Saturday, August 31, 2013

DIALOG Inter-aktif Di FB Hari ini: TELE-CONF MEMBAHAS "TRAGEDI NASIONAL 1965"

Kolom Ibrahim Isa Jum'at, 30 Agustus 2013 ----------------------------------- DIALOG Inter-aktif Di FB Hari ini: TELE-CONF MEMBAHAS "TRAGEDI NASIONAL 1965" * * * Hari ini seusai Tele-Conference membahas “Peristiwa 1965”, yang berlangsung antara kota-kota Jakarta – Melbourne – Vancover – Kopenhagen, serta dipandu dari Jakarta oleh Romo Baskara T Wijaya (untuk pertama kalinya tele-conference serupa ini diadakan antar empat negara yang dipandu dari Jakarta), berlangsung dialog-interaktif di Facebook. Di Jakarta hadir kira-kira 200 orang dan banyak dari generasi muda. Suatu pertanda bagus. Mencerminkan semakin meningkatnya perhatian kalangan terpelajar muda negeri kita mengenai sejarah bangsanya. Berikut ini catatan sebagian dari dialog-interaktif: Bonnie Triyana: --- STF yang biasanya diledekin "Sekolah Tanpa Faedah" hari ini menunjukkan faedahnya. Bahkan lebih berfaedah dari kampus-kampus lagi di Indonesia karena hari ini STF Driyarkara berhasil menyelenggarakan tele-konfrensi peristiwa 1965 melibatkan pembicara dari empat benua: Asia (Jakarta, Indonesia)-Australia (Melbourne)-Amerika (Vancouver, Kanada) dan Eropa (Kopenhagen, Denmark). Peserta membludak. Mungkin sekira 200-an orang. Yang menggembirakan, sebagian anak muda Ibrahim Isa: Bonnie, Dear . . . . Saya ikuti di Computer saya, bagian permulaan Telekonf. hari ini. Dengar énté pidato, Hilmar dan Stanley . . . lalu terpaksa harus keluar ada urusan. Jadinya tidak mengikutinya sampai selesai. Bon . . . . bikin liputan yang agak lengkap dong . . . Anyway . . . . memang hebat kalian mengusahakan Telekonf untuk mengungkap "Tragedi 65"....... Bravo! Dan dua jempol untuk ketua sidang Romo Baskoro. . . . dan kalian semua. . . . Salam hangat, * * * Bonnie Triyana: "Pak Ibrahim Isa terima kasih pak." Yanti My: Duh, sayang nggak bisa mengikuti, Pak Ibrahim Isa. Iya, Bonnie Triyana bikin liputan lengkapnya dong nanti ...! Bonnie Triyana: Insya Allah akan menulis... tenang.. * * *

PERTEMUAN Dengan DR ROB LEMELSON, -- PRODUSER " 40 YEARS OF SILENCE"

Ibrahim Isa Sabtu, 31 Agustus 2013 ------------------------------- PERTEMUAN Dengan DR ROB LEMELSON, -- PRODUSER " 40 YEARS OF SILENCE" -------------------------------------------------------------------- Di bawah ini diteruskan berita-undangan (Chan CT -Gelora45) untuk suatu pertemuan dengan Dr Rob Lemelson, produser film dokumenter "40 YEARS OF SILENCE", kisah tentang keluarga korban tragedi 1965, yg selama 40 tahun membisu. Akan hadir Dr. Nani Nurrachman Sutojo (Penulis buku "Kenangan tak Terucap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965). Pertemuan direncanakan di: Ruang Multi Media UNIKA Atma Jaya, Jakarta. Rabu, 4 September 2013. 09.00-12.00. * * * ----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: Chan CT Kepada: GELORA_In Dikirim: Jumat, 30 Agustus 2013 13:59 Judul: [GELORA45] Screening film "40 YEARS OF SILENCE" Bagi kawan-kawan yang di Jakarta, diharapkan bisa meluangkan waktu untuk menghadiri acara berbincang-bincang dengan Dr. Rob Lemelson, Produseer Film “40 Years Of Silence”, kisah tentang keluarga Tragedi 1965 yang membisu selama 40 tahun dan baru bersuara sekarang, dan Dr. Nani Nurrachman Sutojo, Penulis buku “Kenangan tak Terucapkan: Saya, Ayah dan Tragedi 1965”, .... dan ingat, karena tempat terbatas, lebih dahulu harus book tempat dengan telpon: Anna, 021-5719558. Screening film "40 YEARS OF SILENCE" Kisah tentang keluarga korban Tragedi 1965 yang membisu selama 40 tahun dan baru bersuara sekarang. Ruang Multi Media UNIKA Atma Jaya, Jakarta. Rabu, 4 September 2013. 09.00-12.00. Bincang-bincang dengan: Dr. Rob Lemelson (Produser film) dan Dr. Nani Nurrachman Sutojo (Penulis buku "Kenangan tak Terucap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965) RSVP: Anna (021-5719558) * * *

ACARA “TRAGEDI 1965” Di TELE-KOFERENSI JAKARTA – MELBOURNE – VANCOUVER - KOPENHAGEN

Kolom IBRAHIM ISA Jum'at, 30 Agustus 2013 ----------------------- ACARA “TRAGEDI 1965” Di TELE-KOFERENSI JAKARTA – MELBOURNE – VANCOUVER - KOPENHAGEN * * * “The Herb Feith Foundation”, “The Second Of Historical and Philosophycal Studies” , “Indonesian Forum Di Universitas Melbourne” dan “Sekolah Tinggi Filsaft (SIF) Driyaskara”, Jakarta hari ini menyelenggarkan sebuah konferensi-jarak-jauh (Tele-conference) antara Melbourne, Jakarta, Vancouver dan Kopenhagen. Acara Tele-Konferensi: -- “Keadaan Sejarah dan menyikapi “Tragedi 1965”. Lokasi konferensi: -- di Kampus Driyaskara Jakarta (Ruang Pasca Sarjana), Jalan Cempaka Putih Indah 100, Jembatan Seong Rawasari, Jakarta Pusat 105200. Waktu----a.m. 07.30 – 16.30 (selesai); Makan siang dan snack disediakan. * * * Narahubungan – Zalaya 08 1219 174 136 Amin Muzakir – 08 1385 2315 84 Narasumber dalam konferensi: --- John Roosa dari Vancouver, Vannessa Hearman , Annie Pohlman, Kate McGregor, Djin Siauw, Jesica N, Sri Wahyuningsih, Ariel Haryanto di Melbourne, dan dari Jakarta a.l --Asvi Warman Adam ,Bonnie Triyana, Hilmar Farid, Stanley dll. Tele-Konferensi dipandu di Jakarta oleh Romo Baskara T. Wardaya dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. * * * Tele-Konferensi lebih punya arti penting, karena sampai dewasa ini, lembaga-lembaga negara: ekskutif, legeslatif maupun yudikatif Indonesia, masih tetap berpegang pada sikap dan pendirian “tutup mulut, tutup mata dan tutup telinga” terhadap kasus pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh aparat negara dalam peristiwa pembantaian masalah di sekitar “Peristiwa tragedi nasional 1965/66/67”. * * * Kita semua mengharapkan Tele-Konferensi berlangsung dengan sukses. Dengan demikian memberikan sumbangannya dalam usaha pencerahan di sekitar “Tragedi Nasional 1965/66”. Serta mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan respon positif terhadap Rekomendasi KomnasHam tertanggal 23 Juli 2012, dan mengambil langkah-langkah kongkrit. * * * Dalam pada itu Siauw Tiong Djin dari Melbourme, dalam press-releasenya memberitakan bahwa Tele-Konferensi ini bisa diikuti lewat internet. Kongkretnya pada jam 11:00 AM AEST (Waktu Melbourne) dan 8:00 AM (Waktu Indonesia Barat), dengan mengklik: http://replay.accenttechnology.com/replay/webcastShow.html?key=QQFehpY7Mi6SB4E. * * * Mailist “Gelora45” dalam siarannya hari ini menyampaikan ulasan sbb: “Konferensi yang mengungkap PEMBUNUHAN MASSAL yang pernah terjadi pasca G30S, tahun 1965-1967, yang sampai sekarang dibiarkan lewat begitu saja oleh pemerintah yang berkuasa, – – – -tanpa ada yang bisa digugat dan dituntut kedepan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM-berat yang dilakukan. “Film “The Act of Killing” disutradarai oleh Jushua Oppenheimer warga Amerika, keberhasilannya justru menampilkan tokoh-tokoh yang ketka itu paling kejam melakukan pembunuhan terhadap orang yang dituduh KOMUNIS di Medan, dan, ... Anwar Congo, begitu JAGAL kejam berdarah dingin itu tidak merasa bersalah, berdosa membunuhi orang-orang yang tidak berdosa itu, ... tapi tetap merasa dirinya sebagai PAHLAWAN, yang luar biasa berani dan heibatnya. “Film “The Act of Killing” sudah beredar sejak tahun yl. Sedangkan majalah TEMPO tahun lalu juga telah mengeluarkan edisi khusus, mengumpulkan kisah dan wawancara tokoh-tokoh jagal di berbagai daerah yang melakukan pembunuhan massal ditahun 1965-1967 ... Untuk mengikutinya, kawan-kawan yang belum sempat membaca, bisa masuk ke WEB. GELORA45 dengan link dibawah. Klik saja, langsung ke tulisan yang dimaksudkan. * * * Berikut ini link-link yang dimaksudkan melengkapi acara yang akan dibicarakan pada hari Jum'at ini: TEMPO Edisi Khusus Pengakuan Algojo 1965 http://home.netvigator.com/~sadar/news/Tempo_PengakuanAlgojo1965.pdf TEMPO: Requiem For Marssacre The Act of Killing http://home.netvigator.com/~sadar/news/Tempo_RequiemForAMassacre1965Killing.pdf “DE VOLKSKRANT” Dan Resensi Film Dokumenter “THE ACT OF KILLING” http://home.netvigator.com/~sadar/news/IbrahimIsa_DeVolkskrant_TheActOfKilling.pdf * * *

Thursday, August 29, 2013

Yth, Kawan-kawan Peserta DISKUSI TERBATAS PERSIAPAN PEOPLE'S TRIBUNE INTERNASIONAL,

Ibrahim Isa Amsterdam, 29 Agustus 2013 -------------------------- Yth, Kawan-kawan Peserta DISKUSI TERBATAS PERSIAPAN PEOPLE'S TRIBUNE INTERNASIONAL, Berkenaan dengan akan dilangsungkannya, Diskusi Terbatas Persiapan People’s Tribunal Internasional Kejahatan Pembunuhan Massal 1965/66. di Solo, Jawa Tengah , pada tanggal 31 Agustus- 2 September 2013, sewajarnya setiap pejuang, akivis dan peduli HAM --- dengan sepenuh hati mengharapkan diskusi tsb akan berlangsung sesuai rencana dan mencapai sukses yang diharapkan. * * * Meskipun KomnasHam, sebuah lembaga HAM yang atas desakan masyarakat, dibentuk oleh pemerintah, --- Pada tanggal 23 Juli 2012 yl, telah mengambil kesimpulan dan memberikan rekomendasi sekitar pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan negara, pada periode Peristiwa 1965, Namun, - - - - Rekomendasi tsb telah ditolak oleh Kejaksaan Agung yang seyogianya menindak lanjuti menangani kasus PELANGGARAN HAM BERAT HAM oleh aparat keamanan negara. Sedangkan pemerintah yang katanya akan mengusahakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi NASIONAL, hingg saat ini masih bungkam seribu bahasa. Ini menunjukkan bahwa lembaga judisial negeri seperti Kejaksaan Agung, maupun lembaga eksekutif Pemerintah, masih melakukan politik SENGAJA MELUPAKAN PELANGGARAN BERAT HAM yang terjadi di negeri kita. Dengan sengaja ingin cuci tangan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat, sementara parpol dan individu-individu di masa lampau. Meneruskan politik "MELUPAKAN TRAGEDI NASIONAL 1965", itu sendiri merupakan kejahatan nasional, suatu kegiatan memalukan, yang hendak lari dari tanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan dan dosa-dosa yang berlangsung hampir setengah abad lalu, dilakukan oleh lembaga militer Kopkamtib, atas nama "ketertiban dan keamanan" negeri. Suatu kejahatan kemanusiaan yang telah membawa korban sekitar 3 juta warga yang tak bersalah yang setia pada Republik Indonesia. Mereka telah menjadi korban pembantaian masal, karena mereka adalah anggota salah satu parpol legal PKI, dituduh PKI atau simpasan PKI, anggota ormas Kiri, serta kaum nasionalis patriotik pendukung setia Presiden Sukarno. * * * Semakin gencarnya tuntutan segenap kekuatan masyarakat peduli penegakkan hukum dan HAM Indonesia, seperti a.l kegitan Diskusi Terbatas yang akan berlangsung di Solo, merupakan kegiataan penting MELAWAN LUPA ! -- Semakin besar pula kekuatan yang menuntut kebenaran dan keadilan di sekitar Peristiwa Tragedi Nasional 1965. Semakin besarnya kekuatan pengakkan hukum di negara Republik Indonesia dan pemberlakuan HAM di negeri Indonesia tercinta. (ibrahimisa-blogspot.com) * * * Lampiran: YPKP 65 Diskusi Terbatas Persiapan People’s Tribunal Internasional Kejahatan Pembunuhan Massal 1965/66 Solo, Jawa Tengah 31 Agustus- 2 September 2013 Tragedi kemanusiaan pelanggaran HAM berat 1965/66 yang meliputi penghilangan orang secara paksa, penculikan, pembunuhan, penahanan, penyiksaan, perampokan, diskriminasi sosial, politik dan ekonomi, pembuangan, kerja paksa/perbudakan atas orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia dan pengikut Presiden Sukarno yang dilakukan oleh aparat kekuasaan/aparat militer Orde Baru telah berlangsung hampir setengah abad sejak 1965. Meskipun Komnas HAM telah merekomendasikan perlunya Negara/Pemerintah RI melalui Jaksa Agung agar membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan atau mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut, namun Jaksa Agung justru mengembalikan berkas penyelidikan tragedi 1965-66 tersebut kepada Komnas HAM dengan alasan tidak memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke pengadilan. Kesimpulan Jaksa Agung justru bertentangan dengan fakta dan data yang terjadi atas kejahatan tragedi 1965 seperti yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM. Tindakan Jaksa Agung justru ingin melanggengkan impunitas dan melindungi para pelaku kejahatan kemanusiaan yaitu para algojo, paramiliter dan aparat militer yang oleh Komnas HAM dengan sangat jelas menyebut keterlibatan institusi Kopkamtib, Laksusda, Kodam, Kodim, Koramil dalam aksi kekerasan, kejahatan kemanusiaan pelanggaran HAM berat 1965-66. Ketidakmauan dan ketidak mampuan Jaksa Agung/Pemerintah Republik Indonesia untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc mendorong perlunya membawa kasus ini melalui mekanisme pengadilan/Tribunal Internasional. Hal ini perlu dilakukan agar ada kepastian hukum bagi korban, agar korban memperoleh hak-haknya yang selama ini terampas secara melawan hukum. Dengan upaya yudisial berarti ada penjeraan bagi para pelaku kejahatan, agar tidak ada keberulangan di masa yang akan datang. Kampanye Internasional untuk Penyelesaian Tragedi 1965 YPKP 65 sebagai organisasi Korban 65 yang selama ini gigih dan konsisten berjuang untuk penegakan HAM, bersama dengan LPH YAPHI akan menyelenggarakan Diskusi Terbatas Persiapan People’s International Tribunal Massacre 1965/66 pada Sabtu 31 Agustus, Minggu 01 dan Senen 02 September 2013 di Solo, Jawa Tengah. Dipilihnya kota Solo sebagai tempat diskusi ialah karena Jawa Tengah memiliki jumlah korban pembunuhan massal terbesar (400.000 jiwa, Robert Cribb, Australia dalam Abera, 2001) yang tersebar di hampir seluruh kota kabupaten. Di samping itu, Jawa Tengah juga memiliki jaringan organisasi korban 65 yang paling solid. Tercatat peserta rapat dari seluruh Indonesia ada 40 orang dan bisa jadi akan bertambah karena animo tinggi Kawan-kawan Korban yang berhasrat untuk menjadi peserta rapat, meskipun panitia sudah membatasinya karena keterbatasan logistik. Para peserta berasal dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, DIY Yogyakarta. Peserta Diskusi disamping akan memperoleh pemahaman tentang mekanisme pengadilan Internasional, mekanisme ICC (International Criminal Court), Komisi HAM PBB, mekanisme Hadirkan Special Reporteur Komisi HAM PBB, mekanisme UNWGEID (United Nations Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances), serta peluang apa yang dapat dilakukan untuk kasus tragedi 1965/66, para peserta rapat yang sebagian besar adalah perwakilan YPKP 65 akan melaporkan bukti-bukti lapangan, hasil penelitian di daerah masing-masing, yaitu: Daftar/Jumlah korban yang dibunuh, ditahan, disiksa, dipekerjakan secara paksa/perbudakan oleh rejim militer Suharto. Akan dilaporkan juga berbagai jenis pelanggaran HAM, perlakukan diskriminatif yang dialami oleh para mantan Tapol, serta diketemukannya ratusan bahkan ribuan lokasi penyiksaan/ pembunuhan massal/kuburan massal orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisan Presiden Republik Indonesia Bung Karno. Hasil Penelitian yang dikumpulkan para relawan YPKP 65 akan dijadikan barang bukti/ dibawa ke People’s International Tribunal Massacre 1965/66 di Den Hag, Belanda pada Oktober 2013.*) Peserta akan memperoleh pemahaman menggunakan mekanisme Informal Tribunal Internasional, yaitu dengan menggelar Tribunal Internasional, menghadirkan Hakim, Jaksa/Penuntut Umum berstandar Internasional yang pernah mengadili pelaku (perpetrators) di Afrika S elatan. Tribunal akan menghadapkan Pelaku, Saksi Pelaku, algojo tragedi 1965 serta mendengarkan saksi Korban dari Indonesia mau pun Luar Negeri. Tribunal juga akan mendapat masukan/ mendengar keterangan dari Saksi Ahli, pakar Hukum, serta Komnas HAM Republik Indonesia. Dukungan Masyarakat Internasional atas People’s International Tribunal Massacre 1965 Gagasan menggelar Informal/People’s International Tribunal Massacre 1965 bermula dari Kawan-Kawan pegiat HAM di Negeri Belanda: Ibu Saskia E. Wieringa, Nursyahbani Kacasungkana, Bung Stanley mantan Komisioner Komnas HAM, Carmel Budiardjo dari Tapol,dll. Rencana ini juga didukung oleh berbagai kalangan anggota Parlemen di Negeri Belanda termasuk mantan Perdana Menteri Pronk. Seorang anggota Parlemen Belanda bahkan berkata, “Jangan berkunjung ke Indonesia sebelum menonton film The Act of Killing agar mendapat pemahaman obyektif tentang kondisi HAM di Indonesia.” A. Output Kegiatan 1. Terbentuknya Panitia Persiapan Informal Tribunal Internasional di Indonesia untuk mendukung penyelenggaraan Tribunal Internasional di Den Hag. 2. Sharing testimony maupun laporan Hasil Penelitian YPKP 65 berupa data Korban yang dibunuh, ditahan, yang dihilangkan secara paksa dan catatan lokasi kuburan massal yang dikumpulkan dari berbagai cabang YPKP 65 di seluruh Indonesia, yang sangat penting sebagai bukti dalam persidangan di hadapan Tribunal Internasional. B. Rincian Acara Kegiatan ini akan dilaksanakan pada : Hari/Tanggal : Sabtu-Senen, 31 Agustus, 1-2 September 2013 Tempat : Kantor LPH YAPHI Jl. Nangka No 5 Kerten Laweyan Solo No Telpon/Fax : 0271-710808 Dengan rincian acara sebagai berikut : Sabtu 31 Agustus 2013 17.00 – 19.00 Registrasi Peserta Diskusi 19.00 – 22.00 Pembukaan, (Sambutan, Perkenalan Peserta, Penyampaian Tujuan Kegiatan dan Harapan Peserta Diskusi) 22.00 – Istirahat Minggu 01 September 2013 07.30 – 08.00 Sarapan Pagi 08.00 – 10.30 Diskusi Interaktif - Sesi Pertama : Pembicara : Yosef Prasetyo (mantan Komisioner Komnas HAM RI) tentang “Latar Belakang Penyelenggaraan Tribunal Internasional” Moderator :Yusuf Suramto (Koordinator Biro Advokasi LPH YAPHI) 10.30 – 11.00 Coffee Break 11.00 – 13.00 Diskusi Interaktif - Sesi Kedua : Pembicara : Kabul Supriyadi (mantan Komisioner Komnas HAM RI) tentang “Informal International Tribunal, Dampak Legal dan Politik” Moderator :Yusuf Suramto (Koordinator Biro Advokasi LPH YAPHI) 13.00 – 14.00 Makan siang 14.00 – 17.00 Sharing wilayah : Pekalongan (Sudarno), Pati (Supardi), Boyolali (Supomo), Wonogiri (Amir Suripno), Purbalingga (Mustam), Wonosobo (NH. Atmoko), Purworejo (Hargono), Banjarnegara (Widodo), Purwokerto (Winaryo), Sragen ( Sukarno) 17.00 – 19.00 Istirahat, Ibadah dan Makan Malam 19.00 – 23.00 Laporan Hasil Penelitian/ Sharing Wilayah : Kalimantan Timur (Ngadi Suradi) dan Bali (Roro sawito), Sumatera Utara (Noorman : Tragedy Pembunuhan Massal di Sungai Ular), Sumatera Barat (Ibu Nadiani : Tragedy Pembunuhan Massal di Painan dan Lubuk Basung Sumatera Barat), Banten (Ir. Djoko sri Mulyono : Banten Seabad Sesudah Multatuli, Kerja Paksa Tahanan Politik 1965/66), Cirebon (Eddy Sugiyanto : Tragedi 65 di Cirebon, Jawa Barat),Surabaya (Handoko). 23.00 Istirahat Senin 2 September 2013 07.30 – 08.30 Sarapan Pagi 08.30 – 10.00 Diskusi Interaktif - Sesi Pertama : Pembicara : Siswa Santosa (korban 65 berdomisili di Netherland/ Utusan Panitia Persiapan People’s International Tribunal Massacre 1965/66)) Moderator :Bedjo Untung (Ketua YPKP 65) 10.00 – 10.30 Coffee Break 10.30 – 13.00 Rangkuman Hasil Diskusi , Rekomendasi dan Statement dan Konferensi Pers 13.00 – Makan siang Catatan: Informal/People’s International Tribunal Kejahatan Kemanusiaan Pembunuhan Massal 1965-66 yang akan diselenggarakan di Den Hag, Belanda pada Oktober 2013 meskipun bersifat informal namun akan menjadi rujukan penting bagi Negara-Negara di dunia untuk menentukan kebijakan dalam berhubungan dengan Indonesia. Salam hangat, Jangan Pernah Lelah Berjuang untuk Kebenaran Bedjo Untung Ketua YPKP 65 YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966 (YPKP 65) Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007 Tambahan Berita Negara RI Nomor 45 tanggal 5 Juni 2007 , PENGURUS PUSAT Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia no. 21 Kp. Warung Mangga,RT 01 RW 02 Panunggangan , Kecamatan Pinang, Kab/Kota Tangerang 15143 Banten,INDONESIA Phone : (+62 -21) 53121770, Fax 021-53121770 , E-mail ypkp_1965@yahoo.com; beejew01@yahoo.co.uk -- --- Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "Jaringan Kerja Indonesia" dari Grup Google. Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke jaringan-kerja-indonesia+berhenti berlangganan@googlegroups.com . Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/groups/opt_out.

Wednesday, August 28, 2013

“I HAVE A DREAM” Setengah Abad Pidato Martin Luther King:

Kolom IBRAHIM ISA Rabu, 28 Agustus 2013 ------------------------------ “I HAVE A DREAM” Setengah Abad Pidato Martin Luther King: * * * Setengah Abad yang lalu, 28 Agustus 1963, salah seorang pemimpin Afro-Amerika, Pendeta Martin Luther King Jr (15 Januari 1929 – 4 april 1968) mengucapakan pidato bersejarah di muka 250.000 hadirin di Lincoln Memorial, Washington DC, Amerika Serikat. Pada saat itulah Martin Luther King dalam pidatonya mengucapkan kata-kata bersejarah yang menggugah dan menyemangati jutaan pejuang-pejuang berkulit Hitam AS anti-diskriminasi rasial, serta secara besar-besaran mendorong maju gerakan anti-diskriminasi rasial, serta aktivis-aktivis demokrasi dan kemanusiaan di banyak negeri. Oleh masyarakat luas di Amerika, pidato historis Martin Luther King itu dinyatakan sebagai PROKLAMASI EMANSIPASI BANGSA, suatu demonstrasi terbesar dalam sejarah perjuangan anti-diskriminasi orang Hitam di Amerika Serikat. “. . . Saya bermimpi bahwa keempat anak saya pada suatu hari akan hidup dalam suatu bangsa yang tidak menilai mereka berdasarkan warna kulit mereka namun isi dari karakter mereka,". Pada tanggal 04 April 1968, Martin Luther King Jr meninggal dunia disebabkan peluru seorang asasin. * * * Dalam pidatonya yang berlangsung 17 menit itu, Martin Luther King menyatakan dengan penuh semangat dan imbauan: I say to you today, my friends, so even though we face the difficulties of today and tomorrow, I still have a dream. It is a dream deeply rooted in the American dream. I have a dream that one day this nation will rise up and live out the true meaning of its creed: 'We hold these truths to be self-evident: that all men are created equal.' I have a dream that one day on the red hills of Georgia the sons of former slaves and the sons of former slave owners will be able to sit down together at the table of brotherhood. I have a dream that one day even the state of Mississippi, a state sweltering with the heat of injustice, sweltering with the heat of oppression, will be transformed into an oasis of freedom and justice. I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character. I have a dream today. I have a dream that one day, down in Alabama, with its vicious racists, with its governor having his lips dripping with the words of interposition and nullification; one day right there in Alabama, little black boys and black girls will be able to join hands with little white boys and white girls as sisters and brothers. I have a dream today. * * * Alih-basa bebas kira-kira sbb: Saya katakan pada kalian hari ini, sahabat-sahabatku, meskipun kita menghadapi kesulitan hari ini dan esak, Saya tetap punya mimpi. Suatu mimpi yang berakar-dalam di dalam impian Amerika. Saya bermimpi bahwa pada suatu hari nasion ini akan bangkit dan memberlakukan arti sesungguhnya dari imbauan: 'Kami berpegang teguh pada kebenaran ini dalam kejelasan dan kesadaran : Bahwa manusia diciptakan sama-derajat' Saya bermimpi bahwa pada suatu hari di bukit-bukit merah Georgia putra-putra bekas-bekas budak dan para putra mantan pemilik budak akan bisa duduk bersama di sekeliling meja persaudaraan. Saya bermimpi bahwa pada suatu hari bahkan negara bagian Mississippi, sebuah negara bagian yang marak panasnya ketidak-adilan, membeludaknya panas penindasan, akan ditransformasi menjadi sebuah oasis kemerdekaan dan keadilan. Saya bermimpi bahwa empat orang anak-anak saya pada suatu hari akan hidup di suatu bangsa dimana mereka tidak akan dinilai karena warna kulitnya tapi oleh karena isi karakter mereka. Saya bermimpi hari ini. Saya bermimpi bahwa pada suatu hari, nun jauh di Alabama, yang penuh dengan kaum rasis angkara murka, yang gubernurnya pada bibirnya menetes kata-kata interposisi dan multifikasi, pada suatu hari nun di Alabama, bocah-bocah Hitam dan anak-anak perempuan berkulit Putih akan bisa begandengan tangan sebagai saudara perempuan dan saudara laki-laki. Saya bermimpi hari ini. Demikian pidato Martin Luther King yang historis dan MEMBUAT SEJARAH. * * * Hadiah Nobel Disumbangkan Demi Perjuangan Pada tahun 1964, dalam usia 35 tahun Martin Luther King Jr memperoleh Hadiah Nobel Untuk Perdamaian. King adalah orang termuda yang pernah menerima Hadiah Nobel. Ketika diberitahukan kepadanya bahwa ia menerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian, King menyatakan bahwa hadiah yang diterimanya ($ 54,123) dihibahkannya untuk gerakan melawan diskriminasi rasial di Amerika Serikat. Selain Hadiah Nobel, King telah menerima tidak kurang dari 50 tanda penghargaan dan awards, nasional dan internasional. Penghargaan, penghormatan dan awards yang diterimanya itu disebabkan terutama karena jalan perjuangan anti-diskriminasi rasial yang dipimpinnya menggunakan cara meyakinkan, “non-violence”, “tanpa kekerasan”, meluas di akar rumput, masal dan bersifat nasional. * * * Pemerintah AS harus membayar konpensasi. King pernah menyatakan bahwa orang-orang Hitam Amerika sebagaimana halnya warga Amerika yang miskin lainnya harus diberi kompensasi oleh pemerintah yang dimasa lampau telah memperlakukannya secara tidak adil. Dalam salah satu wawancaranya dalam tahun 1965, King menyatakan bahwa memberikan persamaan pada orang-orang Amerika berkulit Hitam, secara nyata tidak dapat menutup jurang perbedaan ekonomi diantara mereka dengan warga yang berkulit Putih. King menyatakan bahwa ia tidak menuntut restitusi sepenuhnya upah-upah yang lenyap disebabkan oleh perbudakan. Karena pemerintah AS tokh tidak akan mungkin merealisasinya. King mengusulkan suatu program kompensasi sebesar $ 50 milyar dalam jangka waktu 10 tahun diperuntukkan bagi semua warga yang miskin. * * * Revolusi Nilai-Nilai Kata King: Suatu revolusi nilai-nilai segera akan dengan gundah melihat kontras yang menyolok antara yang miskin dan yang kaya. Dengan kemarahan yang pada tempatnya, orang akan mengarahkan pandangan ke seberang lautan dan melihat betapa orang-orang kapitalis Barat menginvestasi sejumlah besar uang di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, hanya untuk mengeduk keuntungan, tanpa memperhatikan samasekali perbaikan sosial negeri-negeri yang bersangkutan. “INI TIDAK ADIL”, seru King. * * * Dikatakan bahwa King belajar banyak dari cara perjuangan Mahatma Gandhi. Baik di Amerika maupun di mancanegara King dianggap sebagai salah seorang pahlawan perdamaian dan seorang martir sepanjang masa * * * Menentang Perang Vietnam Martin Luther King juga aktif dalam kegiatan kampanye menentang perang-Vietnam yang dilancarkan pemerintah AS terhadap Vietnam. Salah satu argumen Martin Luther King menentang perang-Vietnam ialah karena pemerintah AS telah menggunakan uang dan sumber kekayaan negeri yang seharusnya diperuntukkan bagi jaminan sosial rakyat Amerika. Dalam pelbagai kesempatan King menyatakan bahwa tujuan AS melakukan agresi di Vietnam adalah untuk “menduduki dan menjadikan Vietnam koloni Amerika”. Ditandaskannya bahwa pemerintah AS telah melakukan tindakan kekerasan terbesar di dunia dewasa ini'. * * * IMPIAN MARTIN LUTHER KING, banyak yang sudah terlaksana di Amerika. Berkat pengorbanan, perjuangan lama dan gigih kaum kulit Hitam dan solidaritas dunia internasional. Meskipun diskriminasi rasial sudah dihapuskan secara formal di Amerika Serikat, namun, dalam kehidupan sehari-hari warga yang berkulit Hitam, Hispanik, etnik Tionghoa, suku Indian dll etnik di Amerika, masih diperlakukan tidak adil. Warna kulit masih merupakan pertimbangan yang nyata dalam mempekerjakan warga maupun dalam urusan lainnya. (Sumber|: a.l. Dari Wikipedia) * * *

DIALOG INTER-AKTIF -- SEKITAR PERJUANGAN MELAWAN LUPA Dan -- DARI MANA DATANGNYA DANA PERJUANGAN

Kolom Ibrahim Isa
Senin, 26 Januari 2013
------------------------------

DIALOG INTER-AKTIF

--   SEKITAR PERJUANGAN MELAWAN LUPA Dan
--   DARI MANA DATANGNYA DANA PERJUANGAN

Ada baiknya menyajikan di bawah ini DIALOG INTERAKTIF  di Facebook yang berlangsung dengan
Ester Jusuf Purba dan Dewi Anggraeni, mengenai masalah MELAWAN LUPA 
dan dengan Bonnie Triyana mengenai  masalaDANA PERJUANGAN

*    *    *

ESTER JUSUF PURBA

42 minutes ago

Banyak orang terlalu lelah dan tak punya waktu untuk belajar tentang hukum, atau paham tentang hak atau kewajiban mereka.
Jangankan mempelajari UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis --- keinginan untuk tahu pun sudah menguap. Padahal semua aturan hukum berlaku baik bagi orang dewasa maupun anak-anak.

Setiap pimpinan lembaga atau komunitas mampu mengatasi persoalan ini jika mau. Misal dengan mewajibkan setiap anggota kelompoknya mendengar pendidikan hukum atau informasi berkaitan dengan diri dan lingkungannya 5 menit saja setiap hari. Artinya dalam satu tahun minimal ada 300 jenis pengetahuan baru yang diterima.

Tidak harus menjadi besar dulu untuk bisa berbagi. Saya pernah melihat seorang sopir angkot berbagi pengetahuan hukum pada kawan-kawannya. "Pokoknya kita tidak perlu takut di jalanan. Yang penting kita jangan mukul duluan. Kalau orang mukul diem ajah, langsung lapor polisi, pisum. Preman paling galak pun kaing-kaing pasti minta maaf sama kita kalau sudah ditahan"

Kewajiban Negara membuat rakyat melek hukum.
Namun menunggu secara pasif akan membawa kerugian lebih banyak lagi.

*    *    *

Ibrahim Isa

Yang lebi GAWAT LAGI yaitu ---- PENGETAHUAN TENTANG PELANGGARAN HUKUM TERBESAR DALAM SEJARAH INDONESIA - - - YAITU "PEMBANTAIAN MASAL 1965 OLEH APARAT KEAMANAN NEGARA terhadap warga tidak bersalah ." . .. ITUPUN NYARIS DILUPAN KALAU TIDAK MENERUSKAN PERJUANGAN "MELAWAN LUPA". . . Dan perjuangan melawan lupa ujung tombaknya adalah PENGUASA, baik yang formal duduk di eksekutif, legelslatif dan yudiktif maupun yang TIDAK NAMPAK . . .

*    *    *

Dewi Anggaraeni
Kuncinya menjabarkannya dengan efektif


*    *    *

Bonnie Triyana

Saat meneliti arsip-arsip Henk Sneevliet di IISH, Amsterdam, saya menemukan banyak surat menyurat antara Henk dengan Semaun, Chiang Kai Sek, MN Roy, Sun Yat Sen, Tan Malaka dan para pemimpin kiri lainnya. Yang mereka bicarakan soal keadaan rakyat di Hindia Belanda, situasi politik mutakhir saat itu, kondisi partai dan keadaan pribadi masing-masing. Yang lucu ada satu surat dari Chiang Kai Sek yang mengatakan kepada Henk kalau dia gak punya uang untuk mengongkosi Henk datang ke Tiongkok.

Dari semua surat itu, saya tak menemukan satu kalimat pun bahwa mereka mau bikin proyek yang bisa mendatangkan kekayaan buat mereka. Ini misteri buat saya: dari mana mereka dapat uang untuk makan sedangkan tak sedikit pun mereka curhat soal gajian. Kelakuan mereka saat itu mirip film kungfu yang lakon-lakonnya berantem saben hari tapi tetap bisa makan entah dari mana mereka kerja dan dapat uang.

Ibrahim Isa
Bonnie Dear, - - - - - Pejuangan bangsa kita melawan kolonialisme untuk kemerdekaan nasional . . . juga menghadapi masalah DANA . . . Tapi soal itu betapapun sulitnya ternyata bisa diatanggulangi bersama pula .. baik secara individuil, kolektif, - - - secara organisasi maupun masal, dari rakyat. Tapi kekuatan utamanya adalah CITA-CITA MULYA DEMI PEMBEBASAN DARI PENINDASAN DAN PEMERASAN . . . KEMANTAPAN DAN DEDIKASI TERHADAP CITA-CITA itulah yang UTAMA. Dari situ semua masalah diselesaikan . . . Dan tak terkirakan sumber bantuan besar yang tidak boleh ketinggalan dalam perjuangan, yaitu . . . SOLIDARITAS INTENASIONAL . . . Dalam hal gerakan komunis internasional pada periode Lenin, tidak sedikit KOMINTERN memberikan bantuan ide, dana dan juga manusia-manusianya . . kader-kadernya . . . Itulah fakta sejarah . . . .!!!


*    *    *

Thursday, August 22, 2013

Pidato “Kenegaraan”(?) Presiden SBY

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 21 Agustus 2013
------------------------------


Pidato “Kenegaraan”(?) Presiden SBY

--- Selain ada Satu Ketegasan, Namun . . . . .
--- Bungkam Tentang “Peristiwa 1965”
--- Dinilai Seperti “Cerita Fiksi . . Dengan Bumbu-bumbu ilmiah“

* * *

Hari Nasional, Hari Ultah ke-68 Republik Indonesia, berlalu ayem-ayem saja, di Indonesia, maupun di luarnegeri. Di Indonesia seperti biasa menjelang 17 Agustus Presiden berpidato di muka sidang gabungan DPR dan Wakil-Wakil Daerah, menyambut HARI NASIONAL 17 AGUSTUS 2013.

Sayang, aku belum ada kesempatan membaca teks lengkapnya.

* * *

Betul, --- Ada satu ketegasan yang disampaikan oleh Presiden SBY: Bahwa: “Papua dan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesastuan Republik Indonesia, bahw pendirian ini merupakan harga mati... bersifat fundamental dan tidak bisa ditawar-tawar."

Ketegasan ini dirasakan memang perlu dikemukakan sekali lagi, dan berkali-kali di masa yang akan datang. Karena, usaha dan manuver kekuatan politik dan sementara negara yang ingin sekali melihat Republik Indonesia hancur, terpecah-belah seperti Yugoslavia dan Uni Sovyet, menjadi negara-negara “merdeka”. Dengan demikian lebih gampang dikontrol dan dikuasai, dikuras kakayaannya. Usaha dan kegiatan memecah-belah Republik dan nasion Indonesia, belakangan ini tampak semakin aktif.

Bangsa ini tidak akan pernah lupa, bahwa ketika pemerintah NICA (Netherlands Indies Civil Administation, yang hakikatnya adalah pemerintah kolonial “Hindia Belanda” sesudah Perang Dunia II) di bawah pimpinan Gubenur Jendral Dr H.J. Van Mook masuk Indonesia dari Ausrtalia, 1945, politik pokok yang digalakkannya adalah “devide et impera”, “pecah belah dan kuasai!”.

Van Mook mulai politik “devide et imperanya” dengan mendirikan pemerintah-pemerintah negara boneka. Di Indonesia Timur, Kalimantan, Sumatra dan Jawa. Dengan ini mengencarkan pengepungan dan pemusnahkan Republik Indonesia yang baru diproklamasikan pada tanggal 17 Agusus 1945 oleh Sukarno Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Maka “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” perjuangan bangsa menegakkan negara Republik Indonesia. Jangan sekal-kali melupakan politik “devide et impera” kaum kolonialis lama dan baru dan imperialisme.

* * *

Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 2013, Presiden SBY berusaha memberikan gambaran yang bagus mengenai keadaan ekonomi dan politik Republik kita serta peri-kehidupan rakyatnya. SBY membanggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini. Klaim ini kontan dikritik oleh politkus PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, sebagai “Cerita FIKSI” . . . . . Artinya “cerita khayalan” . . belaka. Sama saja dengan menina-bobokkan siapa yang percaya pada “angan-angan” SBY itu. Nanti di bagian bawah tulisan ini akan jelas, mengapa politikus PDI-P Rieke Diah Pitaloka, menganggap pidato kenegaraan itu sebagai “fiksi yang dibumbui cerita ilmiah”.

* * *

Bungkam Tentang Peristiwa “Tragedi Nasional 1965

Seperti biasa pula, . . . SATU SOAL BESAR yang oleh Presiden SBY tidak disinggung samasekali. Padahal KomnasHam, suatu lembaga hak-hak azasi manusia yang dibentuk oleh pemerintah, --- melalui proses perjuangan yang sengit di dalamnya, telah mengambil kesimpulan tertanggal 23 Juli, 2012. Dengan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk menindak lanjutinya. Ditegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sekitar kasus “Peristiwa 1965” yang melibatkan aparat negara. Terhadap “kemacetan” usaha susah-payah KomnasHam inipun Presiden tidak menyinggungnya sama sekali di dalam pidato kenegaraan beliau.

* * *

Kita juga ingat, bahwa Presiden pernah mengeluarkan kebijakan “memberikan paspor RI kepada warga Indonesia yang “terhalang pulang”, karena mereka-mereka itu oleh penguasa militer dilibatkan dengan “Peristiwa Tragedi Nasional 1965”. Mereka-mereka itu adalah yang paspornya sewenang-wenang dicabut penguasa karena menolak menandatangani pernyataan yg melibatkan Presiden Sukarno dengan peristiwa G30S. SBY enggan atau mungkin “takut” menyebut kasus besar sejarah “PERISTIWA TRAGEDI NASIONAL PEMBANTAIAN MASAL 1965”.

Kemudian SBY bersedia memberikan paspor (baru) kepada warga Indonesia yang terhalang pulang, karena paspornya dicabut itu. Tapi dengan cara ini SBY menempuh cara “geruisloos” kata orang Belanda, cara “diam-diam” hendak menyelesaikan masalah pencabutan sewenang-wenang parpor tsb. Halmana ditolak oleh sebagian besar yang bersangkutan,--- dengan alasan karena masalah “pencabutan paspor” menyangkut pelanggaran berat HAM warga. Karena kewaganegaraannya dengan sewenang-wenang direnggutkan tanpa proses hukum dan peradilan.

Seharusnya, --- pemerintah SBY secara transparan, terbuka dan resmi menyatakan bahwa pencabutan paspor tsb adalah salah, merupakan pelanggaran hak kewarganegaraan seseorang. Semestinya pemerintah menyatakan permintaan maaf dan merehabilitasi kewarganegaraan yang bersangkutan.

Tapi hingga saat ini pemerintah SBY tetap bungkam seribu bahasa. Tidak ada samasekali “political will” untuk menyelesaikannya dengan transparan dan tuntas.

* * *

Undang-Undang No. 27, Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi – Yang Begitu Lahir Doibatlkan

Suatu ketika dirancangkan dan diambil langkah awal menuju realisasi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Maka dibuatlah Undang-undang Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi No 27, Th 2004. Tapi, selang beberapa waktu, sementara elite politik dan parpol melakukan politik “pat-pat gulipat”, mempersoalkan kasus UUD No 27, Th 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rehabilitasi Nasional. Diajukan dan mulai “main” dengan Mahkamah Konstitusi, . . . . maka, jatuhlah keputusan MK yang “fatal” itu: -- Undang-Undang No 27, Tahun 2004, Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi Nasional tsb divonis mengandung fasal-fasal yang inkonstituional. Sehingga MK membatalkan Undang-Undang Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tsb.

Menanggapi hal tersebut mewakili para pemohon, Asmara Nababan menyatakan keputusan ini mengembalikan posisi pengungkapan masalah HAM berat di masa lalu ke titik nol.

Tidak salah jika manuver “pat-pat gulipat” ini dianggap memang maksud tujuannya, adalah untuk menolak dan menggagalkan usaha menuju Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.



Bagaimana kelanjutan dan nasib usaha mencari kebenaran dan mengadakan Rekonsiliasi Nasional . . . . Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya . . . bungkam seribu bahasa.

* * *

Cerita Fiksi” yang Berbau Ilmiah 
 Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR, mewakili parpol PDI-P kontan menaggapi kritis:

Pidato Kenegaran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyerupai “cerita fiksi yang berbau ilmiah.” Suatu kritik yang sopan tpi “nyelekit”. Sebab, kata politikus PDI-P itu, "Seperti pidato SBY lainnya, pidato kenegaraan kemarin juga kebanyakan bumbu-bumbu.". (Kompas.Com – 17 Agustus 2013)

Pidato SBY itu, kata Rike, disertai dengan angka-angka yang seolah-olah memperlihatkan akurasi keberhasilan. "Namun, apakah angka-angka itu berbasis pada data dan realitas sesungguhnya? Atau sekadar fiksi belaka untuk pembungkus pencitraan?", tambah Rieke menjelaskan.Padahal, masyarakat sekarang sudah cerdas dan mampu menilai apa yang sesungguhnya terjadi. Rieke mengambil contoh soal peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB).

Alasan Rieke:
Bila dilihat angka-angkanya saja, memang PDB terus meningkat. Pada 2004, PDB tercatat 1.177 dollar AS, lalu pada 2009 menjadi 2.290 dollar AS, berlanjut pada 2012 menjadi 3.092 dollar AS dan ditargetkan pada 2014 mencapai 5.000 dollar AS. "Pertanyaannya, . . . . siapa yang menikmati besarnya PDB itu?". Ternyata yang menikmati PDB tersebut bukanlah seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya mereka yang memiliki akses di bidang ekonomi. Sebagai contoh, Provinsi Papua. Provinsi ini, memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. "Tetapi, angka kemiskinannya tertinggi pula,".

Karenanya, PDB 5.000 dollar AS per kapita bukan berarti pendapatan penduduk benar-benar Rp 50 juta per tahun atau Rp 4,2 juta per bulan. Faktanya, sebut dia, data Badan Pusat Statistik menyebutkan masyarakat yang memiliki kemampuan belanja di atas Rp 1 juta per bulan hanya 16 persen. Masyarakat dengan penghasilan Rp 500.000 sampai Rp 1 juta juga tercatat mencapai 30 persen, dan yang berpenghasilan di bawah Rp 500.000 bahkan mencapai 55 persen.

"Kesejahteraan apa yang dimaksud Presiden SBY bila sebanyak 85 persen rakyat justru daya belinya di bawah Rp 1 juta per bulan?" Dengan data penghasilan tersebut, dapat terbayangkan pula bagaimana penurunan daya beli yang terjadi setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada 22 Juni 2013.

Data BPS di atas, sudah diakui belum menghitung dampak kenaikan harga BBM. "Jadi, PDB macam apa yang dialami rakyat kita sekarang ini? Sederhana saja, lihat kemiskinan dan pengangguran yang semakin terbentang di hadapan kita sehari-hari di jalanan hingga di pelosok-pelosok," . Demikian penjelasan singkat padat Rieke Diah Pitaloka, mengapa pidto kenegaran 17 Agustus SBY menyerupai “fiksi yang bebau ilmiah”.

* * *

Walhasil, . . . . .Masyarakat samasekali tidak memperoleh kejelasan kebijakan arah politik yang bagaimana yang hendak ditempuh pemerintah mengenai masalah membangun negara Republik Indonesia ini sebagai negara hukum. Dimana diberlakukan prinsip-prinsip Hak-Hak Azasi Manusia .

Juga tidak terlihat kejelasan kebijakan ekonomi-politik yang bagaimana yang akan ditempuh pemerintah, yang akan membawa negri dan bangsa ini ke suatu kekuatan ekonomi yang berdikari, dimana kekayaan bumi dan air negeri ini diabdikan untuk kepentingan rakyat keseluruhannya.

* * *



IBRAHIM ISA'S FOCUS -- INDONESIAN NATIONAL INDEPENDANCE DAY





IBRAHIM ISA'S FOCUS --
INDONESIAN NATIONAL INDEPENDANCE DAY

-------------------------------------------------------------------------------
Sunday, August 17, 2013



Challenges for Indonesia’s Future

The Idul Fitri holiday in Indonesia has always been a time for forgiving. From the State Palace in Jakarta to houses of the elderly in rural villages, people are queuing to shake hands with those they respect, to ask for forgiveness. It is a wonderful tradition, in which people are rekindling their relationship with their relatives.
But the festivities also remind us of failed government policies. During the month of Ramadan, Indonesia has always witnessed the seasonal increase of key commodity prices, as demand soars but supply is constrained. The government’s recent attempt to lower the price of beef, chili, onion and other commodities fell flat and prices have stubbornly been at record highs.
Hasn’t the government learned anything? Months after the beef graft scandal emerged, there has been no sign that the government, in this case the ministries of trade and of agriculture, has been able to put its act together to tame the soaring beef prices. This has raised suspicions that there is foul play. Indeed, the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) has announced that it is now investigating the beef trading practices.
The higher food prices indeed are the product of failed policies. And as long as the government continues to rely on ad-hoc policies of import measures to curb food prices, the country will remain vulnerable to seasonal stints of wild food price volatility.
What is social welfare?
The heart of policy discourse in this country rests on the presumption of what national social welfare is and how to measure it. The political rhetoric being advanced in this case is a populist one, namely to provide protection for domestic producers, farmers or SMEs.
Yet students of Economics 101 are acutely aware that social welfare is measured as consumer surplus, and the biggest surpluses arise from open, competitive markets. Any deviation from competitive equilibrium, be it in the form of inadequate supply or from government intervention such as administered quotas, will only result in greater benefit to producers — to the detriment of consumers, in the form of higher prices and lower consumption.
Our current problems can be traced back the famous Article 33 of our original Constitution of 1945, which emphasizes the importance of production in our economic system, and puts the control of key natural resources in the hands of state to achieve “maximum social welfare.” It has never been made explicit what this social welfare is, and it has since become a contested terrain politically. The standard bearing of populist argument has always been that social welfare is equivalent to protecting the weak and underprivileged, in this case farmers, SMEs and informal sectors, but not the poor as consumers.
In the name of protecting local farmers, the ministries of trade and of agriculture have imposed an ad-hoc quota regime, in which import licenses are arbitrarily allocated with administered prices. It doesn’t take a genius to figure out that such arbitrary policies have created opportunity for cronyism and rent-seeking. That is what’s been happening with the beef scandal, and trade in other commodities, such as soy beans.
But other areas of licensing and concessions are also rampant with regulatory arbitrage. Coal and other mining concessions are one such area. Radio frequency allocation — a critical national resource — is another. The arbitragers in these cases simply secured the licenses and then sold the concessions to other investors and made a killing. Similar things happen to the Java toll road projects, in which almost nothing has been achieved a decade after the granting of the concessions.
Competitive advantage
A few things deserve scrutiny to avoid the abuse of the system. First, the awarding of licenses and concessions is to be very selective. In the agricultural sector, soybean and wheat are not tropical crops and as such Indonesia will never have a competitive advantage in growing them. Therefore, protecting soy and wheat farmers is simply misplaced.
Rice and sugarcane are a different matter. Yet, overzealous protection and incentives to produce, such as what is happening in Thailand today, has created over-production and, more dangerously, over-dependence of Thai rice farmers on the subsidy. So we need a measured dose of incentives to yield optimal outcomes.
Secondly, open and transparent licensing is imperative. Closed-door granting of concessions will only yield cronyism and its attendant rent-seeking. In this regard, Trade Minister Gita Wirjawan’s attempt to rationalize import quota and licensing though open auction is on the right track.
One could only imagine if local governments would also use open tenders to grant coal mining licenses; the current mess in overlapping licenses would have been avoided, and the potential for concession or license trading would have been minimized.
Finally, the terms of any concession are of paramount importance. In the case of toll road licensing, the government’s position is very weak. There is practically no exit clause, as there is neither penalty nor consequence whatsoever if concession holders do not deliver or otherwise breach their contract.
Jokowi’s example
The current attempt by Jakarta Governor Joko Widodo to revamp the way the MetroMini buses operate deserves our wholehearted support. As it stands today, MetroMini is owned and operated by thousands of owners-operators. Why thousands of licenses were awarded was beyond anybody’s comprehension. But as a result, standard operating procedures have been noticeably absent. MetroMini drivers rarely have safety and convenience in mind when they hit the road, terrorizing other motorists. Worse still, enforcing discipline and rules — be it by police or by owner-operators of the buses — is practically non-existent.
Jokowi is now bringing the entire MetroMini operation under one roof, with 1,000 new buses owned and operated by a local state-owned company. Private ownership is still allowed, but licenses are awarded through open auction. The term of the license is 7 years and subject to constant monitoring and evaluation of performance. All buses will be run under the same best practices, from vehicle safety to the drivers’ conduct.
The MetroMini restructuring is a good example of avoiding regulatory arbitrage and putting the welfare of consumers above that of producers, in this case the old owners-operators.
Tackling the PPP fallacy
Another policy backwater is the drive to promote Public-Private Partnerships. It is true that given the structure of Indonesia’s fiscal structure today — with civil servants’ salaries and fuel subsidies being a heavy burden — there is only limited room for crucial infrastructure investment. Add to this the increasing emphasis on education (20 percent of the state budget), health care and other social security provisions, and you’ll see that PPP simply is a necessity for progress.
So far, however, Indonesia has had a dismal PPP record. Not only have the toll road concessions run into trouble, the water utility saga in Jakarta, in which foreign partners pulled out, is another example. Two aborted oil refinery projects in Java are also indicative of policy failures.
Infrastructure projects normally involve huge investment up front, and a payback period of 25 years and longer. Legal and regulatory certainty, therefore, is essential for structuring a project and making it attractive for potential investors. Our track record, in this case, is disheartening. Often the government simply did not honor its commitments as stipulated in a contract. The case of water utility in Jakarta is typical, where the promised hike of water prices as stipulated in the contract was simply ignored.
In another case, changes of government policy are affecting the economics of the projects. Many independent power producers are using the dollar as the currency for power bought by state-owned utility Perusahaan Listrik Negara. This makes perfect sense, since their investments were made in dollars and the input fuels (gas, coal etc.) are also priced in dollars. The enactment of a new law that stipulates that all domestic transaction shall be in rupiah will definitely change the power production landscape going forward.
The abandoned oil refinery projects point to another PPP fallacy. Finance Ministry bureaucrats, in this case, were myopically applying corporate finance considerations to evaluate this very strategic and important project economically. They assumed all investors are greedy at all times, and in so doing so they ignored entirely the economic analysis of the project. They focused more on profits and losses of the refinery than on the broader economic benefits of the project.
Given the above features and risks involved in infrastructure projects, we have to accept the fact that government support, in one form or another, is a necessary evil. Pretending that there will be PPP without government support and commitment is the greatest fallacy of all. The trick, as usual, is how to deal with this necessary evil through standardized government support, transparent processes of negotiation and adopting best practices for future project contingencies. Our track record in this area is disappointing, so we need a change in mindset.
Back to Idul Fitri. It is a moment for remembering, for reflection and for forgiving. And so it is time for a reality check on our policy challenges.
Let’s forgive, but not forget, that we have plenty of hard work ahead.
Farid Harianto is an economist and an adviser to Vice President Boediono. The views expressed here are his own.
 

The Jakarta Globe Editorial: 

Independence Day Is Also a Call to Action

The mark of success for any nation is how well its people are doing economically, socially and morally. All of these factors determine one’s living standards. And on all these fronts, Indonesians are better off today than they were 15 years ago.
As the nation celebrates its 68th birthday, it can stand tall in the community of nations. The country is a member of the G-20, a group of the largest economies in the world; it is the third-largest democracy in the world and a fast-growing market. Its people are among the happiest anywhere.
As President Susilo Bambang Yudhoyono notes, the country’s ethnic and religious diversity is one of its strengths. But for us to leverage this strength, we must promote greater tolerance and social harmony, which have been eroded in recent years.
Indonesia, many citizens think, is now free, and its people are also free. But looking around us, the country is still held in bondage by a host of problems and challenges. These include poverty, poor education, poor healthcare and lack of infrastructure.
Addressing and solving these problems will take leadership, commitment and resolve. It will require sacrifices and some tough decisions which might lead to short-term pain.
On Independence Day, many people also remember those who have fought and spilled blood for the country. The term “heroes” calls to mind those who fought and won independence for the nation nearly seven decades ago. But in truth, we need new kinds of heroes today: individuals who can take the lead in many diverse fields and have lives that younger Indonesians can look up to as role models.
Independence Day is a time to celebrate the nation’s achievements as much as it is a time to reflect on what lies ahead. We have come far as a nation, but we still have a long road ahead of us.
Opinion

Independence demands political
and economic unity

Indonesians will celebrate their 68th Independence Day on Aug. 17. This year’s Independence Day commemoration is occurring close to the spirit of Idul Fitri festivities, which took place a week before.

We ought to be thankful for a mixture of two noteworthy matters: celebrating the gratitude of Idul Fitri and expressing a mature commemoration of the country’s freedom.

One of the chief stumbling blocks Indonesians are dealing with now is the discrepancy between political advancement and economic development. An Indonesian citizen knows that the unitary state of the Republic of Indonesia is politically acknowledged across the archipelago from Sabang to Merauke. This is a principal declaration that Indonesia’s political unity is uncompromised in people’s minds.

Yet the political accord becomes susceptible while the lion’s share of economic growth and prosperity is unequally distributed throughout the nation. Imbalances in infrastructure development, limited access to education and small- and medium-sized enterprises’ weak market penetration strategies across different regions in the country, to mention just a few, increasingly substantiate Indonesia’s obvious economic incongruity.

This challenging economic approach will slowly but surely put political stability at stake due to regional dissatisfaction.

In an attempt to contextualize the very essence of liberty, political and economic unity is then essential for subsequent rationales. First, it is the key to impartial development leading to central government legitimacy and widespread prosperity. It is public knowledge that national development has been and is still concentrating on Java. This island is densely populated on the strength of economic attraction, as the saying goes: “Where there is sugar, there are ants.”

While political integration is imposed nationwide by the government, economic development remains focused on certain areas. Prosperity is out of the reach by reason of economic injustice.

Additionally, such economic inequality is detrimental to demographic effects prompting constant rural to urban migration, movement of people from other parts of the country to Java, and a periphery to center exodus. Indonesia needs affirmative action on economic engineering that shifts economic improvement to peripheral areas and outside Java. Endeavors to empower regions for economic interest must crack down on comparative advantages engaging in financial and managerial initiatives. Otherwise, they are nothing more than politicians’ rhetoric.

Agriculture and creative industries could be remedies for regionally economic intensification. They might grow to the full providing local leadership is entrusted to entrepreneurs rather than to career bureaucrats and political appointees. The Success stories of Joko Widodo (former mayor of Surakarta in Central Java) and Amran Nur (former mayor of Sawahlunto in West Sumatra) are clear evidence of entrepreneurship-based local governance. They fathom that independence is not simply a matter of political freedom but is also inseparably associated with the public well-being.

Second, political and economic unity is considerably significant in terms of setting off a wave of nationalistic spirit. A massive crisis of confidence in the ruling authority is due to a strong emphasis on political slants when it comes to addressing public issues. This is definitely in contradiction to an economic approach. While the former defines people as being friend and foe, the latter creates multiple friends and less rivals.

Elites’ political acts have failed to awaken public patriotism on account of their interest in power sharing and political ceremonies, such as solemn official speeches and flag ceremonies. It does not mean, for example, that Indonesian citizens should no longer participate in flag ceremonies. People should not be judged as unpatriotic simply because they decide to enjoy the day doing other things. Each has his or her own ways of honoring Indonesia.

It is through the economic language of prosperity that a sense of patriotism turns into populism. Separatist movements in some areas — Maluku and Papua — are attributable to the government’s political suppression and economic exploitation, not just with the separatists’ being less knowledgeable about Indonesia’s historical unity. Populist nationalism, which is cushioned by economic prosperity, cannot fully count on political procedures owing to its narrow-mindedness and fragmented nature.

Third, political and economic integration conforms to Indonesia’s competitiveness. Based on the World Economic Forum’s (WEF) 2012-2013 report, Indonesia’s competitiveness ranking fell to 50 out of 144 countries. Bribery and red tape, which have been contributing factors to the decline, cannot be separated from the soaring trend of politicized government offices and service delivery. On the one side, politicization takes good-governance out of the country’s bureaucracy. On the other, it sees corporate culture exerting stress on economic yardsticks such as efficiency and effectiveness, which are central to enhancing productivity and igniting creativity.

One effort to increase the country’s competitiveness rests on the authority’s political will to apply good governance principles in the public sector. It is influential in paving the way for burgeoning competitiveness in social relations. The desire for competition should derive from a bottom-up approach so that productivity and creativity morph into the populist domain.

This is particularly true as future networking is largely swayed by people to people roles as opposed to government to government relations at the international level.

This is the core essence of liberty that Indonesian people aspire for. Long live the great Indonesia!

The writer is a lecturer at the Faculty of Cultural Sciences at Andalas University, Padan

Opinion

Pluralism and regeneration:
Taufiq Kiemas’ political
legacy


Indonesians expressed their deepest condolences for the passing of Taufiq Kiemas, People’s Consultative Assembly (MPR) speaker and senior Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) politician, on Saturday.

 The state’s recognition of his services was given in his state funeral at the Kalibata Heroes Cemetery in South Jakarta on Sunday.

 Taufiq was known as a high caliber-politician. He proposed numerous ideas not simply for his party, but also for Indonesian politicians more widely. This country is in his debt for at least three of his ideas.

First, Taufiq was keen on preserving the four pillars of Indonesian nationhood, particularly for younger generations.

The state and the academic community accepted his ideas on the four pillars: Pancasila, the 1945 Constitution, the Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity) national motto and the concept of the Unitary State of the Republic of Indonesia.

On many occasions, Taufiq said he expected youth to carry on the state’s bid to develop the country based on the four pillars.

His strong commitment to the four pillars attracted public esteem and earned him an honorary degree from Trisakti University.

The award was not only his academic achievement, but also the achievement of all MPR members. The MPR’s ongoing promotion of the four pillars, therefore, has firm foundation.

Under his leadership, each year the MPR supported events that renewed pledges of commitment to interfaith harmony.

To him, professing acceptance of Pancasila and pluralism had to be implemented in practice, not just with rhetoric.

Second, Taufiq was noncompromising concerning freedom of expression. He was of the opinion that expressing dissent was not taboo. Celebrating his 70th birthday, Taufiq openly criticized his wife, Megawati Soekarnoputri, former president and chair of the PDI-P, for being surrounded by sycophants.

He considered his criticism important for the party’s survival.

Taufiq was known for not being a “yes man” just to please his wife and the party. He was not ashamed of declaring that his wife’s popularity and electability rates were less impressive than those of Great Indonesia Movement (Gerindra) Party chairman Prabowo Subianto, Golkar Party chairman Aburizal Bakrie and President Susilo Bambang Yudhoyono.

It was no secret that Taufiq and Megawati often disagreed when they discussed politics. While Taufiq was said to be expressive and egalitarian, Megawati is regarded an introvert.

Their marriage never stopped Taufiq from criticizing his wife and party. His outspoken nature was strongly rooted in his endless fight to safeguard pluralism. He never treated people according to their religion, ethnicity, family
or group.

Third, Taufiq always advocated the rejuvenation in leadership of political parties. As a senior politician, he often stood out from other politicians of his age as he often talked about regeneration.

He once said the Presidency should be reserved for individuals from younger generations. That is why he was always locking horns with Megawati, telling the former president to drop her presidential ambitions and let someone younger run in 2014.

Since 2010, Taufiq said young blood would dominate the party structure for the next five years as part of its regeneration program and a plan to rebuild its image.

He believed it would be a disaster if the PDI-P was associated with the older generation.

Taufiq was acutely aware that regeneration was the biggest challenge facing the party in gaining the support of younger voters, since the public would see no improvement in the party if it was continually led by the same figure.

With his preference for political regeneration, Taufiq set the scene for young politicians to rise to secure spots on party tickets. His pioneering style sought to remove the shadows of older politicians who frequently resisted the political regeneration of their parties.


The writer is a lecturer in the faculty of cultural sciences at Andalas University, Padang.


Sufi Muslims Feel the Heat of Indonesia’s Rising Intolerance

The plight of the Al-Mujahadah Foundation madrassa in southern Aceh illustrates the perils of rising religious intolerance for Indonesia’s religious minorities. The school, a private institution that instructed dozens of students 8 to 25 years of age in the principles of Sufism — devotion to more mystical interpretations of Islam — lost its dormitory on July 5 due to an apparent arson attack. Less than a month later, on Aug. 1, the wall surrounding the school compound was destroyed in what the school authorities believe was an act of vandalism. Police are investigating the alleged arson attack, but say the school’s wall collapsed due to faulty construction.
Suspicions that the school has been singled out for harassment and intimidation aren’t unwarranted. In February, Aceh’s Ulama Consultative Council (MPU), a government entity that advises the government on Islamic affairs, demanded the school’s closure on the basis that it was “strange” and its teachings “false and misleading.”
The South Aceh regency government complied with that demand on March 4 by ordering all students to leave the facility. It also told the school’s top administrators not to receive guests in their homes as a way to derail possible home-schooling efforts. The same day, a mob of around 70 local Sunni villagers destroyed the school’s front gate while police stood by. Now the school sits empty.
The attack on the Sufi community in southern Aceh marks a sinister new phase in the ongoing campaign of intolerance by Islamist militant groups, such as the Islamic Defenders Front (FPI). The targets of that intolerance and acts of related violence have long been Christian groups, Shiite Muslims, and the Ahmadiyah, as well as members of native animist faiths.
Islamist militant groups seek to justify violence by espousing an interpretation of Sunni Islam that labels most non-Muslims as “infidels,” and Muslims who do not adhere to Sunni orthodoxy as “blasphemers.” The Jakarta-based Setara Institute, which monitors religious freedom in Indonesia, reported earlier this year that the number of reported incidents of violence related to religious intolerance jumped from 244 cases in 2011 to 264 in 2012. Now the Islamist militants seem to have a new target: Indonesia’s Sufi population.
It’s no mystery why Indonesia’s Islamist militants have been emboldened to extend their acts of harassment, intimidation and violence against the country’s Sufis

Sumatra has become ground zero for this new wave of intolerance and related violence against Sufis due to conservative Sunni clerics who have branded Sufi congregations as “heretical sects.” Unlike in other parts of Indonesia, Sumatra’s Sunni clerics are less constrained by the relatively tolerant Nahdlatul Ulama, Indonesia largest Muslim organization, which accommodates hundreds of Islamic tariqah (Sufi sects) under its umbrella, but which is relatively weak in Sumatra.
In September 2007, the Indonesian Ulama Council (MUI) in West Sumatra issued a fatwa, an Islamic legal ruling, against the local Al-Qiyadah Al-Islamiyah Sufi sect on the basis that they were “heretics.” Police responded to the fatwa by arresting the sect’s leaders. In May 2008, a West Sumatra court sentenced Dedi Priadi and Gerry Lufthy Yudistira, the sect’s father and son leaders, to three years’ imprisonment for “blasphemy.” Not to be outdone, in April 2011 Aceh’s governor, Irwandi Yusuf, issued a decree that banned 14 minority Islamic sects, including Sufi, Ahmadiyah and Shiite groupings.
Expect more such intolerance: in March 2012, the West Sumatra prosecutor’s office announced that the province hosted a total of “25 misleading sects” that merited official censure.
It’s no mystery why Indonesia’s Islamist militants have been emboldened to extend their acts of harassment, intimidation and violence against the country’s Sufis. Human Rights Watch issued a report in February documenting an alarming rise in religious intolerance and related acts of violence. The government of President Susilo Bambang Yudhoyono has proven unwilling to confront the perpetrators, enforce existing law and judicial decisions, and defend the rights to religious freedom embodied in Indonesia’s constitution and international law.
Indonesian government officials and security forces have often facilitated harassment and intimidation of religious minorities by militant Islamist groups or stood by while militants violently attacked religious minority communities. Such actions are in part made possible by discriminatory laws and regulations, including a blasphemy law that officially recognizes only six religions, and house of worship decrees that give local majority populations significant leverage over religious minority communities.
Indonesian government institutions have also played a role in the violation of the rights and freedoms of the country’s religious minorities. Those institutions, which include the Ministry of Religious Affairs, the Coordinating Board for Monitoring Mystical Beliefs in Society (Bakor Pakem) under the Attorney General’s Office, and the semi-official MUI, have eroded religious freedom by issuing decrees and fatwas against members of religious minorities and using their position of authority to press for the prosecution of “blasphemers.”
Human Rights Watch warned in February that a failure by Yudhoyono to act decisively against religious intolerance would foster a form of “toxic osmosis” that would only encourage Islamist militants to target new victims. Instead, Yudhoyono’s spokesman dismissed such concerns as “naive” and insisted that incidents of intolerance and violence by militant Islamist thugs against Indonesia’s religious minorities were merely expressions of “friction between groups.”
When I taught at the Ar Raniry Islamic Institute in Banda Aceh in the 1990s, I got to know some members of the religious minorities now under attack there. They deserve an end to the hate campaigns.
In May 2013, Yudhoyono promised that his government “would not tolerate any act of senseless violence committed by any group in the name of the religion.” Indonesia’s religious minorities, including the Sufis of Sumatra, need him to deliver on that promise.
Andreas Harsono is an Indonesia researcher at Human Rights Watch.



MENELUSURI “SOSIALISME DENGAN CIRI-CIRI TIONGKOK” (3)

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 16 Agustus 2013
--------------------------------
MENELUSURI “SOSIALISME DENGAN CIRI-CIRI TIONGKOK”    (3)
Catatan:

Mengapa mengemukakan pendapat AS Munandar di ruangan ini? Penjelasannya sbb: -- Pada saat membicarakan sekitar “Sosialisme dengan ciri-ciri Tiongkok” , membicarakan satu varian dari sosialisme dewasa ini, langsung akan menyinggung masalah teori sosialisme yang menjadi dasar ideologi dan teorinya. Seperti yang dinyatakan oleh yang bersangkutan (Tiongkok), “sosialisme dengan ciri-ciri Tiongkok” adalah praktek pembangunan sosialisme di Tiongkok yang didasarkan atas Marxisme.

Di era Presiden Sukarno, satu-satunya lembaga pendidikan tinggi INDONESIA yang secara formal dan aktual visi dan misinya “memberikan pendidikan Marxisme”, adalah lembaga “AISA”, “Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Jakarta. AS Munandar adalah orang pertamanya dari lembaga pendidikan tinggi AISA. Menyinggung masalah Marxisme, ada baiknya mengetahui bagaimana pandangan seorang yang menggeluti pendidikan Marxisme di Indonesia, dan yang khusus menuliskan analisisnya mengenai “sosialisme dengan ciri-ciri Tiongkok”.

* * *

SIAPA AS. MUNANDAR?

Nama lengkapnya – Ashar Sutjipto Munandar. Lahir 02 Mei 1924 di Semarang. Meninggal di Rotterdam, Holland, 18 Januari 2010.

A.S. Munandar, Bung Cip, sapaan akrabnya, --- kukenal beliau sudah sejak di Indonesia tahun enampuluhan. Sejak kenal pertama, tak bertemu lagi. Kudengar kemudian beliau menambah studinya di Jerman. Peristiwa G30S 1965, yang berlanjut dengan kampanye pembantaian masal 1965 menyebabkan A.S. Munandar terdampar di luar negeri. Sama seperti korban Orba lainnya, paspor A.S. Munandar dicabut oleh rezim Orba.

Sejak sama-sama menjadi 'orang yang terhalang pulang', kami sering bertemu. Berdomisili di negeri Belanda, kami sering melakukan kegiatan bersama.

A.S. Munandar adalah seorang pejuang demokrasi dan HAM. Ia yakin benar kebenaran dan keadilan cita-cita yang diperjuangkannya. Adalah keyakinannya bahwa realisasi cita-cita sosiaisme, sosialisme dengan ciri Indonesia-lah, yang akan membebaskan Indonesia dari penderitaan,
kemiskinan dan ketidakadilan. (Ibrahim Isa -IN MEMORIAM A.S. MUNANDAR, 02 Mei 1924 -- 18 Januari 2010).

Aku mengenalnyha sejak di tanahair selagi ia memimpin Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, kemudian sama-sama di Timur, sama-sama di Barat, sama-sama di SAS, sama-sama di pelbagai forum tukar fikiran. Ia adalah kawan seperjuangan yang sulit dicari samanya. Yang selalu bersedia diajak bertukar fikiran. Kapan saja bersedia memberikan saran-saran ataupun kritik yang berterus terang dan amat bersahabat. Dikritik betapapun kerasnya, tetap ia dengarkan dengan senjum. Tidak marah!

Memasuki usia 85 terbit bukunya: yang diluncurkan pada tanggal 02 Mei 2009, berjudul "KUMPULAN TULISAN -- Pendapat dan Pandangan" (1990-2009), bertepatan dengan hari ultahnya yang ke-85 (02 Mei 2009). Ketika itu sejumlah sahabat berkumpul bersama keluarga A.S,. Munandar memperingati hari ultah ke-85 beliau. Kuminta agar ia menulis sesuatu pada bukunya yang kumiliki itu. A.S. Munandar menulis sbb: "Untuk Bung Isa tercinta. Sama-sama senasib seperjuangan".

Isi buku itu, adalah salah satu kenang-kenangan dan warisan A.S. Munandar. Amat berguna sebagai bahan pemikiran dan petimbangan dari seorang pejuang senior, bagi generasi muda penerus cita-cita perjuangan demi Indonesia Baru yang adil dan makmur.

* * *

Satu yang menonjol, yaitu sikap dan pandangannya yang INDEPENDEN. Semua yang diutarakannya, adalah pandangan dan hasil pemikirannya sendiri. Bagi saya, yang menonjol dan baik diteladani ialah fikirannya yang INDEPENDEN. YANG BERDIKARI.


Cara berfikir beliau inilah yang merupakan inspirasi dan memberikan semangat optimisme revolusioner yang menjadi teladan bagi saya.

* * *



Dalam penjelesanannya ketika peluncuran buiku AS Munandar, M. Kasim, Penyusun buku A.S. Munandar, menulis a.l sbb:



Buku ini mendekati 300 halaman. Jumlah tulisan yang terkumpul ada sebanyak 23 tulisan ditambah satu lampiran. Satu tulisan – tulisan terakhir -- belum pernah di publikasi.



Tulisan-tulisan membicarakan bermacam-macam tema, misalnya masalah nasion Indonesia, situasi Indonesia, filsafat Marxis, mengenai G 30 S, tentang kontradilksi pokok, partai-partai di Indonesia, masalah sosialisme dan lain-lain. Pokoknya isinya kaya-raya.Tulisan-tulisan itu ada yang disampaikan dalam berbagai kesempatan ceramah/temu wicara, diskusi-diskusi via internet dan ada pula yang di tulis didalam majalah. Dari 23 tulisan tersebut, satu tulisan disampaikan dalam bahasa Inggeris dan satu tulisan ditulis dalam bahasa Belanda, dan satu lampiran juga berbahasa Belanda. Kami ingin mempertahankan bahasa yang digunakan Bung Cipto waktu menyampaikan dan menulisnya, tetapi sebaiknya tulisan-tulisan tersebut diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia. Sayang hal itu belum sempat kami kerjakan.



Tulisan pertama “Masalah Sosialisme Dewasa Ini”(hal. 1 s/d hal. 30). merupakan penyimpulan atas sebab-sebab buyarnya negeri-negeri sosialis Eropah Timur dan Uni Sovyet. Francis Fukuyama menyimpulkan ‘sejarah manusia telah berakhir, telah tercapai “the end of history”, banyak orang menyatakan Marxisme sudah bangkrut, kaum kapitalis dan imperialis dan musuh-musuh sosialisme bersorak sorai bergembira dan bergendang paha. Di kalangan kaum kiri pun terdapat kegoyahan dan keraguan apakah sosialisme itu dapat merupakan hari depan. Bung Cip dengan tegas dalam tulisan itu mengatakan “Sistem kapitalisme tetap tidak mampu memberi jalan keluar. Mayoritas rakyat di dunia yang hidup di bawah kapitalisme menderita kesengsaraan dan kemelaratan”. (hal. 29)



* * *



Tulisan terakhir ditulis dalam suasana krisis ekonomi yang berat melanda dunia yang dimulai pada paro kedua tahun 2008 yang katanya terberat sejak Perang Dunia kedua. Orang-orang yang dulu bersorak sorai dan bergendang paha kini hatinya menjadi menciut dan ada yang mulai menoleh ke sosialisme. Orang-orang yang dulu bimbang terhadap sosialisme, kini mulai mau mulai menegakkan keyakinan. Bung Cipto dengan judul tulisan “Sosialisme-- Alternatif Pengganti Kapitalisme” (hal. 241 s/d 257) dengan tegas memberi jawaban atas situasi dewasa ini. Tulisan ini belum pernah dipublikasi.



Demikian a.l M.Kasim, dalam sambutannya pada waktu peluncuran buku AS Munandar tsb (Amsterdam 2 Mei 2010).



* * *



AS MUNANDAR:
Pembangunan Sosialisme di Republik Rakyat Tiongkok
(A.S. Munandar, “Kumpulan Tulisan, Pendapat dan Pandangan (1990-2009, hlm 247,248,249):

Prbedaan-perbedaan sangat nyata kita lihat kalau kita bandingkan dengan pRoses serta pengalaman pembangunan sosialisme di Tiongkok. Revolusi rakyat di bawah pimpinan PKT dan Mao Zedong melalui perang pembebasan dalam negeri mencapai kemenangan di suatu negeri yang lebih terbelakang ketimbang di Rusia. Tiongkok suatu negeri setengah jajahan dengan sisa-sisa feodalisme yang sangat berat. Oleh sebab itu kebijakan yang ditempuh oleh PKT untuk membangun negerinya didasarkan pada situasi kongkrit negeri itu ketika berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.

Pertama-tama dari tahun 1949-1953 merupakan masa pemulihan ekonomi dari kerusakan perang dan dilakukan perubahan agraria di bagian Tiongkok Selatan, yaitu daerah yang paling akhir dibebaskan dalam perang pembebasan. Perubahan agraria pada dasarnya menghapuskan sistim tuan tanah feodal dan membagikan tanah kepada kaum tani. Kemudian dari tahun 1953-1957 merupakan periode “demokrasi rakyat”. Ini disusul dengan periode “pengubahan sosialis” dari tahun 1957 sampai tahun 1960-an. Industrialisasi mengutmakan industri ringn dan pertanian. Ini berbeda dengan jalan Uni Sovyet yang mengutamakan pembangunan industri berat. Di pertanian jalan pengkoperasian juga berbeda dengan Uni Sovyet. Tetapi pada periode selanjutnya terjadi kesalahan-kesalahan berat dengan politik 'maju melompat' dan 'komune rakyat' yang tidak didasarkan pada tingkat perkembangan nyata tenaga-tenaga produktif. Kemudian selanjutnya dengan 'revolusi besar kebudayaan proletar' (masa RBKP) sampai 1978.

Setelah menyimpulkan pengalaman masa RBKP secara konprohensif PKT menempuh kebijakan baru untuk meneruskan pembangunan sosialis. Ditegaskan bahwa Tiongkok berada pada tahap awal sosialisme mengingat masih sangat rendahnya taraf perkembangan tanag-tenaga produktif masyarakat. Belajar dari pengalaman yang lampau ditekankan supaya “mencari kebenaran dari kenyataan”, membebaskan fikiran dan praktek satu-satu-satunya ukuran kebenaran.

Dimulailah periode pembangunan 'reformasi dan pintu terbuka' yang oleh PKT sebagai periode membangun sosialisme dengan ciri-ciri Tiongkok. Apa ini merupakan cetak biru pembngunan sosialisme untuk negeri-negeri lain? Pendirian PKT jelas: yang dibangun adalah sosialisme dengan ciri-ciri Tiongkok, tidak berpretensi bahwa ini berlaku untuk negeri-negeri lain.

Politik 'reformasi dan pintu terbuka' memberi kesempatan kepada kapital asing dan domestik untuk menginvestasi modal di berbagai sektor industri Ini berarti membuka kesempatan bagi kapitalisme demi mempercepat perkembangan tenaga-tenaga produktif.

Periode “reformasi dan pintu terbuka” sudah berlangsung 30 tahun. Masa ini dunia menyaksikan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat dengan peningkatan tenaga-tenaga produktif di bidang imu dan teknologi (iptek). Kepesatan ini dikagumi seluruh dunia. Memang perkembangan kaitalisme juga membawa aspek-aspek negatif, seperti korupsi di dalam pemerintah dn PKT.

Tapi ekonomi berdasarkan milik masyarakat masih tetap berdominasi dan diambil tindakan tegas terhadap penyelewengan-penyelewengan. Ekonomi pasar kapitalis dipadukan dengan ekonomi berrencana. \Jalan pembangunan ekonomi Tiongkok periode ini memang sangata berbeda dengan jalan sebelum “reformasi dan pintu terbuka”. Dengan segala kemajuan pesatnya, Tiongkok tetap tergolong negeri dunia ketiga dengan berpenduduk 1.3 milyar jiwa, seperempat penduduk dunia dan relatif miskin.

Boleh dikatakan, sekarang pembangunan sosialisme dilaksanakan dengan 'memanfaatkan' kapitalisme. Tak terhindarkan dijumpai banyak masalah yang rumit, diantaranya terasa dampa krisis ekonomi global. Tetapi PKT dan pemerintah Tiongkok dengan cepat dan tegas mengambil langkah dan tindkan untuk mengatasi akibat-akibat buruk dan masih bisa memprakirakan pertumbuhan 8%. (Perkiraan Bank Dunia 6%)

Wajar bila ada yang cemas, jangan-jangan kapitalisme bisa menyingkirkan sosialisme. Tetapi sampai sekarang PKT dan pemerintah Tiongkok kuat memegang kendali arah perkembangan.

Demikian AS Munandar dalam analisisnya mengenai politik dan kebijakan politik/ekonomi baru “reformasi dan buka pintu terbuka” yang dilaksanakan Tiongkok sejak 30 tahun belakangan ini. Dengan hasil-hasil spektakulernya, dampak-dampak negatifnya dan ketegasan PKT dan pemerintah Tiongkok menjalakan pembangunan “sosialisme dengan ciri-ciri Tiongkok”.

* * *

Menandaskan lagi bahwa Marxisme adalah suatu ilmu dan BUKAN DOGMA, AS Munandar menguraikan (buku yang sama halaman 253):

Marxisme adalah ilmu, bukan dogma yang beku. Praktek revolusioner memperkaya dan mengembangkan ilmu itu. Sikap Marx dan Engels jadi teladan bagi kita. Dalam Introduksi pada karya Pejuangan Kelas di Perancis Engels menulis: “Tetapi kami pula, dibuktikan sudah oleh sejarah. Sejarah telah menyingkap bahwa sudut pandang kami adalah ilusi. Malah lebih jauh, sejarah tidak hanya mengenyahkan pikiran-pikiran keliru kami pada waktu itu, tetapi juga samasekali merombak (transform) kondisi-kondisi yang proletariat harus berjuang. Metode perjuangan pada tahun 1848 kini hari sudah usang ditilik dari setiap sudut, dan hal ini selayaknya perlu penelitian lebih seksama pada kesempatan sekarang”.

Antara tahun 1848 dengan tahun 1850-an hanya terpaut beberapa tahun, tetapi sudah terjadi perubahan penting yang menyebabkan Marx dan Engels meninjau kembali beberapa pandangn penting mereka. Antara zaman Marx dan Engels dengan zaman kita sekarang ini terlewat 150 tahun lebih. “Manusia membuat sejarahnya sendiri” tulis M|ax, “tetapi mereka tak dapat membuatnya sesuka mereka, mereka tak dapat melakukannya dalam syarat-syarat yang dipilih sendiri, teapi dalam syarat-syarat yang sudah ada dan yang dialihkan dari masalalu”. (Marx, 18 Brumaire Louis Bonaparte).

Ini memperlihatkan lingkungan keleluasaan dan sekaligus keterbatasan manusia bergerak. “Menurut pendapatku”, tulis Engels, “apa yang dinamakan 'masyrakat sosialis' bukan sesuatu yang kekal-abadi, tak berubah. Sebagaimana semua susunan masyarakat yang senantiasa dalam keadaan mengalir dan berubah”. (Engels kepada Otto Von Broenigk di Breslau – 21 Agustus 1890).

* * *