Monday, August 30, 2010

Ber-Soliloquis Pada Umur – 80 -

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
------------------------------------------
Senin, 30 Agustus 2010

Ber-Soliloquis Pada Umur – 80
Berdialog Dengan Diri Sendiri < Bg 2 – Selesai>

Minggu malam masih kuterima lagi berita gembira melalui e-mail dan Facebook. Isinya, ucapan selamat ultah-80. Yang disertai harapan terbaik dan doa yang tulus. Dikirimkan oleh dua orang sahabat lama. Jurnalis kawakan. Pada umur seperti aku ini, dalam kondisi yang bolehlah dikatakan (Insya Allah) -- masih 'prima' -- banyak yang beranggapan bahwa, -- di Indonesia jarang orang bisa mencapai umur 80, dalam kondisi lumayan seperti itu . Begitu tulis sahabat-sahabat kental itu.
Semakinlah terasa kedekatan dan kehangatan hubungan antar-kawan dengan banyak sahabat. Terkhayati benar arti besar punya sahabat dan relasi, yang dengan tulus menjalin sikap saling-respek dan saling peduli. Lebih-lebih karena itu dijalin kokoh atas dasar kepedulian dan dedikasi pada tanah air dan bangsa, nilai-nili demokrasi dan HAM.
Mempunyai sahabat baik, tulus serta hangat dan saling peduli, --- sungguh suatu aset yang tak ternilai harganya!! Merupakan kebahagiaan yang sulit dicari!!!
Aku lagi-lagi 'nyebut' -- SYUKUR ALHAMDULILLAH!
* * *
Suatu ketika kutanyakan kepada Murti, kawan hidupku lebih setengah abad: Coba katakan 'cekak aos' – Apa kesimpulan yang bisa kau tarik dari perjalanan hidupmu hingga kini.
Murti terdiam. Agak lama berfikir. Lalu pelan-pelan berkata: Terasa ada yang belum cukup kulakukan. Menyangkut masalah membesarkan, mendidik empat orang putri kita. Sebagai seorang ibu, aku merasa seyogianya lebih banyak memberikan perhatian dan waktu untuk mereka. Situasi dan kondisi yang hidup berpindah-pindah, berbagai pekerjaan dan kegiatan kolektif yang sering amat menyibukkan dan menegangkan, memberikan sedikit peluang untuk melaksanakan dengan baik kewajiban sebagai orangtua.
Benar apa yang disimpulkan Murti! Tugas kekeluargaan d a n kegiatan, tidak selalu bisa terurus dengan baik. Menyebabkan kewajiban sebagai orang tua, kurang bisa terpenuhi.
Padahal tak jemu-jemunya dididikkan kepada 'anak-anak' arti penting kehidupan keluarga yang sehat dan harmonis. Keempat putri kami itu, yang kemudian juga masing-masing sudah pada berkeluarga, beranak, bahkan bercucu, -- selalu kami ingatkan agar memberikan perhatian yang maksimal pada keluarga mereka, khususnya pada pendidikan anak-anak mereka. Karena bukankah keluarga itu, -- adalah unit dasar yang paling fundamental dari kehidupan bermasyarakat, bernegeri dan berbangsa? Khususnya yang menyangkut masalah moral, etika, budaya dan rasa cinta tanah air dan bangsa! Termasuk disitu pengetahuan dan kesadaran POLITIK. Politik yang maju dan progresif!

Memang, sejak kami sekeluarga meninggalkan Indonesia karena aku bertugas di Cairo, 1960; kemudian setelah paspor kami dicabut Orba (1966), hidup kami mengembara dan sering dalam suasana tegang. Tanpa paspor, 'stateless', tanpa domisili tetap. Akibatnya keluarga sering terpisah-pisah. Putri-putri pada sekolah ditempat yang cukup jauh dari kami. Hanya si Bungsu yang bersama kami karena masih kecil. Jadi sebagai seorang Ibu, Murti sering hanya bersama si Bungsu. Lagipula aku sering 'ada urusan' ke tempat jauh, bahkan ke negeri lain! Jadi, bisa dimengerti Murti punya perasaan demikian itu. Karena 'urusan pekerjaanku' Murti sering kutinggalkan hanya bersama si Bungsu. Dan kehidupan keluarga yang tidak tergolong normal, menurut ukuran 'biasa', terus berlangsung bertahun-tahun lamanya. Jadinya aku merasa menyesal juga. Kurang cukup memberikan perhatian pada kehidupan keluarga.
Aneh: Yang diajukan Murti itu, segera dapat kujawab, sbb: Empat putri kita, sudah berkeluarga semua. Tumbuh mendewasa dengan baik. Cucu-cucu kita ada 7 orang. Tambah lagi seorang cicit. Mereka semua dalam keadaan baik menurut ukuran sekarang. Mereka respek terhadap orangtuanya. Punya rasa sosial dan kesedaran bermasyarakat! Berusaha dengan baik mendidik anak-anaknya. Bukankah ini suatu hasil pendidikan keluarga dimana kau mengambil peranan terpenting? Belum lagi bila diingat bahwa ke-empat putri-putri itu dilahirkan oleh kau, ibunya. Bukankah melahirkan itu tugas mulya seorang ibu, yang tidak bisa diambil oper oleh sang Ayah? Begitu kukemukakan kepada Murti.
* * *
Tak dapat kami lupakan, betapapun, sulit dan tegangnya hidup sebagai 'eksil', keadaan kami jauh, jauh lebih baik dari situasi kehidupan sehari-hari banyak teman dan rakyat kita umumnya di tanah air.
Banyak teman beserta kelurga mereka jadi korban pembantaian masal dan persekusi 1965/1966/1967, dst oleh rezim Orba Presiden Suharto. Sampai sekarangpun mereka masih menderita diskriminasi dan perlakuan tidak adil penguasa. Sudah lebih sepuluh tahun berlangsung Reformasi, -- Nama baik, hak-hak politik dan kewarganegaraan para korban pelanggaran Ham oleh Orba masih belum dipulihkan. Betapapun, -- situasi mereka jauh-jauh lebih sulit dibandingkan dengan kami yang ada di luar. Hal ini tak pernah kami lupakan. Oleh karena itu betapa kecilnyapun, -- dalam berbagai kesempatan bersama banyak teman lainnya di luar, kami memberikan solidaritas dan bantuan semampunya untuk tanah air.
* * *
Putri-putri kita itu, kataku kepada Murti, berusaha melaksanakan pesan orangtuanya, untuk selalu berani membela yang benar dan melawan yang salah. Memelihara moral tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Mereka dibesarkan menurut pedoman tsb sampai dewasa seperti sekarang. Bukankah itu usaha mulya dalam mendidik keturunan yang merupakan bagian dari generasi baru Indonesia. Memupuk cinta tanah air Indonesia, agar sebanyak mungkin berbuat baik untuk sesama anak bangsa adalah merupakan kewajiban mendidik generasi baru, yang selalu dikerjakan bersama. Bukankah kewajiban in terus menrus kau lakukan? Begitu kutekankan kepada Murti!
* * *
Pada saat mencapai umur 80, rasanya agak lain, dibanding dengan yang lalu. Penyebab utama: Pratiwi Tjandra Rini, Gayatri Iskandariah, Fauziah Iramany dan Jasmin Meiliani – empat orang putri-putri kami, dengan berrembuk dengan para suami mereka, merencanakan sesuatu yang lain dari yang lain. Mereka mempersiapkan s e s u a t u . Beranggapan bahwa mencapai umur 80 itu tidak biasa. Harus diperingati yang punya arti dan kenang-kenangan indah!
Mereka tanya-tanya, padaku------, mau kado apa? Kujawab kontan: Aku perlu kursi-biro yang bisa kupakai 'enak', ketika bekerja dengan computerku. Kursi-biro yang lama sudah tua dan banyak 'ulahnya'. Bila agak lama duduk berkerja di situ, terasa pegal-pegal. Jadi kalau ditanya mau ' kado' apa, berikanlah KURSI-BIRO yang enak dipakai kerja. Itu telah kuterima pada 'hari jadiku' sebagai kado! Alangkah nyamannya bekerja di kursi-biro baru yang cocok! Yang menyebabkan tidak cepat lelah pada umur selanjut ini.
* * *
Acara peringatan ultah, pada tanggal 20 Agustus 2010, di rumah kami Haag en Veld 76, Amsterdam, dipandu putri sulung Pratiwi. Memang mereka bikin supaya mencapai satu hal utama. Yaitu lebih mendekatkan dan mengharmoniskan hubungan kekeluargaan. Diisi dengan pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran bermasyarakat para anggota keluarga. Pratiwi yang bicara atas nama adik-adiknya, memberikan APRESIASI mengenai sang Ayah.
Selain itu cucu perempuan Maya Keuning, si kembar Brian Cautaerts dan Robin Cautaert juga menyampaikan apresiasi mereka masing-masing mengenai kakeknya. Sedangkan cucu termuda Anusha Zahidi menyanyikan sebuah lagi Indonesia, Burung Kakak Tua! Malam itu dilanjutkan dengan makan-makan masakan yang mereka masak dan bawa sendiri. Keesokannya kami bertamsya ke Sea Life Scheveningen dan menikmati santapan Tionghoa di China Town Den Haag.
Menjadilah malam hari ultah 80 suatu peristiwa mengesankan dan akan terkenang sepanjang masa. Baik bagiku pribadi, maupun bagi segenap anggota keluarga!
Sungguh bahagia, gembira dan lega hati mendengar apresiasi putri-putri dan para cucu kami itu. Halmana merupakan dorongan untuk benar-benar berbuat seperti apa yang mereka fikirkan dan harapkan. Mereka dengan terbuka menerima bimbingan orangtuanya, yang memberikan kebebasan penuh kepada mereka untuk dengan bebas berfikir sendiri dan mengambil kesimputan sendiri. Dengan demikian bertindak atas tanggungjawab sendiri.
* * *
Malam itu aku bicara sepatah dua. Barangkali pembaca ingin mengetahui juga isinya. A.l seperti ini:
Mengapa Ayahnya sudah mencapai umur 80, tetapi masih punya semangat dan hasrat untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi orang banyak, masyrakat, bagi Indonesia --- untuk cita-cita keadilan, kebenaran dan kemakmuran bangsa Indonesia. Itu dalam kondisi relatif masih sehat, --- , Kutekankan, tandaskan dan tegaskan bahwa, satu sebab utama yang fundamental.
Yaitu : Berkat Ibu mereka – berkat Murti. Cinta, kepedulian dan dukungan sepenuhnya dari ibunya anak-anak -, itulah yang menjadi penyebab terpenting, aku sampai bisa mencapai keadaan seperti sekarang ini.
Tentu ada faktor lainnya. Seperti, umpamanya, senang dan biasa berolahraga. Jalan kaki setiap pagi, bersenam setiap menjelang tidur. Dan last but not least, menjadi kebiasaan setiap pagi dan setiap malam menjelang istirahat tidur, membaca bersama. Sekali tempo yang dibaca sebuah artikel menarik dari sebuah majalah. Tempo lain sebuah buku. Buku pertama yang kami pilih untuk dibaca, misalnya, adalah terjemahan : Al Qur'an. Kitab Hadits Nabi, Kitab Injil. Lalu yang lain-lain seperti Buku Bung Karno: An Authobiography As Told to Cindy Adams, Memoire Bill Clinton, dan dua buku terakhir Barack Obama. Kemudian banyak tulisan dan buku lainnya seperti karya penulis Iran, Kader Abdollah: Yang terpenting a.l Al Quran tafsiran K. Abdollah dan tentang Nabi Muhammad SAW; dalam bahasa Belanda. Dan banyak literatur lainnya.
Pengalaman kami membaca bersama sebuah buku atau artikel menarik, memancing diskusi serius. Ini terasa memperluas wawasan pengetahuan masing-masing.
Berulangkali kutekankan bahwa dalam hidup ini amatlah penting menegakkan dan mengembangkan keberanian dan kemampuan berfikir sendiri serta mengambil tanggung jawab sendiril. Selalu dengan tegas dan ketat membedakan antara mana yang benar dan mana yang salah! Mempertahankan yang benar dan melawan yang salah!
Sekali-kali jangan mengambil tindakan apapun yang merugikan atau membikin sedih sesama manusia, keluarga sendiri, sahabat, bangsa sendiri mauupun bangsa lain!
Terakhir aku sampaikan kepada mereka agar dengan serius dan antusias meneruskan kegiatan belajar mereka. Baik yang masih belajar di universitas, sekolah maupun menempuh kursus. Bisa juga belajar sendiri. Tidak sedikit orang yang sukses sebagai hasil dengan serius dan tekun belajar sendiri.
UMUR BUKANLAH RINTANGAN UNTUK BELAJAR, MEMPERLUAS PENGETAHUAN DAN WAWASAN BERFIKIR!

* * *

Thursday, August 26, 2010

FOCUS – ON THE PRESIDENT

IBRAHIM ISA'S – Selected NEWS & VIEWS

FOCUS – ON THE PRESIDENT

Monday, August 23, 2010

------------------------------------------------------

– SBY’s re-election: A START TO A DICTATORSHIP REGIME?

– Editorial: NAME YOUR CHOICE, MR PRESIDENT

– POPULARITY DROP -- A 'YELLOW LIGHT' TO THE PRESIDENT

– PRESIDENT SLAMMED FOR SILENCE ON POLICE SCANDALS

– THE WEEK IN REVIEW; INDEPENDENCE WEEK



SBY’s re-election: A START TO A DICTATORSHIP REGIME?


Mario Masaya, Bandung | Mon, 08/23/2010 Opinion

It was the speculative loud speaker, Ruhut Sitompul, that raised the discourse of another term for Susilo Bambang Yudhoyono’s rulership. Even though it was claimed to be his personal view, some might think that the message was delivered intentionally by the power behind it.

The basic reason is to test public opinion on the matter. In international relations studies, it is called “leakage”. It was used by the government to disclose some policies to test public opinion.

The leakage is very useful for two reasons. First, if the public shows some interest in this matter, and even supports the proposal recklessly, it might be a stepping stone for Cikeas to act accordingly. It also helps Yudhoyono and his party know which particular group is “loyal” to him, and which one is against.

The second benefit can be seen from Yudhoyono’s response himself. He appears to be an “angel” by showing that he disagrees with this matter and will not undertake such an undemocratic move. He said in his speech on the Constitution Day at the House of Representatives (Aug. 18) that he would give space for new leadership, not changing the rules for personal benefit. This response from Yudhoyono is regarded as another “good-image” political move as he usually does.

Politically speaking, this strategic movement is very beneficial for Yudhoyono and the Democratic Party itself. There are two different responses which result from this matter, the pros and the cons.

The pros of the possibility to change our Constitution and prolong Yudhoyono’s leadership, argue that Indonesia’s development under Yudhoyono’s presidency cannot be separated from his role. Therefore, the fate of this republic will be much depended on by Yudhoyono.

The cons, on the other hand, are that it will ruin the democracy itself and Indonesia will move backward.

This is based on the Indonesian Amended Constitution article 7 that stipulates a president can only be re-elected once. To amend this amendment means to make the first step to an undemocratic regime. It will create detrimental effects, which can be an obstacle to development.

How should we actually respond to this discussion?

First of all, let us compare these prolonged democratically elected presidential terms in other countries.
In Venezuela, socialist president Hugo Chavez won the election the third time in 2006 after winning the election in 1998 and 2000. Chavez’s policy is anti-US policy in most matters. With the so-called “Bolivarian Revolution”, Chavez’s left-wing policy has made the country into a socialist country, nationalizing many international companies.

More notably, it was in 2009 a referendum took place that gave him essential victory. This victory allows him to be President as long as the people keep electing him. On his presidency, he has cracked down on the press, greatly increasing restrictions as well as punishments for opposition. This condition creates a bigger possibility that Venezuela will be, or is, a dictatorship regime.

Taking into account what happened in Venezuela, it will be very likely that the way to dictatorship can also be started from now, in this populist presidential era. While dictatorship has not such a bad image in Venezuela, we have a very unfortunate history of dictatorship under the New Order.

Even nowadays it is still premature to think that Indonesia might return to the Soeharto era; however, it is still worth remembering the blood of Indonesian reformists shed to bring democracy to the republic in 1998.

We should be aware that the political games created by politicians may have a severe effect on the
well being of this republic. The possibility of a third presidential term for example, is seen as a coup for democracy.

Democracy as the best political system of the worst is still a much better game in this country regardless of the slow economic development, corruption and many other problems. Democracy ensures individual freedom and human rights while others are not. Therefore, it is unnecessary to discuss the possibility of returning to the age of the “Iron Hand” as it only brings back bad memories and fears into the present.

Even it is only a debate of another term of presidency; it is a warning for all Indonesian people that the option of another dictatorship regime still exists.

It is also a caution for the ruling party that even the opportunity to have another term of presidency should not even be brought into real political debate.

It can be a shame for Indonesia as a country that has already been regarded as the third most democratic government in the world to really discuss that possibility.

More importantly, it is the concern of all Indonesian youths as the leaders of the next generation to stop the source of any dictatorship regime. We should remember the ancient Greek orator Demosthenes who says, “Every dictator is an enemy of freedom, an opponent of the law”.

So, another dictatorship regime? I guess not.
The writer is a student of international relations, Parahyangan Catholic University, Bandung.



Editorial: NAME YOUR CHOICE, MR PRESIDENT

The Jakarta Post | Mon, 08/23/2010

Assurances aside, many people are still not fully persuaded that President Susilo Bambang Yudhoyono has completely denounced running for a third five-year term come 2014. His public rebuttal — which for good measure included a statement that he had no designs for his wife or his children to run for high office — will only convince the public and put the debate to rest if and when he reveals his choice of a presidential candidate from his Democratic Party. This has not yet been forthcoming.

Many people believe Yudhoyono is still eyeing a third term because his behavior since the start of his second term in October has been consistent with that idea. For a president serving his last term in office, we would expect Yudhoyono to dispense with populist policies and start building his legacy by doing the things he needs to do, even if they are highly unpopular.

This we have not seen in the last 10 months. Instead, the President continues to pander to populist sentiments, as if he is still running for re-election — or perhaps even entertaining the notion of a third term.

Democratic Party politician Ruhut Sitompul, who broached the idea of a third term last week, could not have spoken without tacit support from Yudhoyono or one of his aides. It is not the first time that Ruhut has created controversy which drew reprisals. It is easy to see that he did not act independently. Most likely he had been told to speak out to gauge public reaction.

Party chairman Anas Urbaningrum and other party leaders were quick to distance themselves from Ruhut’s statement when they learned of harsh responses from politicians and commentators. They reiterated the President had no ambition to run for a third term and wants to focus on completing his job by 2014.

If only we could believe that.

No one in the party has ventured to name potential presidential candidates for 2014, a choice that is likely to be made, perhaps single-handedly, by Yudhoyono as chief patron and therefore the most powerful figure in the party.

Here is a possible scenario to Yudhoyono’s path to a third term.

August 2010. Broach the idea and watch the reactions. Remember, the reaction that truly matters is not what the commentators and politicians are saying, but how the public feels. An opinion poll will soon be conducted to test the public’s reaction, which will likely be divided, especially when they see no other viable candidates in the Democratic Party. Lest we forget, this a president who was received more than 60 percent of the vote last year.

August 2011. Begin the process of amending the Constitution. There is already a consensus to review the Constitution after it was amended in 2002. Some politicians (namely Ruhut) will demand a revision to presidential term limits. The Prosperous Justice Party (PKS) and other Islamist parties will demand (again) to introduce sharia law at the national level. The Regional Representatives Council (DPD) will push for more power. Some senior military figures will push for a return to the text of the original Constitution (which, incidentally, did not specify term limits). Everyone has an interest in amending the Constitution.

August 2012. A newly amended Constitution is put in place, just in time for the preparations for the 2014 elections. Whether it will include an extension of term limits is still anybody’s guess. But the coalition government led by the Democratic Party has more than the necessary majority in the House of Representatives to push its agenda through. It is the largest party, Yudhoyono sits at its helm and he is the incumbent president.

By having not yet named a potential presidential candidate from the Democratic Party, Yudhoyono appears to be keeping his options open, including the possibility of him running for a third term. It is a decision for him, and him alone, to make.

But what about his open promise not to run for a third term? Shouldn’t we take this at face value? Yudhoyono is a politician, and as a politician, one is allowed to say one thing one day and something completely opposite the next, depending on the circumstances

The only way people will believe Yudhoyono is if he stops playing the populist presidential game and names a potential successor for his party for 2014.



POPULARITY DROP SENDS A 'YELLOW LIGHT'TO THE PRESIDENT

Abdul Khalik, The Jakarta Post, Jakarta |

The latest survey showing a steep decline in President Susilo Bambang Yudhoyono's popularity indicates the people's frustration with the way the government has handled economic problems, observers say.

Experts and activists said people can barely survive with skyrocketing prices of basic commodities, transportation, health and education due to the increased fuel prices.

They said if Yudhoyono failed to address his popularity decline, he would harm his chances of reelection.

"The survey sends a yellow light to the President, warning him that people are suffering and that his administration has failed to reach the people," political scientist Dewi Fortuna Anwar of the Indonesian Institute of Sciences said.

A survey conducted by Indo Barometer 10 days after the fuel prices increase indicated a sharp fall in Yudhoyono's approval ratings.

The survey, conducted among 1,200 respondents in 33 provinces, found 30.4 percent of respondents would vote for former president Megawati Soekarnoputri in a presidential election compared to only 20.7 percent for Yudhoyono.

A similar survey in May 2007 showed Yudhoyono at 35.3 percent, still far ahead of Megawati at 22.6 percent. A survey last December showed Yudhoyono ahead by a slightly slimmer margin, at 38.1 percent to Megawati's 27.4 percent.

Respondents expressed highest dissatisfaction in the way Yudhoyono had handled the economy, with 79.1 percent saying they were disappointed by his inability to solve economic problems.

Dewi cited the example of the difficulties low-income people faced in gaining access to quality education.

"Low-income families used to use education as a ladder to climb up in society and get a better life. But not anymore. Getting a good education means a lot of money and they just can't afford it," she said.

With such constraints, poor people were frustrated knowing they would remain poor, Dewi said.

Economist Faisal Basri of the University of Indonesia said a newer poll could result in even worse ratings for Yudhoyono, now that people had already felt the full impacts of the fuel price increases.

"A month or two after the fuel price hike, people will feel the second round impacts of the raised prices, especially in increased goods and transportation costs," he said.

Faisal said Yudhoyono was "very unfortunate" as he was hit by both global increases of oil prices and food prices at the same time.

However, he said the results did not necessarily guarantee Megawati the presidency, since her approval rating was still just above 30 percent.

"Looking at the survey, the presidency will be decided in the second round as no candidate can garner more than 50 percent of the votes. If the election reaches a second round, it will be between SBY and Megawati, and anything is possible by then," he said.

University of Indonesia expert Fentiny Nugroho said Yudhoyono could rebound only if he enhanced his pro-poor policies in the health and education sectors while trying to create jobs for people.

"Providing jobs and enhancing programs to help the poor in coping with current conditions are ways SBY can regain people's support," she said.


PRESIDETN SLAMMED FOR SILENCE ON POLICE SCANDALS

The Jakarta Post, Jakarta | Mon, 08/23/2010 10:00 AM | Headlines

A | A | A |

Activists and community figures voiced concern Sunday on corruption in the National Police,
and President Susilo Bambang Yudhoyono’s silence.

Attorney and Community Legal Aid chairman Taufik Basari read out a petition — signed by more than 500 people and calling on the President to take an affirmative stance on police reform — to demonstrators at the Constitutional Court in Central Jakarta on Sunday.

“We strongly urge President Yudhoyono to take extraordinary, courageous, fundamental and firm measures,” he said at the rally.

It was also attended by prominent community figures, such as Danang Widoyoko of the Indonesia Corruption Watch (ICW), former Corruption Eradication Commission (KPK) chairman Erry Riyana Hardjapamekas, police observer Bambang Widodo Umar and Commission for Missing Persons and Victims of Violence coordinator Haris Azhar.

The activists demanded the President take concrete action to revamp the police force, including firing top-ranking police officials allegedly involved in case brokering and evidence tampering, “cleaning” the police of all corruption and reforming the National Police to make a more professional, responsible and honest force.

“We hope that the President and other authority figures keep the promises they made to the people and adopt good governance and take strategic role in upholding justice in this country,” Taufik said.

Activists and community figures then wrote personal messages they affixed to a tree called “the tree of hope”.

There is growing public sentiment that states that the police force is no longer capable of investigating high-profile corruption scandals, as many police officials have been implicated in such scandals.

The most recent case that marred police credibility was a Tempo magazine’s expose on the implausibly large bank accounts allegedly held by several high-ranking police officers, a controversial subject that was first broached in 2005.

Police officials were also alleged to have lied about the existence of evidence corroborating graft within the KPK, at first promising to provide taped wiretapped conversations between KPK enforcement deputy Ade Rahardja and alleged case broker Ary Muladi and then claiming no such tapes existed.

Both experts and the public have criticized Yudhoyono’s silence or unresponsiveness on substantive issues, contending that the President has been content to respond to trivial matters, such as a controversial plan to remove the Constitution’s presidential term limits.

Democratic Party legislator Ruhut Sitompul proposed an amendment that would allow Yudhoyono to run for a third presidential term, which some have speculated was done at the request of Yudhoyono or his advisers.

Speaking at his home in Cikeas, West Java, Yudhoyono said on Sunday that Democratic Party members should be patient and composed, despite “attacks” and public criticism directed against him as president and the party, which he founded, in the wake of Ruhut’s controversial proposal.

“When emotions are pitted against one another, the outcome is conflict,” Yudhoyono said as quoted by Antara. He said that his political cadres had to act rationally, as well as to use appropriate and controlled language, when dealing with certain issues.

Yudhoyono also urged his party members to support his administration until 2014, adding that they also had to help him boost the economic growth and succeed in the democratization process — both are part of the government’s reform agenda.

Democratic Party chairman Anas Urbaningrum said that he hoped fellow party members would restrain from issuing unwarranted or “unfathomable” statements.

“It is necessary for us to apply political asceticism in life, meaning that we should base our political activities on religious values.”

“If the Democratic Party could do such, the people would love us more, and we would be able to communicate [with each other] better,” Anas said. (tsy)


THE WEEK IN REVIEW; INDEPENDENCE WEEK

Meidyatama Suryodiningrat, The Jakarta Post | Sun, 08/22/2010, Editorial

Mid-August is traditionally a solemn time for Indonesians. A period of remembrance of the nation’s sacrifice and struggle. A time to take stock of the past year, and set new goals for the coming one.

During this month of Ramadan, celebrations were more subdued but no less significant as the tasks, failings and challenges of the nation were laid before us.

As a country whose survival is founded on the need for unity (in diversity), the stark contrast at the grassroots level was plain to see. While the President proudly declared that he had dealt with discriminative laws, groups gathered to express concern at the government’s lack of action in “tolerating” attacks against freedom of religion.

More than 1,000 people protested last week the state’s silence on the persecution of religious minorities. Specifically they were concerned at the latest incidents at the HKBP Pondok Timur Indah church in Bekasi, east of Jakarta, after a year of persecution from Islamic hard-liners and intolerant local residents.

“We were evicted from our place of worship,” congregation members said.

Those who gathered came from a wide range of organizations, including the Institute for Democracy and Peace (Setara), the Wahid Institute, the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) and also several public figures.

No one must have been more thankful for Independence Day than convicts who received reduced sentences as part of the traditional remissions given by the government to mark Aug. 17.
Some 40,000 inmates across the country were granted remissions. These include 17 of 25 inmates convicted on terrorism-related charges and held at penitentiaries in Central Java. They had their sentences cut by up to five months.

President Susilo Bambang Yudhoyono’s State of the Nation address garnered a ho-hum reaction from most pundits. It was an unimpressive 4,100 word speech of high platitudes that seem disconnected with the realities on the ground.

Both his speech and later presentation of the 2011 state budget proposal were underwhelming at best.

For most economists, they signaled stability without inspiring much impetus for newfound economic vigor.

The government’s targeted economic growth of 6.3 percent in 2011 was “quite realistic” given this year’s encouraging results, and many are hoping growth will exceed the predicted 5.8 percent this year.

However, there were questions on whether the GDP growth of between 7 percent and 7.7 percent between 2012 and 2014 could be truly achieved.

Unsatisfactory infrastructure, a weak investment climate, poor coordination between central and regional governments and lack of qualified human resources in the regions are the often cited factors hampering faster economic growth.

The President claims these targets will reduce the poverty rate to 12.5 percent of the total population in 2011 as more jobs are created, based on the government’s assumption that a 1 percent increase in economic growth would absorb 400,000 workers. It forecasts the 2010 poverty rate at 13.5 percent, versus 14.15 percent in 2009 (or 32.5 million people).

The 2010 inflation rate was placed at 5.3 percent through 2011, with the projection the rupiah would fluctuate between Rp 9,200 and Rp 9,850 against the US dollar over the next four years.

The conservative growth target also drew criticism. Former vice president Jusuf Kalla said the target was too low.

“Singapore can reach 13 percent, while Thailand is at 8 percent and the Philippines is at 7 percent.

We’re richer... The growth rate could be as high as 10 percent in four years time. Now, that’s realistic,” Kalla said after hearing the President’s speech.

The most notable and interesting development was the formal announcement of the national census results, with an increase of 32.5 million people over the last 10 years signaling a quiet population boom.

In the years 2000 to 2010, the country recorded population growth at 1.49 percent per year, higher than the population growth in the previous 10-year period – 1.4 percent per year – and also above the projected 1.2 percent growth estimate made by the BPS after the 2000 census.

According to results from the Central Statistics Agency (BPS), Indonesia’s population stands at 237.6 million, up from 205.1 million in 2000, ensuring that the country will remain the world’s fourth largest nation by population, after China, India and the US.

These results were the sternest warning yet of the need to revitalize family planning programs.

National Family Planning Board (BKKBN) chairman Sugiri Syarief contended that family planning had been given scant attention over the last 10 years.

“The BPS has made its projections using the assumption that family planning would be carried out as well as it was in the 1990s but ... family planning has been neglected,” he said.

He added that the BKKBN needed an annual budget of Rp 3 trillion (US$333 million) to Rp 4 trillion to meet the national target of reducing growth rate to 1.1 percent by 2015.

The government allocated Rp 1.6 trillion for family planning this year. On our borders, the continuing flurry of counter claims with neighboring Malaysia persisted.

The latest dispute occurred when Malaysian Marine Police detained three Indonesian Maritime Affairs and Fisheries Ministry inspectors after the latter and other Indonesian officers arrested seven Malaysian fishermen for trespassing and illegally fishing in Indonesian waters.

The usual round of diplomatic protests and nationalistic grandstanding proceeded, but cooler heads prevailed. Ultimately a diplomatic solution is the only recourse.

— Meidyatama Suryodiningrat

Ber-Soliloquis Pada Umur – 80

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
-------------------------------------------------
Kemis, 26 Agustus 2010

Ber-Soliloquis Pada Umur – 80

< Bg.I >

Semula samasekali tidak ada maksud membuat tulisan seperti ini. Dalam waktu panjang sebelum sendiri berkeluarga, di rumah orangtua kami, sejak 'tempo doeloe', tak pernah ada yang memperingati hari ultah. Dirasakan itu kebiasaan orang-orang Belanda! Ada juga yang dilakukan oleh bangsa kita yang Nasrani. Itupun di kalangan atasannya. Sedangkan keluarga kami tidak tegolong kalangan atas. Lagipula penganut agama Islam.

* * *

Kongkritnya sekarang ini, situasinya jadi lain samasekali. Karena aku menerima tidak kurang dari delepan puluh tujuh (87) – mungkin lebih – ucapan selamat ultah ke-80. Yang disertai harapan terbaik dan doa. Agar panjang umur, bahagia dan meneruskan kegiatan penulisan dengan semangat yang sama! Terus terang, aku sendiri menjadi heran. Tetapi tokh gembira! Tak pernah mengalami situasi seperti ini.

Kenyataan inilah yang menjadi penyebab utama mendorong aku menulis sehubungan dengan mencapai umur 80. Pertama-tama untuk dengan setulus-tulusnya menyatakan banyak-banyak terima kasih kepada para 'well-wishers' itu. Ucapan selamat itu ada yang melalui tilpun langsung, banyak yang lewat e-mail. Yang paling banyak adalah yang dimuat di FACEBOOK.

Sepantasnyalah aku merespons ucapan selamat yang amat bersahabat dan mengharukan itu. Handai-taulan, sahabat lama dan baru, tua dan muda, baik yang di Indonesia, maupun di negeri lainnya, kenalan-kenalan yang baru samsekali (banyak sekali, terutama dari generasi muda di Indonesia) -- sungguh memberikan inpirasi dan dorongan untuk meneruskan apa yang kukerjakan, sejak menjadi 'orang eksil'. Yaitu menulis, merefleksikan sekadar pengalaman masa lalu untuk dijadikan bahan pertimbangan, menyampaikan message dan dorongan kepada generasi muda untuk meneruskan perjuangan yang telah dimulai oleh para founding fathers negara Republik Indonesia tercinta ini. Hal ini selalu diajukan generasi muda di Indonesia kepadaku, Sampaikanlah pengalaman perjuangan masa lalu kepada kami-kami yang muda-muda ini. Begitu selalu seruan mereka.

Sikap mereka itu sungguh menggugah. Menggugah untuk menulis. Mengajukan saran dan fikiran dalam rangka kita membersihkan pengaruh pendidikan periode Orba. Siapa tidak ingat politik pendidikan ORBA. Dicekoki pada generasu muda bahwa 'kebenaran itu ada pada pimpinan, pada penguasa', bahwa sebelum bertindak, harus 'menunggu arahan' . Pokoknya menjadikan kaum muda tidak berani dan tidak mampu berfikir bebas. Tidak berani mengambil tanggungjawab sendiri. Dalam segala tindakan pedomannya 'menunggu arahan' dan 'asal bapak senang'.

Menjadilah tugas bersama untuk -- Mendorong mereka agar berani berfikir bebas dan mandiri. Membebaskan diri dari pandangan 'apriori'. Menanamkan rasa solidaritas bangsa – Membela dengan gairah nasib rakyat miskin. Menegakkan dan membela kebenaran, keadilan, demokrasi dan HAM. Ikut membangun Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauké', memberlakukan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar falsafah bangsa dan negara, sesuai ajaran Bung Karno.

* * *

Dari respons menamggapi tulisan-tulisanku, yang didasarkan pada garis pembangunan nasion Indonesia sesuai ajaran Bung Karno, --- bisa diketahui bahwa artikel-artikel, buku-buku baru yang banyak diterbitkan setelah jatuhnya Orba, banyak membantu usaha pencerahan fikiran. Bahwa generasi muda sendiri menganggap perlu untuk mengadakan pencerahan fikiran secara fundamental, mengenal sejarah dan identitas bangsa sendiri dalam proses pelurusan sejarah bangsa yang dalam tempo begitu lama dibengkokkan oleh rezim Orba ----- Bahwa Proses dan perkembangan pencerahan fikiran ini --- amat melegakan hati. Serta dengan optimis memandang kedepan!

* * *

Menjelang umur 80 th, semakin sering aku ber- SOLILOQUIS. Berdialog dengan diri sendiri. Kadang-kadang bersoliloquis itu melelahkan. Karena mengharuskan diri yang sudah manula ini menyelam jauh ke memori, ke pengalaman masa lampau, ke sanubari dan hati nurani.

Suatu ketika aku melihat keadaan seorang kenalan lama yang paling tidak sudah diatas 75 th. Ia jurnalis pensiunan. Kami sering papasan ketika menuju winkelcentrum di dekat rumah. Jalannya agak pincang. Akibat stroke. Wajahnya tidak cerah. Kusapa dia: Pagi-pagi begini, mau kemana, nih? Sekali tempo dengan gurau ia jawab: Cari pacar! Kami tertawa terbahak-bahak. Tempo lain kutanya lagi: Mau kemana Bung? Dengan muram dijawbnya: Tunggu mati saja lagi!. Pada mukanya ada tanda-tanda luka. Bekas jatuh terjerembab rupanya. Jangan begitu dong!, kataku. Kami terdiam, tidak ada yang tertawa. Tak lama tetangganya yang juga kenalan lama kami, memberitakan, --- bahwa sang jurnalis pensiunan itu, telah meninggal dunia. Inna Lillahi Wa Inna Lillahi Raji'un.

* * *

Soliloquis: Tidak, tidak! Aku tak mau seperti sahabat jurnalis pensiunan tsb. Ia sudah lelah dan kesal hidup! Ia tak mau apa-apa lagi. Ia hanya menunggu mati saja!

Soliloquis lagi: Aku menoleh ke arah lain! Teladanku dalam hidup sejak Orba sampai era Reformasi, a.l yang terpenting --- adalah --- salah seorang sahabat terdekatku, Jusuf Isak.
Jusuf Isak mantan Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, belakangan Pemimpin Penerbit Buku Bermutu HASTA MITRA, sampai akhir hidupnya. Pada usia lewat 80, penderita sakit jantung dan pernah kena stroke ini terus bekerja, terus melakukan kegiatan. Sampai pada malam menjelang wafatnya, atas undangan Redaksi Tempo, ia aktif ambil bagian dalam diskusi. Soalnya, Tempo menerbitkan nomor istimewa tentang NJOTO. Dalam diskusi itu Jusuf gairah sebagai partisipan dan memberikan masukan-masukan penting.
Jangan dikatakan lagi prakarsa dan peranannya, waktu Orba sedang 'jaya-jayanya', ketika bersama Pram dan Hasyim Rachman menerbitkan karya-karya Pramudya Ananta Tur “Tetralogi Pulau Buru”. Belum lagi puluhan buku-buku bermutu lainnya yang diterbitkannya dengan menantang larangan dan penjara penguasa. Jususf Isak adalah teladan raksasa dalam kegigihan dan konsistensi perjuamgan demi membela hak kebebasan berpendapat, berekspresi dan menerbitkan.

Mari temui UMAR SAID, sahabat kentalku di Paris. Ayik (sapaan akrab) juga adalah salah seorang teladanku dalam kehidupan dan perjuangan. Pada saat Konferensi Tricontinental di Havana, 1966, paspor kami (juga anggota Delegasi Indonesia lainnya) dicabut oleh rezim Orba. Umar Said pernah kena stroke beberapa tahun yang lalu. Lama ia tak bisa bicara. Tetapi lihat sekarang! Ia dengan gairah mengelola WEBSITE UMAR SAID. Tulisannya sa'dabrek! Bermutu, bertanggungjawab dan menggugah! Patriotik dan progresif! Pengunjung Website Umar Said, sudah lebih setengah juta! Pernah kukatakan padanya), -- ketika ia mencapai umur 80 -- : Yik, selama lilin ini masih menyala, biarlah ia ikut menerangi sekitarnya! |Dengan serius Umar Said menganggukkan kepalanya. Kami sependapat!

Terasa ada kekurangan catatan ini bila tidak menyebut teladan penting lainnya. Sahabat karibku, almarhum OEI HAY DJOEN, penyair, budayawan dan mantan pimpinan LEKRA. Keluar dari penjara Orba, Hay Djoen tak pernah melewatkan waktu dalam kegiatan penterjemahan. Ia menganggap tugas pentingnya dalam era pencerahan ini, menerbitkan sebanyak mungkin karya-karya politik, ekonomi dan budaya progresif dan revolusioner. Ini dalam rangka melawan 'pembodohan bangsa' oleh rezim Orba. Selama 32 tahun lamanya generasi muda Indonesia menderita di bawah 'brainwashing' Orba. Tiga jilid karya utama Karl Marx, DAS KAPITAL 1,2, 3. rampung diterjemahkanyal Lalu serenteten karya-karya teori progresif, sosialis dan Marxis, selesai diterjemakannya dan diterbitkan.

* * *

Belum lama kubaca tulisan seorang penulis, aktivis demokrasi dan HAM, Harsutejo.
Pas sekali Harsutejo menulis a.l sbb:
“Setiap orang yang punya kesadaran politik tentu saja tidak bisa tinggal diam, perlu melakukan sesuatu, seorang diri maupun berkelompok atau organisasi, biar kecil pun dengan berbagai macam cara sesuai kemampuan dan keadaan masing-masing.
Saya melakukannya dengn menulis artikel dan buku, perbuatan kecil yang mungkin berguna untuk orang banyak. Saya sendiri merasa belum pernah ikut berjuang. Di masa gerilya 1948-1949 saya yang kelas lima SR bersama seorang kakak menjadi kurir pembawa surat dari basis gerilya ke kota, kembalinya membawa obat-obatan.
Kami tak pernah menyebutnya sebagai berjuang, bagiku kata itu terlalu tinggi, yang kami lakukan sekedar langkah kecil anak kecil yang kebetulan berada di dekat basis gerilya yang belum sepenuhnya sadar akan maut.”

* * *

Penulis Harsutejo, orangnya amat rendah hati! Betapapun yang dilakukan Harsutejo semasa periode perang kemerdekaan, itu dilakukanna sebagai partisipan langsung dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Dalam usia senior sekarang ini ia tidak tinggal diam. Bergiat terus! Yaitu menulis demi usaha demokrasi, HAM dan suatu Indonesia yang bersatu, berkeadilan sosial, makmur dan jaya! Sikap dan pandangannya tsb --- bagiku patut diteladani! Masih banyak lagi dari bangsa kita yang patut diteladani. Yang kusebut di atas, sekadar sebagai contoh yang saat ini sedang memenuhi fikiran dan semangatku!

* * *

Soliloquis: -- Seperti pada banyak orang lainnya yang bertambah umurnya, pada diri sendiri sering muncul pertanyaan: Hidup ini sebenarnya apa? Dan untuk apa? Ini bukan pertanyaan aneh dan tidak dibikin-bikin. Pertanyaan tsb kurasa sudah terjawab dalam jalan hidup dan kegiatan hidup selama imi.

Orang-orang Mesir zaman Kuno, sejak lama sudah memikirkan masalah ini. Maka mereka mempersiapkan tempat pembaringannya yang terakhir. Begitu lahir sudah disiapkan bagaimana nanti, kalau ' m a t i'. Lebih banyak fikiran dan kegiatan ditujukan yang bersangkutan dengan 'kehidupan' nantinya setelah meninggalkan dunia yang fana ini. Mereka percaya ada yang lebih kuasa di dunia lainnya sana. Di dunia ini dan 'disana' nati, terdapat pelbagai dewa atau tuhan yang mengatur peri hidup ini. Diregisirlah tentang bagaimana hidup nantinya. Tampak orang Mesir kuno, lebih condong memikirkan kehidupan 'di sana nanti'. Dari situ muncullah prakarsa membangun kuburan-kuburan raksasa sebesar piramida Guizeh di pinggirra kota Cairo, dan tempat-tempat menyembah dewa seperti yang bisa di lihat sekarang di sepanjang sungai Nil. Antara lain bangunan Abu Simbel. Terasa mereka kurang cukup memikirkan bagaimana memperlakukan dan mengelola hidup di dunia yang nyata ini. Lebih banyak mikir kalau sudah mati! Sampai-sampai menemukan dan mengembangkan pengetahuan bagaimana mengawetkan orang-orang yang sudah mati. Kita kenal itu pada peninggalan mumi-mumi orang-orang Mesir Kuno.
Apakah: Cara berfikir Mesir Kuno ini yang menjadi penyebab mengapa yang dinamakan 'bangsa Mesir' dan 'kebudayaan Meisr Kuno' sudah lenyap samasekali dari kehidupan nyata dewasa ini?. Yang mendiami negeri Mesir sekarang bukan lagi bangsa Mesir Kuno. Sudah sejak lama adalah bangsa Arab dengan kebudayaan Islamnya yang hidup di lembah Nil itu. Tampak tidak nyambung dengan kebudayaan Mesir Kuno.
Mengenai kehidupan dan kebudayaan orang Mesir Kuno, itu hanya bisa kita jumpai di musium-musium dan di literatur kuno dan kemudian..

Itu bangsa Mesir Kuno. Bagaimana dengan bangsa kuno lainnya, seperti bangsa Tionghoa umpamanya.

* * *

Bangsa Tionghoa juga adalah suatu bangsa di benua Asia yang berlatar belakang sejarah dan kebudayaan yang panjang dan kaya. Ribuan tahun yang lalu, seperti halnya bangsa Mesir Kuno, mereka tidak habis-habisnya memikirkan dan menggambarkan tentang kehidupan di 'dunia lain'. Sudatu kehidupan 'setelah mati'. Mereka percaya bahwa ada kehidupan di dunia lainitu. Untuk itu mereka menyiapkan tempat-tempat khusus bagi yang mati. Maka sekarang ini bisa kita temukan kuburan-kuburan kuno yang luar biasa besarnya, seperti yang terdapat di dekat kota Beijing, Nanchang, Xi An dan tempat-tempat lainnya. Para mayat bahkan ada yang merasa perlu 'ditemani' oleh budak-budak hidup atau dikawal oleh serdadu-serdadunya agar yang mati tidak kesepian dan aman. Itu selain sejumlah perlengkapan hidup lainnya dan benda-benda budaya berharga yang ikut masuk liang kubur itu.

* * *

Bangsa Tionghoa, tampaknya dalam menanggapi peri hidup ini, agak lain dari bangsa Mesir Kuno. Bangsa Tionghoa berfikiran berimbang. Selain memikirkan dan mempersiapkan untuk hidup 'di dunia lain' seduah mati, --- bangsa Tionghoa, memberikan cukup perhatian dan persiapan untuk kehidupan yang nyata di dunia ini. Ini bisa ditemukan di banyak literatur kuno Tionghoa yang mempersoalkan bagaimana cara hidup sebaiknya di dunia nyata ini. Baik itu dalam karya-karya falsafah maupun dalam syair dan sajak-sajak kuno.

Dipersoalkan dan dibicarakan di situ bagaimana seharusnya dan sebaiknya bersikap terhadap diri sendiri dan memperlakukan sesama hidup. Mereka tampak lebih realis! Atau menggunakan bahasa sekarang, mereka itu berfikiran pragmatik! Begitu realisnya mereka bersikap terhadap kehidupan dan menghadapi bahaya yang datang dari luar, sampailah memperuntukkan demikian banyak dana, tenaga dan jiwa, dalam waktu yang cukup lama, untuk membangun TEMBOK BESAR TIONGKOK. Demi keselamatan negeri dan bangsanya dari ancaman luar (bangsa Mongolia yang sangat agresif ketika itu).

Ini yang dimaksudkan persiapan berimbang menghadapi dunia yang nyata dan 'dunia lainnya'. Mungkinkah pandangan ini yang menyebabkan bangsa Tionghoa sekarang ini bisa beralih dari sisitim ekonomi sosialis a la Sovyet, ke sistim ekonomi pasar-sosialis, dengan satu negeri dua sistim, sisstim sosialis yang disesuaikan dengan kondisi kongkrit Tiongkok, melalui suatu proses 'keterbukaan' dan 'perubahan'.

Nyatanya Tiongkok sekarang adalah kekuatan ekonomi terbesasr di dunia setelah Amerika Serikat. RRT Mengalahkan Jepang!

Tulisan dalam bentuk SILOLIQUIS ini adalah suatu cara saja. Maksudnya ialah sekadar BERBAGI CERITA!


* * * * *

Thursday, August 19, 2010

URUN MENGANTAR KARYA SUAR SUROSO

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 19 Agustus 2010
-----------------------------

URUN MENGANTAR KARYA SUAR SUROSO

Hari ini, 19 Agustus 2010, Jakarta menghadirkan karya Suar Suroso, “PERISTIWA MADIUN: REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA”. Di-edit dan diterbitkan oleh sejarawan muda Bonnie Triyana. Ini berlangsung dengan sebuah diskusi dimana antara lain bicara Teguh Santosa, MA Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online, alumnus University Hawaii, Manoa, AS), dan Hendri F. Isnaeni (wartawan Majalah Historia Online).
Dalam sambutannya Suar Suroso menjelaskan a.l sbb:

Naskah tulisan ini saya selesaikan tahun 2008, dimaksudkan untuk memperingati 60 tahun Peristiwa Madiun. Pak Joesoef Isak telah bersedia menjadi editor, mulai mengedit, tapi karena berpulang, Hasta Mitra tak sempat menerbitan.
Syukur sekali Bung Bonnie Triyana bersedia melanjutkan usaha Pak Joesoef Isak yang terbengkalai. Karena itu saya sangat berterima kasih pada Bung Bonnie Triyana yang berhasil mengedit dan menerbitkan buku ini.

Suar menutup sambutannya dengan kata-kata menggugah sbb:

Berbeda dengan berbagai buku mengenai Peristiwa Madiun yang pernah ada, buku PERISTIWA MADIUN: REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA memusatkan studi pada masalah peranan Amerika Serikat, Doktrin Truman di belakang layar. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi pencerahan, penulisan sejarah yang bertolak dari kenyataan. Semoga para sejarawan setia pada kebenaran, menulis sejarah bertolak dari pendirian “cari kebenaran dari kenyataan”.

* * *

Banyak tulisan mempersoalkan Peristiwa Madiun, dengan latar belakang tujuan politik, terutama untuk mendeskreditkan PKI. Tulisan-tulisan tsb tidak dimaksudkan untuk memperoleh kejernihan dan kebenaran, sehingga bangsa ini bisa menarik pelajaran berguna bagi masa depannya, sebagai satu nasion baru yang hendak menegakkan negara Republik Indonesia yang didasarkan atas hukum dan HAM.
Karya Suar Suroso menelaah, meneliti Peristiwa Madiun, dengan DOKTRIN TRUMAN, sebagai latar belakangnya. Cara penelitian dan mempersoalkan seperti yang dilakukan oleh Suar Suroso, bukan saja lain daripada yang lain, tetapi juga menggugah, unik dan serius.

Usaha penelitian yang dilakukan Suar Suroso patut disambut hangat. Karena ia memperkaya khazanah literatur politik kita. Suar Suroso membawa kita ke suatu cara penelitian historis/politis menyangkut sejarah bangsa yang krusial.

* * *
Di bawah ini dipublikasikan 'Sekapur Sirih' yang ditulis menyambut karya Suar Suroso yang penting ini. Bung Suar, Selamat dan sukses!

* * *

SEKAPUR SIRIH,
 
Urun Mengantar Karya SUAR SUROSO
“PERISTIWA MADIUN REALISASI DOKTRIN TRUMAN DI ASIA”

* * *

Buku berjudul “Peristiwa Madiun Realisasi Doktrin Truman di Asia”, karya Suar Suroso, menampilkan hasil jerih-payah studi sejarah. Penulisnya dengan cermat, sistimatis dan jelas, membeberkan dokumen-dokumen dan fakta-fakta sejarah, meneropongnya diproyeksikan pada situasi internasional pada dewasa itu. Ketika mulai berkecamuknya dengan sengit strategi Perang Dingin AS dan sekutu-sekutunya. Dengan segala dampak dan kelanjutannya bagi banyak negeri. Dalam analisisnya Suar Suroso mengungkapkan bahwa, kasus sejarah yang dikenal sebagai “Pemberontakan Madiun 1948”, itu --- tak lain adalah kelanjutan dari 'Realisasi Doktrin Truman di Asia”.

Buku Suar Suroso adalah karya penelitian sejarah mengenai sebagian penting dari sejarah bangsa kita sejak Proklamasi Kemerdekaan. Dengan demikian merupakan langkah penting serta sumbangsih menuju pelurusan penulisan sejarah, yang terutama dalam periode rezim Orba mengalami rekayasa dan pemelintiran sewenang-wenang. Benar seperti yang disimpulkan oleh penulis Suar Surso, penulisan sejarah bangsa seperti yang berlaku pada periode rezim Orba adalah suatu tindakan 'pembodohan bangsa'.
Terbitnya karya sejarah Suar Suroso bersangkutan dengan Peristwa Madiun 1948, telah mengangkat masalah sejarah bangsa yang krusial ini, ke tahap baru. Yaitu tahap penelitian, studi yang ditujukan pada pelurusan sejarah bangsa.
 
Apa yang dikenal sebagai 'Peristiwa Madiun 1948', sejak terjadinya peristiwa tsb berbagai versi asal-usul dan jalannya peristiwa yang direkaya oleh penguasa telah disebar-luaskan sebagai suatu 'Pemberontakan PKI' terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah. Bukan fihak lain, tetapi adalah fihak PKI sendiri, melalui ketua CC PKI ketika itu, D.N. Aidit, dalam salah satu sidang pengadilan Jakarta, secara terbuka dan langsung mengajukan saran bahkan tuntutan kepada lembaga negara yang berwewenang, agar yang disebarluaskan sebagai 'Pemberontakan PKI' itu, diajukan ke pangadilan. Agar mantan PM Hatta diajukan sebagai saksi. Sedangkan PKI, mengambil sikap seperti yang diuraikan DN Aidit, dalam pidatonya di DPR (11 Pebruari 1957), sbb:

“. . . . sudah saja njatakan kesediaan saja kepada pengadilan untuk membuktikan dengan saksi2 bahwa Peristiwa Madiun memang provokasi dan bahwa dalam Peristiwa Madiun tsb. tangan Hatta-Sukiman-Natsir cs. memang berlumuran darah. Dengan ini berarti bahwa Hatta, ketika itu masih wakil Presiden, harus tampil sebagai saksi berhadapan dengan saja. Kesediaan saja ini, jang djuga diperkuat oleh advokat saja, Sdr. Mr. Suprapto, tidak mendapat persetudjuan. pengadilan. Djaksa menjatakan keberatannja akan pembuktian jang mau saja adjukan dengan saksi2. Oleh karena djaksa menolak pembuktian jang mau saja adjukan, maka djaksa terpaksa mentjabut tuduhan melanggar fasal 310 dan 311 KUHP. Djelaslah, bahwa ada orang2 jang kuatir kalau Peristiwa Madiun ini mendjadi terang bagi Rakjat.”

Dari uraian sikap dan pendirian PKI tsb kiranya menjadi jelas, bahwa PKI sebagai tertuduh, justru berinisiatif mengajukan kepada pemerintah agar tuduhan tsb secara resmi, terbuka dan formal diajukan ke pengadilan. Mumpung mereka-mereka yang terlibat masih hidup.
Ikuti selanjutnya apa yang disampaikan D.N. Aidit, dimuka DPR-RI pada sidang yang waktu yang sama itu juga:

“Djadi, mengenai Peristiwa Madiun kami sudah lama siap berhadapan dimuka pengadilan dengan arsiteknja Moh. Hatta. Ini saja njatakan tidak hanja sesudah Hatta berhenti sebagai wakil Presiden, tetapi seperti diatas sudah saja katakan, djuga ketika Hatta masih Wakil Presiden. Saja tidak ingin menantang siapa-siapa, tetapi kapan sadja Hatta ingin Peristiwa Madiun dibawa kepengadilan, kami dari PKI selarnanja bersedia menghadapinja. Kami jakin, bahwa djika soal ini dibawa kepengadilan bukanlah kami jang akan mendjadi terdakwa, tetapi kamilah pendakwa. Kamilah jang akan tampil kedepan sebagai pendakwa atasnama Amir Sjarifuddin . . . . . ”

* * *

Seperti diketahui, mengenai kasus 'Peristiwa Madiun 1948 ', PKI dengan resmi telah mengajukan pendapat dan dokumen, termasuk foto-foto, dalam tiga macam penerbitan mereka. Yaitu:

“Buku Putih tentang Peristiwa Madiun”
“Menggugat Peristiwa Madiun”, dan
“Konfrontasi Peristiwa Madiun 1948 -- Peristiwa Sumatera (1956)”
Disayangkan bahwa fihak pengdadilan negeri ketika itu, maupun DPR-nya, apalagi pemerintah dan parpol-parpolnya yang getol sekali menuduh bahwa apa yang terjadi di Madiun, 1948, adalah suatu 'pemberontakan', samasekali tidak merespons saran, tawaran bahkan 'tantangan' yang diajukan oleh DN Aidit, untuk membawa kasus Peristiwa Madiun ke penadilan. Bila hal itu terjadi tidak mustahil akan bisa dicapai kejernihan, menuju ke persatuan nasional demi hari depan Indonesia yang lebih baik.

Sekarang ini, mereka-mereka yang menuduh PKI memberontak dalam tahun 1948 itu, samasekali tidak punya alasan yang benar untuk memamah biak tuduhan-tuduhannya itu. Mengingat kenyataan ketika syarat-syaratnya memungkinkan untuk membawa kasus ''Peristiwa Madiun” ke pengadilan, mulai dari lembaga-lembaga negara bersangkutan, parpol-parpol yang terlibat serta pers pendukungnya, para penulis dan peneliti sejarah mereka-mereka itu, nyatanya bungkam seribu bahasa.

* * *

Bicara mengenai saksi hidup, atau lebih sering dikatakan 'pelaku' dalam Peristiwa Madiun, harus memperhatikan dengan seksama apa yang dinyatakan dan dijelaskan oleh mantan Gubernur Militer kota Madiun, Sumarsono.
Baik dalam ceramah-deramah beliau di Diemen, Belanda, beberapa tahun yang lalu, maupun dalam berbagai kesempatan beliau tegas-tegas menyatakan bahwa apa yang terjadi di Madiun dalam bulan September 1948, BUKAN SUATU PEMBERONTAKAN. Tak ada pernyataan yang lebih tegas dari seorang yang ada di tempat dan mengalaminya sendiri.

Dalam ceramahnya di Diemen, Sumarsono menegaskan bahwa beliau sendiri yang mengantar letkol Suharto sebagai perwira yang dikirim dari pemerintah RI di Jogyakarta, berkeliling kota Madiun, untuk menyaksikan sendiri bahwa pembunuhan dan kekacauan apalagi kudeta seperti apa yang diberitakan pers di Jogyakarta dan di luar negeri----, bahwa hal itu SAMA SEKALI TIDAK ADA.
Suharto menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bersama Sumrasono bahwa Madiun aman-damai dan tertib adanya. Entah bagaimana letkol Suharto melapor kepada pemerintah di Jogyakarta, tidak jelas. Tetapi apa yang terjadi sesudah itu, adalah ultimatum dan kemudian operasi militer TNI untuk menghancurkan PKI dan membunuh sebagian besar pimpinan puncaknya.
 
* * *

Lebih setengah abad telah berlalu sejak terjadinya Peristiwa Madiun 1948. Masing-masing fihak masih berpegang pada versi dan pendiriannya sendiri mengenai kejadian tsb

Karya Suar Suroso, “Peristiwa Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia”, diharapkan akan menggugah dan mengundang para pemeduli sejarah, pakar dan sejarawan untuk memperbaharui dan menggalakkan usaha dalam rangka pelurusan sejarah. Semua itu demi usaha besar bersama mempersatukan bangsa ini untuk haridepan yang lebih baik. * * *
 
 
 




 
 

Monday, August 16, 2010

APAKAH SEMANGAT REVOLUSI AGUSTUS 1945 MASIH MENGKHAYATI BANGSA KITA?

IBRAHIM ISA
Senin, 16 Agustus 2010
--------------------------------

APAKAH SEMANGAT REVOLUSI AGUSTUS 1945 MASIH MENGKHAYATI BANGSA KITA?


* * *

Merdeka!
Sekali Merdeka Tetap Merdeka!
Merdeka Atau Mati!
Hadirin Yth.,
Enampuluh lima tahun yang lalu, bertempat di halaman muka rumah kediaman Bung Karno, di Jalan Pengangsaan Timur No. 56, Jakarta, -- Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia, pada pagi tanggal 17 Agustus 1945, mendeklarasikan KEMERDEKAAN INDONESIA. Bendera Merah Putih dinaikkan ke puncak tiang. Berkibarlah SANG SAKA MERAH PUTIH dengan leluasa dan megahnya di tiang bendera yang hanya beberapa meter tingginya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan dengan khidmat dan bersemangat bersama sekelompok hadirin pada detik-detik peristiwa bersejarah tsb.

Sepintas lalu-- peristiwa tsb seperti tidak ada apa-apanya. Bahkan tetangga Bung Karno pun tidak tahu. Banyak yang tidak tahu. Pada umumnya tidak sadar bahwa sejak saat itu Indonesia memasuki periode awal, titik-balik dalam sejarah gerakan kemerdekaan. Dikatakan suatu perubahan fundametal! Karena, -- periode ini secara kwalitatif dan hakiki mengubah nasib seluruh bangsa Indonesia. Dari suatu bangsa yang selama 300 tahun lebih dikuasai oleh kolonialisme Belanda, -- dan tiga setengah tahun di bawah pendudukan militer Jepang, – – – menjadi suatu bangsa yang merdeka. Yang berdaulat, berdiri sendiri, sama derajat dengan bangsa-bangsa lainnya dalam masyarakat bangsa-bangsa merdeka di dunia internasional.

Memang, mula-mula, pagi tanggal 17 Agustus 1945 itu, -- seperti tidak terjadi sesuatu yang istimewa.

Namun, beberapa saat setelah suara Bung Karno menggelegar di angkasa raya, memaklumkan bangsa kita telah merebut nasibnya ditangannya sendiri, -- berawal pada pada bulan Agustus itu juga, lalu memasuki bulan September, Oktober dst, semboyan-semboyan 'Merdeka', 'Sekali Merdeka Tetap Merdeka', 'Merdeka Atau Mati', dalam bentuk pamflet dan tulisan besar-besar di tembok-tembok gedung, di tram, di kereta api, bus dll, memenuhi kota Jakarta. Kemudian kota-kota besar lainnya menyusul, dibanjiri dengan pengumuman PROKLAMASI Kemerdekaan 17 AGUSTUS 1945.

Ribuan pamflet Proklamasi Kemerdekaan disebar-luaskan ke segenap penjuru tanah air. Radio Republik Indonesia (RRI), yang pada waktu mengangkasa berlokasi di sebuah kamar di sebuah laboratorium kimia, -- dengan resmi dimaklumkan sebagai Radio Republik Indonesia, pada tanggal 11 September 1945 – 3 minggu setelah Prokalamasi Kemerdekaan. Selain Dr Abdurrachman Saleh, yang punya prakarsa awal harus dimilikinya pemancar radio oleh Republik Indonesia yang diproklamsikan, hadir di situ Jusuf Ronodipuro, yang kemudian menjadi pemimpin RRI dalam waktu panjang.

* * *

Berdirinya pemancar Radio Republik Indonesia, punya arti luar biasa bagi Republik Indonesia yang baru berdiri sebagai alat Revolusi dan komunikasi, penerangan serta media propaganda, RRI telah merangkaikan secara mental dan politik lahir dan berjuangnya suatu bangsa dan negara Republik Indonesia, dari Sabang sampai Merauké . RRI merupakan alat perjuangan vital melawan siaran radio Belanda yang luar biasa giatnya melancarkan perang propaganda untuk menghancurkan Republik Indonesia yang baru lahir.

Sungguh mengenaskan, masyarakat Indonesia termasuk media cetak dan elektroniknya, pada suatu ketika lupa betapa kepahlawanan para pendiri RRI, seperti Jusuf Ronodipuro dan rekan-rekannya. Dengan berani mereka mempertaruhkan jiwanya di hadapan kekuasaan Kenpeitei (Polisi Militer) Jepang, demi berdiri dan berlangsungnya pemancar RRI. Benarlah slogan RRI yang menyatakan SEKALI DI UDARA TETAP DI UDARA!

* * *

Di angkasa untuk pertama kalinya, berdengung menggelora suara Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, itu dilakukan oleh sebuah pemancar rahasia Jusuf Ronodipuro dkk. Ini membikin seluruh dunia tersentak, terutama Den Haag, mendengar berita diprokklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

* * *

Suara Bung Karno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lagu kebangsaan INDDONESIA RAYA, serta semboyan- semboyan 'Sekali Merdeka Tetap Merdeka', 'Merdeka Atau Mati', telah menjiwai, memberikan kekuatan moril dan fisik yang nyata yang tak terduga dan luarbiasa besarnya pada bangsa ini. Jiwa kemerdekaan ini mempersatukan lebih lanjut seluruh rakyat dari segala lapisan. Dengan bimbingan semangat patrotisme itu mereka bangkit berjuang untuk membela Negara Republik Indonesia yang baru merdeka.

Serangan musuh-musuh kemerdekaan Indonesia, dihadapi, dilawan dengan gagah berani. Mula-mula mendarat kekuatan militer Inggris. Katanya mereka datang atas nama Sekutu untuk menerima penyerahan Jepang yang kalah dalam Perang Pasifik. Nyatanya bersama tentara Inggris, ikut menyelinap Van Mook dan orang-orangnya. Mereka kemudian mulai membangun kembali kekuatan bersenjata kolonial Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan dan menegakkan kekuasaan NICA. Atau Netherlands Indies Civil Administration. Kita semua tahu, tujuan dibangunnya NICA, hakikatnya untuk menegakkan kembali kekuasaan kolonial Hindia Belanda atas Nusantara.

Api Proklamasi Kemerdekaan yang dinyalakan pada tanggal 17 Agustus 1945, tak terpadamkan marak mulai dari Jakarta menyulut Surabaya, Jogyakarta, Bandung dan kota-kota serta desa-desa tanah air tercinta. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka', 'Merdeka Atau Mati' -- semboyan-semboyan itulah yang menyemangati serta menggerakkan ratusan, ribuan, puluhan bahkan ratusan ribu pemuda-pemudi dan lapisan luas rakyat kita, mendirikan kekuatan bersenjata untuk membela Republik Indonesia. Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauké.

Berdiri tegaknya Republik Indonesia, sebuah negara baru di benua Asia, telah menjadi fakta sejarah yang tak terhapuskan lagi oleh kekuatan kolonial dan imperialis manapun. Kenyataan sejarah ini tidak bisa dihancurkan oleh pemberontakan-pemberontakan separatis seperti yang terjadi atas nama RMS, PRRI/PERMESTA, Darul Islam, Aceh Merdeka dan Papua Merdeka. Apalagi oleh pernyataan di atas secarik kertas oleh beberapa gelintir orang di Belanda beberapa tahun yang lalu yang menyatakan bahwa 'Indonesië bestaat niet' .

Imbangan kekuatan politik di Asia telah mengalami perubahan yang maha penting. Dunia menyaksikan berdirinya sebuah negara baru yang merdeka dan berdaulat, yang rakyatnya siap mempertaruhkan jiwa dan raganya demi membela Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia.

* * *

Hadirin Yth.
Apakah semboyan-semboyan revolusioner Revolusi Agustus 1945 tsb masih mengkhayati bangsa kita dewasa ini? Apakah kita masih tetap merdeka?
Een goede vraag! A good question! Suatu pertanyaan teramat penting. Tetapi tidaklah mudah memberikan jawaban yang cespleng, yang benar-benar suatu jawaban yang tepat. Tak terelakkan jawaban atas pertanyaan itu, -- diberikan dengan bertolak dari pandangan masing-masing. Dari analisis masing-masing atas situasi kongkrit negeri dan bangsa kita dewasa ini.

Dalam pengertian menuruti faham yang diakui dan sudah banyak diberlakukan di banyak negeri, yaitu faham dan prinsip demokrasi, yaitu hak untuk dengan bebas berpendapat dan berekspresi, maka adalah kebebasan masing-masing untuk memberikan jawaban atas pertanyaan penting tsb menurut pandangan masing-masing.
Kiranya kita juga sependapat bahwa dalam sistuasi kongkrit bangsa dan tanah air dewasa ini, --- prinsip kebebasan bicara dan bereksperesi mutlak harus dipertahankan, dibela dan dikembangkan lebih lanjut. Karena, barangkali kebebasan inilah yang sekarang merupakan salah satu hasil penting gerakan Reformasi yang masih ada! Yang masih bisa dan harus dimanfaatkan secara maksimal demi mengembangkan perjuangan selanjutnya untuk tujuan-tujuan mulya kebebasan, keadilan dan kemakmuran Indonesia.

* * *

Hadiri Yth.
“ APAKAH SEMBOYAN REVOLUSI AGUSTUS 1945” tsb masih menjiwai bangsa dan negeri ini?
Saya berani tegaskan di sini, bahwa keadaan kita sebagai bangsa, sebagai nasion Indonesia, berada dalam situasi yang memprihatinkan, yang amat mengkhawatirkan.

Negeri yang begitu indah dan cantik; yang tanah dan lautannya berjejer dari Sabang sampai Merauké, kaya-raya dengan sumber-sumber bumi, lautan, sungai dan danaunya, yang melimpah ruah. Lebih-lebih lagi yang rakyatnya rajin dan ulet. Namun, kini sebagian terbesar rakyatnya masih hidup miskin dan menderita. Setiap tahun negeri ini harus meminta-minta 'bantuan' dari World Bank dan IMF, yang hakikatnya adalah hutang yang harus dibayar kembali oleh rakyat, plus bunganya. Karena Anggaran Pemasukan dan Belanja negara setiap tahun mengalami defisit, yang selamanya harus ditutup dengan pinjaman atau 'bantuan' dari luar.
Kita saksikan dengan hati pedih, bahwa hanya sebagian kecil saja dari bangsa Indonesia, yang sudah dan sedang menikmati kekayaan bumi Nusantara ini.

Kita saksikan betapa kekayaan negeri dan hutang yang dipinjam dari luarngeri, telah dikorup dan dirampok oleh para petinggi politik dan negara, oleh kalangan yang berkuasa sendiri serta aparatnya. Kita menyaksikan betapa modal asing merajalela menguasai sumber-sumber kekayaan negeri kita, sedangkan perusahaan kecil rakyat pada bangkrut atau terpaksa dijual pada modal asing. Kita saksikan bahwa aparat kekuasaan negara serta lembaga peradilan telah menjadi sarang mafia korupsi dan neportisme yang amat parah. Kia saksikan janji Reformasi teristimewa reformasi di kalangan aparat negara, sudah tidak kedengaran apa-apanya lagi. Malah berita yang memenuhi media adalah keterlibatan aparat dan lembaga peradilan dengan korupsi dan neportisme. Kita saksikan matinya tanpa pengumuman janji-janji dan rencana Rekonsiliasi Nasional oleh pemerintah.

* * *

Tujuan utama kemerdekaan bangsa yang ditanamkan oleh para founding fathers kita, ialah: MENEGAKKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA YANG ADIL DAN MAKMUR, dimana kekayaan bumi dan airnya dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat, terutama oleh lapisan paling bawah yang selama ini menderita dan hidup dalam kemiskinan dan ketidak-tentuan. Namun, dewasa ini apa yang dicita-citakan ini, tampak seolah-olah sudah hancur musnah. Sudah lenyap samasekali. Dalam pada itu keadaan ekonomi negeri belum menunjukkan akan adanya perbaikan secara keseluruhan. Jumlah pengangguran bertambah terus, sedangkan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan tak berkurang.

* * *

Hadirin Yth.
Situasi revolusioner periode Revolusi Agustus 1945, punya latar belakang sejarah panjang. Latar belakang sejarah gerakan kemerdekaan yang dimulai pada awal abad ke duapuluh, dengan berdirinya pelbagai organisasi massa, seperti organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa, serikat buruh, serikat pegawai negeri, ormas dan lembaga pendidikan bangsa dsb. Kemudian berkembang dengan didirikannya Budi Utomo, Indische Partij, ISDV yang berubah menjadi PKI, Serikat Islam (SI), Sarekat Rakyat, PNI, Partindo, PSII, dll. Tanpa perjuangan kaum nasionalis, kaum komunis dan kaum muslimin serta penganut agama lainnya di negeri kita, dalam waktu panjang selama penjajahan Belanda dan pendudukan militer Jepang, tidaklah akan lahir Republik Indonesia Merdeka.

Jangan lupakan sejarah! Ini adalah ajaran Bung Karno. Inilah salah satu pelajaran sejarah penting yang perlu ditarik: Tanpa perjuangan pendahulu-pendahulu kita, yang bersatu dalam jiwa, semangat dan tindakan dalam perjuangan panjang semasa periode kolonialisme Belanda dan selama pendudukan militer Jepang, tidak akan lahir Republik Indonesia Merdeka. Suatu kekuatan yang didukung oleh pelbagai aliran politik dan kepercayaan, khususnya oleh aliran politik dan kepercyaan nasionalisme, islamisme dan marxisme.

Hadirin Yth.
Menyaksikan keadaan tanah air dewasa ini, tak terelakkan timbul pertanyaan berikut ini: APAKAH INDONESIA DEWASA INI BENAR- BENAR SUATU NEGARA MERDEKA?

Dalam kesempatan ini, perkenankanlah saya agak khusus menyoroti analisis berbobot dan kesimpulan ilmiah yang dibuat oleh dr Kwik Kian Gie dalam tuisannya baru-baru ini. Tanpa bisa disalah-ertikan ia menyatakan bahwa Indonesia dewasa ini sudah kembali menjadi JAJAHAN ASING. Populernya sering disebut sebuah koloni baru kaum imperialis. Kwik Kian Gie adalah seorang ekonom Indonesia, pernah menjabat Menko Ekonomi dalam pemerintahan Presiden Abdurrachaman Wahid, mantan Ketua Bappenas, dan Ketua Litbang PDI-P. Antara lain Dr Kwik Kian Gie, memberikan analisis yang sangat tajam tentang sebab-musabab mengapa negeri kita sampai jadi begini. Dipaparkannya dengan jelas tentang: Sejarah Penguasaan Ekonomi Indonesia oleh Kekuatan Asing dan Kelompok Berkeley Mafia.

Dikemukakannya juga analisis sementara akhli ekonomi asing, bagaimana peran kekuatan asing dan kelompok Berkeley Mafia dalam perekonomian Indonesia sejak tahun 1967. Dengan fakta-fakta ditunjukkan bahwa Undang–Undang Penanaman Modal Asing, UUPMA, adalah suatu rencana yang dibuat oleh kaum modal asing. Disodorkan melalui IGGI, Inter Governmental Group on Indonesia. Yang anggotanya terdiri dari AS, Canada, Eropa dan Australia. Lalu IMF, International Monetary Fund dan World Bank, Bank Dunia. Adalah UUPMA ini, yang telah memberikan hadiah bebas pajak selama 5 th kepada kaum modal asing yang melakukan perampokan atas kekayaan bumi dan lautan Indonesia. Adalah kekuatan asing ini yang merencanakan dasar infra-stsruktur hukum untuk investasi modal asing di Indonesia.

IGGI lahir bulan November 1967, di Jenewa, menyusul suatu konferensi internasional (luarbiasa) yang disponsori oleh The Time Life Corporation (suatu perusahaasn raksasa Amerika). Dalam konferensi itu yang datang dari Indonesia adalah sebuah delegasi khusus di bawah pimpinan Sultan Hamengkuuwono IX, yang didampingi oleh suatu tim akhli terdiri dari sarjana-sarjana ekonomi dan moneter lulusan AS ( University of California, Berkeley). Dari fihak asing peserta konferensi terdiri dari para kapitalis yang paling berkuasa di dunia. Seperti David Rockefeller, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, dan US Steel.

UUPMA, --- suatu blueprint perampokan dan pengkurasan habis-habisan kekayaan Indonesia, yang disahkan oleh Orde Baru (1967) atas perintah asing, inilah yang menjadi salah satu penyebab utama situasi ekonomi Indonesia yang carut marut dewasa ini.

Suatu ungkapn yang ditulis oleh seorang akhli ekonomi John Perkins, dalam bukunya berjudul : “The Confessions of an Economic Hit man”, atau “Pengakuan oleh seorang Perusak Ekonomi”. (Dalam pengertian populer, 'hitman' adalah 'pembunuh bayaran'). menyatakan sbb:
“ Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran (justification)
untuk memberikan hutang yang sangat besar jumlahnya yang akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsultan di mana John Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi.

Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya menerima bayaran), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh kreditornya, sehingga negara penghutang (baca : Indonesia ) menjadi target yang empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”

Lalu: “Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut
ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia
beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima hutang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima hutang menjadi permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerint ah penerima hutang. Maka semakin besar jumlah hutang semakin baik. Kenyataan bahwa beban hutang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”

Akhirnya tulis Kwik Kian Gie:

Keseluruhan ini sendiri merupakan cerita yang menarik dan bermanfaat sebagai bahan renungan introspeksi betapa kita sejak tahun 1967 sudah dijajah kembali dengan cara dan teknologi yang lebih dahsyat.

Para penjajah Belanda dahulu menanam berbagai pohon yang buahnya bernilai tinggi. Kekejaman mereka terletak pada eksploitasi manusia Indonesia bagaikan budak. Kebun-kebunnya sampai sekarang menjadi PTP yang masih menguntungkan.

Sejak tahun 1967, pengerukan dan penyedotan kekayaan alam Indonesia oleh
kekuatan asing, terutama mineral yang sangat mahal harganya dan sangat vital itu dilakukan secara besar-besaran dengan modal besar dan teknologi tinggi. Para pembantunya adalah bangsa sendiri yang berhasil dijadikan kroni-kroninya.

* * *

Agak panjang saya menyoroti tulisan dr Kwik Kian Gie, dalam pembicaran 65 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kali ini. Ini perlu dan penting. Karena di situ diberikan analisisi yang sangat beralasan, argumentatif serta merupakan pendidikan ekonomi dan politik bagi kita semua. Teristimewa generasi muda Indonesia. Yaitu mereka-meraka yang tidak mengalami tahun-tahun awal berdirinya Orba Jendral Suharto.

Penulisnya, Kwik Kian Gie juga menunjukkan semangat patriotisme cinta tanah air yang kuat, halmana sesuai dengan SEMANGAT REVOLUSI AGUSTUS 1945.

* * *
Hadiri Yth.

Situasi Reformasi negeri kita sesudah jatuhnya Presiden Suharto, berakhirnya secara formal rezim otoriter anti-demokratis dan anti-HAM, dewasa ini ternyata 'macet'.

Namun di lain fihak, kita menyaksikan munculnya puluhan, ratusan bahkan ribuan buku-buku, film dokumenter, tulisan dan artikel yang bebas dari pengawasan dan larangan penguasa. Bahan-bahan tsb juga bisa di lihat dan dibaca di internet. Bisa berulang kali dipublikasikan seluas-luasnya.

Menyaksikan dan membaca tulisan serta laporan dari Indonesia mengenai kebangkitan baru di kalangan kaum muda, bisa disimpulkan bahwa sebagian penting kaum muda Indonesia, termasuk di situ juga pejuang-pejuang senior, masih tetap dijiwai oleh semangat Revolusi Agustus 1945.
Perkembangan gerakan di kalangan kaum muda dan demokrat serta aktivis HAM, menunjukkan bahwa aksi-aksi tuntutan sosial-ekonomis dan perjuangan dalam bidang politik oleh berbagai golongan masyarakat, seperti mahasiwa, junalis, seniman, budayawan cendekiawan patriotik, kaum buruh, kaum miskin kota, berjalan terus. Kegiatan ini -- baik yang beritanya bisa dibaca di media, maupun yang tidak diberitakan oleh media, -- kegiatan dan perkembangan itu tidak akan berhenti. Sebaliknya, bahkan akan berkembang terus.

Belakangan ini, semakin santer suara-suara yang berasal dari sementara parpol serta gerakan politik yang menyatakan bahwa gerakan bangsa ini memerlukan suatu ideologi. Yaitu ideologi Pancasila. Pancasila seperti yang diajarkan oleh Bung Karno, dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Ini adalah suatu perkembangan yang menunjukkan bahwa kesadaran politik dalam gerakan dan kegiatan pro Reformasi bertambah kongkrit dan memberikan harapan baru..

* * *

Hadiri Yth.

Dari tulisan-tulisan yang berasal dari Indonesia dan yang ditulis oleh para pemeduli nasib bangsa dan negeri, juga yang bermukim di luarnegeri dan sejumlah tulisan-tulisan laiinya berkenaan dengan ultah ke-65 Republik Indonesia, menjadikan kita semua tetap optimis bahwa perjuangan ini tak akan berhenti sebelum tercaiap tujuannya. Dengan jelas sekali tampak bahwa semangat 'Merdeka', 'Sekali Merdeka Tetap Merdeka', tetap menjiwai patriot-patriot Indonesia, dimanapun ia berada.

Jajaki situasi kaum muda generasi baru Indonesia yang justru lahir dan atau dibesarkan pada periode Orba, tampaklah – bahwa di kalangan merekalah, dikalangan generasi baru, terdapat cendekiawan, historikus, ekonom dan sosiolog yang berfikiran dan berpandangan kritis dan maju. Generasi muda bangsa tsb bertekad meneruskan gerakan Reformasi, berusha keras untuk meluruskan sejarah bangsa yang telah dibengkokkan oleh rezim Orba.

Mereka bergiat terus untuk lebih lanjut mengungkap dan mengkritik rezim Orba. Mereka melakukan usaha susah payah di bidang penelitian untuk mengungkap apa sesungguhnya G30S itu. Khususnya menyangkut keterlibatan Jendral Suharto dan pendukungnya yang telah melakukan pembunuhan masal terhadap rakyat yang tak bersalah.

* * *

Hadirin Yth.
Cita-cita Revolusi Agustus 1945, yang terpenting a.l adalah MENEGAKKAN SUATU NEGARA HUKUM INDONESIA.

Maka mari tandaskan kembali, -- :
Pada saat MEMPERINGATI ULTAH KE-65 KEMERDEKAAN INDONESIA, jangan sekali-kali lupakan bahwa selama pelaku pembantaian masal dalam Peristiwa 1965 tidak dibawa ke pengadilan, diadili dan dijatuhi hukuman yang setimpal, -- selama korban Peristiwa 1965 dan pelanggaran Ham lainnya TIDAK di-REHABILITASI nama baik dan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak politiknya, selama itu NEGARA HUKUM Republik Indonesia belum bisa dikatakan sudah tegak.

Kita yakin bahwa perjuangan, kegiatan sekitar masalah tsb tidak boleh dan pasti akan berlangsung terus!
Merdeka!
Terima kasih!

* * *

Saturday, August 14, 2010

Wong “JOWO-Surinam” Ing Negoro Londo

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Sabtu, 14 Agustus 2010

------------------------------------------------------



Wong “JOWO-Surinam” Ing Negoro Londo

< Dalam Rangka Peringatan 120 Tahun Kedatangan Orang Jawa di Suriname>



Cerita-cerita, -- s e j a r a h , tentang 'Wong Jowo ing Negoro Londo' (mereka berimigrasi dari Suriname), -- -- , menarik sekali. Mengharukan dan menggugah. Dan hatiku ikut bangga, sebagai suami seorang putri dari Jawa. Begitulah, hari Minggu, pekan lalu, kami kumpul bersama di suatu ruang peringatan dengan kira-kira 300 orang-orang Jawa lainnya yang berdatangan dari pelbagai penjuru Belanda.



Cukup banyak data dan ulasan yang bisa diakses di internet mengenai para kompatriot itu. Jangan héran, bagi kebanyakan orang-orang Jawa-Indonesia, keberadaan dan latar belakang 'Wong-Jowo-Surinam' ing Holan iku, sedikit sekali yang tahu. Ya, sesekali secara kebetulan, kita papasan dengan orang (yang dianggap orang Indonesia), di jalan atau di pertokoan. Ternyata mereka itu adalah 'wong Jowo-Surinam'. Orang Jawa yang menetap di Belanda, asal Surinam. Mereka bertanya pula: “Sampean soko Surinam”?



Aku baru-baru ini saja, agak mengenal latar belakang 'Wong Jowo Ing Negoro Londo”. Yaitu selagi dan sesudah pada tanggal 08 Agustus 2010 lalu, menghadiri Peringatan “120 JAAR JAVAANSE IMMIGRATIE – Een Andere Kijk op Geschiedenis – De Javaanse migratie door de ogen van gewone mensen”. < Artinya kira-ki begini: “120 tahun migrasi Orang-Orang Jawa – Suatu Pandangan Lain Atas Sejarah – Migrasi Orang-orang Jawa Melalui Mata Orang-orang Biasa.”>. Penyelenggara peringatan dilakukan bersama oleh Stichting Herdenking Javaanse Immigratie (STICHHJI), Stichting Budi Utama dan KITLV Leiden.



Di ruangan pertemuan di pamerkan untuk dijual buku-buku sehubungan dengan orang-orang Jawa Surinam. Juga bisa dipesan kamus Jawa-Nederlands. Di situ aku membeli sebuah buku berjudul STILLE PASSANTEN, Levensverhalen van Javaans-Surinaamse ouderen in Nederland. Cerita-cerita pengalaman orang-orang Jawa Surinam di Nederland. Penulis: Yvette Kopijn dan Harriette Mingoen, Ketua STICHHJI. Aku baru membaca kata pengantarnya dan melihat-lihat foto-foto sekitar orang-orang Jawa yang mula datang ke Suriname. Kaum migran Jawa yang berjumlah 32.956 migran itu diangkut berangsusr-angsur selama periode 1890 s/d 1939 dengan 53 kapal ke Paramaribo, Suriname. Setelah menyelesaikan kontrak kerja selama 5 tahun, mereka boleh mengakhiri kontrak dan kembali ke kampung halaman di Jawa. Sebagian besar memilih menetap di Suriname, menjadikan negeri itu tanah airnya kedua.



* * *



Perayaan Peringatan tsb berlangsung di ruang pertemuan Haagse Hogeschool, Den Haag. Hanya beberapa puluh meter jaraknya pas dimuka Stasiun KA - Den Haag HS letaknya. Perayaan Peringatan mengambil bentuk Manifestasi Budaya. Dimeriahkan dengan acara seni: gamelan Jawa, tari-tarian, pentjak silat, nyanyi solo dan paduan suara, musik Jawa, juga musik pop. Tak ketinggalan dipanggungkan pula tari serimpi yang indah lemah lunglai itu. Hadirin menikmati seluruh acara yang berlangsung dari jam 12 siang sampai jam 07 malam. Dengan sendirinya tersedia di situ makanan Indonesia dan Suriname (seperti tahu lontong dan saoto), serta cendol dan minuman lainnya dengan harga yang layak.



Sarmaji yang duduk disampingku, tak habis heran dan kagum menyaksikan acara seni itu. Bagaimana orang-orang Jawa Suriname kok bisa tetap memelihara budaya Jawa meskipun lebih seratus tahun terpisah dari kampung halaman asal, berlanglang-buwana sampai ke Suriname dan Belanda. Itu menunjukkan bahwa meskipun tinggal di negeri lain, mereka tetap mempertahankan budaya dan identitas mereka. Hebat kan, kataku!



Tapi yang lebih mengharukan lagi serta terheran-heran kami, adalah ketika perayaan dibuka dengan tampilnya barisan bendera teridiri dari putri-putri, yang masing-masing membawa bendera Merah Putih Biru (Belanda), Merah Putih (Indonesia), dan Bendera Suriname. Tak terkira reaksi kami ketika itu. Serasa terdengar debaran jantung masing-masing, ketika seiring dengan barisan bendera tampil di panggung, diperdengarkan masing-masing -- lagu WILHELMUS, lalu INDONESIA RAYA kemudian lagu KEBANGSAAN SURINAME. Sungguh tak tak terduga bisa melihat bendera Merah Merah Putih dikibarkan diatas panggung di Haagse Hogeschool Den Haag, dengan diiringi musik INDONESIA RAYA. Dan itu dalam suatu perayaan peringatan yang dilangsungkan oleh WONG JOWO ING NEGORO LONDO.



Kutanyakan bagaimana kesan Sarmaji disampingku. Bagaimana perasaannya melihat Sang MERAH PUTIH yang disertai musik INDONESIA RAYA di atas panggung? Wah, wah, bukan main bangganya aku!, kata Sarmaji.



* * *



Bagiku pribadi, belum lama mengetahui adanya orang-orang Jawa-Surinam di Holland. Kurang lebih 15 tahun y.l. seorang sahabat dekat kami (yang asal etnis Jawa) ternyata melakukan kerja-sukarela di sebuah pemancar radio bernama “Radio Bangsa Jawa”, di Amsterdam. Pemancar itu berbahasa Jawa. Lalu peristiwa berikut ini: -- Suatu waktu ketika kami suami istri makan-siang di sebuah restoran di Villa Arena, Bijlmer, yang melayani adalah seorang wanita yang persis orang Indonesia. Beberapa saat setelah kami menikmati santapan, -- ia datang menghampiri kami dan bertanya: “Wis warek, yo?”. “Nék wis warek, turu!”. Heh, ternyata dia itu 'wong Jowo asal Surinam'. Istrku, yang asal Purworedjo, Jawa Tengah, kaget tapi kemudian senyum-senyum saja memaklumi, diajak boso Jowo demikian itu.



Terima kasih kepada KITLV (Mbak Yayah Siegers) yang menyampaikan undangan

lewat e-mail kepadaku, sehingga memperoleh kesempatan untuk bisa menghadiri Perayaan Peringatan 120 Tahun Imigrasi Orang-orang Jawa Ke Suriname. Mulai dari sejak inilah aku memberikan perhatian pada orang-orang Jawa Surinam dan latar belakang serjarahnya. Menyadari bahwa mereka-mereka itu adalah sebagian dari bangsa kita, bangsa Indonesia yang berkelana ke Surinam, demi mencari tempat hidup yang lebih layak, jauh dari kekurangan dan kemiskinan di kampung halaman mereka ketika itu.

Baru kutahu, bahwa keberangkatan orang-orang Jawa ke Surinam, adalah bagian dari politik transmigrasi pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang juga mentransmigrasi orang-orang Indonesia asal Jawa dari kampunghalaman mereka ke Sumatera dan Lampung, Sumatera Selatan.



Rupanya yang berwewenang ketika itu memang menjanjikan bahwa dengan meninggalkan kampung halaman mereka yang susah hidup itu, berimigrasi ke Surname sebagai buruh-kontrak, mereka akan mengalami kehidupan yang lebih baik. Nyatanya juga tidak. Bekerja sebagai buruh-kontrak , tidak banyak mengubah nasib mereka yang miskin papa di kampung halaman di Jawa. Di Suriname, menurut cerita mereka sendiri, juga mengalami perlakuan diskriminasi keras. Mereka diharuskan tertempat tinggal di daerah terpencil yang jauh dari pusat pedagangan negeri. Pendidikan terutama bagi anak-anak mereka juga tidak diurus oleh penguasa Belanda di Suriname. Akhirnya dibangun juga juga sekolah -- ”Sekolah Desa'. Tidak lebih dari itu.Pokoknya kaum buruh-kontrak asal Jawa di Suriname dibiarkan bodoh oleh penguasa.



Berapa upah mereka sebulan? Hanya 60 sen untuk priya dan 40 sen untuk wanita. Mana bisa hidup baik dengan upah yang minim seperti itu? Jelas, pemerintah Hindia Belanda mentrasmigrasikan penduduk Jawa ke Suriname, adalah demi kepentingan perkebunan-perkebunan mereka di Suriname yang memerlukan tenaga kerja murah. Berimigrasi samasekali tidak memberikan kehidupan yang lebih baik. Penguasa kolonial di Suriname tidak lebih baik dari penguasa kolonial di Jawa, Sumatra, atau dimanapun di seluruh Indonesia pada periode Hindia Belanda dulu. Penguasa melakukan transmigrasi atau imigrasi bagi penduduk Jawa, pertama-tama bertolak dari kepentingan sendiri semata-mata. Kepentingan mengeeksploitasi tenaga buruh murah dari Jawa.

* * *



HARIËTTE MINGOEN, Ketua Stichting Comite Herdenking Javaanse Immigratie, dalam wawancaranya dengan Eka Tanjung, NRW, Hilversum, -- mengingatkan, bahwa pada tanggal 29 November, 2010, nanti akan diluncurkan sebuah buku lagi menyangkut orang-orang Jawa yang berimigrasi ke Suriname. Juga akan diluncurkan sebuah website dengan tujuan yang sama.



Untuk memperoleh gambaran yang agak jelas, mari kita ikuti apa yang dijelaskan oleh Panitia Penyelenggara Peringatan 120th Imigrasi Orang Jawa ke Suriname, sbb:



Orang-orang Jawa mengalami sejarah-migrasi yang kaya. Mereka berkali-kali berimigrasi ke Suriname, Indonesia, Nederland dan negeri-negeri lainnya. . Mengenai gerak-migrasi ini dan mengenai nasib orang-orang yang telah memilih berkali-kali mengubah domisili negerinya, boleh dikatakan sedikit yang diketahui orang.



Maka dengan proyek 'Cerita-cerita pengalaman hidup orang-orang Jawa dalam diaspora', KITLV bersama Stichting CHIJ bermaksud, melalui oral-history, sejarah-lisan, menyoroti gerak-migrasi dan cara bagaimana orang-orang Jawa bermukim di negeri-negeri tsb. Bagaimana mereka memperlakukan warisan budaya mereka. Cerita-cerita pengalaman hidup ini, dikumpulkan di Suriname, Indonesia dan Nederland. KITLV mengurus pencatatan cerita-cerita tsb di Suriname dan Indonesia, dengan berkerjasama dengan Perkumpulan Memperingati Imigrasi Orang-orang Jawa (VHIJ), STCHIJ dan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). STICHJI mengumpulkan cerita-cerita yang di Nederland. Kumpulan cerita-cerita pengalaman hidup ini dipresentasikan di suatu website khusus, dan dari cerita-cerita yang terbaik akan dibukukan dan diterbitkan.



Pada tanggal 09 Agustus 2010, tepat 120th yang lalu (1890) kedatangan pertama di Suriname, kaum buruh-kontrak Jawa dari Hindia Belanda. Pada tahun bersejarah ini diterbitkan buku dan website untuk umum. Peluncuran akan dilakukan pada tanggal 29 November 2010. Demikianlah disiarkan oleh Panitia Penyelenggara Peringatan 120th Imigran Jawa ke Suriname. * * *

ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Minggu, 08 Agustus 2010

------------------------------------------



ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA





* * *



Kemarin dulu, kuterima dari sahabatku Bari Muchtar, Ranesi, Hilversum, e-mail berikut ini:

,

diterbitkan 06 Agustus, 2010, oleh BARI MUCHTAR, Ranesi, Hilversum.

Dalam pesannya kepadaku mengomentari tulisanku tentang Peringatan 65th Hiroshima, Bari Muchtar menulis sbb:

Pak Ibrahim,

Mudah-mudahan senjata nuklir benar-benar disingkirkan di muka bumi. Pak Ibrahim, ini link rangkuman wawancara dengan bapak ttg orang-orang Belanda yang bersahabat dengan Indonesia.

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/orang-orang-belanda-sahabat-indonesia

Salam hormat,
Bari Muchtar

* * *

Kupikir, Ranesi telah menyiarkannya untuk pendengar Radio Hilversum, baik kiranya dipublikasikan agar pembaca dapat mengikutinya

ORANG-ORANG BELANDA SAHABAT INDONSIA

Dalam buku sejarah Indonesia ditulis, Belanda pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Makanya wajar kalau orang masih tidak bisa melepaskan pikiran yang mengganggap orang Belanda itu penjajah.

Tapi dalam sejarah selama lebih kurang tiga abad itu ternyata banyak orang Belanda yang berani menentang penguasa penjajah. Mereka memprotes, memberontak dan membelot menjadi pro Indonesia dan malah menjadi warga negara Indonesia.

Ibrahim Isa, seorang eksil yang tinggal di Amsterdam, menyebut mereka itu orang-orang yang menjadi jembatan antara Belanda dan Indonsia atau sahabat Indonesia. Siapa saja antara lain mereka itu?

Multatuli
Pertama adalah Multatuli, seorang asisten residen di Lebak, Banten. Tokoh Belanda yang bernama asli Eduard Douwes Dekker ini mengundurkan diri jabatannya karena ia tidak setuju dengan sistem feodal saat itu. Ini dilakukannya setelah tuntutannya untuk memecat bupati tidak dikabulkan oleh pemerintah kolonial Belanda saat itu. Maklum pemerintah Belanda justru memanfaatkan sistem feodal itu untuk kepentingan penjajahan.

Kemudian pada sekitar abad keduapuluhan nama Douwes Dekker muncul tapi orangnya berbeda. Pria yang masih berhubungan darah dengan Dekker yang dijuluki Multatuli ini adalah seorang jurnalis. Bersama dengan Ki Hadjar Dewantara dan dr Mangunsutjipto, ia membentuk Indische Partij pada tahun 1911.

"Indische partij itu partai politik pertama yang mengajukan tuntutan agar bangsa-bangsa di Nederlands Indie (nama Indonesia waktu itu,red) memilik haknya untuk menentukan nasibnya sendiri, " tandas Ibrahim Isa.

Pembelot
Setelah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 terjadi perang antara pejuang kemerdekaan Republik Indonesia melawan tentara Belanda. Menurut versi Belanda serdadu yang dikirm itu bertugas untuk memulihkan keamanan apa yang disebut aksi polisionil atau politionele actie. Tapi menurut kacamata Indonesia tentara Belanda itu jelas dikirim ke RI untuk merebut kembali negaranya yang baru merdeka.

Di Belanda saat itu banyak pemuda Belanda yang menolak ditugaskan ke Indonesia yang bagi Belanda masih saat itu masih bernama Nederlands Indie atau Hindia Belanda. Hati nurani mereka tidak mengizinkan untuk menjadi bagian dari tentara yang mau menjajah lagi.Menurut Ibrahim Isa, jumlahnya sekitar 500 orang. "Mereka akhirnya diadili dan dipenjarakan, " katanya.

Namun ada pula yang toh berangkat ke Indonesia, tapi akhirnya membelot ke pihak Indonesia. Contohnya Poncke Princen. Karena menyeberang menjadi Tentara Indonesia, maka ia dianggap penghkhianat oleh Belanda. "Tapi untuk kita, untuk bangsa Indonesia ia dianggap sebagai sahabat yang sangat dekat, "tandas Ibrahim Isa.

Princen, tambah Ibrahim Isa, menunjukkan kepeduliannya dan dedikasi kepada Indonesia dengan menjadi pejuang Hak Asasi Manusia atau HAM dan demokrasi pada jaman Orba. Akibatnya ia sempat dipenjarakan oleh rejim di bawah pimpinan Soeharto ini. "Princen diakui sebagai pejuang demokrasi dan HAM, " simpul Ibrahim Isa.

Selanjutnya Ibrahim Isa menambahkan bahwa di perpustakaan-perpustakaan Belanda banyak sekali ditemukan buku-buku tulisan bekasTentara Kerajaan Belanda. Banyak di antara mereka sebenarnya tidak tahu bahwa mereka ke Indonesia dulu ditugaskan untuk menjajah kembali. Karena yang dikatakan kepada mereka, tugas mereka adalah memulihkan kembali keamanan di Hindia Belanda. Jadi, mereka merasa ditipu.

Lalu ada seorang ilmuwan Belanda yang terang-terangan mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia. Ia adalah guru besar sosiologi bernama Werthheim. Bukunya yang berjudul "The Society in transtion" menjadi bahan bacaan wajib bagi yang mau studi antropologi dan sospol Indonesia. "Di jaman Orba di Belanda ia mendirikan Komite Indonesia, untuk memperjuangkan hak-hak demokrasi bagi Indonesia " kata Ibrahim Isa.

Teman keluarga Bung Karno
Terakhir tokoh sepuh Ibrahim Isa yang masih sangat aktif membaca buku ini menyebut nama Wolf Schumacher. Insinyur yang menempuh aliran modern di bidang bangunan ini, antara lain dikenal sebagai pembangun Villa Isola dan hotel Preanger di Bandung. Menurut Ibrahim Isa pria Belanda ini mempunyai dua keistimewaan. Pertama ia masuk Islam dan kedua ia sahabat baik Bung Karno. "Mereka sama-sama arsitek, " tambah Ibrahim Isa.

Schumacher tidak aktif di bidang politik untuk menentang pemerintah penjajahan Belanda. Tapi ia sangat menentang kebijakaan diskriminasi pemerintah Belanda, yang membedakan antara pribumi atau inlander dengan orang Belanda.

Karena persahabatannya dengan keluarga Soekarno, maka keluarga presiden RI pertama ini mebeayai pemugaran kuburan Schumacher di Bandung. "Ini suatu hal yang indah sekali, " kata Ibrahim Isa.



* * *

Tuesday, August 3, 2010

PDI-P Dan AJARAN BUNG KARNO (1)

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Selasa, 03 Agustus, 2010
------------------------------------------------

PDI-P Dan AJARAN BUNG KARNO
(1)
Minggu pagi pekan lalu. Cuacanya persis seperti pagi tadi. Amsterdam cerah. Di sana-sini di angkasa biru tampak gumpalan kecil awan berserakan. Suasananya, -- Seakan-akan hendak ikut memperingati Ultah Ke-10 berdirinya “Forum Diskusi”. Setengah sebelas pagi itu, bersama Murti, kami berangkat dengan Metro. Turun di Sloterdijk. Lalu dengan tram berhenti di halte Haarlemmerweg. Di situlah, di sebuah restoran mungil (Restuarant LEI PING), tempat pertemuan “Forum Diskusi”.

'Orang-orang kita' di Belanda, yang peduli dengan perkembangan situasi tanah air tercinta, pasti tahu. Apa itu “Forum Diskusi”. Namun, baik disampaikan di sini apa yang dijelaskan oleh Sri Isni, pimpinan diskusi hari Minggu itu.

Sri Isni: – “Forum Diskusi”, adalah sebuah wadah didirikan bersama sejumlah kawan. Maksudnya supaya ada forum tempat bertukar-fikiran dan diskusi agar 'kita-kita' ini, orang-orang Indonesia, yang bermukim, atau kebetulan sedang mengikuti suatu program studi, atau bekerja di Belanda, --- tidak terpisah dari perkembangan di tanah air.

Di wadah ini pernah didiskusikan a.l tentang masalah 'sosdem', sosial-demokrasi di Indonesia dan di mancanegara. Situasi gerakan reformasi merupakan acara yang hangat dibicarakan. Krisis monoter yang belum lama melanda dunia, termasuk Indonesia, juga diangkat menjadi masalah yang diinformasikan dan didiskusikan.

Selain itu, 'Forum Diskusi' mendengarkan situasi kongkrit tanah air dari sementara aktivis gerakan demokrasi dan HAM dari Indonesia yang kebetulan sedang berkunjung di Belanda.

* * *

Minggu lalu itu, hadirin yang berjumlah kurang-lebih 40 orang memenuhi ruangan diskusi. Dengan penuh perhatian mendengarkan, kemudian memberikan komentar sekitar penjelasan menarik mengenai situasi tanah air.
Azis Burhan dari PDI-P, menyampaikan kesan-kesannya mengenai isi pokok Kongres Ke-3 PDI-P di Bali, April 2010 lalu. Yang sempat dihadirinya.
Dengan menangguhkan dulu perhatian pada soal-soal menarik dan penting lainnya yang muncul dalam pertemuan Minggu itu, -- soal-coal yang hendak difokuskan dalam tulisan ini adalah saling hubungan PDI-P, --- Kongres Ke-3, dengan masalah 'oposisi', 'koalisi, Majlis Ideologi – partai ideologi, dan last but not least, saling hubungan PDI-P dengan AJARAN BUNG KARNO.

Menngenai masalah-masalash tsb diatas, hadirin mendengar tentang kaitan masalah tsb dengan PIDATO MEGAWATI dalam Kongkres. Dianggap bahwa pidato Mega itu merupakan PIDATO TERPENTING tebanding pidato-pidato beliau di masa lalu.

Disinggung dan disorotinya sekitar isi pidato Mega tsb -- Inilah yang a.l mendorong aku mencari PIDATO MEGA DI KONGRES KE-3 PDI-P. Serta membaca dan mempelajarinya kembali. Benar kata kedua kawan penceramah hari itu. Pidato Megawati kali ini penting artinya bagi gerakan politik di Indonesia, bagi PDI-P dan bagi perkembangan perjuangan yang arahnya didasarkan atas Ajaran Bung Karno. Asal saja isi pokok dan garis politik mengenai pembangunan PDI-P dan saling hubungannya dengan AJARAN BUNG KARNO, benar-benar dilaksanakan dalam kehidupan politik selanjutnya. Maka ini merupakan tiupan angin segar dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara negeri kita selanjutnya.

Nanti dalam tulisan selanjutnya akan dimasuki lagi sekitar isi pidato Mega di Kongres Ke-3 PDI-P. Dan arti pentingnya.

* * *

Cornelis Lay, dari FISIP Universitas Gajah Mada, juga orang LIPI, yang kebetulan sedang mengadakan riset/penelitian dai Belanda, sempat pula memberikan penjelasan mengenai situasai tanah air dewasa ini.

Yang paling menarik (bagiku) -- adalah penjelasdan dua kawan ini mengenai hasil Kongres PDI-P.
Aku tertarik dengan salah satu tema yang disampaikan oleh Azis Burhan bersangkutan dengan Kongres Ke-3 PDI-P. Yaitu mengenai dibentuknya MAJLIS IDEOLOGI oleh Kongres. Dengan ini dimaksudkan bahwa PDI-P, tegas-tegas menggariskan bahwa Partai harus dibangun atas dasar ideologi. Jelasnya IDEOLOGI PANCASILA. Juga ditandaskan bahwa yang dimaksudkan dengan Pancasila adalah PANCASILA 1 JUNI 1945. Pancasila seperti yang dijelaskan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.
Dari sejarah perjuangan parpol-parpol Indonesia sejak zaman kolonial, bisa disimpulkan bahwa perjuangan politik yang serius di masa lampau dilakukan oleh partai yang berdiri dan melakukan kegiatannya atas dasar ideologi yang dianut oleh partai. Misalnya ideologi nasionalisme, Islamisme atau Marxisme. Seperti yang diuraikan dalam karya politik klasik Bung Karno: Tentang NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME. Tujuan Bung Karno menguraikan masalah ini, ialah -- agar ketiga gerakan yang didasarkan nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu, bersatu dalam satu perjuangan besar untuk mencapai kemerdekaan nasional, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat kita.

Menarik juga penjelasan yang diberikan oleh kedua sahabat dari PDI-P tsb diatas mengenai pengertian OPOSISI dan KOALISI. Ini sehubungan dengan terpilihnya SBY jadi Presiden RI dalam pilpres 2009. Setelah (tampaknya) perjuangan internal yang cukup sengit, akhirnya Kongres Ke-3 PDI-P memutuskan untuk mengambil ancang-ancang sebagai partai OPOSISI mengahadapi pemerintah SBY yang baru. Sedangkan parpol lainnya seperti a.l PKS, Golkar, PKB dan PAN mengambil sikap BERKOALISI dengan SBY. Kekuatan ini tentu akan berhadapan dengan PDI-P yang bertindak serbagai parpol OPOSISI.

Secara umum dikatakan, bahwa, sistim politik kenegaraan yang baik untuk berlangsung prinsip demokrasi dewasa ini a.l ialah adanya partai-partai yang memerintah (Eksekutif) dan adanya OPOSISI. Oposisi dimaksudkan sebagai 'penyeimbang', sebagai suatu alat untuk 'mengontrol' dan pada waktunya 'mengeritik' eksekutif. Dengan demikian akan terdapat susana politik 'check and balance'.

Apa yang dijelaskan mengenai saling hubungan antara sikap suatu parpol yang mengambil sikap ber- OPOSISI, -- dengan kewajiban dari suatu partai politik a.l yang penting untuk mengontrol, mengawasi dan mengeritik eksekutif, -- sayang t i d a k diteragkan bagaimana dengan dengan adanya serta berfungsimya lembaga Dewam Perwakilan Rakyat (DPR). Yang tugas resminya dalam sistim tata negara RI sekarang a.l. sebagai badan legelstatif yang j u s t r u adalah mengontrol dan mengajukan kritik terhadap eksekutif. Selain tugsa legeslatif membuat undang-undang, mengesahkan anggaran belanja negara, dll.

Suatu kenyataan ialah di Indonesia, --- dan di banyak negara, termasuk negara yang sudah tahunan menjalankan sistim demokrasi parlementer dan presidensil, --- sistim politik kenegaraan yang digunakan adalah “TRIAS POLITICA”. Yaitu keterpisahan dan kebebasan masing-masing lembaga kenegaraan eksekutif, legeslatif dan yiudikatif. Maksudnya, ialah, agar sistim demokrasi bisa berlangsung dengan baik. Ada 'check and balance' yang baik. Namun dalam praktek, saling hubungan antara parpol, legeslatif dan eksekutif sudah berubah. Sudah tak sesuai lagi dengan prinsip yang dinyatakan dalam Trias Politica.

Dalam kenyatannya – Suatu parpol, begitu menang dalam pemilihan umum lalu menjadi eksekutif, mengendalikan pemerintahan. Begitu memegang kekuasaan, lalu lupa bahwa wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen itu, termasuk yang menjadi anggota parpol bersangkutan -- seharusnya, tetap memberdayakan fungsi legeslatif, DPR, sebagai suatu lembaga demoktrasi, yang tugasnya, selain membentuk pemerintah, mengesahkan anggaran belanja, mengesahkan program pemerintah atau menolaknya, --- a d a l a h MENGONTROL, MENGAWASI, MENGADAKAN 'CHECK AND BALANCE' terhadap jalannya pemerintahan. Agar eksekutif tidak menyimpang dan merugikan kepentingan rakyat dan negara secara umum. Dan bila diperlukan wakil-wakil rakyat yang duduk di badan legeslatif tsb mengeluarkan 'mosi tidak percaya' terhadap eksekutif, menjatuhkan pemerintah tsb. Atau meng - “impeach” presiden terpilih, bila ia dinilai melanggar UUD atau disebabkan kebijakan politiknya bertentangan dengan kepentingn negara dan umum, dsb. Sehingga presiden pilihan tsb bisa diganti dengan presiden hasil pemilihan berikutnya.

Di dalam praktek, suatu parpol, begitu duduk di badan eksekutif sebagai pemerintah, maka parpol tsb tidak lagi memperhatikan agar anggota-anggotanya yang duduk di DPR sebagai wakil rakyat – melakukan kontrol dan pengawasan terhadap eksekutif. Sehingga membikin DPR tidak lagi berfungsi sebagai legeslatif yang bertindak sebagai pengonrtol dan pengeritik, sebagai suatu cara 'check and balance'.

Di dalam praktek kehidupan politik, parpol yang kalah dalam pemilihan, segera memusatkan perhatian dan kegiatannya, bagaimana melacak kekurangan dan kesalahan eksekutf. Mereka beranggapan bahwa tugas mereka sebagai anggota dewan yang parpolnya kalah dalam pemilu, adalah bertindak sebagai OPOSISI. Tanpa memperdulikan apakah yang ditentangnya itu sesungguhnya menjalankan politik tertentu yang sesuai atau menguntungkan kepentingan umum dan negara. Demikianlah ber-OPOSISI menjadi urusan yang utama.

Dimaksudkan bahwa pengertian OPOSISI itu adalah demi memberlakukan penyeimbangan atau 'check and balance'. Tetapi dalam kenyataannya makna OPOSISI menjadi kabur. Selain itu menjadi sesuatu yang seakan-akan merupakan masalah prinsipil.

Situasi tsb diatas mendorong semakin melemahnya fungsi DPR sebagai badan pengontrol dan pengawas pemerintahan yang sesungguhnya. Mendorong semakin menghilangnya fungsi DPR sebagai suatu lembaga kehidupan politik yang secara transparan memainkan peranannya dalam kehidupan politik menurut sistim Trias Politica. Karena 'salah kaprah' salam praktek demokrsi parlementer, akhirnya kehidupan politik, jalannya pemerintahan, ditentukterutama dalam pertemua-pertemuan antara tokoh-tokoh pimpinan parpol-paprol. Ditentukan oleh hasil kompromi dan dagang sapi parpol-parpol yang berkuasa, atau antara yang berkuasa dengan “oposisi” --- diluar DPR.

Menjadi semakin jauh jadinya, tujuan menegakkan NEGARA HUKUM yang BERDEMOKRASI. Yang antAra lain, menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), wadah dimana rakyat, melalui wakil-wakilnya yang dipilih,. benar-benar ambil bagian dalam proses menegakkan, menentukan kebijakan dan mengontrol pekerjaan dan kegiatan eksekkutif.



* * *