apakah kesultanan dan kerajaan yang dijajah Belanda di abad ke 19 itu kita anggap sudah Indonesia? Kalau jawabannya adalah "ya," maka Indonesia dijajah Belanda sejak runtuhnya VOC. Yang jelas VOC bukan pemerintah melainkan sebuah multi national corporation. Kecuali kalau kita samakan saja VOC dan pemerintah Belanda, maka Indonesia dijajah Belanda sejak VOC berdiri.

(Catatan saya- I.I. – VOC memang bertindak seperti kekuasaan pemerintahan. VOC diberi hak oleh pemerintah Belanda, untuk memaksakan monopoli perdagangan di Nusantara; berhak mengeluarkan uang, punya wewenang membina dan mengangkut tentara ke Nusantara untuk memaksakan kehendaknya pada Sultan atau penduduk setempat di Nusantara. VOC punya wewenang atas nama Belanda bikin perjanjian dengan kekuasaan setempat, dan untuk MELANCARKAN PERANG).
 
“Perlu disadari bahwa klaim kita dijajah Belanda selama 350 tahun, maupun klaim Kahar Muzakkar tentang pembantaian Westerling dengan korban 40 000 jiwa di Sulawesi Selatan, adalah klaim politik. Demikian Salim Said.

* * *

Kemudian sampailah pada kesimpulan Salim Said menyangkut masalah bagaimana kita memperlakukan sejarah, atau peristiwa dalam sejarah. Ini kata Salim Said:

“Nah, apakah kini kita sudah tiba pada suatu zaman yang memungkinkan kita "membersihkan" sejarah dari peran sebagai alat politik? Jika jawabannya adalah "YA," maka kita juga harus mempertanyakan peran sejumlah pejuang nasional pra gagasan Indonesia lahir. Contoh pertanyaan: Apakah Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, Diponegoro dan banyak lagi lainnya, berjuang untuk Indonesia atau untuk kepentingan dan tujuan lain?

Salim Said BERANI mengajukan pertanyaan sejarah sbb:

Apakah Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol, Diponegoro dan banyak lagi lainnya, berjuang untuk Indonesia atau untuk kepentingan dan tujuan lain? (Huruf tebal dari saya: I.I.)

* * *

Tulisan ini, kolom “Berbagi-Cerita”, tujuannya tak lain ialah mengajak, menggugah pembaca untuk benar-benar memperhatikan dan mempelajari sejarah bangsa kita. Tidak menganggapnya sebagai sekadar 'kejadian di masa lampau', yang bisa dianggap benar, bisa dianggap 'klaim politik' semata-mata.
Kita memahami, bahwa sejarah adalah sebuah riwayat atau tambo, yang seyogianya benar-benar merupakan catatan peristiwa atau kejadian YANG BENAR-BENAR TERJADI. Bukan rekayasa penguasa, atau rekaan bahkan karangan penguasa atau akhli sejarah pendukung penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Melegitimasi kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran HAM, seperti genoside.

Pengenalan dan pemahaman terhadap sejarah bangsa, merupakan hal yang vital dalam pembangunan mental nasion yang masih muda. Mengenali sejarah berarti membuka horizon mengenali identitas bangsa sendiri. Berarti memanfaatkan kejadian sejarah untuk menarik pelajaran berharga dari kesuksesan maupun kesalahan.

Ketika membicarakan, mendiskusikan masalah sejarah bangsa kita, JANGAN SEKALI-KALI DILUPAKAN, bahwa mengenai masalah sejarah sekitar Peristiwa 1965, G30S, pembantaian masal terhadap warganegara sendiri oleh aparat kekuasaan negara, sampai saat ini masih belum tuntas. Belum rampung. Belum dilakukan dengan keseriusan yang seharusnya.

Soalnya, – – - karena selama periode Orba, rezim Presiden Suharto telah sedemikian rupa merekayasa dan memalsukan serta merakayasa, melakukan kebohongan besar sejarah selama 32 tahun kekuasaannya. Itu dilakukan demi tujuan melegitimasi perebutan kekuasaan negara dari Presiden Sukarno, demi penghancuran kekuatan politik Kiri di Indonesia, demi membawa Indonesia ke orbit strategi Perang Dingin Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Menjernihkan sejarah Indonesia, khususnya selama periode Orba, merupakan salah satu kunci, untuk melaksanakan hal yang sering dikumandangkan, yaitu REKONSILIASI NASIONAL. Untuk mencapai Indonesia yang bersatu dan dipersatukan menelusuri jalan mulya MEMBANGUN NASION INDONESIA yang kokoh, demi suatu Republik Indonesia yang bersatu-padu, adil dan makmur!

* * *

Wednesday, February 23, 2011

MENYONGSONG “HARI WANITA INTERNASIONAL – 8 MARET”

Kolom IBRAHIM ISA

Rabu, 23 Februari 2011

------------------------------------------

MENYONGSONG “HARI WANITA INTERNASIONAL – 8 MARET”, Dan GERWANI <Bagian Dua>


* * *


Di antara hal-hal menarik dan penting untuk diperhatikan, dalam buku Prof Dr Wieringa di “Kata Pendahuluan” untuk karya studi-ilmiahnya, “Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia”, yang disiarkan di bagian kedua ini, antara lain, ialah sbb:


Pada periode Orde Baru, masyarakat, khususnya dalam hal ini kaum wanita, serta organisasi-organisasinya, dikontrol dan terus-menerus diindoktrinasi, di 'brainwashed', dicuci otaknya, agar tidak mempersoalkan politik pemerintah Orde Baru. Bila bicara tentang emansipasi kaum wanita, akan menghadapi risiko dikaitkan dengan periode pemerintahan Sukarno dan 'Komunisme'. Pemerintah Orde Baru, benar-benar melakukan pembodohan terhadap bangsa.(huruf tebal dari saya, I.I.)


Dewasa ini, setelah lebih sedasawarsa disingkirkannya Presiden Suharto, pada periode yang sering dikatakan periode 'Reformasi', --- apakah mempersoalkan emansipasi kaum wanita, apalagi memperjuangkannya, juga sama halnya seperti di bawah rezim Orba, akan mengalami nasib serupa? Yaitu, akan menghadapi risiko dikaitkan dengan pelbagai insinuasi dan fitnah seperti yang terjadi pada periode Orba. Tekanan atau fitnah itu dilakukan dengan berjubah baru. Misalnya, dengan melemparkan tudingan bahwa 'feminisme' itu adalah 'atheis', 'a-moral', bahkan bertentangan dengan ajaran agama.


* * *


Hal berikutnya yang seyogianya mengimbau perhatian dan pemikiran, adalah yang a.l dikemukakan oleh Wieringa, bahwa ia akan menguraikan sejarah yang terselubung itu (ingat: Ketika Wieringa selesai menulis bukunya, Orde Baru masih berjaya di Indonesia – Oktober 1995). (huruf tebal dari saya, I.I.)


Bahwa Wieringa akan menguraikan sejarah feminisme Indonesia, yang mengenal saat-saat radikal dan berani lebih banyak lagi dari yang diakui para penulis sekarang.

Selanjutnya memaparkan sejarah yang terlarang, yaitu sejarah Gerwani. Tentang anggota-aggotanya yang dibunuh, yang dipenjara dan yang hilang, serta dokumen-dokumen tentangnya yang di Indonesia dimusnahkan. (huruf tebal dari saya, I.I.). Untungnya perpustakaan-perpustakaan di Negeri Belanda dan Amerika Serikat masih menyimpan bahan-bahan, yang atas dasar itulah kisah masa lampau Gerwani dapat disusun kembali.


Kemudian, tulis Wieringa, dengan meneliti kejadian-kejdian tahun 1965 dan 1966 atas dasar analisa gender dari periode itu, menyingkap aspek-aspek tertentu mengenai lahirnya Orde Baru, yang sampai sekarang (1995) digelapkan (oleh militer Indonesia) atau diingkari (oleh para peneliti sejarah modern Indonesia).


* * *


Mari lanjutkan menyimak uraian Prof Dr Wieringa:

Prof Dr |Saskia Wieringga <>


Kampanye tsb membawa implikasi-implikasi yang luas, dan memerlukan proses indoktriniassi yang terus menerus. Indoktrinisasi ini tak lain ialah brainwashing bagi seluruh bangsa agar mempercepat pandangan penguasa tentang masa lampau kolektif mereka, dan agar tidak mempersoalkan politik pemerintah Orde Baru. Bicara tentang masalah emansipasi perempuan, yang mengandung pandangan tentang keadilan sosial yang lebih luas, dapat menimbulkan kecurigaan. Bukan hanya akan dikaitkan dengan “Komunisme”, tapi juga dengan “cara berpikir Orde Lama” pada umumnya. Seperti salah seorang pemimpin Perwari mengatakan: “Jika saya bicara tentang pandangan saya mengenai gerakan kaum perempuan Indonesia, dan harus menyebut cita-cita yang hendak saya capai atau membahas soal emansipasi perempuan, seketika saya akan dituduh “orang Orde Lama”. Pemerintah sekarang ini benar-benar mengajar rakyatnya agar menjadi bodoh. Padahal, tidaklah orang hanya akan bisa merdeka jika dia tidak berfikir, bukan? Kemerdekaan itu benar-benar tidak ada di sini. Di sini tidak ada jalan, bagaimana caranya supaya kita bisa berbicara atau berfikir menurut apa yang kita mau” (interviu 73, 31 Januari 1984).


Karena itu kajian ini tidak hanya merupakan kebutuhan sejarah. Analisa dari sudut gender tentang kejadian-kejadian tahun 1965-1966 yang dikemukakan di sini, ada hubungannya secara langsung dengan pemahaman terhadap persekongkolan kekuasaan Orde Baru pada umumnya, dan dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Suharto yang berwatak patriarkal, yang telah dibangunnya itu. Sesungguhnya itulah alasannya, mengapa saya menjadi tertarik pada topik kajian sekarang ini. Dalam akhir tahun 1970-an, saya terkesima melihat kadar ketaatan dan dominasi laki-laki pada organisasi-organisasi terpenting kaum perempuan di Indonesia saat sekarang. Khususnya pada organisasi-organisasi istri para pejabat sipil (Dharma Wanita) dan pejabat militer (Dharma Pertiwi), demikian juga pada organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang disponsori negara dan meluas ke seluruh negeri itu.


--- Footnote 10, halaman xlvi: Dalam makalah tahun 1985 yang berjudul “The perfumed Nightmare”saya tunjukkan, bahwa di bawah Jendral Suharto, Angkatan Darat telah membikin kampanye di sekitar peranan yang dituduhkan pada Gerwani dalam kup 1 Oktober 1965. Belum lama yang lalu Leclerc (1991), dalam makalah tak diterbitkan, telah mengangkat tema yang sama dengan memusatkan perhatiannya pada monumen yang dibangun para jendral. Tema ini akan saya uraikan dalam Bab II.


-- Footnote 11: Perwari, Persatuan Wanita Republik Indonesia, didirikan segera sesudah proklamasi kemerdekaan. Seperti akan saya uraikan dalam Bab 7, selama waktu yang panjang organisasi ini tetap bersemangat radikal dan lantang membela hak-hak kaum perempuan, khususnya dalam perkawinan. Dewasa ini Perwari telah “dijinakkan”, kegiatan-kegiatannya yang menjurubicarai perempuan miskin tidak dimungkinkan, dan keanggotaannya menjadi merosot hebat. Gejala terakhir ini terutama disebabkan oleh kenyataan, bahwsa setiap ;istri pegawai atau tentara harus menjadi anggota organisasi istri-istri tentara dan karuyawan, yaitu Dharma Wanita edan Dharma Pertiwi.


Footnote 12: Untuk uraian tentang Dharma W|anit dan Dharma Pertiwi, lihat: Wieringa 1985. Dalam karangan belakangan saya membicarakan “feminisme yang keguguran” di Indonesia ( 1988b), dan lebih belakangan lagi saya tulis dua karangan yang membandingkan Gerwani dengan PKK (1992; 1993a). lihat juga laporan yang diterbitkan oleh tim Indonesia untuk Proyek Sejarah Perempuan DGIS/ISS (Wieringa et all. 1985; |Wieringa (ed) 1990). Lihat juga Suryakusuma (1990) untuk Dharma Wanita.


Belakangan saya tahu, organisasi-organisasi dibangun di atas reruntuhan sejarah organisasi-organisasi kaum perempuan yang mandiri dan giat. Seperti pada 1985 pernah saya kemukakan organisasi-organisasi baru ini didirikan oleh militer, sengaja untuk menomor-duakan kembali kedudukan kaum perempuan Indonesia. < Huruf tebal dari saya: I.I.)


Sekarang setiap suara yang mempersoalkan tentang sulitnya keadaan sosial dan ekonomi mendapat cap sebagai berbau politik. Maka soal-soal yang berimplikasi sayap kiri dan “kaum kiri”, yang dikaitkan dengan “kaum perempuan semacam itu, membuka seluruh kotak asosiasi-asosiasi Pandora dengan pembunuhan-pembunuhan ritual dan pesta-pesta seksual (Wieringa 1985:38.


Semula berkat cambukan Sukarno sendiri, sehingga kaum perempuan Indonesia giat berppartisipasi dalam perang kemerdekaan nasional. Namun, sesudah kemerdekaan tercapai, berlangsunglah proses pemuliohan kembali kekuasaan kaum laki-laki. Selama tahun-tahun pertama pemerintahan Sukarno, kaum perempuan selalu menjadi subyek yang vopkal di tengah percaturan politik Indonesdia, dengan menyerang benteng dominasi laki-laki dari dua penjuru. Pertama-tama mereka menyerng hak prerogatif laki-laki berpoligami. Perjuangan mereka kalah, karena tak lain dari Presiden Sukarno sendiri yang menuntut hak beristri lebih dari satu orang. Ke dua, sebagian dari gerakan ini, itulah Gerwanio, menuntut tempat di tengah gelanggang politik bagi kaum perempuan.


Langkah ini membawa sejumlah konsekwensi. Pertama-tama, mereka memancing amarah organisasi-orgaqnisasi perempuan lainnya, yang berpendirian bahwa kedudukan perempuan di masuyarakat tidak di bidang politik, tetapi di bidang sosial. Selanjutnya Gerwani yang menjadi semakin rapat mendekatkan diri pada PKI (yang tak banyak perhatiannya pada “soial perempuan”itu) kehilangan banyak pendirian feminismenya yang semula. Ketiga, saya ingin mengemukakan, bahwa langkah Gerwani memasuki bidang yang sampai sekarang dipandang daerah kawasan laki-laki, telah memicu ketakutan di kalangan kelompok-kelompok tradisionil di Indonesia, khususnya kalangan Muslim salih. Kalangan inilah yang pada waktunya merupakan lahan subur bagi kampanye Suharto tentang fitnahan seksual dalam akhir 1965.


Untuk mengerti bagaimana organisasi-organisasi kaum perempuan dewasa ini berfungsi, baik sebafgai tiang penyangga rezim Orde Baru maupun sebagai alat untuk menopmor-duakan kembali kedudukan perempuan, saya merasda perlu menliti periode Orde Lama dan lahirnya kekuasaan Orde Bareu. Sementara meneliti sejarah dalam periode ini, saya melihat sehingga mana kiasan seksual dan penghinaan terhadap perempuan mengelilingi asal-muasal rezim Suharto. Namun dengan ini tidak bermaksud mengatakan, bahwa metafora-metafora seksual merupakan faktor satu-satunya yang turut menyebabkan terjadinya pembunuhan masal, dan tampilnya Suharto di atas singgasana kekuasaan.


Faktor-faktor lain, selain dari kekacauan pereokonimian, yang mengakibatkan rasa sangat kuatir baik di kalangan Angkatan Darat maupun kauumKomuinis, termasuk juga percobaan-percobaan pembunuhan terhadap Sukarnom (Mei 19.8), sakitnya Sukarno, dan seruan Sukarno untuk pembentukan Angkatan ke-5.l Walau Angkatan ke-5 ini sedikit banyak sekadar merupakan retorika medio 1960-an belaka, namun Angkatan Darat merasa sangatcemas melihat kemungkinan akan dipersenjatainya sekitar 21 juta kaum tani dan kaum buruh, yang samasekali terlepas dari kendali pimpinan Angkatan Darat. Walaupun begitu, sugesti-sugesti tentang perbuatan seksual yang tak senonoh itulah, yang telah menjadi penyebab kotak mesiu meledak.


Saya berpendapat bahwa untuk mengerti tentang dalamnya krisis yang telah menenggelamkan Indonesia paa 1965 itu, tidak cukup dengan memberikan analisis politik saja, tetapi juga analisis dari sudut gender perlu dikemukakan. Analisis gender yang dikemukakan di sini akan menyoroti aspek-aspek tertentu dalam sejarah politiki moderen Indonesia, yang sedemikian jauh masih tetap merupakan misteri bagi banyak para peniliti, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pokok-pokok masalah yang umumnya diabaikan.


Halaman-halaman selanjutnya akan menguraikan sejarah yang terselubung itu dalam tiga tahap.


Tahap pertama menguraikan sejarah feminisme Indonesia, yang mengenal saat-saat radikal dan berani lebih banyak lagi dari yang diakui para penulis sekarang.


Tahap ke dua memaparkan sejarah yang terlarang, yaitu sejarah Gerwani. Tentang anggota-aggotanya yang dibunhuh, yang dipenjara dan yang hilang, serta dokumen-dokumen tentangnya yang di Indonesia dimusnahkan. Untungnya perpustakaan-perpustakaan di Negeri Belanda dan Amerika Serikat masih menyimpan bahan-bahan, yang atas dasar itulah kisah masa lampau Gerwani dapat disusun kembali.


Ke tiga, dengan mengamati kejadian-kejadian tahun 1965 dan 1966 atas dasar analisa gender dari periode itu, akan menyingkap aspek-aspek tertentu mengenai lahirnya Orde Baru, yang sampai sekarang digelapkan (oleh militer Indonesia) atau diingkari (oleh para peneliti sejarah modern Indonesia). ---



* * *






Friday, February 18, 2011

Menyongsong Hari Wanita Internasional "8 Maret"

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 18 Februari 2011
--------------------------------

Menyongsong Hari Wanita Internasional
“8 Maret”– Dan “GERWANI” <<>>

* * *

Menjelang Hari Wanita Internasional “8 Maret” yad, baik kiranya menjenguk ke sejarah gerakan wanita Indonesia sejak berdirinya Republik Indonesia. Sejarah gerakan wanita Indonesia adalah suatu proses panjang yang perlu diketahui oleh bangsa kita, generasi muda, khususnya para aktivis yang terlibat dalam gerakan emansipasi kaum wanita Indonesia dewasa ini.

Tulisan ini bermaksud memfokuskan perhatian pembaca pada salah satu (dari) gerakan wanita Indonesia. Yaitu yang diorganisasi oleh GERWANI, Gerakan Wanita Indonesia.

Rezim Orde Baru Presiden Suharto, naik panggung kekuasaan, dengan menggunakan cara “kup merangkak” terhadap Presiden Sukarno. Suharto menggulingkan Presiden Sukarno, setelah menuduh keterlibatan Presiden Sukarno dengan 'G30S' (bahkan diinsinuasikan Presiden Sukarno adalah 'dalang' sesungguhnya di belakang 'G30S', bersama PKI.) Menonjol ialah manuver politik Jendral Suharto itu dimulai melalui a.l suatu kampanye bohong dan fitnahan keji, lewat media yang sangat efektif, dengan sasaran PKI dan Gerwani.

Menurut taktik dan strategi Jendral Suharto, untuk merebut kekuasaan politik, pemerintahan dan negara RI, dari Presiden Sukarno, harus menghancurkan terlebih dulu kekuatan parpol dan ormas yang mendukungnya. Kekuatan yang harus dihancurkan itu adalah PKI dan Gerwani. PKI sebagai parpol dan Gerwani sebagai ormas wanita Indonesia yang terbesar periode itu.

Dimulailah rekayasa, fitnah keji dan kebohongan besar sekitar dibunuhnya 6 jendral dan seorang perwira menengah di Lubang Buaya. Semua koran ditutup selain koran-koran militer dan koran-koran pendukungnya. Dilancarkanlah berita tentang wanita-wanita anggota Gerwani yang melakukan penganiayaan terhadap para jendral sebelum mereka dibunuh. Diikuti oleh 'orgi', tari-tarian mesum para wanita Gerwani tsb dihadapan para jendral yang akan dibunuh.

Dalam satu nafas wanita-wanita anggota Gerwani digambarkan sebagai wanita-wanita yang lebih hina dari pelacur, yang bejat, kejam dan biadab; juga sebagai wanita-wanita Komunis yang tak atheis da tak bermoral.

Kampanye fitnah Jendral Suharto ternyata efektif. Diciptakan kebencian luar biasa di kalangan penduduk terhadap Gerwani dan PKI. Dari situ dimulai kampanye pembantaian masal terhadap anggota-anggota PKI, Gerwani dan para ormas pendukung politik PKI, para pendukung Presiden Sukarno dan kaum Kiri dan demokrat lainnya.

* * *

Profesor Dr Saskia Eleonora Wieringa, seorang PhD tamatan Belanda, yang fasih berbahasa Indonesia, melakukan riset lapangan yang panjang, luas dan mendalam mengenai GERWANI, dan kampanye penghancuran gerakan wanita Indonesia, khususnya yang diorganisasi oleh Gerwani.

Hasilnya adalah sebuah buku berjudul “THE POLITIZATION OF GENDER RELATIONS IN INDONESIA – WOMEN'S MOVEMENT & GERWANI UNTIL THE NEW ORDER STATE' (Suatu Academisch Proefschrift, untuk meraih titel doctor pada Universitas Amswterdam). Ini berlangsung pada tanggal 6 Oktober 1995 di Amsterdam.

Setahun setelah jatuhnya Suharto terbit Edisi Indonesia, berjudul PENGHANCURAN GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA ( Tebal: 593 halaman, Penerbit Garba Budaya, 1999).

* * *

Baik kita simak sedikit cerita Saskia Wieringa sendiri mengenai bukunya itu, akan kita baca a.l sbb:

“Jelas sejarah kita dibangun oleh para “sejarawan”yang mengabdi kekuasaan militer . . . Kita yang sudah disiksa dan kalah jangan sekali-kali menjadi putus asa. Kita harus berjuang untuk hidup. Generasi muda harus belajar dan tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa lalu. Sejarah harus ditulis di atas kejujujuran, sehingga generasi-generasi mendatang tidak akan salah mengerti.
(Dok IX 1992.22).

Sejarah yang dimaksud dalam kutipan tsb meliputi jangka waktu setengah abad, yaitu sejak Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sampai sekarang, dan khususnya sekitar tahun-tahun 1965, ketika Orde Lama Sukarno digantikan dengan Orde Baru Suharto. Mereka yang “telah disiksa dan dikalahkan” itu adalah orang-orang dari Partai Komunis Indonesia dahulu, atau dari organisasi ini dan itu yang termasuk dalam 'Keluarga Komunjis”, seperti misalnya organisasi perempuan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).

Footnote 1: Saya pakai istilah “Keluarga Komunis”dengan maksud meliputi PKI dan ormas-ormas kaitannya, yaitu Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Pemuda Rakyat, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, BTI (Barisan Tani Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan HSI (Himpunan Sarjana Indonesia). Pada 1964 dikatakan keluarga ini terdiri dari sekitar 27 juta anggota (HR 20 Agustus 1965). Angka ini harus dibaca dengan hati-hati, oleh karena kenyataannya banyak terjadi keanggotaan rangkap.

Footnote 2: Antara 1950-54 organisasi ini bernama Gerwis. Saya pakai Gerwani untuk menyebut organisasi ini secara umum, dan hanya memakai sebutan Gerwis jika dimaksud khusus tentang priode tersebut sampai Kongres Ke-1 tahun 1954.

* * *

Subarto tampil ke atas singasana kekuasaannya dengan menciptakan kampanye kekerasan yang tak ada tolok bandingannya di masa lalu, dan dikuatkan pula dengan tuduhah pesta-pesta seksual yang konon dilakukan para anggota Gerwani.

Orde Baru tidak hanya dibangun di atas timbunan mayat-mayat, yang diperkirakan sebanyak satu juta, dari orang-orang tak berdosa yang dibantai selama bulan-bulan terakhir tahun 1965 dan bulan-bulan pertama tahun 1966. Tapi Orde Baru juga dibangun di atas pembasmian kekuaatan kaum perempuan, yang telah berhasil diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, kekuatan yang oleh musuh-musuh mereka dilukiskan melalui sejumlah metafora seksual.

Selanjutnya Wieringa: Tidak banyak perhatian diberikan pada masa genting dalam sejarah modern Indonesia ini, baik oleh peneliti dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Seperti John Legge mengakui “barangkali karena yang dibunuh adalah orang-orang Komunis maka sedikit banyak hati-nurani dunia luar seakan-akan tidak terusik oleh apa yang harus digolongkan, apa pun penilaiannya, sebagai salah satu pembantian paling keji dalam sejarah modern” (Legge 1972:399)(huruf tebal dari saya: I.I.) Jelas jika Amerika Serika menjadi merasa lega, bila selain berada di tengah kemelut Perang Vietnam, Sukarno, yang mereka pandang sebagai pengacau dunia yang hendak menyerahkan Indonesia ke tangan kaum Komunis yang berbahaya itu, telah berhasil disingkirkan oleh seorang jendral kanan yang dengan segala daya membawa Indonesia ke jalan kapitalis.

Seorang penagamat kekuasaan Suharto, Vatikiotis (1993:34) menulis: “Indonesia, citra buruk bagi para pengamat politik luar negeri Amerika Serikat itu, dalam tahun 1960-an tiba-tiba memberi bukti paling terang, bahwa tidak semua kekuasaan yang dibangun di atas laras senjata adalah buruk”.

Dalam kajian ini saya akan membuktikan, bahwa alasan lain mengapa Dunia Barat tutup-mulut itu ialah, karena ketakmampuannya memahami tali-menali dan intrik-intrik yang ada di balik kampanye ketidak-amanan dan pembunuhan-embunuhan masal, yang dilakukan sesudah kup “pertama” pada 1 Oktober 1965. Kampoanye beserta akibat-akibatnya itu saya pandang sebagai kup yang “kedua”, yang dengan diam-diam telah mengangkat Suharto ke tahta kekuasaannya. Para pengamat umumnya mengabaikan adanya kup yang kedua ini, atau sekadar mengatakannya sebagai periode genting dalam sejarah Indsonesia yang “tidak bisa dimengerti”(Tornquist 1984:54). Beberapa penulis mengakui, bahwa keberhasilan Suharto naik tangga kekuasaan terjadi dalam dua tahap (Southwood dan Flanagan 1983; Pohan 1988; Vatikiotis 1993). Walaupun begitu orang mengabaikan mekanisme di balik tali-menali kup yang ke dua itu.

--Suharto tampil di atas tahta kekuasaan di tengah kemelut kejadian-kejadian susudah kup yang gagal, dan yang sampai sekarang samasekali bleum jelas . . . Suharto dan kelompok kecil pendukugnnya mengambil kesempatan itu, seolah-olah tampik tanpa rencana sebelumnya yang terlalu jauh
.
* * *

Dalam kejadian-kejadian tersebut, kup tanggal 1 Oktober 1965 merupakan kejadian terpenting yang perlu dijelaskan. Karena entah bagaimanapun juga, memang kejadian inilah yang akhirnya telah membukakan jalan bagi Suharto naik ke jenjang kekuasaan. Sebagai akibatnya, diabaikanlah kecerdikan Suharto dalam memanipulasi pendapat umum segala dalih dan kebohongan telah digubahnya untuk menciptakan kondisi kekacauan masyarakat, serupa seperti adegan gara-gara dalam pergelaran wayang. Vatikiotis berpendapat,misalnya, bahwa mungkin orang-orang di sekitar Suharto itulah, khususnya para perwira kesatuan khusus di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, yang telah mendorong Suharto merebut kekuasaan”. (Vatikikotis 1993 :240). Kampanye ideologi dan pembunuhan-pembunuhan massal yang melandasi Orde Baru memang dilihat dengan kesedihan, namun begitu telah dianggap sebagai kejadian-kejadian yang tersendiri.

“Yang mengawali penyusunan orde baru dan pembangunan kembali ekonomi Indonesia, merupakan periode lanjutan kekacauan yang pendek tapi berdarah. Orde Baru telah mengeksploitasi keadaan masyarakat warisan jaman Sukarno yang sangat terpolarisasi, untuk menumpas kawan-kawannya dan memberikan jalan keluar untuk terjadinya pertumpahan darah katarsis itu (Vatikiotis 1993:33).

Sementara Dunia Barat demi alasan-alasannya sendiri berdiri di kejauhan, di Indonesia oposisi dipukul atau dengan cerdiknya dibikin tutup mulut oleh pemerintah melalui represi yang kejam. Tidak hanya dengan pembunuhan terhadap ratusan ribu orang-orang yang tak berdosa, tapi juga dengan menahan puluhan ribu lainnya, bahkan ada di antara mereka yang sampai lebih dari dua puluh tahun. Hanya sedikit saja dari para tahanan itu yang dibawa ke depan mahkamah pengadilan, notabene pengadilan kanguru sekalipun. Mereka yang selamatpun masih terus menderita.

Bahkan sampai sekarang kartu penduduk para bekas tapol dan napol masih harus bercap “ET” (eks-tapol). Cap ini menjadi kendala yang efektif bagi mereka untuk bisa memperoleh kesempatan bekerja. Pembatasan-pembatasan seperti itu juga diberlakukan terhadap anak-anak, cucu-cucu dan saudara-saudara dekat mereka, jika mereka hendak mencari kerja dan belajar. Untuk bisa diterima bekerja atau masuk balai pendidikan, dengan surat keterangan resmi mereka harus bisa membuktikan bahwa mereka “bersih lingkungan”. Artinya, bahwa tidak ada seorang ET pun ditengah-tgengah keluarga mereka. Banyak eks-tapol yang sampai sekarang masih harus lapor secara teratur kepada penguasa militer.

Namun demikian dampak represi rezim Orde Baru tidak puas berhenti sampai dengan para korban atau keluarga mereka saja. Kampanye sesudah kup 1 Oktober 1965 yang dilakukan Suharto memang tidak hanya dimaksud untuk menumpas Komunisme di Indonesia sampai seakar-akarnya, dan untuk membangkitkaqn kebencian massa terhadap politik Sukarno, sehingga ia akan melepaskan jabatan kepresidennannya. Kampanye ini juga bertujuan untuk menciptakan suasana mental, pembenaran ideologis bagi Orde Baru Suharto. Karena itu saya samasekali tidak seuju terhadap pendapat yang mengatakan, misalnya, bahwa “endapan perasaan tentang periode ini belum memberi corak tertentu pada persepsi umum terhadap kekuasaan Suharto”(Vatikiotis 1993:34)

Menurut pendapat saya, justru “endapan perasaan” semacam itulah yang telah menjadi dasar rezim Suharto, yang tidak saja ditunjang dengan teror fisik yang dilakukan angkatan darat, tetapi sesungguhnya oleh keberhasilannya yang meyakinkan, bahwa apapun yang berkaitan dengan kritik sosial ialah subversif, Komunis, dan akhirnya dikaitkanlah pula dengan perbuatan seksual kaum perempuan “kita” yang tidak senonoh. Saya berpendapat, bahwa hendaknya ke-tak-acuhan politik bangsa Indonesia tidak terlalu dilihat hanya sebagai akibat dari 'stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi”(Vitikiotis 1993) yang telah diciptakan Orde Baru saja. Tetapi, ke-tak-acuhan itu, juga timbul dari bayangan tentang kekacauan masyarakat berikut warna-warna seksualnya, pembunuhan massal yang terjadi karenanya, dan disusul supresi yang tiada putus-putusnya itu. Untuk menjamin agar citra resmi itu tidak rusak, penguasa tetap sangat membatasi kebebasan pers. Pada Juni 1994 yang lalu saja ada tiga majalah deibredel: Tempo, De Tik, dan Editor.

Dengan demikian priode traumatis 1965-1966 dalam sejarah Indonesia itulah, yang menandai pergantian dari Orde Lama Presiden Sukarno ke Orde Baru Presiden Suharto. Kekuasaan Orde Baru dibangun di atas model disiplin dan represi kekejaman militer, di mana setiap referensi mengenai ketimpangan sosial dituding sebagai dijiwai atau berkaitan dengan “subversi Komunis”. Mitos tentang lahirnya Orde Baru diciptakan oleh Presiden Suharto dengan sadar, dan terus-menerus diulang-ulangnya di dalam setiap kampanye indoktrinasi. Dalam hal ini termasuk, antara lain, pemutaran sebuah versi film tentang apa yang disebutnya sebagai “pengkhianatan PKI”.

Kampanye ini dibangun di atas metafora-metafora seksual, khususnya ketakutan laki-laki terhadap kastrasi yang, dengan sejumlah dalih sangat menjijikkan, menggambarkan organisasi perempuan Gerwani (yang dikaitkannya dengan PKI), yang diduga berperanan di dalam kup tersebut. Sampai sekarang analisis-analisis kekuasaan Orde Baeru selalu mengabaikan unsur-unsur kiasan seksual yang melandasi konfigurasi politik Indonesia dewasa ini.

Footnote: Dalam makalah tahun 1995 yang berjudul “The Permued Nightmare” saya tunjukkan, bahwa di bawah jendral Suharto Angkatgan Darat telah membikin kampanye di sekitar peranan yang dituduhkan pada Gerwani dalam kup 1 Opktober 1965 . Belum lama yang lalu Leclrec (1991), dalam sebuah makalah tak diterbitkan, telah mengangkat tema yang sama dengan memusatkan perhatiannya pada monumen yang dibangun di Lubang Buaya, tempat terjadinya pembunuhan para jendral. Tema ini akan saya urai dalam Bab II.

(Kutipan dari buku Prof Dr Saskia Wieringa, berjudul PENGHANCURAN GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA, Bab Pendahuluan, halman xxxix s/d vlvi- selesai).

(Bersambung dalam tulisanku berikutnya, di Bg II, I.I).

* * *














































Wednesday, February 16, 2011

Het Vaticaan En De Evolutietheorie van Charles Darwin

Het Vaticaan
En De Evolutietheorie van Charles Darwin
Ibrahim Isa,
07 november 2010


Beste vrienden,
MAYA KEUNING (19), onze kleindochter nummer 3 van de 7 kleinkinderen, zit nu in de faculteit geneeskunde UVA, maar is steeds enthousiast met haar BAHASA INDONESIA (ondanks haar drukke agenda met de UVA).

Sinds twee jaar geleden is zij begonnen met Indonesische lessen van haar opa.
Mijn echtgenote Murti en ik vinden haar gretigheid om de moedertaal van haar moeder te beheersen geweldig.

Zover, heeft zij drie van mijn essays (Indonesisch) in het Nederlands kunnen vertalen.
Het was mijn bedoeling om haar niet alleen de BAHASA te kunnen beheersen, maar ook om haar kennis over Indonesië en algemeene wetenschap te ontwikkelen.

En dat is wel gelukt!

* * *

Het Vaticaan
En De Evolutietheorie van Charles Darwin
Ibrahim Isa,
07 november 2010

Dit artikel is 15 november 1996 gepubliceerd, in de tijd dat Indonesië nog onder het bewind was van President Suharto. De wereld van communicatie was nog een sprong aan het maken, de mediawereld was nog niet wat het nu is. Het geeft nu de mogelijkheid om te communiceren en informatie uit te wisselen op een goedkope wijze, je zou kunnen zeggen gratis, opdat het door veel mensen kan worden bereikt en benuttigd.

Mijn persoonlijke notities over verschillende gebeurtenissen vanaf het jaar 1996 worden gepubliceerd door mij. Maar waarom pas vanaf het jaar 1996? Omdat ik toentertijd de voorwaarde, de mogelijkheid en de middelen tot mijn beschikking had voor het publiceren van mijn aantekeningen.

Nu ik deze notities weer terug lees na bijna 15 jaar ervaar ik het als verfrissend om terug te denken aan deze gebeurtenissen. Ook was het een manier om een les te trekken uit mijn eigen notities en de gebeurtenissen. Ik wilde dit artikel weer publiceren enkel om dit verhaal te delen; hopelijk zullen we er allemaal wat aan hebben.

Deze keer betreft het dit volgende artikel:
Het Vaticaan en de evolutietheorie van Charles Darwin
Amsterdam, 15 november 1996

Enkele keren is de evolutietheorie opgekomen in mijn gedachten. De oorzaak is dat er onlangs een discussie is ontstaan in Nederland over wat er wel en niet moet worden getoetst in het landelijk eindexamen. Toen was het tijdperk van het CDA-kabinet, die de examenvragen over de evolutietheorie had afgeschaft. In het begin van het jaar 1995 werd dit probleem opnieuw een onderwerp van discussie; de vragen die verband hadden met de theorie van Darwin waren wederom voorgesteld om getoetst te worden. De kerkelijke maatschappij en de christelijke partijen maakten hiertegen bezwaar, omdat dit zou betekenen dat de scholen gedwongen zijn de theorie ook in de les aan de leerlingen te onderwijzen. Terwijl de theorie van Darwin uiteraard in tegenstelling was met de christelijke leer.

Nee, sprak de andere partij tegen. Dit is geen zaak van dwang, omdat de Darwin theorie de studenten een visie leert die bestaat in deze wereld. Het is een van de theorieën van de antropologische wetenschap.

In verschillende door de kerk uitgebrachte tijdschriften zijn artikelen te vinden die de theorie van Darwin tegenspreken. Jammergenoeg is de argumentatie moeilijk te categoriseren als wetenschappelijk. Volgens de Bijbel is de mens gecreëerd met God zelf als het voorbeeld. Het idee dat de mens in een directe lijn afstamt van apen zal dan inderdaad afgrijselijk zijn voor hen om te accepteren.

Het volgende was buiten verwachting. Een maand hiervoor, oktober 1996, publiceerde De Academie voor de Wetenschappen van het Vaticaan een artikel van de hand van de Paus. De evolutietheorie, zo zegt de Paus, is blijkbaar meer dan alleen een hypothese.

Desondanks staat de ziel van de mens helemaal los van deze zaak, omdat de ziel door God gecreëerd is zonder dat er evolutie heeft plaatsgevonden.

Hiermee werd de rehabilitatie van Darwin waargemaakt door Paus Johannes II, nadat hij ook Galilei had gerehabiliteerd. Wij denken dat Paus Pius XII in het jaar 1950 erkende dat de evolutietheorie van Darwin een serieuze hypothese is. Hoewel het niet de enige is. De Paus waarschuwde ook dat een enthousiaste groep communisten Darwin's theorie zou kunnen misbruiken als propaganda voor hun materialistische dialectiek en zou kunnen aanzetten tot het verdwijnen van het geloof in God.

Duidelijk is dat het denken van de huidige Paus Johannes Paulus II een ontwikkeling heeft doorgemaakt. Hij legde uit dat wetenschappelijke uitvindingen al sinds 1950 de evolutietheorie bevestigen. Hij sprak over evolutietheorieën in het algemeen en maakte duidelijk dat hij tegen een materialistische visie op zich is, die de ziel totaal buiten bespreking laat. Hier ziet de Paus een zekere compromis tussen de leer van de fysieke evolutie en de Katholieke leer van de schepping van de ziel.

Volgens Vaticaan-specialist Marci Politi, medeschrijver van het boek 'Zijne Heiligheid' dat voor veel opschudding zorgde, was de rehabilitatie van Darwin veroorzaakt door de bezorgdheid van de Paus over de ontwikkeling van het christelijke fundamentalisme wat vooral voorkwam in de VS. Volgens de christelijke fundamentalistische visie behoort men de Bijbel woord voor woord te volgen en moeten de evolutieleer worden verworpen. De Paus is er zeer op tegen dat de kerk verdreven wordt naar het anti-wetenschap kamp.

De wetenschappelijke wereld ontving deze woorden van de Paus met een houding verschillend van “beter laat dan nooit” tot enthousiastme.

Ik herinner mij nog een gesprek met wijlen dr. A.W.J. Suradi, een toegewijde katholiek.
Dr. Suradi was een dokter op mijn school, de KRIS onderwijsinstelling in Jakarta in 1950. Dr. Suradi is ervan overtuigd dat hij een realist is in de wetenschappelijke wereld. Dat betekent ook dat hij in zijn geestelijke leven een katholiek is die in de Bijbel gelooft. Hij ziet geen massieve muur tussen deze twee zaken. Maar hij maakt wel duidelijk onderscheid, Hij maakt er geen mengelmoes van. Ook hij heeft een houding van een soort compromis.

Dr. Suradi trekt nog sneller zijn conclusies vergeleken met Paus Johannes Paulus II. Dit is een katholieke Indonesiër wiens visies meer helder kunnen zijn dan die van de Paus.

Lang leve Indonesia!

Frans de Waal, een primatoloog, is de schrijver van het boek “Good Natured – The Origins of Right and Wrong in Humans and Other Animals”. Hierin schrijft hij dat 'mensen en andere dieren het vermogen bezitten om oprecht lief te hebben, te sympathiseren en zich zorgen te maken'. Dit feit zal men op een dag helemaal gelijk kunnen zien aan het idee dat genetische verschijning zelf de drijvende kracht is achter de evolutie.

* * *

Sunday, February 13, 2011

RATNA SARUMPAET & Karya Terbarunya: “MALUKU KOBARAN CINTAKU”

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Minggu, 13 Februari 2011
--------------------------------------------
RATNA SARUMPAET & Karya Terbarunya:
“MALUKU KOBARAN CINTAKU”

Di depanku ini terpapar karya sastra terbaru RATNA SARUMPAET (Lahir 16 Juli, 1949, di Tarutung, Tapanuli Utara), sebuah novel baru berjudul “MALUKU KOBARAN CINTAKU”. Diterangkan bahwa buku tsb diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit PT Komodo Books dalam tahun 2010.

“Dunia sebenarnya cenderung damai, tapi ada saja yang ingin mencoba mencari keuntungan dengan menciptakan konflik, dengan memanfaatkan kemiskinan dan keterbelakangan.”, kata Thamrin Ely Y, mantan kepala posko MUI Maluku dan Ketua Delegasi Muslim di Penjanjian Malino. Lewat novel ini, kata Thamrin, Ratna Sarumpaet membuat pembaca bisa memahami ulah provokator dalam setiap konflik.

Budayawan Sofyan Daud, yg pada periode konflik di Maluku Utara (Ternate dan Tidore) terlibat dalam kegiatan rehabilitasi di Maluku Utara, menyatakan kesan a.l sbb: “Konflik Sara di Maluku merupakakan episode paling muram dalam sejarah kemanusiaan Indonesia dekade ini. Ia telah menggerus kerukunan antarsuku dan agama yang berabad dibangun lewat pela pandang.
Lewat novel ini, Ratna Sarumpaet, menyuarakan kembali kearifan humanitas pela pandang.

Awalnya 'pela pandang' disebut Pela dan Gandong. Dalam sistim kekuasaan tradisionil Ambon dan Maluku Tengah, yang terdiri dari beberapa kerajaan kecil, raja-rajanya banyak saling berkait dalam sistim budaya persaudaraan (brotherhood), yang disebut Pela dan Gandong. Suatu persaudaraan atas sumpah setia. Dan 'persaudaraan' ini terjadi di kalangan kerajaan Islam. Juga antara kerajaan Islam dan Kristen. Gandong adalah ikatan paling kuat yang ada secara alamiah, sejak satu atau lebih kerajaan berasal dari satu turunan. Dalam kebanyakan hal Gandong ada antara kaum Muslimin dan kaum Kristen.

* * *

Beruntung dapat kubeli buku itu, pada pertemuan dengan Ratna Sarumpaet, penulisnya, pada hari Jum'at y.l yang diselenggarakan oleh KITLV, Leiden. Suatu pertemuan yang mengesankan!

Sudah lama kudengar dan baca nama RATNA SARUMPAET. Baru hari Jum'at itulah bisa bertemu langsung dan mendengarkan uraiannya di muka sejumlah hadirin yang diundang oleh KITLV. Termasuk Francisca Pattipilohy, yang asal Maluku itu, dan Aminah, ketua DIAN, sebuah grup wanita Indonesia di Belanda.
Isi uraian Ratna Sarumpaet ialah mengenai Maluku. Tapi selalu dikaitkannya dengan situasi dan haridepan Indonesia sebagai nasion muda yang dewasa ini menghadapi begitu banyak masalah. Ratna Satumpaet menekankan berulangkali bahwa ummat Kristen dan Islam di masa lampau hidup bersama dengan damai, harmonis dan aman. Konflik Maluku lebih 10 tahun yang lalu, meskipun belum tuntas, tetapi pada pokoknya KINI SUDAH SELESAI. Satu antara lain berkat pertemuan PERJANJIAN MALUKU Di MALINO.

Baik juga disimak sedikit bagian penting isi dari “Perjanjian Maluku di Malino”, a.l.
“Konflik Maluku yang sudah lebih tiga tahun ini telah menyebabkan korban ribuan jiwa dan harta, kesengsaraan dan kesulitan masyarakat, membahayakan keutuhan NKRI serta menyuramkan masa depan rakyat Maluku. Karena itu, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, kami umat Islam dan Kristen Maluku, dengan jiwa terbuka dan hati yang tulus, serta niat untuk hidup dengan kebinekaan dalam persatuan bangsa, bersama pemerintah Republik Indonesia, sepakat mengikat diri dalam perjanjian:
1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan kekerasan.
2. Menegakkan supremasi hukum secara adil, tegas, dan jujur, tidak memihak, dengan dukungan seluruh seluruh masyarakat. Karena itu, aparat penegak hukum harus bersikap profesional dalam menjalankan tugas.
3. Menolak, menentang, dan menindak segala bentuk gerakan separatisme yang mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI, antara lain RMS.
4. Sebagai bagian dari NKRI maka rakyat Maluku berhak untuk berada, bekerja, dan berusaha di seluruh wilayah Republik Indonesia, begitu pula sebaliknya, rakyat Republik Indonesia dapat berada, bekerja, dan berusaha di wilayah propinsi Maluku secara sah dan adil dengan memerhatikan dan mentaati budaya setempat.

Khusus ditekankan di “Perjanjian Malino” ( fasal 10) perlunya “Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi antar seluruh masyarakat pemeluk agama di Maluku, maka segala upaya dan usaha dakwah dan penyiaran agama harus tetap menjunjung tinggi kemajemukan dengan mengindahkan budaya setempat.”
* * *
Dalam uraiannya itu Ratna Sarumpaet, atas pertanyaan, menandaskan bahwa konlfik Maluku, hakikatnya bukan konflik agama, tetapi rekayasa di kalangan yang punya kuasa, demi kekuasaan.
Ketika menjelaskan tentang karya sastranya terbaru MALUKU KOBARAN CINTAKU, berulangkali Ratna menandaskan bahwa apa yang diceriterakan tentang aparat dan apa yang mereka lakukan di Maluku, terutama sekitar 'konflik Maluku' adalah benar adanya. Bukan fiksi!

* * *

Seyogianya sudah banyak yang tahu atau kenal siapa RATNA SARUMPAET, penulis dan aktivitis kemanusiaan dan demokrasi Indonesia, yang tergolong generasi penerus (61th). Ditambahkan di sini informasi mengenai Ratna Sarumpaet sekadar sebagai pelengkap.

Di Indonesia maupun di mancanegara Ratna Sarumpet dikenal sebagai salah seorang seniman/penulis yang banyak aktif di bidang teater. Kepeduliannya terhadap masalah kehidupan kongkrit bangsa yang sebagian terbesar masih miskin dan papa, mendorong Ratna mendirikan 'Ratna Sarumpaet Crisis Centre'.

Nama Ratna Sarumpaet benar-benar mencuat dan menggemparkan ketika ia mementaskan MONOLOG MARSINAH MENGGUGAT. Begitu keras gugatan dalam monolog Marsinah Menggugat dan begitu mengekspos pengasa, maka banyak dilarang di sejumlah daerah. Tema-tema karya seni Ratna selalu blak-blakan mengupas masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Dan Ratna selalu secara frontal menyodorkannya kepada penguasa. Menuntut tanggungjawab mereka!September 1997 Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan dalih DNA korban terkontaminasi, Ratna Sarumpaet cepat mengantisipasi bahwa pengausa hendak membungkam rakyat. Agar persoalan nasib buruh kecil dari Sidoarjo itu, dibungkam samasekali.

Seperti secepat kilat lahir karya monolog Marsinah Menggugat. Monolog ini disosialisasikan melalui tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera. Penguasa juga serta-merta memvonisnya sebagai karya provokatif. Di setiap kota yang didatangi, Ratna dan timnya terus ditekan dan disabot oleh aparat. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh sekitar lima ratusan pasukan anti huru-hara dilengkapi senjata dan tank.

Dengan populernya Marsinah Menggugat, Ratna telah membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat dan menjadi perhatian dunia.
Ratna Sarumpaet mencurahkan perhatian dan fikirannya pada rakyat yang tertindas. Dan itu dilakukannya tanpa beban dan rasa takut. Ia membela Marsinah dan rakyat Aceh meskipun selalu harus menghadpi represi penguasa Orde Baru.

Ratna Sarumpaet selalu sibuk dengan pelbagai kegiatan budaya dan sosial masyarakat, kemanusiaan dan hak-hak manusia dan hak-hak demokrasi. Namun, selama limabelas tahun belakangan ini, sebagai seniman/penulis Ratna Sarumpaet telah menghasilkan sembilan naskah drama. Semua naskah ini ditulis karena kegelisahannya menghadapi kekuasaan. Karena penguasa sering sekali menindas rakyat kecil dan kelompok minoritas.

Karya-karya seni yang disutradarainya sendiri itu dan dipentaskan oleh kelompok drama SATU MERAH PANGGUNG, adalah sbb:
Rubayat Umar Khayam (1974) Dara Muning (1993), Marsinah, Nyanyian Dari Bawah Tanah (1994), Terpasung (1995), Pesta Terakhir (1996), Marsinah Menggugat (1997), ALIA, Luka serambi Mekah (2000), Anak-anak Kegelapan (2003) Jamila & Sang Presiden (2006).

* * *

Ketika Suharto masih kuasa, pada akhir 1997 Ratna mengorganisasi lebih 40 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, Ia membentuk aliansi Siaga. Suatu organisasi yang pertama kali, terbuka menyerukan agar Suharto turun, Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini dikepung oleh bertruk-truk aparat. Ratna, bersama tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar.
Sesaat setelah Ratna ditangkap, salah seorang diplomat asing di Indonesia mengatakan dihadapan wartawan, a.l sbb: “Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Ia punya kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah”.
Karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna, yang dikurung 70 hari dalam penjara aparat, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, Ratna Sarumpaet menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Hadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.

Keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna.

Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk.
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presiden Suharto dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Fondation of Human Rights in Asia. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA, Luka Serambi Mekah.
Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah ‘Talk Show’ di sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan demokrasi ini memutuskan mundur.

Akhir 1997 Ratna mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lmembentuk aliansi Siaga. Organisasi pertama yang terbuka menyerukan agar Suharto turun, Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justeru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini dikepung oleh bertruk-truk aparat. Ratna, bersama tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar.
Sesaat setelah Ratna ditangkap, salah seorang diplomat asing di Indonesia mengatakan dihadapan wartawan, a.l sbb: “Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Ia punya kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah”.
Karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna, yang dikurung 70 hari dalam penjara aparat, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, Ratna Sarumpaet menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Hadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.

Keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna.

Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk.
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presiden Suharto dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Fondation of Human Rights in Asia. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA, Luka Serambi Mekah.
Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah ‘Talk Show’ di sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan demokrasi ini memutuskan mundur. * * *

*AHMADIYAH DI INDONESIA*

*IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita *

*Jum'at, 11 Februari 2011*

*-------------------------------------------*

*AHMADIYAH DI INDONESIA*

**

Historikus muda Bonnie Triyana, pemimpin website "HISTORIA", berusaha keras mempraktekkan salah satu tujuan “HISTORIA”, yaitu mempopulerkan, mensosialisasikan secara kritis, analitis dan populer sejarah bangsa Indonesia. Supaya bangsa ini menjadi sadar mengenai sejarahnya sendiri. Dalam hal ini termasuk yang bersangkutan dengan pelbagai aliran dalam Islam, seperti aliran Ahmadiyah. Kasus yang sedang ramai dan hangat menjadi bahan pemikiran, tanggapan, komentar pelbagai tokoh pemerintah, termasuk SBY, dan media cetak serta elektronik.



Mengenai Ahmadiyah menjadi serius dan gawat, disebabkan oleh tindakan kekerasan sekelompok yang beraliran lain terhadap pengikut aliran Ahmadiyah sehingga mengakibatkan beberapa pengikut Ahmadiyah tewas. Serta sikap 'misterius' aparat dan penguasa setempat, maupun pusat yang tak berdaya menghadapi tindakan kekerasan sementara kelompok yang menggunakan jubah agama, terhadap sesama warganegara penganut Ahmadiyah.



Bonnie Triyana menyanjikan tulisannya, terlepas dari keberat-sebelahan. Ia menguak ke catatan sejarah serta menyanjikan fakta-fakta dan dokumentasi. Artikel Bonnie berusaha keras mempertahankan kebebasan dalam penelitian dan penulisan sejarah atas dasar obyektifitas.

Tulisan Bonnie Triyana singkat padat. Namun cukup menyeluruh. Penting dalam tulisan Bonnie ialah uraiannya mengenai sikap Bung Karno sejak masa mudanya sampai menjadi Presiden Republik Indonesia terhadap aliran Ahmadiyah.

Seperti ditulis oleh Bonnie Triyana mengenai Sukarno dan Ahmadiyah, sbb: (kutip)

“Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal “pengeramatan” yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad.”



* * *



Lebih penting lagi ialah saran yang disampaikan Bonnie Triyana dalam tulisannya itu kepada pemerintah SBY, yaitu:

“Ada baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu di antara dua pilihan: membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas".

Bravo Bonnie!


* * *

*BONNIE TRIYANA: *

*AHMADIYAH DI INDONESIA*

*Sukarno merangkulnya, Gus Dur membebaskannya dan MUI mengharamkannya.***

SEORANG lelaki telungkup bersimbah darah. Sekarat tak berdaya. Seperti belum puas, beberapa orang beringas yang berdiri mengelilinginya memukulkan lagi sebilah bambu. /Plak!!/ Sebuah pukulan mengenai bagian belakang kepala lelaki malang itu sekaligus mengakhiri riwayat hidupnya. Pekik takbir terus menggema, merayakan kematiannya. Adegan itu tampak dari sebuah tayangan video insiden berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten (6/2) lalu dan sekaligus terparah semenjak tiga tahun terakhir.



Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, /www.alislam.org/, ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.



Ahmadiyah berhasil meraih pengikut dari kalangan terdidik yang bisa dengan cepat menerima ajarah Mirza Ghulam Ahmad. Namun demikian masuknya Ahmadiyah ke Indonesia menuai respons dari beberapa kalangan. Perdebatan pun terjadi di mana-mana. Sebagian kelompok muslim lain menganggap pengikut Ahmadiyah sesat karena mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang sama artinya menafikan bahwa Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.



Kontroversi keberadaan Ahmadiyah tak serta-merta berakhir dengan kekerasan. Perbedaan pendapat dan penafsiran itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek. Pada 28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka untuk membahas Ahmadiyah. Ada sekira 10 organisasi yang hadir antara lain Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan itu menarik minat masyarakat sehingga gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang antusias. Sejumlah suratkabar ternama seperti /Sipatahunan/, /Sin Po/, /Pemandangan /dan /Bintang Timur/ meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi ahli Islam, datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya acara.



Acara debat itu dihadiri oleh Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang mewakili Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite Munazarah ditunjuk sebagai moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator mengumumkan peraturan kepada para penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat, meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara, khususnya dari perwakilan Ahmadiyah.



Baik pada malam pertama dan kedua panelis mengajukan argumennya masing-masing. Ahmad Hassan mempertanyakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub pun mengajukan argumentasi untuk mendukung pendiriannya di Ahmadiyah. Acara pada malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton. Karena sejak awal moderator telah mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan, acara debat pun berakhir damai. Kendati para panelis berkeras pada pendiriannya, tak ada yang saling memaksa untuk mengubah pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.



Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun sempat digosipkan sebagai pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip miring itu adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politiek Inlichtingen Dients) yang bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di pengasingannya di Ende. Untuk menepis sassus itu, pada 25 November 1935 Sukarno menulis sebuah artikel berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi”.



Dalam artikelnya itu Sukarno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaat Ahmadiyah. “Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi buat bagian Celebes! Sedang pelesir ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh! Di Endeh memang saya lebih memperhatikan urusan agama daripada dulu. Di samping saya punja studi /sociale wetenschappen/, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punya ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama personnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu.”



Sukarno menampik keras tuduhan itu. Dia lebih suka disebut sebagai penganut Islam yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. “Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya /features/ yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (/broadmindedness/), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya /systematische aannemelijk makingvan den Islam/. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, /broadminded/ dan logis itu.”



Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal “pengeramatan” yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi yang terbangun antara Sukarno dengan Ahmadiyah bisa dilihat dari selembar foto di mana dia tampak berbicara santai dengan dua tokoh Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz Quadratullah pada resepsi perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.



Menurut Iskandar Zulkarnain, penulis buku /Gerakan Ahmadiyah di Indonesia/, tiga tahun setelah pertemuan itu, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang pengesahan jamaah Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tercantum dalam ketetapan menteri tanggal 13 Maret 1953 No. JA.5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 22, 31 Maret 1953. Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara No. 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia.



Keputusan itu merupakan pengakuan pemerintah terhadap eksistensi warga Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia. Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Ahmadiyah sebagai organisasi yang memilki hak dan kewajiban yang setara dengan organisasi keagamaan lainnya. Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah sekaligus wajib menaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.



Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni 1980 memfatwa bahwa jamaah Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun pada era Orde Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar tindak kekerasan yang menyerang warga Ahmadiyah.



Dari /Ensiklopedi Islam /yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang diketuai Prof Dr Harun Nasution disebutkan bahwa kedua golongan Ahmadiyah itu tetap percaya penuh pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga disebutkan beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir dan Takdir-Nya. Masih dari /Ensiklopedi Islam/, sebagaimana dikutip dari buku /Gerakan Ahmadiyah di Indonesia/, kedua golongan Ahmadiyah itu percaya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah /Khatamul Anbiya/ (nabi penutup). “Namun”, demikian Harun Nasution dan Tim Penyusun, “Mereka (Qadian) mentakhsiskan atau menyempitkan artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syari’at. Sementara itu nabi-nabi yang tidak membawa syari’at masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad SAW. Rupanya itulah pangkal perselisihan yang tak kunjung usai.



Perselisihan penafsiran itu sempat berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde Lama. Pelaku kekerasannya tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang anggota Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh pemerintah dengan tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962. Selanjutnya pada masa Orde Lama Ahmadiyah relatif bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang tanpa gangguan kekerasan.



Di era pemerintah Gus Dur jamaah Ahmadiyah semakin menemukan momentum kebebasannya. Presiden yang terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu membuka keran kebebasan berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa takut mengalami kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas Ahmadiyah pun diselenggarakan di kampus-kampus, seperti yang pernah diselenggarakan pada 24 Juli 2000 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



Pada hari-hari terakhir ini Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas berjatuhan. Beberapa kelompok memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu di antara dua pilihan: membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas.



** * **

Thursday, February 10, 2011

Untuk SBY: “Bilang Saja, Saya tidak Mampu” *

*Kolom IBRAHIM ISA*
Kemis, 13 Januari 2011
---------------- -----

SARAN”(!!!) -- Untuk SBY:
“Bilang Saja, Saya tidak Mampu” *

“Bilang saja saya tidak mampu”, adalah kata-kata keras dan tajam berasal
dari *Ahmad Syafii Maarif*, mantan ketua Muhammadiyah. Memang dia orang
Sumatera, orang Minang. Bukan orang Jawa. Omongannya, keluarnya 'ces
pleng' begitu saja. Tidak kasar. Juga bukan 'kurang sopan'. Jelas!
Tegas! Di satu fihak, saran itu supaya SBY mundur saja sebagai Presiden
RI, meskipun belum penuh masa jabatannya sebagai presiden yang dua kali
berturut-turut terpilih langsung. Di lain fihak, diberikan alasan yang
jelas, Yaitu 'tidak mampu'. Maka, tidak bisa ada salah tafsir. Bukan
karena melakukan pelanggran hukum berat, seperti korupsi atau melakukan
pelanggaran HAM berat.


* * *


Kalangan cendekiawan, cukup mengenal siapa Ahmad Syafii Maarif (lahir:
1935). Dalam tahun 1985 terbit bukunya: *Islam dan masalah kenegaraan :
studi tentang pecaturan dalam Konstituante. *Buku tsb adalah sebuah
revisi dari tesis PH.D-nya, berjudul “Islam as the basis of state” yang
diraihnya di University of Chicago (1982).


Kritikan tajam Ahmad Syafii Maarif kepada SBY tsb adalah sebagian dari
kritik yang diajukan oleh sembilan orang tokoh agama. Selain Maarif,
terdapat Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Uskup D Situmorang, Biksu
Pannyavaro, Salahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis
Suseno, dan Romo Benny Susetyo. Mereka beranggap bahwa pemerintahan
Presiden Yudhoyono, sesudah lebih setahun menjabat, --- dan sebelumnya
SBY sudah lima tahun menjabat presiden pilihan langsung, -- telah gagal
mengemban amanah rakyat. Pemerintah terlalu banyak berbohong atas nama
rakyat.


Maarif tidak membatasi kritiknya hanya pada SBY. Tetapi juga sampai ke
kepala desa. Maarif mengingatkan pemerintah, mulai presiden hingga
kepala desa, untuk membuka telinga lebar-lebar. "Telinganya harus dibuka
untuk mendengar aspirasi rakyat. Jangan ditutupi telinganya." . . .
Ditegaskannya bahwa selama pemerintahan SBY tidak ada perubahan yang
fundamental, khususnya bersangkutan dengan beleid yang mantap mengenai
masalah kemiskinan, kesulitan ekonomi dan hukum, yang tidak bisa
ditegakkannya.


Selanjutnya para pemuka agama itu berrencana mengajak umat mereka
melawan kebohongan pemerintahan Presiden Yudhoyono.


Salah seorang dari sembilan tokoh agama itu, *Romo Benny Susetyo*,
ketika membacakan pernyataan bersama mereka, menandaskan sbb: "Kami
menghimbau elemen bangsa, khususnya pemerintah, untuk menghentikan
segala bentuk kebohongan publik" Para tokoh lintas agama sepakat, bahwa
sistem ekonomi neo-liberalisme yang dijalankan pemerintah telah gagal
meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,8 persen.


Benny: "Rakyat kecil tidak pernah merasakan keadilan dari pertumbuhan
ekonomi semu itu. Ini berlawanan dengan tuntutan Pasal 33, UUD 1945,*"
Ekonomi Indonesia sudah keluar dari jalur Undang-Undang Dasar (UUD-RI).
Kecenderungan pasar bebas dalam sistem ekonomi Indonesia adalah
penghianatan terhadap apa yang tercantum di pembukaan UUD 1945. Kondisi
tersebut, diperburuk oleh sikap pemerintah yang masih mengedepankan
pencitraan. Demikian Romo Benny Susetyo.


* * *

Demikianlah, --- Sampai sembilan pemuka agama dan kepercayaan menyatakan
kritik terbuka demikian kerasnya kepada pemerintah, khususnya kepada
Presiden SBY. Ini bukanlah hal yang biasa. Mereka-mereka itu bukan
petinggi parpol, bukan politikus, juga bukan aktivis media. Mereka
adalah orang-orang yang sehari-harinya bergumul dengan masalah ilmu,
pendidikan, kepengajaran, kepercayaan dan religi. Bahwa mereka sampai
memerlukan tampil menyuarakan rasahati dan penderitaan masyarakat luas,
--- itu menunjukkan kepedulian mereka atas nasib bangsa ini. Juga
menunjukkn sudah betapa seriusnya keadaan negeri dan bangsa.


* * *

Juga tokoh parpol oposisi Ketum PDI-P,*Megawati Sukarnaputra*, dengan
tajam mengecam kebijakan SBY selama ini. Mega menilai bahwa SBY telah
gagal meletakkan fondasi dasar untuk tercapainya kesejahteraan rakyat
dan keadilan sosial.


Mega menilai pemimpin yang hanya mementingkan pembangunan citra. sebagai
sumber kegagalan.


*Sofyan Wanandi*, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo),
tidak kurang keras dan tajam sekali dalam penilaiannya terhadap janji
dan politik SBY. Wanandi: "Apa yang dijanjikan Presiden SBY untuk memacu
perekonomian tidak ada yang berjalan". Berbagai klaim keberhasilan
pertumbuhan ekonomi nasional setelah 15 bulan periode kedua pemerintahan
Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhyoono (SBY) dianggapnya hanya
isapan jempol belaka.

Fokus pencitraan dan pergulatan kepentingan politik menghabiskan energi
pemerintah untuk mendorong roda ekonomi nasional bergulir dengan cepat
di tengah persaingan menjadi pemain dominan dalam percaturan ekonomi
global.

Wanandi menegaskan "Semua klaimekonomi dsb> itu adalah semu. Pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai
bukanlah timbul dari hasil kinerja pemerintah. Ekonomi (nasional)
mengalami pertumbuhan karena dunia usaha dan masyarakat (Indonesia
sendiri) yang berjuang sendiri untuk sekedar bertahan atau mencari
peluang untuk berkembang".

* * *

*Bambang Soesatyo*, Anggota Badan Anggaran DPR dan Wakil Ketua Umum
Kadin, dengan argumentasi menguraikan, bahwa, berselang puluhan jam
setelah pemerintah mengumumkan sukses pengelolaan ekonomi negara per
2010, klaim *keberhasilan (pemerintah) itu langsung dicampakkan rakyat.


Ke-tidakpercayaan pada diri sendiri, menyebabkan pemerintah lebih memuja
statistik dan mendengar apa kata orang asing, namun takut mengakui
kegagalannya menyejahterakan rakyat.


Saat Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, memaparkan
penilaian keberhasilan kebijakan pemerintah itu, Awal Januari 2011, ---
Jutaan ibu rumah tangga, bahkan juga para bapak rumah tangga, sedang
menggerutu karena nilai tukar uang belanja harian keluarga-keluarga
anjlok akibat kenaikan tajam harga kebutuhan pokok.


Ada beberapa keluarga diantaranya tewas akibat mengkonsumsi tiwul karena
tak sanggup membeli beras. Demikian ditandaskan Bambang Soesatyo.


* * *


Begitu antusias pemerintah mengklaim keberhasilannya selama ini,
demikian pula maraknya komentar kritis dan tajam media dan masyarakat,
termasuk tokoh-tokoh pemuka agama seperti yang diuraikan di atas. Semua
mengungkap dan membongkar kepalsuan serta kebohongan klaim keberhasilan
pemerintah itu.


Penderitaan disebabkan tekanan ekonomi yang mencekik rakyat kecil,
termasuk golongan tengah yang luas, tidak bisa diselubungi dengan klaim
'keberhasilan pertumbuhan ekonomi', seperti dikatakan Menteri Hatta Rajasa.


Apakah jalan buntu yang dihadapi pemerintah SBY ini bisa dicari
solusinya pada suatu politik tambal sulam? Dengan mengadakan suatu
'perubahan kabinet', misalnya. Mengganti menteri yang satu dengan
menteri lainnya. Apalagi bila tindakan itu semata-mata untuk memperoleh
tambahan dukungan parpol di DPR. Supaya bisa berkuasa terus. Juga untuk
lebih lanjut menumpulkan daya kritis sementara politisi dan parpol.


Ataukah jalan keluar itu, seperti yang disarankan oleh Ahmad Syafii
Maarif kepada Presiden SBY, yaitu:


“BILANG SAJA SAYA TIDAK MAMPU”.


* * *


Yang tidak boleh berhenti, -- adalah kegiatan pengontrolan, teristiwewa
oleh media yang bertanggungjawab yang peduli nasib negeri dan bangsa
ini, terhadap tindak-tanduk politik pemerintah -- adalah pengugkapan,
kritik, pembongkaran kebobrokan masyarakat, khususnya kritik terhadap
kebijakan ekonomi pemerintah yang berorientasi pada modal asing, Bank
Dunia dan IMF.



* * *