Monday, December 22, 2008

Kolom IBRAHIM ISA - 'DIASPORA' Indonesia Di Eerste Weteringsplantsoen

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 22 Desember 2008

'DIASPORA' Indonesia Di Eerste Weteringsplantsoen
<>


== Bagian 1 ==

Hari itu, Sabtu, 20 Desember 2008 -- dari pagi sampai sore, --- adalah salah satu hari yang paling cerah dan menyemangati dalam hidupku. Coba bayangkan pada umur selanjut ini (78), masih ada peluang dapat kesempatan bisa bertemu, mendengar curahan hati, menghirup inspirasi dari cakap-cakap antusias dengan mahasiswa-mahasiswa dari generasi muda Indonesia yang sedang mengikuti studi di Belanda. Mereka itu dari PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) dan pemuda-pemuda Indonesia yang lahir/dibesarkan di Belanda, yang hati sanubarinya penuh dengan hasrat mengabdi pada TANAH AIR dan BANGSA!

Bukankah terselenggaranya pertemuan dan tukar fikiran serupa itu, sesuatu yang indah dan penuh arti? Sesuatu yang patut dinyatakan: BRAVO!, Bravo!, Bravo! Maju terus pantang mundur. Rawe-rawe rantas malang malang putung, seperti yang sering diserukan oleh BAPAK NASION INDONESIA BUNG KARNO!

Aku sungguh berterima kasih atas kesempatan demikian itu! Kesempatan yang diberikan oleh pemuda-pemuda/mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Belanda dan kelompok pemuda-pemuda mahasiwa Indonesia yang berdomisili di Belanda. Terinspirasi oleh cita-cita yang dibawa dari tanah air, oleh semangat para pendahulu, mahasiswa-mahasiwa Indonesia yang studi di Belanda pada zaman kolonial dan tergabung dalam PI , Perhimpunan Indonesia, oleh didikan para orang-tua, oom-oom dan tante-tante mereka yang bermukim di luarnegeri, --- dalam suatu kegiatan menindak lanjuti pertemuan HARI PERINGATAN SUMPAH PEMUDA di Diemen, Belanda, Oktober yang lalu, lahir dan menjadi kenyataanlah DISKUSI PANEL DIASPORA Indonesia di Negeri Belana, pada hari Sabtu pagi itu.

SUATU PRESTASI! Suatu SUKSES penting!

Kunilai demikian, dan itu tidak berkelebihan. Karena diskusi panel yang disiapkan dalam waktu pendek sekali, telah berhasil mempertemukan 117 partisipan termasuk undangan tamu-tamu asing, seperti Gerry van Klinken (KITLV), Joop Morrien (wartawan senior Belanda, salah seorang pemrakarsa dan aktivis Komiet Indonesia yang diketahai oleh Prof. Dr Wertheim); Drs Emille Schwidlr – Kepala Bgian Asia IISG Amsterdam; pendeta dan aktivis Amnesty Interntional Nederland, Peter Lelyveld; seorang siswa Jerman jurusan Indonesia yang diajak oleh Yanti Damayanti, dosen Universitas Bonn; serta para mahasiwa lainnya yang belum pernah hadir dalam pertemuan serupa itu..

Pecakapan dan tukar fikiran bersahabat dan bersemangat berfokus pada masalah K I T A yang sedang berada diluar tanah air, kaitannya dan kepeduliannya dengan TANAH AIR Indonesia. Apa yang bisa disumbangkan untuk Indonesia! Di saat ketika tanah dan bangsa sedang ada dalam periode sarat dengan gejolak, penuh kekhawatiran tetapi juga penuh harapan. Harapan akan haridepan Indonesia yang maju, modern, aman, adil dan makmur!

Mereka-mereka itulah yang berkumpul di situ, yang hati dan fikirannya berkecamuk kepedulian dan keprihatian terhadap nasib bangsa dan negeri.

Seperti yang disampaikan oleh Panitia Diskusi Panel, latar belakang diselenggarakannya pertemuan 20 Desember di Eerse Weteringplantsoen No. 2C (Gedung HTIB), Amsterdam, adalah sbb (kutip):

KERANGKA ACUAN
Latar belakang
Jumlah pemuda masyarakat Indonesia di Belanda dapat dikatakan cukup besar. Mahasiswa Indonesia yang sedang melakukan berbagai macam studi sudah ada sekitar 6000 orang.
Sedangkan di samping itu ada lagi generasi muda yang cukup banyak jumlahnya. Sebagian dari mereka ikut dengan orang tua yang terhalang pulang akibat situasi politik di Indonesia
sejak 1965 dimana pelurusan sejarah peristiwa ini masih juga belum tuntas.

Selain itu ada juga kelompok generasi muda yang ikut dengan orang tua mereka bertugas di Belanda atau yang tidak berhubungan langsung dengan peristiwa politik. Akibat dari
peristiwa ’65 dan pelurusan sejarahnya yang masih belum dituntaskan, terjadi suatu jurang komunikasi informatif antara kedua kelompok tersebut. Menyadari hal ini, timbul
usaha untuk menjembatani jurang tersebut.

Cetusan awal terjadi di pertemuan Diemen, 2 November 2008 dalam rangka perayaan ulang tahun ‘Hari Sumpah Pemuda’ yang ke-80 dimana untuk pertama kali generasi tua bekerja sama dengan yang muda, termasuk PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di Belanda, dalam mendorong terbentuknya sesuatu yang konkrit. Kedua belah pihak dari generasi muda membentuk suatu kelompok kerja yang diberikan nama ‘Jaringan Indonesia’.

Terbentuknya ‘Jaringan Indonesia’ ini diharapkan mampu menampung berbagai ragam buah pikiran generasi muda dari kedua pihak melalui proses pematangan demi kepentingan kemajuan Indonesia.


Sebagai langkah awal, kelompok kerja ini merencanakan sebuah diskusi panel untuk menapaki langkah dan mengkomunikasikan berbagai diaspora ini untuk membicarakan peluang-peluang yang bisa didayagunakan untuk kemajuan Indonesia.

Demikian antara lain penjelasan dari Panitia, mengenai latar belakang serta maksud dan tujuan pertemuan Sabtu itu.

* * *

Sungguh tidak berkelebihan bila kukatakan bahwa pertemuan tsb dengan memaklumi kekurangan yang terdapat di sana sini, adalah suatu temu-muka dan temu-fikiran yang banyak manfaat dan gunanya. Maka Panitia menyadari bahwa yang diperlukan selanjutnya ialah folow-up-nya! Yang harus dilakukan dengan mantap, konsisten dan berencana!

* * *

Meski suhu lumayan dingin, di suatu pagi weekend ketika tiupan angin dingin menelusup melalui sela-sela leher yang tak tertutup syaal dan celah-celah lengan-lengan mantel; itu semua tak kupedulikan lagi karena rasa gembira dan entusiasme menghangati sekujur tubuhku.

(Bersambung)


Friday, December 19, 2008

Kolom IBRAHIM ISA - RAWAGEDE (Bg 2 - Selesai)

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 19 Desember 2008
----------------------------------


RAWAGEDE (Bg 2 - Selesai)

Bisakah R.I. Belajar dari Belanda !?

Mengapa tulisan ini kuberi subjudul seperti diatas – BISAKAH R.I. BELAJAR DARI BELANDA? Benarkah kita-kita ini, orang-orang Indonesia, bisa dan juga boleh belajar dari orang-orang Belanda? Bolehkah sekali tempo orang-orang asing seperti orang Belanda menjadi guru kita?

Terkilas sejenak dalam fikiranku: - Mungkinkah pertanyaan yang kuajukan begini ini, akan dianggap orang sebagai sesuatu yang 'asbun' (asal bunyi saja) atau bahkan 'provokatif'?

Soalnya 'kan begini -- , dalam waktu panjang mengenai hubungan Indonesia Belanda, lebih-lebih bila itu menyangkut masa lampau, masalah sejarah, kita dan Belanda selalu berhadap-hadapan, bertolak belakang. Ambillah sebagai misal, kasus yang baru ini saja: Mengenai SOAL PEMBANTAIAI RAWAGEDE (09 Desember 1947 ). Putih kita bilang, hitam kata Belanda. Kita anggap sikap kita benar, tepat dan adil, patriotik, nasionalistik dan juga progresif. Para korban 'Rawagede 1947' mengajukan beberapa tuntutan. Pendirian para korban itu sesuai dengan logika perjuangan yang berlangsung antar penjajah versus rakyat yang dijajah. Tetapi fihak (pemerintah) Belanda (sampai pada saa-saat belakangan ini) menolak tuntutan para korban: agar Belanda menyatakan tanggungjawabnya atas pembantaian Rawegede; minta maaf dan memberikan konpensasi.

Sampai sekarangpun, mereka-mereka itu, kaum kolonialis dan imperialis sering menunjukkan mentalitas, semangat dan politik 'tempo doeloe'. Mereka merasa, bahwa sebagai 'tuan atas Hindia Belanda' – dulu it- mereka lebih 'super' terbanding kita-kita yang dulunya diberi nama julukan 'inlander'. Sehingga bisa disimpulkan: Pada pokoknya sikap mereka, khususnya di kalangan yang berkuasa, dan juga di kalangan masyarakat masih konservatif.

Oleh karena itu, tepatlah sikap para korban seperti yang dikemukakan oleh Batara Hutagalung, ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), bahwa para korban tidak akan berhenti mengajukan tuntutan mereka sampai pemerintah Belanda memenuhinya.

* * *

Tentu, kita samasekali tak boleh menutup mata, tak mungkin melupakan, peranan positif Multatuli, penulis Belanda yang progresif serta yang memberikan inspirasi pada kita, dalam perjuangan bangsa kita untuk mencapai kemerdekaan. Kita juga akan selalu ingat solidaritas kaum progresif Belanda, Komunis, Sosial Demorat, Kristen dll yang dengan tulus memberikan sokongan terhadap perjuangan kongkrit bangsa kita melawan kolonialisme Belanda. Bisa disebut disini kaum buruh Belanda, kaum 'diensweigeraar' , tentara Belanda yang menolak dikirim ke Indonesia untuk memerangi Republik Indonesia. Juga perlu di sebut a.l. Dr Douwes Decker, Prof Dr W.F. Wertheim, Piet van Staveren (Pitoyo), Haji Poncke Prinsen dll. Mereka itu secara kongkrit dan nyata melimpahkan solidaritas mereka pada perjuangan kemedekaan Indonesia.
Ini adalah segi lain, 'wajah lainnya' dari hubungan Indonesia – Belanda, yang sekali-kali jangan dilupakan.

* * *

Kiranya jelas: Fokus pembicaraan dan sikap kritis kita tertuju pada sikap, kebijakan dan politik pemerintah Belanda dan kekuatan politik konservatif di dalam masyarakat Belanda, yang sampai sekarang masih mempertahankan pendirian kolonial sehubungan dengan perjuangan kemerdekan Indonesia.

Yang termasuk kasus paling gawat adalah berkenaan dengan sikap pemerintah Belanda yang dalam waktu panjang menolak untuk mengakui Hari Proklamasi RI, 17 Agustus 1945, sebagai HARI KEMERDEKAAN INDONESIA. Menolak, bahwa sejak itu kedaulatan Indonesia sudah di tangan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Fakta itu dianggap 'sepi'. Tidak digubris. Bahkan Belanda melakukan segala sesuatu untuk menghapuskan Republik Indonesia dari permukaan bumi Nusantara. Bagi Belanda tempat itu, yang dulu bernama Hindia Belanda, adalah wilayah kedaultan Kerajaan Belanda di Seberang Lautan. Belanda tetap bertahan bahwa sampai dengan tanggal 29 Desember 1949, saat diserahkannya kedaulatan atas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, barulah Indonesia merdeka.

Contoh lainnya. Misalnya, kasus hari ultah ke-400 VOC, 20 Maret 2002 yang lalu. Ketika itu pemerintah dan masyarakat Belanda secara besar-besaran memperingati hari ultah VOC yang didirikan di Haagse Ridderzaal Holland empat abad yang lalu.. Belanda menganggap VOC dan peranannya dalam sejarah, sebagai suatu periode kemegahan, keunggulan Belanda, sebagai abad keemasan Belanda, yang amat mereka bangga-banggakan.

Sedangkan bagi kita: Kita secara tepat dan adil menilai bahwa VOC itu adalah pangkal bencana bagi Indonesia. Sejak VOC masuk Indonesia, negeri ini menjadi jajahan Belanda. VOC adalah suatu angkara murka. Pada tempatnya kita mengarahkan telunjuk tudingan ke jurusan Den Haag. Dan memang begitu seharusnya. Jelas dimana masing-masing berpijak.

* * *

Namun, kali ini agak lain masalah yang hendak diangkat. Yaitu, seperti yang tecantum pada subjudel tulisan ini: BISAKAH R.I, BELAJAR DARI BELANDA?

Pada tanggal 09 Desember yang lalu telah berlangsung peringatan PEMBANTAIAN MASAL yang dilakukan oleh rentara kerajaan Belanda 61 tahun yang lalu di Rawagede. Saat itulah, 09 Desember 2008, terjadinya peristiwa yang punya arti penting dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Dimaksudkan adalah kehadiran Dutabesar Kerajaan Belanda unuk Republik Indonesia, Nicolau van Dam pada peringatan Rawagede tsb.

Seperti diberitakan 'Jawa Pos', 10 Desember yl, pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf kepada korban dan keluarga peristiwa pembantaian masal terhadap penduduk Rawagede yang terjadi 61 tahun lalu. Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nicolaus Van Dam datang langsung ke makam para pejuang di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat. ''Pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada bangsa Indonesia atas peristiwa yang terjadi pada 1947 itu,'' katanya dalam bahasa Inggris. Demikian kutipan dari s.k. 'Jawa Pos'.

Sikap pemerintah Belanda mengenai pembantaian Rawagede seperti yang dikemukakan oleh dubes Belana Nikolaus Van Dam tsb, bisa disimpulkan merupakan hasil perjuangan fihak Indonesia, khususnya para korban yang masih hidup dan keluarganya. Juga keuletan Komite Utang Kehormatan Belanda yang mengkordinasikan kegiatan tuntutan para korban selama ini.

Di segi lainnya, ini merupakan p e r u b a h a n b e s a r pada fihak Belanda. Melalui jangka waktu enampuluh satu tahun, AKHIRNYA PEMERINTAH BELANDA MENGAKUI tanggungjawab atas pembunuhan masal yang dilakukan tentara kerajaan Belanda terhadap rakyat Indonesia yang tak bersalah di Rawagede. Apa yang terjadi di Rawegede adalah suatu GENOSIDA, suatu kejahatan perang, suatu KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN. Pelanggaran terhadap HAM. Meskipun tidak sejelas itu perumusannya. Juga punya arti penting penyesalan serta minta maaf secara terbuka yang diucapkan oleh Dubes Nicolaus Van Dam kepada para korban.

* * *

Sejak mula rezim Orba yang dikepalai oleh Jendral Suharto, penguasa Indonesia juga punya 'utang darah' terhadap rakyat Indonesia yang tak bersalah. Pada tahun-tahun 1965-66-67, setelah dikalahkannya G30S, telah berlangsung persekusi, pemenjaraan, pembuangan ke pulau Buru dan pembantaian masal terhadap orang-orang Kiri, PKI atau dikira/dituduh PKI dan terhadap para pendukung Presiden Sukarno. Suatu KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN, pembunuhan masal yang teramat biadab telah berlangsung di Indonesia ketika itu. Jumlah korban berlipat kali jauh lebih besar dari jumlah korban yang disebabkan oleh tentara kerajaan Belanda di Rawagede. Menurut penelitian dan sudi banyak pakar dan penulis mengenai pembantaian masal 1965 itu, jumlah itu berkisar antara ratusan ribu sampai sejuta lebih. Tak terbantahkan lagi bahwa yang berlangsung ketika itu adalah pembunuhan eksra-judisial, tanpa proses hukum apapun, terhadap manusia-manusia yang tak besalah yang patuh hukum dan cinta kepada Republik Indonesia dan kepala negara Presiden Sukarno.

Tentu muncul pertanyaan ini: Bagaimana sikap pemerintah Presiden SBY?. Meski pemerintah SBY sekarang ini, bukan yang langsung bertanggung jawab terhadap pembunuhan masal 1965, tetapi berkesinambungan dengan masa lampau, merupakan kekuasaan kelanjutan pemerintah Orbanya Jendral Suharto. Tokoh-tokoh dan orang-orangnyapun masih 'yang itu-itu juga'. Dengan sendirinya pemerintah Indonesia yang sekarang ini harus berani mengambil oper tanggungjawab CRIME AGAINST HUMANITY yang dilakukan oleh Orba di waktu yang lalu.

* * *

Sebagian terbesar korban Peristiwa Pembantaian Masal 1965,masih belum diketahui dimana kuburannya. Tetapi para keluarga mereka masih ada, masih hidup. Penderitaan mereka sampai sekarang masih belum berakhir. Karena, mereka masih didisksriminasi, masih distigmatisasi, masih dianggap 'eks-tapol', yaitu 'orang-orang bermasalah', yang harus 'dicurigai' dan 'diawasi. Nama baik dan hak-hak kewarganegaraan serta hak-hak politik mereka masih belum DIREHABILITASI!

Kenyataan ini merupakan tantangan terhadap pemerintah dan penguasa Indonesia sekarang ini.
Tantangan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang berniat untuk menjadi presiden ke-7
negara Republik Indonesia. Sutu tantangan untuk menangani dan kesalahan serta kejahatan yang dilakukan Orba di masa lalu.

Sedikitnya dalam hal mengakui kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan oleh kekuasaan negara di masa yang lalu, SBY dan penguasa Indonesia sekarang bisa dan pantas belajar dari Belanda! Berani dan terbuka MENGAKUI KESALAHAN, BERTANGGUNGJGAWAB DAN MINTA MAAF kepada rakyat. * * * (Selesai)

Tuesday, December 16, 2008

IBRAHIM ISA'S - SELECTED NEWS AND VIEWS

IBRAHIM ISA'S - SELECTED NEWS AND VIEWS
Tuesday, December 16, 2008

----------------------------------------


PRESIDENT SBY SIGNS PORN LAW, PROTESTERS DESPAIR
Abdul Khalik , The Jakarta Post, Jakarta|Tue,12/09/2008


Defying persistent protests by a number of provinces and scores of civil society groups, President Susilo Bambang Yudhoyono has signed the anti-pornography bill, ratifying a law that criminalizes any sex-related materials deemed to violate public morality.

Yudhoyono’s special staff for legal affairs Denny Indrayana said Monday the President enacted the law right after he returned home from a two-week world tour on Nov. 26.
“It becomes Law No. 44/2008 on anti-pornography. The President signed it because it was already a national consensus,” Denny told The Jakarta Post.
He said the government was now preparing a regulation to implement the law.
However, resistance to the law remains widespread, with some provinces — including Bali, Papua, North Sulawesi and East Nusa Tenggara — rejecting it out of hand.
Balinese and the island’s local administration have threatened to forge a civilian disobedience to protest the law, and other rights and religious groups have said they would file a judicial review with the Constitutional Court (MK) if the law were ratified.

Kamala Chandrakirana, chairwoman of the National Commission on Violence Against Women, said she was gravely disappointed with Yudhoyono’s decision, saying his action had diminished public trust in his leadership and his cause to promote pluralism.
“It is a betrayal of our own national values. Komnas Perempuan and many other organizations are now consolidating and seriously studying each article within the law to be ready to submit a judicial review with the MK soon,” she said.
The ratification of the law also means Yudhoyono has defied one of his advisors, Adnan Buyung Nasution, who recommended the President not sign or ratify the law, warning it could threaten national unity.

“I was too late. I sent a letter on Nov. 27 telling the President not to sign the bill. But I learned later he had signed it. I will meet him Wednesday to ask him about it,” he said.
Wednesday is International Human Rights Day.

Buyung, however, said he was optimistic the MK would grant a judicial review, adding that the law violated the Constitution as it could not be enacted equally throughout the country.

The passage of the bill into law at the House of Representatives in October was also met with strong opposition from the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and the Prosperous Peace Party (PDS).

The bill has survived protracted protests from rights activists and pluralist organizations who have said some articles could lead to national disintegration.
An article that allows members of the public to take action to destroy pornographic material has raised fears several groups could take the law into their own hands and have grounds to justify the use of violence and intimidation.

* * *

Forum:
Fri, 12/12/2008 10:36 AM | Reader's Forum
For those opposed to the anti-pornography bill, please read the text of the law carefully (academically) and compare them with laws in the U.S. (i.e., Texas's Penal Code Ch.43 on Offenses against public order and decency, or Alabama's Penal Code Ch. 12 on Offenses Against Public Health & Morals).
You will see that word by word the text of the anti-pornography bill is not that much different from the U.S. law. The U.S. law evens use the much-hated terminology "community standard" for decency and "arouse interest" (the merangsang word most people hate so much).

If you consider the West as a benchmark for democracy and law, then you should be very happy and should not complain. The fact that the Indonesian law even put in an exception (in article 14 if I'm not mistaken) for culture, arts, bikinis, and etc., is already a step forward to address the fears of our friends in Bali, Papua, or our photographer friends, photo models, sculptors, painters and etc.
As for you who still hate Tangerang's bylaw on prostitution, please read California's penal code on loitering for sex (street prostitution).

You will see that even one of the most liberal states still has regulations for public order. And yes, the law on loitering for sex in California also allows law enforcers to arrest woman/man if they "look like a prostitute or act like a prostitute or even stand beside the street in places where prostitutes hang out" with the last article on the section giving the law enforcers the ability to judge whether or not these people should be arrested based on the law enforcer's perception as to whether or not they may be prostitutes.

The only difference, the Tangerang law does not put you in jail while these other laws do. So for the anti-public order or anti-morality law people, please kindly realize that this is a step forward which should be applauded.
ISACH
Jakarta
The Texas and Alabama state laws are in fact penal codes for prostitution, not pornography. The states have very different sets of laws concerning those issues. In the U.S. (or at least most of it's states, as far as I know) porn is legal but regulated.

The real kicker, however, is your comparison between California and Tangerang. Prostitution is illegal in most states, yes. California police officers have the right to arrest, you're right.

The difference is California police officers are not reckless and corrupt. They are actually trained to know the difference between a passerby and an actual prostitute. Also, arrests here do get you in jail, just as the arrests in Tangerang do.
The difference is that the Californian prostitutes get a real and fair hearing with a real judge, while Tangerang "prostitutes" do not get a fair trial and are judged by a bunch of sexist dimwits. To compare California and Tangerang is really like comparing heaven and hell.

IYUEN
Jakarta
I heard on TV one that "Indonesia is a nation with the most frequent access to pornography, beating out the U.S., European countries and Russia." If it's true, then how alarming, how shameful it is. I am speaking as a father of a child.
DIDI
Jakarta

This law makes women criminals. It doesn't protect women at all. And SBY didn't consider other people from several provinces who still resist this racial law. I don't think SBY knows what he's doing. He has wounded our Bhineka Tungal Ika.
AYU KHADIJA
Jakarta

SBY sets the bar low for Indonesia and even lower for himself, way down to the lowest common denominator. You have just gone back 50 years Indonesia, what westerner will want to come there for a holiday.
ROD
Sydney

Comments
This president finally made a major decision - sends his country back to the dark ages and opens the door to vigilante. Indonesia, you don't deserve neither the Porn Law nor this president! With a crisis looming that will impact latest after the first quarter 2009 this government concentrates on fatal trivialities.
Sarah

You pick two of the most backward states in the US- Texas and Alabama. You know, they execute more people than just about any other state. Should Indonesia really use the most backward of the United States as a model example? In Alaska, they have a law on the books criminalizing sex with a moose, should Indonesia adopt that law too? It's a silly argument.

As per the reference California, there is a distinct difference between a woman waiting for a bus in the late evening because she had to work late and a prostitute. If the authorities in Tanggerang or Jakarta fear the rise in prostitution, they should work hard to break up human trafficking rings, not harass women who work hard to provide for their families and as a result, must leave for home after dark

The question is, do you really trust the Indonesian government and police to apply the law fairly and equally?

The crucial part of the law is the definition of pornography, which the law still defines as pretty much anything (including writings and conversations!) that contain "obscenity" or "violates the norms of community".

What is obscenity? Who gets to decide the norms of the community? And which community does the law refer to? The law does not say, and that's what makes it a terrible law.
If a woman is wearing a tanktop in public, under this law she could be arrested for being obscene because the law is so vague that a lawyer could argue she is violating the norms of society (in this case "the norms of society" are the norms of the Islamic extremist taking over the government) and being obscene by showing her shoulders. If you think that is ridiculous and that the courts would throw out such a case, then I ask you, have you ever been to a court in Indonesia? They are complete jokes where the worst kinds of people get to be judges and a little bit of money will buy a lot of injustice.
Alan

The law does not define it and that leaves such vague things as PUBLIC sex to be loosely interpreted by, often, bigoted and medieval minds...the ones who find themselves offended by such. imised. And you don't see those things unless you go to the pages, which are accessed voluntarily.

Dear Mr. Wackel Dackel,

If we don't want Muslims to force Syariah on us then don't force liberal immoral values on us either. We're not ready for that. We're struggling with making a decent living already to be exposed to such immorality. We don't want to be like like Thailand where many western tourist only come to enjoy the red light districts full of strippers & hookers. I heard even poor farmers there were selling their children to prostitutions to make money. The police there are so corrupt they pretend not to know. If this is the alternative then I'd rather support the porn law even as a Christian from eastern Indonesia. We have let immorality goes unchecked so there must be consequences.
Christian

It is very clear, the government wants to have civil and religious war in indonesia.
Thats the only reason why someone can sign such a crap of law..

Wackel Dackel
Dear Mr. Joshua

That Law is very hostile against different Cultures in this Country. What Authorities will do against the old Statues, specially in Bali, where a Penis or a Breast is Shown, because it is Part of their Culture ? Destroy it ? Cover it ? Deny the existence of Genitals because it is "Pornography" ?
If you are so concerned about the safety of the Children's why the Government is not implementing a better Education System or does something against Child work, or having a better Health care System or .. or .. or ... , Indonesia indeed has way bigger Problems than enforcing that useless Law.

Izzudin
Before presiding over the finer points of public morality perhaps the Muslim 'leaders' behind this unecesary law should first get their own house in order.
Loudspeaker volume contests between local mosques make it difficult to pray or to read the Quran in peace. In other countries there are fatwas and laws to regulate this disturbance. The minaret is for making the Adhan, not for announcing who has given money to the mosque or for children to learn how to scream at a microphone. We have enough people in this country who can make too much thoughtless noise without educating any more.

A priviliged Muslim who should be setting an example to others instead made a public show of marrying an underage girl after selecting her by a beauty contest. Others have made a public show of giving alms or Zakat.

Hajj funds, which is money from ordinary Muslims who have saved their whole lives to make the Hajj to Makkah is squandered and embezzled.

When we have these things attended to, Mr President, then maybe we can afford the luxury of laws that duplicate existing ones.

* * *

Kolom IBRAHIM ISA - WIYANTO RACHMAN - KAWAN SEPERJUANGAN

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 13 Desember 2008
-----------------------


WIYANTO RACHMAN - KAWAN SEPERJUANGAN


Ketika WIYANTO RACHMAN, kawan dekatku, meninggal dunia 40 hari yang lalu, kami, Murti dan aku sedang berkunjung di Indonesia. Berita duka yang mengejutkan kami, kuterima dari Koesalah Subagio Toer, ketika bertamu ke rumahnya di Depok. Berita duka itu segera kusampaikan kepada putri-putri kami di Eropah, selanjutnya agar mereka pergi layat atas nama keluarga Isa. Sampaikan rasa sedih dan ikut berdukacita kita pada keluarga Wiyanto, Zus Fifien Kusuma dan putra mereka Findi Rachman. Mengharapkan mereka tabah menghadapi kepergian Wiyanto.


* * *


Kami sekeluarga dengan Wiyanto sekeluarga, punya kesamaan besar. Sejak tahun enampuluhan abad lalu kedua keluarga kami, keluarga Isa dan keluarga Wiyanto, bekerja, melakukan kegiatan dan berdomisili di luar negeri. Wiyanto sekeluarga di Conakri. Wiyanto bertugas di kantor Sekretariat Juris Asia-Afrika, dan aku bertugas di Cairo, di Sekretariat Tetap Organisasi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika. Kami sekeluarga berdomisili di Cairo.


Pekerjaan Wiyanto dan aku di luar negeri, ialah dalam rangka mengkhayati dan memberlakukan dalam praktek prinsip-prinsip Solidaritas Asia-Afrika yang dilahirkan di Bandung pada Konferensi Asia-Afrika (1955), selanjutnya di Konferensi Solidaraitas Rakyat-Rakyat Afrika di Cairo (1957-'58).


Begitulah sampai kedua keluarga kami menjadi 'orang-orang yang terhalang pulang', suatu perumusan politik diplomatis yang dicetuskan oleh mantan Presiden Abdrrahman Wahid, dalam usaha beliau mengusahakan kembalinya secara terhormat kami-kami yang menjadi 'stateless' karena paspornya sewenang-wenang dicabut oleh rezim Presiden Suharto atas dalih pelbagai tuduhan dan fitnah.


* * *


Ada satu hal yang kuanggap luar biasa dari Wiyanto Rachman. Hal itu kusaksikan ketika ia mengemban tugas sebagai wakil Indonesia selama bertahun-tahun di Sekretariat Juris Asia-Afrika di Conakry. Dengan luwes dan bijaksana Wiyanto melakukan tugasnya di Conakry. Perhatiannya amat besar dalam memelihara hubungan erat dan baik dengan tuan rumah, Republik Demokratis Guinea. Dengan sepenuh hati Wiyanto melimpahkan simpatinya terhadap perjuangan rakyat Guinea. Itu semua menyebabkan Wiyanto telah menjadikan dirinya sebagai 'sahabat pribadi' kepala negara Republik Guinea, Presiden Sekou Toure. Dalam satu kesempatan Presiden Sekou Toure menyatakan penghargaan tinggi kepada WIYANTO dengan memaklumkannya secara terbuka Wiyanto sebagai SAHABAT REVOLUSI GUINEA.


* * *


Kenangan terhadap Wiyanto membawa ingatanku pada saat-saat ketika bersama kawan-kawan lainnya, seperti Franciska Fanggidaej, Umar Said, Sugiri, Margono, Willy Harianja dll melakukan kegiatan di kalangan peserta, peninjau dan wartawan mancanegara yang hadir pada pembukaan Konferensi Tri Kontinental (Asia-Afrika-Amerika Latin) di Havana, Cuba, Januari 1966. Sebagai anggota delegasi Indonesia ke Konferensi Trikontinental di Cuba, Wiyanto ambil bagian aktif untuk menghimpun solidaritas internasional terhadap rakyat kita yang sedang menderita dibawah persekusi dan teror kekuatan militer Jendral Suharto.


Ketika jumpa lagi dan berkumpul kembali dengan Wiyanto di negeri Belanda pada akhir tahun 1980, ada satu saran Wiyanto kepadaku yang tak kulupakan dan kufikirkan dengan serius. Akhirnya usul Wiyanto itu kulaksanakan. Aku menulis dan menulis esay-esay politik mengenai tanah air dan bangsa kita, dalam rangka ambil bagian dalam perjuangan untuk hak-hak demokrasi dan HAM di Indonesia. Membuat tulisan-tulisan yang mengungkapkan kejahatan-kejahatan terhadap Kemanusiaan yang dilakukan rezim Jendral Suharto di Indonesia.


Inilah Bung, kata Wiyanto, yang bisa kita lakukan pada umur kita yang sudah tidak muda lagi, dan sementara terpisah dari tanah air. Yaitu menulis, dan menulis! Menurut situsi dan kemampuan masing-masing, ambil bagian dalam usaha pencerahan fikiran di kalangan bangsa kita. Demikian anjuran Wiyanto kepadaku. Suatu anjuran, saran dan fikiran yang sungguh penting dan sesuai dengan keadaan kita, keadaanku, begitu fikirku.


Wiyanto tidak berhenti pada anjuran saja. Seperti diketahui Wiyanto aktif dalam pelbagai lembaga dan perhimpunan di negeri Belanda yang bertujuan dilaksanaknnya supremasi hukum, demokrasi dan Ham di Indonesia. Selain itu, Wiyanto pada duapuluh tahun yang lalu adalah salah seorang insiator dan organisator terbentuknya Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di negeri Belanda; yang baru-baru ini memperingati hari ultahnya yang ke-20 di Diemen.


Martha Meyer, Direktur Humanistisch Overleg Mensenrechten (HOM), di negeri Belanda, dengan kena sekali mengatakan a. l. bahwa:


Kehidupan Wiyanto ditandai oleh semangat juangnya. Sejak muda ia aktif politik, giat di HSI, kemudian mewakili Indonesia di Juris Asia-Afrika di Conakri. Wiyanto juga ambil bagian dalam mendirikan Lembaga Pembela Korban 1965 di Belanda. Demikian Martha Meyer.


* * *


Wiyanto telah tiada.


Tetapi semangat juang dan keaktifannya dalam pelbagai usaha demokrasi dan HAM, selalu menginspirasi kita, kawan-kawan seperjuangannya.


Dengan demikian WIYANTO AKAN SELALU DALAM KENANGAN KITA. * * *

MENGENANG SUNITO PEJUANG KEMERDEKAAN DAN ANTI FASIS

IBRAHIM ISA
----------------
15 DES 2008


=========================================================

MENGENANG SUNITO PEJUANG KEMERDEKAAN DAN ANTI FASIS

=========================================================



Para sahabat y.b.,




Tulisan Joop Moorien mengenai SUNITO (2001 - *Laatst gewijzigd:* 03-05-2005),

adalah bahan yang baik sekali, untuk mengenang kawan seperjuangan SUNITO,
Raden Mas Djojoprawiro,

yang meninggal di Voorburg, Belanda, pada 12 Agustus 1979.



Sunito adalah anggota pengurus 'Perhimpunan Indonesia' (PI) yang didirikan
oleh mahasiswa-mahasiswa

Indonesia di Belanda sebelum Perang Dunia II. Mereka bercita-cita kemredekaan
Indonesia dan ambil bagian

dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sesuai situasi dan konidisi dimana mereka
berada ketika itu.



Tulisan Joop Moorien, sedikit mengisahkan peranan Sunito sebagai bagian dari
mahasiwa-mahasiswa Indonesia di Belanda dalam perjuangan

untuk kemerdekaan Indonesia. Juga memberikan sedikit info mengenai perjuangan
bahu-membahu mahasiswa Indonesia

dengan perjuangan perlawanan rakyat Belanda terhadap pendudukan nazi Jerman.




Satu fakta sejarah perjuangan kemerdekaan kita yang mungkin tidak banyak yang
ta, sbb:



Dalam bulan September 1947, Kementerian Lurnegeri Republik Indonesia yang
berkedudukan di Jogyakarta

mengangkat SUNITO di Belamda, sebagai 'COUNSELLOR RI' di Nederland, untuk
mewakili kepentingan Republik Indonesia

di negeri Belanda. Pemerintah Den Haag yang sedang sibuk persiapan perang untuk
melikwidasi Republik Indonesia yang baru

berdiri itu, tidak mau mengakui Sunito sebagai wakil pemerintah Indonesia, dan
menolak memberikan status diplomatik kepadanya. Demikian

a.l. tulis Joop Moorien.




Karena kegiatannya sebagai anggota PI yang terus menentang politik kolonial
pemerintah Belanda terhadap Republik Indonesia,

dalam tahun 1953 Sunito, bersama-sama dengan Go Gien Tjwan, kedua-duanya angota
Pengurus PI, ditangkap

pemerintah Belanda dan dinyatakan sebagai 'persona non grata'.Mereka diusir
dari negeri Belanda. Kembali di Indonesia

pemerintah Indonesia menetapkan Sunito sebagai Sekretaris Dewan Perwakilan
Republik Indonesia (DPR-RI).



Dalam tahun 1964 Sunito akitf sebagai Sekretaris URECA - Universitas Respublica
di Jakarta.



Dalam perjuangannya demi kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia,
Sunito selalu didampingi dan mendapat dukungan sepenuh hati

dari istrinya TREES HEYLIGERS.



Kiranya tulisan Joop ini akan menambah informasi bagi generasi muda kita, yang
belum begitu kenal dengan 'segi lainnya' dari hubungan

INDONESIA-BELANDA. Bahwa para mahasiwa Indonesia ketika itu punya semangat
solidaritas

tinggi terhadap perjuangan rakyat Belanda melawan pendudukan nazi Jerman.




Selama pendudukan Belanda oleh Jerman Hitler, anggota-anggota PI bergabung
dengan pejuang-pejuang bawah

tanah Belanda, melawan pendudukan nazi Jerman atas Belanda.




Mereka ambil bagian dalam perjuangan dengan memberikan tenaga, fikiran dan jiwa
mereka demi perjuangan anti-fasis

rakyat Belanda..




Ibrahim Isa

-----------


Home BWSA

Email



SUNITO, Raden Mas Djojowirono

(roepnaam: Nito), voorvechter van de Indonesische onafhankelijkheid, is geboren
te Pasuruan (Oost-Java) op 4 juni 1912 en overleden te Voorburg op 12 augustus
1979. Hij was de zoon van Raden Tumenggung, regent van Wonogiri in het prinsdom
Mangkunagoro te Surakarta, en Raden Aju Kromodjojodirono. Op 15 februari 1945
trad hij in het huwelijk met Trees Heyligers, advocate, met wie hij één dochter
en twee zoons kreeg.
Pseudoniem: Frits de Bruin.

Sunito doorliep te Surakarta de Europese Lagere School, het Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs en de Algemene Middelbare School, afdeling letterkunde. Zoals
andere jongeren uit de meer gegoede Indonesische elite reisde hij naar Nederland
om zijn studie voort te zetten.

In 1931 liet hij zich inschrijven aan de Leidse universiteit en legde met goed
gevolg het kandidaatsexamen Indisch recht af. Naast zijn studie wijdde hij zich
in toenemende mate aan activiteiten binnen de studentenwereld. Hij raakte
daardoor intensief betrokken bij het Indonesische streven naar
onafhankelijkheid, zoals dat in de Perhimpunan Indonesia (PI) en de meer
culturele Rupie tot uitdrukking kwam en bij de Communistische Partij in
Nederland (CPN) sympathie en steun vond. Dat de CPN en de PI tot voor ambtenaren
verboden organisaties werden verklaard, werkte belemmerend op het openlijke
lidmaatschap, aangezien de meeste Indonesiërs die in Nederland studeerden later
een betrekking bij het Nederlandsch-Indische gouvernement zouden moeten zoeken.

Sunito echter werd openlijk lid van de PI. De PI besefte vanaf midden jaren
dertig dat het fascisme in landen als Japan, Duitsland en Italië een bedreiging
vormde voor de vrede en democratie in de wereld. Zij deed voorstellen tot
gezamenlijke weerbaarheid, ook aan de Nederlandse regeerders. Indonesische
delegaties namen deel aan internationale jeugdvredescongressen, in 1936 in
Brussel, in 1938 in de Verenigde Staten en in 1939 in Parijs. Sunito en Maruto
Darusman maakten deel uit van de delegatie naar de Verenigde Staten. Sunito,
Darusman, R.M. Suripno, R.M.S. Setyadjit, H. Jusuf en S. Hamzah reisden naar
Parijs. Sunito's talrijke activiteiten verhinderden een snelle eindstudie en het
afleggen van het doctoraal examen. De Duitse bezetting van Nederland in mei 1940
schiep bovendien een geheel nieuwe situatie.

De anti-koloniale Indonesische studenten besloten vanuit democratisch standpunt
tot deelname aan het verzet tegen de nationaal-socialistische bezetters van het
land van hun kolonisatoren. Zij hebben daarbij offers gebracht. Zeven van hen
werden doodgeschoten of kwamen om in een Duits concentratiekamp. 78 andere
Indonesiërs, onder wie verzetsstrijders, kwamen om door ziekte, ontberingen of
treinbeschietingen. Met Setyadjit (pseudoniem: Sweers), Suripno (Karel van
Delft), Darusman (Nico van Zuilen) vormde Sunito (Frits de Bruin) de leiding van
de illegale PI, die bij zijn verzetsactiviteiten ook arbeiders en hier gestrande
schepelingen betrok. Zij werkten samen met /De Waarheid/, /Het Parool/ en
/Trouw/, terwijl een Indonesiër redacteur werd bij /De Vrije Katheder/. Sunito
was redacteur voor uiteenlopende publikaties, op het laatst voor het blad
/Bevrijding/. Hij was lid van de Raad van Verzet en van de Binnenlandse
Strijdkrachten (BS) en nam deel aan beraadslagingen over de naoorlogse
staatkundige verhouding tussen Nederland en zijn land. Officieel kreeg hij een
werkkring op het advocatenkantoor waar Trees Heyligers, die hij tijdens zijn
rechtenstudie in de collegebanken had leren kennen, werkte. Zij had op 9 mei
1940 haar studie Nederlands en Indisch recht volbracht. Op 15 februari 1945
trouwden zij.

Direct na het oorlogseinde in Europa, in mei 1945, publiceerde de PI een
'Bevrijdingsnummer' van /Indonesia/ als voortzetting van het vooroorlogse
orgaan. Sunito schreef een artikel onder de titel 'De historische rede van HM de
Koningin van 7 Dec. 1942 - Indonesië met Nederland verbonden op grondslag van
gelijkwaardigheid'. Hij zag in de rede, waarvan de volledige tekst werd
opgenomen, een erkenning dat Indonesië een snelle evolutie naar een zelfstandig
bestaan doormaakte en dat 'een staatkundige hervorming van de verhouding
Indonesië-Nederland hoog nodig blijkt'. Hij meende dat het nu ging om het
zelfbeschikkingsrecht voor Indonesië, om het recht over het eigen lot te mogen
beslissen.

Kort na de bevrijding was Sunito als één van de vertegenwoordigers van de
linkersectie van de illegaliteit benoemd tot lid van de Nationale
Adviescommissie. Deze uit vertegenwoordigers van de illegaliteit, vooroorlogse
politici en nieuwe politieke stromingen bestaande commissie had onder meer tot
taak zijn gedachten te laten gaan over dringende aangelegenheden en mensen te
benoemen op vrijgekomen zetels in de Staten-Generaal. De commissie kwam als
regel in besloten vergadering bijeen. Haar belangrijkste activiteit was de
aanvulling van de Staten-Generaal, die als 'noodparlement' tot aan de eerste
naoorlogse verkiezingen zou optreden. Na de Japanse nederlaag proclameerden A.
Soekarno en M. Hatta op 17 augustus 1945 de Indonesische Republiek. De berichten
hierover drongen maar langzaam in Nederland door en er was aanvankelijk weinig
duidelijkheid.

Het duurde een paar weken voor de PI in haar blad melding maakte van het bestaan
van de Republiek. Zij keerde zich in deze nieuwe situatie tegen de uitzending
van Nederlandse militairen, omdat dit een zware hypotheek op noodzakelijke
onderhandelingen zou leggen en de gevaren voor een militair conflict vergrootte.
Sunito werd vice-voorzitter van de Vriendschapsvereniging Nederland-Indonesië,
die aandrong op onderhandelingen tussen Nederland en Indonesië.

Hij sprak op vergaderingen om te overtuigen dat zijn voor vrijheid strijdende
volk in dezelfde idealen geloofde als waarvoor de Nederlandse verzetsstrijders
hun leven hadden gegeven. In regeringskring verdween de aanvankelijke waardering
voor de Indonesiërs en sloeg zelfs om in achterdocht en vijandigheid. Op 6 juli
1946 had de Indische legercommandant, generaal S.H. Spoor aan luitenant-generaal
H.J. van Mook in een 'zeer geheime' nota geschreven over 'het ontbreken van
voldoende gegevens inzake de Indonesische gemeenschap in Nederland, de
beïnvloeding welke zij ondergaat van buiten af en die zij uitoefent op den gang
van zaken in deze gewesten en tenslotte welke subversieve activiteiten van leden
van genoemde groep uitgaan'. Hij bepleitte samenwerking tussen de Nefis, Spoors
inlichtingendienst in Indonesië, en de in Nederland aanwezige 'intelligence'
organen. De Nefis voelde al geruime tijd de noodzaak 'op de hoogte te blijven
van de "faits et gestes" van Indonesische organisaties in Nederland,
voornamelijk van de Perhimpunan Indonesia, van de activiteit van haar leiders en
leden, en van haar contacten met het buitenland'. Het Bureau Nationale
Veiligheid, de voorloper van de Binnenlandse Veiligheidsdienst (BVD), hield de
gangen van de Indonesiërs echter al nauwlettend in de gaten. De meeste
bestuursleden van de PI keerden in december 1946 per boot terug naar hun land
teneinde vooraanstaande functies in het Indonesische bestuursapparaat en in
arbeiders- en nationale organisaties te vervullen. Sunito en zijn vrouw
behoorden tot de achterblijvers. Sunito was in die jaren voorzitter van de PI en
medewerker van het blad /Indonesia/.

In september 1947 was hij bij besluit van het Republikeins-Indonesische
ministerie van Buitenlandse Zaken, gezeteld in Jogjakarta, aangesteld als
zaakgelastigde met de rang van 'counsellor' om de belangen van de Republiek
Indonesië in Nederland te behartigen. Hij moest daarvoor steun zoeken bij de
Nederlandse vrienden van de Republiek. Sunito verkreeg daarmee een diplomatieke
functie, maar Nederland erkende deze niet als zodanig omdat de Republiek niet
was erkend. In deze periode was Sunito-Heyligers voorzitter van de Nederlandse
Vrouwen Beweging, die optrad tegen de uitzending van troepen naar Indonesië en
tegen militair geweld.


Toen in september 1949, na de mislukking van Nederlands tweede militaire actie
in december 1948, in Den Haag besprekingen begonnen tussen Indonesische en
Nederlandse delegaties, betekende dat het einde van Sunito's diplomatieke functie.

Na de soevereiniteitsoverdracht in december 1949 zette hij zijn persoonlijke
politieke bedrijvigheid voort en wel in overeenstemming met de Indonesische
politiek tot opheffing van de Ronde Tafel Conferentie-overeenkomst (het
zogeheten Uniestatuut) en voor overdracht van Nieuw-Guinea aan Indonesië. Sunito
bleef voorzitter van de PI en hervatte in 1951 zijn doctoraalstudie Indisch recht.

Zijn vrouw verdedigde in die tijd talrijke dienstplichtige Indonesië-weigeraars,
onder wie Piet van Staveren, die in 1947 zijn onderdeel op West-Java had
verlaten en naar Republikeins gebied was getrokken.Na de
soevereiniteitsoverdracht was hij gearresteerd en voor berechting naar Nederland
gebracht.

Het drukke leven van de familie Sunito-Heyligers werd in november 1952
onverwacht verstoord door een arrestatiebevel tegen de PI-bestuurders. De
bedoeling was drie dagelijks bestuurders gevangen te nemen: voorzitter Sunito,
Go Gien Twjan, secretaris van de PI en directeur van het persbureau Antara, en
Sudirdjo Harsono, penningmeester van de PI en vakbondsbestuurder van de Eenheids
Vakcentrale. De penningmeester was bij de inval niet thuis. Sunito en Go werden
meegenomen en op het hoofdbureau van politie in Amsterdam in een cel gestopt.
Zij werden ervan beschuldigd als Indonesische staatsburgers, 'dus vreemdeling
zijnde', ongewenste politieke acties en 'communistische activiteiten' uit te
voeren. De minister van justitie L.A. Donker van de Partij van de Arbeid verwees
naar BVD-rapporten. Hij beriep zich op een wetswijziging, waarbij Indonesiërs
tot vreemdeling waren verklaard. Henk van Randwijk, ir. S.J. Rutgers
, prof. dr. W.F. Wertheim,
Elisabeth van Tricht-Keesing en anderen protesteerden in woord en geschrift
tegen 'wetstoepassing met terugwerkende kracht' en drongen aan op vrijlating.
Het CPN-Kamerlid Henk Gortzak interpelleerde minister Donker. Hij wees erop dat
het optreden van de twee door de jaren heen legaal en in het openbaar had plaats
gevonden. Indonesische staatsburgers hadden in 1952 nog oproepingskaarten voor
Tweede Kamerverkiezingen gekregen. Minister Donker verklaarde tot uitwijzing van
Sunito en Go te willen overgaan en toonde zich slechts bereid een uitspraak van
de Hoge Raad af te wachten. De gearresteerden vochten namelijk hun arrestatie
aan en hadden een proces aanhangig gemaakt bij de Hoge Raad. Alle andere Tweede
Kamerfracties deden er tijdens de interpellatie het zwijgen toe. De Hoge Raad
merkte tenslotte op dat Indonesische staatsburgers door de recente wetswijziging
de status van vreemdeling hadden gekregen, hetgeen echter nog geen rechtsgrond
tot uitwijzing betekende. Niettemin besloot minister Donker tot uitzetting over
te gaan.

Op 7 februari 1953 moesten Sunito en Go, na een gevangenschap van twee en een
halve maand, met vrouw en kinderen Nederland verlaten. Sudirdjo bleef met steun
van de CPN ondergedoken tot hij in 1955 naar Indonesië vertrok. Waren Sunito en
Go in ons land door vrijwel de gehele pers beschimpt, in Indonesië werden zij
als helden ontvangen. President Soekarno sprak hen tijdens een bijeenkomst van
honderdduizend mensen toe. Sunito kreeg een functie bij het parlement en was er
van 1953 tot 1964 werkzaam, aanvankelijk als chef-protocol, later als secretaris
en hoofd van de afdeling wetgeving van het secretariaat. In de middaguren gaf
hij tot 1962 op een middelbare school les in de Indonesische geschiedenis. Van
1958 tot 1965 was hij tevens bestuurslid van het Indonesische Afro-Aziatisch
Solidariteitscomité, eerst als secretaris, daarna als vice-voorzitter. Zijn
vrouw werkte als beëdigd vertaler en procuratiehouder bij de Indonesische Staats
Handelsbank (Bank Dagang Negara).

In 1964 kreeg Sunito gelegenheid zijn ambities voor het onderwijs volledig te
volgen door secretaris te worden van de particuliere, door Chinezen
gefinancierde en door de regering erkende Universiteit Res Publica in Jakarta,
waarvan Go voorzitter was. In oktober en november 1965 werd deze universiteit
tijdens Soeharto's machtsgreep doelwit van relschoppers en demonstranten en in
brand gestoken. Sunito werd in november 1965 op basis van vage aantijgingen
gearresteerd en tot mei 1966 gevangen gehouden. Zijn vrouw, die lid was van de
progressieve Himpunan Sardjana Indonesia (Vereniging van Indonesische
Wetenschappelijke Werkers) werd bij de Handelsbank ontslagen. Zij ging
vertaalwerk doen en toonde moed en standvastigheid. In deze periode van
opgezweepte anti-communistische razernij verdedigde zij voor een militaire
rechtbank de vooraanstaande vakbondsleider en PKI-bestuurder Njono, die ter dood
werd veroordeeld en geëxecuteerd. Als ex-gevangene ondervond Sunito veel
belemmeringen bij zijn zoektocht naar een nieuwe werkkring. Van 1966 tot 1971
gaven hij en zijn vrouw lessen in de Nederlandse en Indonesische taal en deden
zij vertaalwerk. In juni 1971 slaagde Sunito erin met een Indonesisch paspoort
en een Nederlands visum naar Nederland te vertrekken. Kort na aankomst vroeg hij
een vestigingsvergunning, die hem tenslotte werd verleend. Enige tijd daarna
kwamen zijn vrouw en de kinderen. Sunito's gezondheid had echter onder de
jarenlange spanningen ernstig geleden. Hij stierf op 21 augustus aan een
hartaanval en werd in Voorburg begraven.

--------------------------------------------------------------------------------

*LITERATUUR:* /Officiële bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische
betrekkingen 1945-1950./ Vierde deel (Den Haag 1974); 'R.M. Sunito Djojowirono
overleden' in: /De Waarheid/, 15.8.1979; J. Morriën, /Indonesië los van Holland/
(Amsterdam 1982); H.A. Poeze, /In het land van de overheerser. Indonesiërs in
Nederland 1600-1950/ (Dordrecht 1986); L de Jong, /Het Koninkrijk der
Nederlanden in de tweede wereldoorlog./ Deel 12 (Leiden 1988) 203; J. Withuis,
/Opoffering en heroïek/ (Meppel 1990); J. Morriën, /Indonesië liet me nooit meer
los. Vijftig jaar antikoloniale strijd/ (Hoofddorp 1995).

*PORTRET:* Raden Mas Djojowirono Sunito en Trees Heyligers op hun trouwdag in
Amsterdam (15 februari 1945), particuliere collectie.

--------------------------------------------------------------------------------

*Auteur:* Joop Morriën

*Oorspronkelijk gepubliceerd in:* BWSA 8 (2001), p. 269-273

*Laatst gewijzigd:* 03-05-2005


top

Kolom IBRAHIM ISA -- QUO VADIS 'Hak-hak Azasi Manusia' Di INDONESIA

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 10 Desember 2008

QUO VADIS 'Hak-hak Azasi Manusia' Di INDONESIA

Hati kecilku berbisik: Semoga hari-hari ini, ketika secara luas '10 Desember 2008' diperingati sebagai hari Ultah Ke-60 dicetuskannya 'The Universal Declaration of Human Rights UNO', 10 Desember 1948, dimaklumkannya 'Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB', -- peristiwa itu diperingati secara lebih kongkrit dan nyata. Artinya tidak ngambang. Jangan sampai peringatan itu semata-mata ritual formal saja. Agar hari peringatan tsb dilakukan, dengan mengkaitkannya secara kongkrit dengan situasi dan kondisi aktual.

Bagi kita ini berarti, dari waktu ke waktu, khususnya pada saat memperingati HAM seperti sekarang ini, tidak boleh tidak harus selalu mempertanyakan, sesungguhnya bagaimana prakteknya HAM dalam kehidupan sehari-hari. Apakah di Indonesia tercinta, HAM itu memang diberlakukan dengan sungguh-sngguh dan nyata ? Apalagi setelah Orba turun panggung, lalu Indonesia memasuki periode Reformasi, dan kita bisa bernafas menghirup sedikit udara 'demokrasi', serta terbentuknnya pemerintah sebagai kelanjutan dari pemilihan umum yang berlangsung menurut aturan main sistim demokrasi parlementer; -- Pada periode ini tambah-tambah lagi pentingnya mempertanyakan:

QUO VADIS Hak-Hak Azasi Manusia di Indonesia.

Mempertanyakan masalah HAM dengan sikap yang kritis bukan sesuatu yang dibikin-bikin. Hal itu amat-amat wajar. Diajukannya pertanyaan-pertanyaan sekitar pelaksanaan atau lebih jelasnya, sekitar pelanggaran HAM di Indonesia, itu sepenuhnya masuk akal! Bukankah selama 32 tahun Indonesia di bawah rezim Presiden Suharto, Hak-hak Manusia tak dikenal samasekali. Kalau itu tokh 'dikenal', hanyalah di atas kertas saja. Adalah sesuatu yang tak dapat disangkal bahwa selama periode rezim Orba, diberlakukan atau tidak-diberlakukannya hak-hak manusia terhadap warganegara Republik Indonesia, --- itu sepenuhnya ditentukan oleh penguasa. Dari pusat sampai ke kampung-kampung demikianlah adanya. Seperti itulah situasinya.

Sungguh memilukan, bikin hati jadi geregetan! Coba fikir: sesudah 10 tahun menggeloranya gerakan Reformasi; sudah 10 tahun pula kita melalui periode pasca Orba,-- Namun, bicara masalah HAM di Indonesia sehubungan dengan Ultah Ke-60 Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB, yang kita saksikan adalah sbb:

Jelas sekali! Sebagian besar pakar, peneliti, penulis, wartawan, cendekiawan -- yang PhD ataupun yang profesor --, apalagi politikus anggota parpol atau bukan, tergolong eksekutif ataukah legeslatif, judisial ataukah 'orang-orang biasa' yang dulunya pejabat atau penguasa Orba, -- semua mereka itu bu k a n n y a tidak secara sadar M E L U P A K A N pelanggaran HAM terbesar yang terjadi dalam sejarah Republik Indonesia: PEMBANTAIAN MASAL 1965. Kejahatan terhadap kemanusiaan, CRIME AGAINST HUMANITY yang disulut dan direncanakan oleh penguasa militer dan pendukung-pendukungnya dari kalangan parpol dan masyarakat, pada akhir 1965, dimulai di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali kemudian menjalar ke pelbagai penjuru tanah air, hal itu di luar negeri , ramai dipermasalahkan, dibicarakan dan diprotes keras oleh pelbagai organisasi dan lembaga sosial/budaya dan kemanusiaan. LEMBARAN GELAP dalam sejarah bangsa ini, di Indonesia --- dengan sadar dibiarkan berlalu tanpa komentar. Apakah mereka-mereka yang tutup mulut itu benar-benar kejangkitan penyakit lupa (ingatan)?

Kiranya tidak! Lalu mengapa sampai membisu seribu bahasa terhadap masalah begitu besar dan gawat?

Sekarang ini aku lebih mengkhayati apa yang dikatakan oleh salah seorang dari generasi muda yang lama kuajak bertukar fikiran belum lama di Indonesia. Aku bilang begini: Di luarnegeri ada sementara komentar yang memberikan angka plus kepada Presiden SBY. Mereka katakan: SBY positif dalam hal mulai menangani kasus-kasus korupsi. Dikatakan juga positif dalam hal keberhasilan SBY menghentikan konflik bersenjata di Aceh dan jalan solusi terhadap pemberontakan separatis. Juga dikatakan positif dalam usaha menerapkan UU Otonomi Daerah yang berlangsung tanpa kekerasan-kekerasan baru.

Kontan anak muda itu berreaksi: Tidak Pak! Saya tidak sampai setinggi itu memberikan angka plus terhadap kebijakan Presiden SBY, yang diluar dikatakan sebagai prestasi. Bisa saja kita berbeda dalam memberikan penilaian mengenai beleid pemerintah SBY terhadap tiga kasus itu: Ataukah itu berhasil positif/plus, atau, ya hasilnya bolehlah, atau negatif, alias tak ada hasil apa-apa. Bagi saya, kata anak muda itu, 'Saya hanya bisa ANGKAT TOPI PADA SBY BILA BELIAU MULAI MENANGANI MASALAH 1965. Bila SBY mulai ambil langkah memberlakukan keadilan dan kebenaran terhadap para korban Peristiwa 1965'.

Maksudnya, bila SBY mulai menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada akhir 1965 dan selanjutnya. Mulai mengusut/mengurus masalah persekusi, pemenjaraan, pembantaian dan pembuangan ke P. Buru, yang dilakukan penguasa terhadap warganegara Indonesia yang tak bersalah. Yang diperlakukan sewenang-wenang atas dasar tuduhan dan fitnah semata-mata, sebagai terlibat atau berindikasi terlibat dengan G30S, sebagai anggota atau simpatisan PKI dan/atau pendukung Presiden Sukarno. Sampai sekarangpun para korban dan keluarganya masih saja mengalami diskriminasi dan stigmatisasi. Hak-hak manusia dan hak-hak kewarganegaraan mereka MASIH BELUM DIPULIHKAN. Nama baik mereka masih belum direhabilitasi!

Terhadap anak muda yang sengaja tak kusebutkan namanya itu, patutlah kita-kita ini angkat topi terhadap sikap yang dinyatakannya sekitar masalah pelanggaran HAM terbesar di Indonesia, dan bagaimana seyogianya pemerintah yang berwewenang harus bersikap dan mengambi langkah!

* * *

Bagi kita, suatu bangsa yang telah menjadi bangsa merdeka sejak 17 Agustus 1945, dengan sendirinya seharusnya peringatan Deklarasi Universil Hak-Hak Manusia itu difokuskan pada sorotan yang lebih tajam, lebih kritis lagi, pada realita HAM di Indonesia. UUD RI sudah diamandir dan dengan formal dicantumkan fasal-fsal HAM. Sudah pula dibentuk Komisi Nasional Hak-Hak Manusia. Namun pemberlakuan HAM di negeri ini, masih sangat minim! Maka dituntut pada setiap pejuang, aktifis dan pemeduli HAM, untuk mempertahankan pendirian yang konsisten meneruskan perjuangan yang mulya tetapi sulit ini dengan semangat pantang mundur menghadapi kendala dan tantangan, khususnya yang datang dari kalangan yang berkuasa.

* * *

Mari tengok salah satu episode belakangan ini yang menunjukkan betapa minimnya pengkhayatan HAM, khususnya hak-hak demokrasi dalam penulisan dan penyiaran: Begitu terbit buku Prof Dr John Rosa, edisi Indonesia, “DALIH PEMBUNUHAN MASAL, GERAKAN 30 SEPTEMBER dan KUDETA SUHARTO, sudah kedengaran suara sumbang dari kalangan berkuasa , menuntut dilarangnya buku John Rosa itu. Padahal buku itu adalah suatu buku hasil penelitian dan studi menyangkut sejarah bangsa kita pada periode yang amat krusial. Suatu periode yang telah menjerumuskan bangsa ini ke suatu masa otoriter yang sarat dengan pelanggaran HAM dan kultur KKN yang telah menumpulkan dan membodohkan bangsa ini selama lebih dari tiga dasawarsa.

Begitu juga ketika terbit buku lainnya yang mengklaim, bahwa Wapres Adam Malik, adalah agen CIA, terdengar lagi suara-suara sumbang agar buku tsb dilarang beredar di Indonesia. Suatu indikasi bahwa penguasa Indonesia sedikitpun tidak punya kepercayaan terhadap daya-kritis dan kemampuan berfikir berdikari bangsa kita, khususnya kaum cendekiawannya.

Begitu juga sehubungan dengan kasus dilarang atau dipersulitnya budayawan/cineas dalam pembuatan film 'LESTARI', yang disutradarai oleh Eros Djarot.

Sineas senior Eros Djarot terancam gagal menyelesaikan film 'Lastri'. Pasalnya, film yang mengambil lokasi syuting di sekitar Solo Jawa Tengah itu belum mendapat izin pengambilan gambar dari pihak kepolisian dan pemda setempat. Anggapan sementara yang muncul saat ini adalah film yang diprodusir oleh Marcella Zalianty tersebut dinilai menyebarkan paham komunis. Dari sini bisa dilihat betapa 'ampuhnya' pelarangan paham komunis yang dipakukan sebagai kebijakan resmi negara dengan disahkannya Tap MPRS No. XXV Th 1966, bahw Tap MPRS No XXV/1966 itu melanggar hak-hak demokratis yang dicantumkan dalam UUD Republik Indonesia.

* * *

Meskipun dihadapkan dengan berbagai keadaan yang plus maupun yang minus -- (barangkali lebih banyak minusnya dari plusnya, seperti ditandatanganinya kemarin oleh Presiden UU Pornografi yang begitu kontroversial dan jelas ditentang dan akan diboikot paling tidak oleh provinsi Bali ---) --- sekitar pelaksanaan HAM di Indonesia seperti kita bicarakan diatas:

Tokh hati dan perasaan kita sedikit terobat dengan paling tidak berita yang memberikan kebanggaan dan semangat untuk meneruskan usaha/kegiatan/perjuangan demi terlaksananya HAM di negeri kita:

Dimaksudkan disini ialah berita mengenai 'Anugerah Yap Thiam Hien 2008' yang diberikan kepada Prof. Dr. Sri Musdah Mulia, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Cendekiawan perempuan asal Sulawesi Selatan ini dikenal sebagai cendekiawan yang konsisten dan berani tampil membela hak-hak asasi manusia, hak hak minoritas, dan kemajemukan bangsa. Siti Musdah adalah aktivis penggiat terkemuka dalam kampanye mengenai pluralisme. Ia dianugerahi Anugerah Hak-Hak Manusia Yap Thiem Hien 2008, untuk keberaniannya dan kegigihannya dalam membela hak-hak sipil dan Islam inklusif.

Bahaya Fundamentalisme dan pembelaan Pluralisme:

Dalam tanggapannya sekitar pemberian award untuk Sri Musdah Mulia, advokat senior dan aktivis hak-hak manusia Todung Mulya Lubis melihat bahwa bangsa ini dihadapkan pada ancaman fundamentalisme yang bisa mencabik-cabik kemajemukan kita sebagai bangsa, bisa mencabik-cabik hak asasi manusia dan upaya-upaya untuk membangun kembali kebersamaan melalui Pancasila. Tahun ini dan terutama tahun-tahun mendatang konflik antara fundamentalisme dan pluralisme akan semakin kencang, dan dibutuhkan tokoh-tokoh yang betul-betul siap, dan bersedia, dan berani untuk melawan fundamentalisme yang membahayakan sendi-sendi hak asasi manusia, sendi-sendi pluralisme itu. Dan Mulia berada di garis paling depan. Kontribusi Musdah Mulia itu sangat penting, dalam rangka usaha melakukan emansipasi dalam komunitas Islam, dalam penerapan hukum Islam.

Siapa Sri Musdah Mulia?

Musdah lahir di Bone Sulawesi Selatan pada 03 Maret 1958 dan dibesarkan di lingkungan Islam. Ia tamat Universitas Islam Alauddin, Makasar, pada tahun 1982. Pada tahun 2004 Musdah membikin kejutan dikalangan Islam ketika menulis makalah yang mengeritik Kumpulan Hukum Islam yang berlaku. Kemudian Menteri Agama Maftuh Basyuni membatalkan makalah Musdah tsb dalam 2005 dan Musdah dikenakan larangan menyebarkan fikirannya. Musdah tidak tunduk, ia terus saja membela hak-hak perempuan, juga hak-hak golongan minoritas, seperti halnya aliran Ahmadiyah dan orang-orang homo. Dewasa ini Musdah mengajar di Lembaga Ilmu Al Quran dan Program Postgraduate pada UIN.

Apa kata Musdah berkaitan dengan Hak-Hak Azasi Manusia?

Dalam sebuah wawancara dengan Ranesi, Radio Hilversum, mengomentari tindakan kekerasan yang belum lama dilakukan oleh FPI, Musdah berkata: Aksi-aksi kekerasan dan vokal FPI itu, membuka mata semua orang bahwa kelompok-kolompok jihad adalah kelompok karena memperjuangkan ide yang militan, lalu sangat vokal membajak ke-Islaman kita, membajak keIndonesiaan kita, dan itu sebenarnya membajak Pancasila kita. Karena itu menurut saya seharusnya kelompok yang dikatakan moderat, yaitu yang mayoritasnya adalah toleran, itu tidak lagi silent, tetapi semua harus out, bicara dan bicara.

Mulai sekarang kita harus bicara bahwa Islam tidak boleh dicederai oleh segelintir orang yang lalu mengatasnamakan dirinya sebagai pembela Islam. Dan juga kita sebagai orang Indonesia, kita tidak boleh membiarkan ada segelintir orang Indonesia yang membajak ke Indonesiaan kita untuk kepentingan politis jangka pendek.

Demikian Sri Musdah Mulia mengakhiri wawancaranya dengan Ranesi.

* * *

Perlulah kitanya agak panjang dibicarakan sekitar 'Yap Thiam Hien Award 2008' untuk Sri Musdah Mulia, untuk memberikan sedikit gambaran bahwa di kalangan bangsa kita, sungguh terdapat manusia-manusia seperti Sri Musdah Mulia, yang berani tampil berjuang demi hak-hak azasi manusia, demi persamaan hak lelaki dan perempuan, demi hak-hak kaum minoritas, serta menentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok manapun, penguasa manapun, termasuk penguasa seperti Menteri Agama dan kelompok seperti kelompok radikal FPI.

Memperingati Hari Ultah Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB, dengan a.l kegiatan menyampaikan 'Yap Thiam Hien Award 2008' kepada salah seorang tokoh pejuang HAM di Indonesia, adalah suatu langkah yang mendorong maju perjuangan demi pelaksanaan HAM di Indonesia.

* * *

Kolom IBRAHIM ISA - RAWAGEDE - <1>

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 01 Desember 2008

-----------------------


RAWAGEDE - <1>

Pembunuhan Masal Yang Tak Pernah Kedaluwarsa

* * *

Crime Against Humanity - Dan HUBUNGAN INDONESIA – BELANDA

Beberapa hari belakangan ini, cukup menarik apa yang diberitakan media luarnegeri, khususnya dalam hal ini media Belanda. Dimaksudkan ialah pemberitaan yang ada kaitannya dengan apa yang terjadi di Indonesia 60th yang lalu: Yaitu kasus PEMBANTAIAN MASAL di desa RAWAGEDE, dekat Kerawang, Jawa Barat, pada tanggal 09 Desember 1947. Pelakunya adalah tentara Kerajaan Belanda. Peristiwa tsb adalah suatu 'kejahatan terhadap kemanusiaan' - 'Crime Against Humanity'.

Kasus 'pembantaian Rawagede' muncul di kalangan pers dan masyarakat Belanda, ketika diumumkan 'Excessennota th 1969, dimana dikemukakan kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda -- khususnya oleh pasukan KNIL yang dipimpin oleh Kapten KNIL Westerling di Sulawesi Selatan. Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1995 TV Belanda RTL-4, menyiarkan sebuah film dokumenter mengenai RAWAGEDE.

Para pembuat laporan dokumenter tsb sempat melakukan pembicaraan setempat dengan mereka-mereka yang masih hidup, yang bisa menyelamatkan diri dari pembantaian tsb, dan dengan para keluarga mereka. Yang terutama menimbulkan kejutan (di kalangan masyarakat Belanda) ialah kesaksian yang dituturkan oleh seorang nenek tua, yang dengan suara gemetar menceriterakan bagaimana ia menemukan suami dan putranya di antara mayat-mayat korban pembantaian yang bergelimpangan.

Menurut wartawan pembuat film dokumenter RTL 4, ada 431 priya, tua dan muda, yang dieksekusi oleh tentara Belanda di tempat itu. Sebagai reaksi, sementara anggota Tweede Kamer Belanda (DPR) mengajukan pertanyaan sekitar kasus tsb kepada pemerintah Belanda. Tetapi, ceriteranya terhenti sampai di situ saja. Tak ada kelanjutan. Semua bahan masuk 'peti és' arsip (rahasia) Belanda.

* * *

Yang memicu kasus Rawagede menjadi menyolok, ialah diberitakannya baru-baru ini, sikap pemerintah Belanda yang menolak tuntutan keadilan yang diajukan oleh para korban pembantaian Rawagede yang beruntung masih hidup. Tentu juga menjadi perhatian diberitakannya oleh fihak Belanda, bahwa Dutabesar Belanda untuk Indonesia, akan hadir pada peringatan 'masaker Rawagede' yang akan diadakan oleh penduduk setempat dengan para undangan, di desa Rawagede, pada tanggal 09 Desember 2008 beberapa hari yad ini. Sikap Kedutaan Belanda ini berbeda dengan sebelumnya. Pada tahun lalu, misalnya, fihak Kedutaan Belanda yang juga dapat undangan untuk menghadiri peringatan Rawagede, sempat mengirimkan seorang utusan Kedutaan. Namun, bila berita ini benar, dan ternyata Dubes Belanda untuk Indonesia hadir pada peringatan RAWAGEDE nanti, tentu ini suatu perkembangan yang perlu disambut baik.

Di sini ingin agak disoroti bagaiman pers Belanda mempresentasikan kasus Rawagede tsb kepada pembacanya, untuk sekadar memperoleh gambaran bagaimana masyrakat Belanda berreaksi terhadap peristiwa Rawagede. Menyangkut bagaimana mereka bersikap terhadap masalah sejarah. Kaitannya tentu, dengan latar belakang sejarah hubungan Indonesia-Belanda dan bagaimana perspektif selanjutnya hubungan tsb. Sering dikatakan hubungan Indonesia-Belanda sebagai 'hate and love relation'. 'De Volkskrant', misalnya, dalam komentarnya yang disiarkan pada hari Rabu, tanggal 26 November 2008 yl, menulis a.l sbb:

'Penduduk dari sebuah desa di Jawa Barat telah mengkonfrontir Nederland dengan episode menyakitkan dari masa lampau kolonialnya. Sembilan orang janda dan seorang yang masih hidup telah mengajukan tuntutan (civielrechtelijke procedure ) terhadap tindakan balas dendam dan eksekusi pada peristiwa pembantaian yang terjadi pada tanggal 09 Desember 1947 di desa yang dulu bernama Rawagede, sekarang Balongsari. Tentara Belanda yang sedang mencari seorang pemimpin pejuang kemerdekaan Indonesia di wilayah itu, dengan motif balas dendam telah mengeksekusi hampir semua penduduk lelaki di desa tsb.

Perkiraan jumlah persis berapa yang dibunuh - 150 orang menurut fihak Belanda, 431 menurut fihak Indonesia – amat berbeda. Namun, yang sudah pasti ialah, menurut penelitian PBB pada th 1948, memang terjadi tindakan yang direncanakan dan kejam. Yang bersalah tidak pernah dihukum, dan ini berlaku sampai pada disiarkannya 'Exessennota th 1969' - yang disusun menyusul pengungkapan mengenai tindakan kejam tentara Belanda di Sulawesi (Selatan) – sebelum kasus Rawagede menjadi perhatian lagi.

Sampai disini kiranya cukup lumayan apa yang ditulis oleh komentar 'De Volkskrant'. Mungkin baik diteruskan membaca komentar koran Belanda ini, untuk mendapat gambaran bagaimana tanggapan orang Belanda sendiri terhadap masa lampau kolonialnya.

Lanjut 'De Volkskrant': 'Pada berbagai kesempatan dalam pada itu Nederland telah menyatakan penyesalannya, yang belakangan ini ialah dalam tahun 2005, yang dilakukan melalui pernyataan Menlu Bot, pada kesempatan ultah ke-60 proklamasi kemerdekaan Indonesia. Aksi-aksi Polisi, kata Bot, mengakibatkan bahwa Nederland bisa dikatakan 'telah berdiri pada pihak yang salah dalam sejarah'./

Namun, Bot tidak minta maaf dan (tepat) berpijak pada pendirian, bahwa permintaan maaf itu hanya diajukan, untuk kasus-kasus dimana kita sendiri yang bertanggungjawab. Dilihat dari pandangan sekarang, kita kiranya akan bertindak lain, barangkali lebih baik, terbanding apa yang dilakukan oleh orangtua atau kakek-kakek kita dan permintaan maaf bisa diajukan./

Apa yang dinamakan 'Aksi Kepolisian' itu adalah suatu percobaan yang sia-sia untuk menindas suatu perjuangan kemerdekaan yang adil. Baru pada tahun 1949 ketika Nederland bisa menerima kenyataan ini. Dalam masa empat tahun yang telah berlalu itu, di kedua belah fihak telah jatuh korban ribuan militer dan sipil. Di situ juga pada fihak Indonesia telah berlangsung kekerasaan terhadap penduduk(nya).

Sekarang perhatikan komentar berikutnya, yang bikin penulis sendiri berfikir-fikir sampai di mana kebenaran apa yang ditulis koran Belanda ini, sbb;

'Disebabkan oleh alasan ini juga, Nederland dan Indonesia bersepakat pada waktu kemerdekaan mengenai kesalahan-kesalahan yang dibuat untuk tidak dilakukan penuntutan. Sejak itu Jakarta telah sepakat untuk menempatkan suatu titik pada masa lampau. (Namun) Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menganggap ini tak adil.
Demikian a.l De Volkkrant.

De Volkkrant menutup komentarnya dengan menulis:

'Mengatakan bahwa (kasus itu) sudah d a l u w a r s a adalah suatu kelemahan juridis – jurudisch zwaktebod -. Kejahatan-kejahatan perang – meskipun fihak Nederland selalu menghindari menggunakan istilah ini-- tidak pernah daluwarsa, /De Volkskrant menutup komentarnya.

* * *

Pernah kutulis dalam kolom ini, bahwa catatan sejarah itu dibuat, didokumentasi, bukan dengan maksud untuk dirahasiakan. Juga bukan dengan maksud untuk tidak dibuka. Atau agar tidak dibaca kembali. Bahwa fakta-fakta sejarah seyogianya digunakan sebagai bahan riset dan studi untuk memperoleh pengetahuan yang sedekat mungkin dengan kenyataan yang sesungguhnya, yang seobyektif mungkin mengenai hal-hal yang terjadi di masa lampau. Bagaimana memperlakukan masalah sejarah, menyangkut masalah pengenalan terhadap identitas bangsa. Termasuk dalam rangka mengkhayati apa yang dimaksudkan dengan KESADARAN BERBANGSA.

Bahan-bahan sejarah itu, kapan saja, selalu diperlukan dan bila tak ada atau masih tersembunyi, harus dicari sampai ketemu!. Ini perlu dipandang dari segi perkembangan ilmu sejarah itu sendiri. Maupun dilihat dari tujuan yang lebih penting lagi, yaitu: Mencari dan menemukan kebenaran dan keadilan. Semua itu adalah demi pertumbuhan dan pengembangan pengetahuan bangsa mengenai dirinya sendiri. Menyangkut masalah KESADARAN NASIONAL.

Ambillah satu perisitiwa, satu episode yang terjadi dalam sejarah perjuangan bangsa kita untuk mempertahankan kemerdekaannya. Kasus yang dimaksudkan disini ialah peristiwa yang sedang dibicarakan, PERISTIWA RAWAGEDE.
Pada periode agresi militer pertama Belanda terhadap Republik Indonesia 431 lelaki, orangtua dan perempuan yang tak bersalah di desa R a w a g e d e tsb telah menjadi korban pembantaian masal. Rakyat di situ telah menjadi korban 'kejahatan terhadap kemanusiaan' yang dilakukan oleh tentara kerajaan Belanda.
Alhamdulillah masih ada para peneliti, dalam dan luar negeri, termasuk negeri Belanda, dan penstudi bangsa yang memperhatikan dan meneliti masalah sejarah bangsa, khususnya yang dilakukan oleh KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA, (KUKB – Ketua : Batara Hutagalung). Mereka menuntut keadilan bagi para korban kekejaman tentara Belanda. Bila tidak ada kegiatan seperti itu, yang diusahakan terus-menerus, maka peristiwa 'pembunuhan masal di Rawagede', akan lenyap ditelan waktu.

Tidaklah tepat, adalah bertentangan dengan ilmu sejarah itu sendiri, bila memperlakukan fakta-fakta sejarah, masalah-masalah sejarah --- sebagai sesuatu yang misterius, yang tak bisa dijamah atau diungkapkan. Salahlah bila menganggapnya sebagai 'masa lampau yang 'traumatik', 'yang tak boleh diungkit-ungkit kembali agar tidak membuka kembali luka-luka lama'. (Bersambung) * * *

Sunday, December 14, 2008

*QUO VADIS 'Hak-hak Azasi Manusia ' DI INDONESIA*

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 10 Desember 2008


*QUO VADIS 'Hak-hak Azasi Manusia ' DI INDONESIA*


Hati kecilku berbisik: Semoga hari-hari ini, ketika secara luas '10
Desember 2008' diperingati sebagai hari Ultah Ke-60 dicetuskannya 'The
Universal Declaration of Human Rights UNO', 08 Desember 1948,
dimaklumkannya 'Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB', --
peristiwa itu diperingati secara lebih kongkrit dan nyata. Artinya tidak
ngambang. Jangan sampai peringatan itu semata-mata ritual formal saja.
Agar hari peringatan tsb dilakukan, dengan mengkaitkannya secara
kongkrit dengan situasi dan kondisi aktual. Bagi kita ini berarti, dari
waktu ke waktu, khususnya pada saat memperingati HAM seperti sekarang
ini, tidak boleh tidak harus selalu mempertanyakan, sesungguhnya
bagaimana prakteknya HAM dalam kehidupan sehari-hari. Apakah di
Indonesia tercinta, HAM itu memang diberlakukan dengan sungguh-sngguh
dan nyata ? Apalagi setelah Orba turun panggung, lalu Indonesia memasuki
periode Reformasi, dan kita bisa bernafas menghirup sedikit udara
'demokrasi', serta terbentuknnya pemerintah sebagai kelanjutan dari
pemilihan umum yang berlangsung menurut aturan main sistim demokrasi
parlementer. Pada periode ini tambah-tambah lagi pentingnya mempertanyakan:

QUO VADIS Hak-Hak Azasi Manusia di Indonesia.

Mempertanyakan masalah HAM dengan sikap yang kritis bukan sesuatu yang
dibikin-bikin. Hal itu amat-amat wajar. Diajukannya
pertanyaan-pertanyaan sekitar pelaksanaan atau lebih jelasnya, sekitar
pelanggaran HAM di Indonesia, itu sepenuhnya masuk akal! Bukankah selama
32 tahun Indonesia di bawah rezim Presiden Suharto, Hak-hak Manusia tak
dikenal samasekali. Kalau itu tokh 'dikenal', hanyalah di atas kertas
saja. Adalah sesuatu yang tak dapat disangkal bahwa selama periode rezim
Orba, diberlakukan atau tidak-diberlakukannya hak-hak manusia terhadap
warganegara Republik Indonesia, --- itu sepenuhnya ditentukan oleh
penguasa. Dari pusat sampai ke kampung-kampung demikianlah adanya.
Seperti itulah situasinya.


Sungguh memilukan, bikin hati jadi geregetan! Coba fikir: sesudah 10
tahun menggeloranya gerakan Reformasi; sudah 10 tahun pula kita melalui
periode pasca Orba,-- Namun, bicara masalah HAM di Indonesia sehubungan
dengan Ultah Ke-60 Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB, apa
yang kita saksikan adalah sbb:


Jelas sekali bahwa sebagian besar pakar, peneliti, penulis, wartawan,
cendekiawan - yang PhD ataupun yang profesor --, apalagi politikus
anggota parpol atau bukan, tergolong eksekutif ataukah legeslatif,
judisial ataukah 'orang-orang biasa' yang dulunya pejabat atau penguasa
Orba, --semua mereka itu bukannya tidak secara sadar M E L U P A K A N
pelanggaran HAM terbesar yang terjadi dalam sejarah Republik Indonesia:
PEMBANTAIAN MASAL 1965. Kejahatan terhadap kemanusiaan, CRIME AGAINST
HUMANITY yang disulut dan direncanakan oleh penguasa militer dan
pendukung-pendukungnya dari kalangan parpol dan masyarakat, pada akhir
1965, dimulai di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali kemudian menjalar ke
pelbagai penjuru tanah air, hal itudi luar negeri , ramai
dipermasalahkan, dibicarakan dan diprotes keras oleh pelbagai organisasi
dan lembaga sosial/budaya dan kemanusiaan. LEMBARAN GELAP dalam sejarah
bangsa ini, di Indonesia --- dengan sadar dibiarkan berlalu tanpa
komentar. Apakah mereka-mereka yang tutup mulut itu benar-benar
kejangkitan penyakit lupa (ingatan)?


Kiranya tidak! Lalu mengapa sampai membisu seribu bahasa terhadap
masalah begitu besar dan gawat?

Sekarang ini aku lebih mengkhayati apa yang dikatakan oleh salah seorang
dari generasi muda yang lama kuajak bertukar fikiran belum lama di
Indonesia. Aku bilang begini: Di luarnegeri ada sementara komentar yang
memberikan angka plus kepada Presiden SBY. Mereka katakan: SBY positif
dalam hal mulai menangani kasus-kasus korupsi. Dikatakan juga positif
dalam hal keberhasilan SBY menghentikan konflik bersenjata di Aceh dan
jalan solusi terhadap pemberontakan separatis. Juga dikatakan positif
dalam usaha menerapkan UU Otonomi Daerah yang berlangsung tanpa
kekerasan-kekerasan baru.


Kontan anak muda itu berreaksi: Tidak Pak! Saya tidak sampai setinggi
itu memberikan angka plus terhadap kebijakan Presiden SBY, yang diluar
dikatakan sebagai prestasi. Bisa saja kita berbeda dalam memberikan
penilaian mengenai beleid pemerintah SBY terhadap tiga kasus itu:
Ataukah itu berhasil positif/plus, atau, ya hasilnya bolehlah, atau
negatif, alias tak ada hasil apa-apa. Bagi saya, kata anak muda itu,
'Saya hanya bisa ANGKAT TOPI PADA SBY BILA BELIAU MULAI MENANGANI
MASALAH 1965. Bila SBY mulai ambil langkah memberlakukan keadilan dan
kebenaran terhadap para korban Peristiwa 1965'.

Maksudnya, bila SBY mulai menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi
pada akhir 1965 dan selanjutnya. Mulai mengusut/mengurus masalah
persekusi, pemenjaraan, pembantaian dan pembuangan ke P. Buru, yang
dilakukan penguasa terhadap warganegara Indonesia yang tak bersalah.
Yang diperlakukan sewenang-wenang semat-mata atas dasar tuduhan dan
fitnah semata-mata, sebagai terlibat atau berindikasi terlibat dengan
G30S, sebagai anggota atau simpatisan PKI dan/atau pendukung Presiden
Sukarno. Sampai sekarangpun para korban dan keluarganya masih saja
mengalami diskriminasi dan stigmatisasi. Hak-hak manusia dan hak-hak
kewarganegaraan mereka MASIH BELUM DIPULIHKAN. Nama baik mereka masih
belum direhabilitasi!


Terhadap anak muda yang sengaja tak kusebutkan namanya itu, patutlah
kita-kita ini angkat topi terhadap sikap yang dinyatakannya sekitar
masalah pelanggaran HAM terbesar di Indonesia, dan bagaimana seyogianya
pemerintah yang berwewenang harus bersikap dan mengambi langkah!


* * *

Bagi kita, suatu bangsa yang telah menjadi bangsa merdeka sejak 17
Agustus 1945, dengan sendirinya seharusnya peringatan Deklarasi
Universil Hak-Hak Manusia itu difokuskan pada sorotan yang lebih tajam,
lebih kritis lagi, pada realita HAM di Indonesia. UUD RI sudah diamandir
dan dengan formal dicantumkan fasal-fsal HAM. Sudah pula dibentuk Komisi
Nasional Hak-Hak Manusia. Namun pemberlakuan HAM di negeri ini, masih
sangat min! Maka dituntut pada setiap pejuang, aktifis dan pemuli HAM,
untuk mempertahankan pendirian yang konsisten meneruskan perjuangan yang
mulya tetapi sulit ini dengan semangat pantang mundur menghadapi kendala
dan tantangan, khususnya yang datang dari kalangan yang berkuasa.


Mari tengok salah satu episode belakangan ini yang menunjukkan betapa
minimnya pengkhayatan HAM, khususnya hak-hak demokrasi dalam penulisan
dan penyiaran: Begitu terbit buku Prof Dr John Rosa, edisi Indonesia,
“DALIH PEMBUNUHAN MASAL, GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN dan KUDETA SUHARTO,
sudah kedengaran suara sumbang dari kalangan berkuasa , menuntut
dilarangnya buku John Rosa itu. Padahal buku itu adalah suatu buku hasil
penelitian dan studi menyangkut sejarah bangsa kita pada periode yang
amat krusial. Suatu periode yang telah menjerumuskan bangsa ini ke suatu
masa otoriter yang sarat dengan pelanggaran HAM dan kultur KKN yang
telah menumpulkan dan membodohkan bangsa ini selama lebih dari tiga
dasawarsa.


Begitu juga ketika terbit buku lainnya yang mengklaim, bahwa Wapres Adam
Malik, adalah agen CIA, terdengar lagi suara-suara sumbang agar buku tsb
dilarang beredar di Indonesia. Suatu indikasi bahwa penguasa Indonesia
sedikitpun tidak punya kepercayaan terhadap daya-kritis dan kemampuan
berfikir berdikari bangsa kita, khususnya kaum cendekiawannya.


Begitu juga sehubungan dengan kasus dilarang atau dipersulitnya
budayawan/cineas dalam pembuatan film 'LESTARI', yang disutradarai oleh
Eros Djarot.


Sineas senior Eros Djarot terancam gagal menyelesaikan film 'Lastri'.
Pasalnya film yang mengambil lokasi syuting di sekitar Solo Jawa Tengah
itu belum mendapat izin pengambilan gambar dari pihak kepolisian dan
pemda setempat. Anggapan sementara yang muncul saat ini adalah film yang
diprodusir oleh Marcella Zalianty tersebut dinilai menyebarkan paham
komunis. Dari sini bisa dilihat betapa 'ampuhnya' pelarangan paham
komunis yang dipakukan sebagai kebijakan resmi negara dengan disahkannya
TAP bahwa Tap MPRS No XXV/1966 itu melanggar hak-hak demokratis yang
dicantumkan dalam UUD Republik Indonesia.


* * *


Meskipun dihadapkan dengan berbagai keadaan yang plus maupun yang minus
-- (barangkali lebih banyak minusnya dari plusnya, seperti
ditandatanganinya kemain oleh Presiden UU Pornografi yang begitu
kontroversial dan jelas ditentang dan akan diboikot oleh paling tidak
oleh provinsi Bali --- --- sekitar pelaksanaan HAM diIndonesia seperti
kita bicarakan diatas: Tokh hati dan perasaan kita sedikit terobat
dengan paling tidak dua berita yang memberikan kebanggaan dan semangat
untuk meneruskan usaha/kegiatan/perjuangan demi terlaksananya HAM di
negeri kita:

Pertama: *Berita tentang *Anugerah Yap Thiam Hien 2008 kepada Prof. Dr.
Sri Musdah Mulia, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Cendekiawan perempuan asal Sulawesi Selatan ini dikenal
sebagai cendekiawan yang konsisten dan berani tampil membela hak-hak
asasi manusia, hak hak minoritas, dan kemajemukan bangsa. Siti Musdah
adalah aktivis penggiat terkemuka dalam kampanye mengenai pluralisme. Ia
dianugerahi Anugerah Hak-Hak Manusia Yap Thiem Hien 2008, untuk
keberaniannya dan kegigihannya dalam membela hak-hak sipil dan Islam
inklusif.

Bahaya Fundamentalisme dan pembelaan Pluralisme:

Dalam tanggapannya sekitar pemberian award untuk Sri Musdah Mulia,
advokat senior dan aktivis hak-hak manusia Todung Mulya Lubis melihat
bahwa bangsa ini dihadapkan pada ancaman fundamentalisme yang bisa
mencabik-cabik kemajemukan kita sebagai bangsa, bisa mencabik-cabik hak
asasi manusia dan upaya-upaya untuk membangun kembali kebersamaan
melalui Pancasila. Tahun ini dan terutama tahun-tahun mendatang konflik
antara fundamentalisme dan pluralisme akan semakin kencang, dan
dibutuhkan tokoh-tokoh yang betul-betul siap, dan bersedia, dan berani
untuk melawan fundamentalisme yang membahayakan sendi-sendi hak asasi
manusia, sendi-sendi pluralisme itu. Dan Mulia berada di garis paling
depan. Kontribusi Musdah Mulia itu sangat penting, dalam rangka usaha
melakukan emansipasi dalam komunitas Islam, dalam penerapan hukum Islam.


Siapa Sri Musdah Mulia?

Musdah lahir di Bone Sulsel pada 03 Maret 1958 dan dibesarkan di
lingkungan Islam. Ia tamat Universitas Islam Alauddin, Makasar, pada
tahun 1982. Pada tahun 2004 Musdah membikin kejutan dikalangan Islam
ketika menulis makalah yang mengeritik Kumpulan Hukum Islam yang
berlaku. Kemudian Menteri Agama Maftuh Basyuni membatalkan makalah
Musdah tsb dalam 2005 dan Musdah dikenakan larangan menyebarkan
fikirannya. Musdah tidak tunduk, ia terus saja membela hak-hak
perempuan, juga hak-hak golongan minoritas, seperti halnya aliran
Ahmadiyah dan orang-orang homo. Dewasa ini Musdah mengajar di Lembaga
Ilmu Al Quran dan Program Postgraduate pada UIN.

Apa kata Musdah berkaitan dengan Hak-Hak Azasi Manusia?

Dalam sebuah wawancara dengan Ranesi, Radio Hilversum, mengomentari
tindakan kekerasan yang belum lama dilakukan oleh FPI, Musdah berkata:
Aksi-aksi kekerasan dan vokal FPI itu, membuka mata semua orang bahwa
kelompok-kolompok jihad adalah kelompok karena memperjuangkan ide yang
militan, lalu sangat vokal membajak ke-Islaman kita, membajak
keIndonesiaan kita, dan itu sebenarnya membajak Pancasila kita. Karena
itu menurut saya seharusnya kelompok yang dikatakan moderat, mayoritas
itu adalah toleran, itu tidak lagi silent, tetapi semua harus out,
bicara dan bicara.


Mulai sekarang kita harus bicara bahwa Islam tidak boleh dicederai oleh
segelintir orang yang lalu mengatasnamakan dirinya sebagai pembela
Islam. Dan juga kita sebagai orang Indonesia, kita tidak boleh
membiarkan ada segelintir orang Indonesia yang membajak ke Indonesiaan
kita untuk kepentingan politis jangka pendek.

Demikian Sri Musdah Mulia mengakhiri wawancaranya dengan Ranesi.


* * *


Perlulah kitanya agak panjang dibicarakan sekitar Yap Thiam Hien Award
2008 untuk Sri Musdah Mulia, untuk memberikan sedikit gambaran bahwa di
kalangan bangsa kita, sungguh terdapat manusia-manusia seperti Sri
Musdah Mulia, yang berani tampil berjuang demi hak-hak azasi manusia,
demi persamaan hak lelaki dan perempuan, demi hak-hak kaum minoritas,
serta menentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok manapun,
penguasa manapun, termasuk penguasa seperti Menteri Agama dan kelompok
seperti kelompok radikal FPI.


Memperingati Hari Ultah Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB,
dengan a.l kegiatan menyampaikan 'Yap Thiam Hien Award 2008' kepada
salah seorang tokoh pejuang HAM di Indonesia, adalah suatu langkah yang
mendorong maju perjuangan demi pelaksanaan HAM di Indonesia.


* * *

Saturday, November 22, 2008

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita - MAX LANE Tentang BUNG KARNO . . . . .

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Minggu, 16 November 2008

----------------------------



MAX LANE Tentang BUNG KARNO Di

Indonesia 'OPEN HOUSE'- nya Pak MIN


Kalau bukan karena undangan yang disampaikan kepadaku oleh Gogol (Amsterdam) dan Mintardjo (Oestgeest) mengenai rencana pertemuan di Indonesia 'Open House'-nya Mintardjo, sungguh Rabu malam yang lalu, aku tak akan keluar rumah. Soalnya, . . . angin dingin terus saja bertiup keras menyasar pepohonan, yang dedaunannya sudah banyak rontok. Sebagian lagi menguning kemerah-merahan. Belum lagi hujan rintik-rintik tak henti-hentinya. Tapi, mau bilang apa. Begitulah cuaca dan suasana musim gugur di Belanda. Bisa diperkirakan bila aku memenuhi undangan itu, pulangnya pasti hari sudah malam dan mungkin akan turun hujan lebih deras lagi.

.

Namun, biasanya, jika ada 'kumpul-kumpul' di rumah 'Pak Min' (sapaan akrab para mahasiswa Indonesia yang kenal Mintardjo) dengan yang datang dari Indonesia dan kawan-kawan PPI, jarang undangan itu kutolak. Rumah Mintardjo di Korenbloemlaan 59, Oestgeest – Leiden, sudah lama menjadi 'INDONESIA OPEN HOUSE'. Mohon jangan salah tafsir. Nama 'Indonesia Open House'-nya Pak Min, itu aku sendiri yang memberikan. Sebelumnya, tak ada orang lain yang menyebutnya begitu. Bukan apa-apa! Tapi, ini penting dijelaskan. Jangan sampai fihak KBRI Den Haag menjadi salah faham. Bukankah bagi setiap orang Indonesia, KBRI-ah yang merupakan 'Indonesia House', yang selalu 'open'?


Namun, kenyataanya rumah Mintardjo itu sudah bertahun-tahun lamanya praktis adalah 'INDONESIA OPEN HOUSE'. Dalam arti dan makna yang sesungguhnya. Dari rumah Mintardjo itu berhembus angin dan semangat segar patriotisme, motivasi dan jiwa serta rasa kepedulian terhadap nasib bangsa Indonesia dan haridepannya.


Lebih-lebih lagi kali ini, undangan Mintardjo tak mungkin ditolak. Karena disertai pemberitahuan, sbb: Sebelum acara dimulai, kita makan sore bersama. Wah, fikiran terus saja melayang pada sop-buntut masakan khas Mintardjo yang disuguhkan bila mengajak tamu-tamunya makan bersama. Ini guyon, tapi juga sungguhan!


* * *


Begitulah jadinya! Rabu malam tanggal 12 November itu, sekitar tujuhpuluhan mahasiswa (S-1 dan S-2 -- banyak diantaranya sibuk dengan program kandidat PhD, -- bersama teman-teman Indonesia lainnya dari Eindhoven, Woerden, Zeist, Amsterdam dan lain-lain tempat berkumpul di rumah Mintardjo. Mereka berkumpul di situ untuk mendengarkan uraian Max Lane, penulis buku barunya 'Unfinished Nation: Indonesia Before adn After Suharto'.


Max Lane adalah seorang sarjana Australia , aktivis 'prodem' dan budayawan. Ketika Indonesia masih di bawah Orba, Max Lane yang ketika itu adalah seorang diplomat di Kedutaan Besar Australia di Indonesia, membikin 'kejutan diplomatik'. Didorong oleh kepeduliannya terhadap Indonesia, dan keinginan memperkenalkan sastra modern Indonesia yang maju kepada publik mancanegara, Max Lane telah menterjemahkan novel 'Bumi Manusia' kedalam bahasa Inggris. 'Bumi Manusia' adalah jilid satu dari tetralogi terkenal Pramudya Ananta Tur (terkenal dengan nama roman pulau Buru). Bayangkan betapa marahnya Orba. Bukankah 'Bumi Manusia' ketika itu dilarang Orba beredar di Indonesia. Tak lama kemudian Max Lane digeser dari Kedutaan Australia di Jakarta.


Tapi, yang ingin sedikit kuceriterakan ialah mengenai pertemuan di 'Indonesia Open House-nya' Mintardjo. Diajukan sebagai tema malam itu, uraian dan tanya jawab: Politik, Ingatan sejarah, dan Gerakan Pembaruan.


Kiranya fihak PPI Leiden dan Yayasan Sapu Lidi, adalah yang sebaiknya membuat laporan yg agak lengkap mengenai pertemuan malam yang penuh isi dan berarti, penuh kepedulian dengan nasib bangsa kita di masa lampau, masa kini dan hari depannya. Dan catatan tsb agar disimpan sebagai dokumentasi!


* * *


Yang ingin kukemukakan ialah hal-hal yang memberikan kesan-kesan mendalam padaku pada hari itu. Max Lane dengan keyakinan menjelaskan, bahwa, meskipun Reformasi boleh dikatakan berhenti di tengah jalan, merajelalnya 'money-politics' yang melibat semua parpol menjelang pemilu dan pilpres, namun Max Lane tidak pesimis sedikitpun mengenai haridepan Indonesia.


Sebaliknya, Max Lane penuh optimisme sehubungan dengan situasi dan perkembangan kegiatan, gerakan dan fikiran maju di kalangan generasi muda kita. .


Dengan tegas dikemukakan Max, bahwa, anak-anak muda Indonesia yang dewasa ini terlibat dalam gerakan dan kegiatan prodem dan fikiran maju, secara kwantitatif jauh lebih besar terbanding masa sebelumnya, ketika gerakan tsb dimulai sejak tahun 1970-an sampai jatuhnya Presiden Suharto oleh gelombang besar gerakan Reformasi. Namun, keadaan mereka masih terpencar-pencar. Diperlukan waktu yang cukup panjang bagi generasi ini untuk bisa mencapai taraf kesatuan dan persatuan yang benar-benar tangguh.


Ketika meninjau sejarah Indonesia, lahir dan berkembangnya nasion Indonesia, dalam proses perjuangan melawan kolonialisme untuk kemerdekaan bangsa dan negeri, Max menekankan arti penting pendidikan politik yang diberikan Bung Karno sebagai salah seorang pemimpin nasional yang terkemuka. Sementara pakar Indonesianis dan lain-lain sejarawan, pernah berucap, bahwa peranan Bung Karno di masa perjuangan kemerdekaan terbatas sekadar pada demagogi dan orasi mengenai persatuan.


Tidak demikian, kata Max. Tidak benar Bung Karno hanya berdemagogi, berorasi mengenai perlunya persatuan dalam perjuangan melawan kolonialisme. Bung Karno jelas sekali bersikap. Beliau amat kritis dalam usaha mempersatukan bangsa. Pertama-tama beliau melakukan analisis, pemisahan antara mana yang benar dan mana yang salah dalam sikap masing-masing aliran politik utama ketika itu, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.


Dalam karya klasiknya pada masa awal gerakan melawan kolonialisem Belanda, berjudul 'Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme' (Suluh Indonesia Muda, 1926), Bung Karno mengeritik sementara sikap yang tidak punya political wil dan kemampuan ketiga gerakan nasional tsb. Bung Karno mengecam kaum Marxis yang sektarian dan tidak bisa dan tidak mau bersatu dengan kaum nasionalis dan Islam. Bung Karno juga mengeritik kaum nasionalis sempit yang tidak bisa bersatu dengan kaum Muslim dan kaum Marxis. Juga dikecam sikap kaum Islamis yang tidak mau bersatu dengan kaum Marxis dan kaum Nasionalis, dalam perjuangan bersama untuk kemerdekaan nasional.


* * *


Seperti pernah diuraikan waktu ceramah yang diberikannya di KITLV, 24 September 2008, sekitar benang merah yang menjelujuri bukunya “UNIFINISHED NATION: INDONESIA BEFORE AND AFTER SUHARTO” , Max Lane menjelaskan sekitar faktor utama jatuhnya Suharto, teristimewa bentuk khusus DIMENANGKANNYA KEMBALI – 'the re-winning of' - metode-metode perjuangan politik dalam tahun 1990-an -- yang mula-mula diintroduksikan dalam kehidupan politik pada tahap-tahap permulaan revolusi kemerdekaan, yaitu AKSI MASSA. Catat: Aksi-massa, atau massa-aktie, adalah salah satu ciri khas dan fundamental ajaran Bung Karno mengenai bentuk-bentuk perjuangan yang dianjurkannya sejak awal masa perjuangan bangsa kita melawan kolonialisme Belanda. Saat itu Bung Karno sebagai salah seorang pemimpin perjuangan kemerdekaan yang berpengaruh dan terkemuka, menentang bekerjasama (berkoperasi) dengan pemerintah kolonial, dan menganjurkan non-koperasi. Bung Karno memilih jalan mobilisasi massa rakyat secara langsung. Beliau tidak percaya pada niat baik pemerintah kolonial Belanda. Maka mengandjurkan agar langsung bersandar pada massa rakyat, pada kaum Marhaen.


Sehubungan dengan uraian Max Lane mengenai ajaran-ajaran Bung Karno, Joesoef Isak, pemimpin penerbit Hasta Mitra, pernah menyebut Max Lane itu sesungguhnya adalah seorang SUKARNOIS.


Max Lane: Aksi massa istimewa krusial, karena struktur otoriterisme Suharto dibangun justru disekitar penindasan terhadap cara perjuangan ini. Tujuan Orba adalah menghancurkan samasekali semua aksi-massa politik. Untuk mencegah adanya aksi-aksi politik massa, diberlakukan konsep 'massa mengambang'. Akibatnya a.l -- dalam waktu panjang di Indonesia tak ada perspektif bagi suatu ideolgi nasional. Sebagai akibat dari otoriterisme Orba, terjadilah situasi 'pembodohan' bangsa, khususnya di kalangan kaum terpelajar, yaitu ketiadaan keberanian berfikir sendiri, takut berfikir secara berdikari. Mereka tidak mengenal budaya dan kesusasteraan Indonesia.


Dimenangkannya kembali metode perjuangan aksi-massa, punya arti spesifik dalam dinamika sejarah Indonesia masa panjang. Bersamaan dengan itu, Max Lane menunjukkan betapa pentingnya memenangkan kembali aksi-massa sebagai metode aksi politik, dengan memenangkan kembali ideologi politik progresif yang terkait dengan revolusi nasional.


Max Lane memberikan penekanan istimewa pada saling hubungan antara kesadaran untuk mengadakan aksi massa politik dengan pemahaman dan pengertian kaum progresif terhadap sejarah dan kebudayaan bangsa. Pemahaman dan pengertian amat perlu, karena dalam waktu panjang periode Orba, hanyalah penguasa yang punya monopoli untuk menentukan sendiri, apa itu dan bagaimana yang dimaksudkan dengan sejarah dan kebudayaan nasional.


Ketiadaan kesadaran dan pemahaman hakiki terhadap sejarah dan kebudayaan bangsa yang sebenarnya, menyebabkan ketiadaan kesadaran tentang arti penting dan perlunya aksi massa politik untuk mengubah Indonesia menjadi suatu bangsa yang benar-benar sedar akan identitasnya sebagai bangsa dan negara yang bebas dan demokratis. Sebagai contoh kelangkaan pemahaman dan pengertian sejarah, dewasa ini, menurut Max sedikit sekali kaum intelektuil Indonesia, khususnya para pelajar dan mahasiswa yanusasteraan Indonesia dalam periode Orba, Max a.l mengungkapkan sedikitnya yang pernah membaca buku SURAT-SURAT KARTINI.


Ketiadaan kesadaran itu pula yang menyebabkan fragmentasi di kalangan kaum progresif sehingga kekuatan mereka terpencar-pencar dan ketiadaan persatuan dan kesatuan aksi politik, yang bertujuan suatu solusi yang fundamental. Ketiadaan suatu ideologi nasional yang progresif menjelaskan tentang ketiadaan resistensi terhadap neo-liberalisme. Menjelaskan pula, mengapa semua parpol-parpol mainstream di DPR, boleh dikatakan samasekali tidak menentang masuk dan berdominasinya neo-liberalisme di Indonesia. Parpol-parpol tsb samasekali tidak punya prinsip politik yang mengutamakan kepentingan nasional. Demi mencapai kekuasaan parpol atau golongannya sendiri, mereka tidak segan-segan berkoalisi dengan siapa saja. Ini ditunjukkan dalam pilkada yang berlangsung selama ini. Untuk melihat sampai dimana semangat Reformasi parpol mainstream seperti Golkar dan PKS, baca saja pernyataan mereka yang mengusulkan agar Suharto dinobatkan sebagai 'pahlawan nasional' dan 'guru bangsa'.


Max Lane: Suatu konsep (dan gerakan) sosial-demokrasi yang tegas dan jelas, dewasa ini tidak ada di Indonesia. Sebabnya: Lagi-lagi karena fragmentasi di kalangan aktivis dan kekuatan progresif.


Di lain fihak, berkembangnya kesadaran untuk memiliki pemahaman dan pengertian yang benar dan obyektif mengenai sejarah bangsa, tampak pada kegiatan para sejarawan muda seperti a.l Aswi Warman Adam, Bonnie Triyana, dll. Arus ini sedang terus mengalami perkembangan, bagaimanapun lika-liku dan rintangan yang harus dilaluinya. Ini bisa disaksikan antara lain dari banyaknya penulisan-penulisan baru mengenai peristiwa sejarah dan budaya Indonesia sebelum dan sejak Reformasi, yang jumlahnya mencapai 2000 lebih.


* * *


Demikian sedikit ceriteraku yang hendak kubagikan pada pembaca mengenai pertemuan kami

di 'Open Indonesia House' -nya Mintardjo di Korenbloemlaan 59, Oestgeest, Leiden.


Ketika kembali ke Amsterdam, Francisca Pattipilohy yang pulang dengan keretapi bersama aku

malam itu, mengatakan: Sayang Indonesia House di Amsterdam sudah ditutup. Tidak tahu apa akan dibuka yang baru !


Segera aku merespons:

Nyatanya sudah lama ada 'Open Indonesia House'. Itu kan, yang di rumahnya Mintardjo.


Oh iya, reaksi Pattipilohy. Benar, benar! Suatu 'Indonesia House' yang selalu OPEN sudah ada sejak lama di Korenbloemlaan 59, Oestgeest, Leiden.!


* * *