Sunday, February 13, 2011

RATNA SARUMPAET & Karya Terbarunya: “MALUKU KOBARAN CINTAKU”

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Minggu, 13 Februari 2011
--------------------------------------------
RATNA SARUMPAET & Karya Terbarunya:
“MALUKU KOBARAN CINTAKU”

Di depanku ini terpapar karya sastra terbaru RATNA SARUMPAET (Lahir 16 Juli, 1949, di Tarutung, Tapanuli Utara), sebuah novel baru berjudul “MALUKU KOBARAN CINTAKU”. Diterangkan bahwa buku tsb diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit PT Komodo Books dalam tahun 2010.

“Dunia sebenarnya cenderung damai, tapi ada saja yang ingin mencoba mencari keuntungan dengan menciptakan konflik, dengan memanfaatkan kemiskinan dan keterbelakangan.”, kata Thamrin Ely Y, mantan kepala posko MUI Maluku dan Ketua Delegasi Muslim di Penjanjian Malino. Lewat novel ini, kata Thamrin, Ratna Sarumpaet membuat pembaca bisa memahami ulah provokator dalam setiap konflik.

Budayawan Sofyan Daud, yg pada periode konflik di Maluku Utara (Ternate dan Tidore) terlibat dalam kegiatan rehabilitasi di Maluku Utara, menyatakan kesan a.l sbb: “Konflik Sara di Maluku merupakakan episode paling muram dalam sejarah kemanusiaan Indonesia dekade ini. Ia telah menggerus kerukunan antarsuku dan agama yang berabad dibangun lewat pela pandang.
Lewat novel ini, Ratna Sarumpaet, menyuarakan kembali kearifan humanitas pela pandang.

Awalnya 'pela pandang' disebut Pela dan Gandong. Dalam sistim kekuasaan tradisionil Ambon dan Maluku Tengah, yang terdiri dari beberapa kerajaan kecil, raja-rajanya banyak saling berkait dalam sistim budaya persaudaraan (brotherhood), yang disebut Pela dan Gandong. Suatu persaudaraan atas sumpah setia. Dan 'persaudaraan' ini terjadi di kalangan kerajaan Islam. Juga antara kerajaan Islam dan Kristen. Gandong adalah ikatan paling kuat yang ada secara alamiah, sejak satu atau lebih kerajaan berasal dari satu turunan. Dalam kebanyakan hal Gandong ada antara kaum Muslimin dan kaum Kristen.

* * *

Beruntung dapat kubeli buku itu, pada pertemuan dengan Ratna Sarumpaet, penulisnya, pada hari Jum'at y.l yang diselenggarakan oleh KITLV, Leiden. Suatu pertemuan yang mengesankan!

Sudah lama kudengar dan baca nama RATNA SARUMPAET. Baru hari Jum'at itulah bisa bertemu langsung dan mendengarkan uraiannya di muka sejumlah hadirin yang diundang oleh KITLV. Termasuk Francisca Pattipilohy, yang asal Maluku itu, dan Aminah, ketua DIAN, sebuah grup wanita Indonesia di Belanda.
Isi uraian Ratna Sarumpaet ialah mengenai Maluku. Tapi selalu dikaitkannya dengan situasi dan haridepan Indonesia sebagai nasion muda yang dewasa ini menghadapi begitu banyak masalah. Ratna Satumpaet menekankan berulangkali bahwa ummat Kristen dan Islam di masa lampau hidup bersama dengan damai, harmonis dan aman. Konflik Maluku lebih 10 tahun yang lalu, meskipun belum tuntas, tetapi pada pokoknya KINI SUDAH SELESAI. Satu antara lain berkat pertemuan PERJANJIAN MALUKU Di MALINO.

Baik juga disimak sedikit bagian penting isi dari “Perjanjian Maluku di Malino”, a.l.
“Konflik Maluku yang sudah lebih tiga tahun ini telah menyebabkan korban ribuan jiwa dan harta, kesengsaraan dan kesulitan masyarakat, membahayakan keutuhan NKRI serta menyuramkan masa depan rakyat Maluku. Karena itu, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, kami umat Islam dan Kristen Maluku, dengan jiwa terbuka dan hati yang tulus, serta niat untuk hidup dengan kebinekaan dalam persatuan bangsa, bersama pemerintah Republik Indonesia, sepakat mengikat diri dalam perjanjian:
1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan kekerasan.
2. Menegakkan supremasi hukum secara adil, tegas, dan jujur, tidak memihak, dengan dukungan seluruh seluruh masyarakat. Karena itu, aparat penegak hukum harus bersikap profesional dalam menjalankan tugas.
3. Menolak, menentang, dan menindak segala bentuk gerakan separatisme yang mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI, antara lain RMS.
4. Sebagai bagian dari NKRI maka rakyat Maluku berhak untuk berada, bekerja, dan berusaha di seluruh wilayah Republik Indonesia, begitu pula sebaliknya, rakyat Republik Indonesia dapat berada, bekerja, dan berusaha di wilayah propinsi Maluku secara sah dan adil dengan memerhatikan dan mentaati budaya setempat.

Khusus ditekankan di “Perjanjian Malino” ( fasal 10) perlunya “Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi antar seluruh masyarakat pemeluk agama di Maluku, maka segala upaya dan usaha dakwah dan penyiaran agama harus tetap menjunjung tinggi kemajemukan dengan mengindahkan budaya setempat.”
* * *
Dalam uraiannya itu Ratna Sarumpaet, atas pertanyaan, menandaskan bahwa konlfik Maluku, hakikatnya bukan konflik agama, tetapi rekayasa di kalangan yang punya kuasa, demi kekuasaan.
Ketika menjelaskan tentang karya sastranya terbaru MALUKU KOBARAN CINTAKU, berulangkali Ratna menandaskan bahwa apa yang diceriterakan tentang aparat dan apa yang mereka lakukan di Maluku, terutama sekitar 'konflik Maluku' adalah benar adanya. Bukan fiksi!

* * *

Seyogianya sudah banyak yang tahu atau kenal siapa RATNA SARUMPAET, penulis dan aktivitis kemanusiaan dan demokrasi Indonesia, yang tergolong generasi penerus (61th). Ditambahkan di sini informasi mengenai Ratna Sarumpaet sekadar sebagai pelengkap.

Di Indonesia maupun di mancanegara Ratna Sarumpet dikenal sebagai salah seorang seniman/penulis yang banyak aktif di bidang teater. Kepeduliannya terhadap masalah kehidupan kongkrit bangsa yang sebagian terbesar masih miskin dan papa, mendorong Ratna mendirikan 'Ratna Sarumpaet Crisis Centre'.

Nama Ratna Sarumpaet benar-benar mencuat dan menggemparkan ketika ia mementaskan MONOLOG MARSINAH MENGGUGAT. Begitu keras gugatan dalam monolog Marsinah Menggugat dan begitu mengekspos pengasa, maka banyak dilarang di sejumlah daerah. Tema-tema karya seni Ratna selalu blak-blakan mengupas masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Dan Ratna selalu secara frontal menyodorkannya kepada penguasa. Menuntut tanggungjawab mereka!September 1997 Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan dalih DNA korban terkontaminasi, Ratna Sarumpaet cepat mengantisipasi bahwa pengausa hendak membungkam rakyat. Agar persoalan nasib buruh kecil dari Sidoarjo itu, dibungkam samasekali.

Seperti secepat kilat lahir karya monolog Marsinah Menggugat. Monolog ini disosialisasikan melalui tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera. Penguasa juga serta-merta memvonisnya sebagai karya provokatif. Di setiap kota yang didatangi, Ratna dan timnya terus ditekan dan disabot oleh aparat. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh sekitar lima ratusan pasukan anti huru-hara dilengkapi senjata dan tank.

Dengan populernya Marsinah Menggugat, Ratna telah membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat dan menjadi perhatian dunia.
Ratna Sarumpaet mencurahkan perhatian dan fikirannya pada rakyat yang tertindas. Dan itu dilakukannya tanpa beban dan rasa takut. Ia membela Marsinah dan rakyat Aceh meskipun selalu harus menghadpi represi penguasa Orde Baru.

Ratna Sarumpaet selalu sibuk dengan pelbagai kegiatan budaya dan sosial masyarakat, kemanusiaan dan hak-hak manusia dan hak-hak demokrasi. Namun, selama limabelas tahun belakangan ini, sebagai seniman/penulis Ratna Sarumpaet telah menghasilkan sembilan naskah drama. Semua naskah ini ditulis karena kegelisahannya menghadapi kekuasaan. Karena penguasa sering sekali menindas rakyat kecil dan kelompok minoritas.

Karya-karya seni yang disutradarainya sendiri itu dan dipentaskan oleh kelompok drama SATU MERAH PANGGUNG, adalah sbb:
Rubayat Umar Khayam (1974) Dara Muning (1993), Marsinah, Nyanyian Dari Bawah Tanah (1994), Terpasung (1995), Pesta Terakhir (1996), Marsinah Menggugat (1997), ALIA, Luka serambi Mekah (2000), Anak-anak Kegelapan (2003) Jamila & Sang Presiden (2006).

* * *

Ketika Suharto masih kuasa, pada akhir 1997 Ratna mengorganisasi lebih 40 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, Ia membentuk aliansi Siaga. Suatu organisasi yang pertama kali, terbuka menyerukan agar Suharto turun, Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini dikepung oleh bertruk-truk aparat. Ratna, bersama tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar.
Sesaat setelah Ratna ditangkap, salah seorang diplomat asing di Indonesia mengatakan dihadapan wartawan, a.l sbb: “Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Ia punya kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah”.
Karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna, yang dikurung 70 hari dalam penjara aparat, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, Ratna Sarumpaet menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Hadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.

Keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna.

Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk.
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presiden Suharto dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Fondation of Human Rights in Asia. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA, Luka Serambi Mekah.
Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah ‘Talk Show’ di sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan demokrasi ini memutuskan mundur.

Akhir 1997 Ratna mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lmembentuk aliansi Siaga. Organisasi pertama yang terbuka menyerukan agar Suharto turun, Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justeru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini dikepung oleh bertruk-truk aparat. Ratna, bersama tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar.
Sesaat setelah Ratna ditangkap, salah seorang diplomat asing di Indonesia mengatakan dihadapan wartawan, a.l sbb: “Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Ia punya kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah”.
Karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna, yang dikurung 70 hari dalam penjara aparat, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, Ratna Sarumpaet menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Hadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.

Keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna.

Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk.
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presiden Suharto dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Fondation of Human Rights in Asia. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA, Luka Serambi Mekah.
Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah ‘Talk Show’ di sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan demokrasi ini memutuskan mundur. * * *

No comments: