Sunday, September 30, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - MEMPERINGATI 'PERISTIWA 1965

Kolom IBRAHIM ISA

-------------------------

Minggu, 30 September 2007



MASYARAKAT INDONESIA DI BELANDA MEMPERINGATI 'PERISTIWA PELANGGARAN HAM TERBESAR 1965'


Empatpuluh dua tahun sudah berlalu sejak berlangsungnya pelanggaran HAM terbesar di Indonesia, yang terkenal dengan 'Peristiwa Pembantaian Masal 1965' terhadap warganegara tak bersalah oleh Jendral Suharto dan klik militernya. Meskipun jangka waktu usaha dan kegiatan HAM di Indonesia dan luar negeri berlangsung cukup lama, situasi HAM di Indonesia khususnya keadaan IMPUNITAS tidak banyak mengalami perubahan yang mendasar.


Meskipun demikian, semangat masyarakat Indonesia di luarnegeri, khususnya Belanda, tak kunjung padam untuk ambil bagian, ikut memberikan sumbangan dalam perjuangan demi HAM dan Keadilan di Indonesia. Maka antara lain dilangsungkan peringatan peristiwa tragedi nasional tsb. Di atas segala-galanya untuk menyatakan protes keras terhadap 'Kejahatan Terhadap Kemanusiaan' di Indonesia, serta menuntut keadilan dan rehabilitasi hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraan para 'Korban Peristiwa 1965'.


Demikianlah, hari ini, tanggal 30 September 2007, LPK-65 di Belanda, telah dengan sukses mengorganisasi peringatan tsb di Gedung Schakel, Diemen, Holland, dengan tema utama keadaan IMPUNITAS DI INDONESIA.


Peringatan yang berlangsung dengan khidmat dan serius, dibuka oleh Farida Ishaya, Ketua Perhimpunan Pesaudaraan, dengan bersama menyanyikan lagu Nasional INDONESIA RAYA, kemudian diikuti dengan mengheningkan cipta untuk mengenangkan para korban. Hadirin meliputi kira-kira 100 orang dari masyarakat Indonesia yang berdatangan dari Amsterdam, Utrecht (termasuk mahasiswa yang sedang studi di Universitas Utrecht), Zeist, Rotterdam, Wageningen (mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Universitas Wageningen), Den Haag (mahasiwa yang sedang studi), Eindhoven, Amstelveen, dll tempat. Juga tampak antara lain, Joop Morrien, wartawan progresif Belanda; lalu dari Yayasan Sapulidi, Leiden (Mintardjo) dan Yayasan Indonesia Media, Woerden (Maman Tahsin). Malah hadir pula dari Indonesia. Yaitu Mugiyanto, Ketua IKOHI, juga ketua Asian Federation Against Involuntary Dissappearance (AFAD), yang kebetulah datang ke Belanda kembali dari Jenewa, untuk keperluan kegiatan pembelaan 'korban orang-hilang'.


Pembicara-pembicara penting yang membacakan makalahnya adalah Djumeini Kartaprawira, Ketua LPK-65 Belanda, dan Sucipto Munandar, Ketua Yayasan Indonesië Studies, Onderzoek en Informatie, Amsterdam. (LPK-65 Belanda akan khusus menyiarkan secara lengkap kedua makalah tsb dalam siaran mereka)


* * *


Ada satu hal penting yang ingin kusoroti mengenai peringatan PERISTIWA KORBAN 1965 kali ini. Karena, ia berbeda dengan peringatan-peringatan yang diadakan di masa lalu di Belanda, yang seingatku pembicaranya adalah orang-orang Indonesia.


Keistimewaannya pertemuan peringatan peristiwa korban 1965 kali ini, di Belanda, ialah hadirnya Ny. Martha Meiyer. Bukan sekadar hadir. Tetapi beliau tampil sebagai pemberi 'keynote speech', mengenai masalah IMPUNITAS DI INDONESIA. Yaitu tentang situasi 'bebas hukum' atau lebih jelas lagi tentang 'ketiadaan hukum' di Indonesia, yang dinyatakan sebagai 'negara hukum'. Kehadiran Martha Meijer punya arti khusus, karena hal itu memanifestasikan perhatian internasional dan solidaritas aktivis dan tokoh HAM asal Belanda terhadap para korban pelanggaran HAM di Indonesia.


SIAPA MARTHA MEIJER?

Orangnya sejak duku aktif sebagai relawan sekaligus juga profesional dalam kegiatan-kegiatan yang menyangkut hak azasi manusia. Wanita Belanda yang fasih berbahasa Indonesia, adalah mantan Ketua Amnesty International Belanda dan seorang 'country coordinator untuk Indonesia' di AI Belanda, telah melakukan kegiatan demi HAM sejak tahun tujuhpuluhan abad lalu.


Beliau tergugah oleh nasib dan penderitaan para tapol Indonesia yang ditemuinya di Indonesia (1973). Maka lahir dalam hati sanubarinya hasrat untuk berbuat sesuatu demi pengembangan HAM di Indonesia. Beliau pernah koordinator INDOC, Pusat Dokumentasi dan Informasi Indonesia di Leiden, Belanda. Sejak tahun 1996, Martha Meijer, adalah direktur HOM, Humanist Committee on Human Rights di Belanda (Untuk informasi lebih lanjut silakan klik situs HOM -- -- www.hom.nl -- dan--- www.humanrightsimpact.org--).


Dalam tahun 2005 Martha Meijer melakukan penelitian selama 6 bulan di Indonesia dalam rangka penerapan sebuah pendekatan yang telah dikembangkan oleh HOM untuk menilai kebijakan dan program-pgroam yang diarahkan untuk peningkatan kondisi HAM (Human Rights Impact Assesment, HRIA).


Resultatnya adalah sebuah buku hasil studi berjudul JANGKAUAN IMPUNITAS DI INDONESIA.


Penelitian tsb menganalisis empat pola yang merupakan sumbangan pada keberlanjutan atau kelanggengan impunitas di Indonesia serta mengaitkan keempatnya dengan sasaran perubahan yang diturunkan dari hukum azasi manusia internasional. Indikatornya telah diidentifikasikan, yang merupakan pilar-pilar utama untuk strategi menghentikan terjadinya impunitas. Perlu dikemukakan di sini bahwa para aktivis hak azasi manusia Indonesia sudah mulai menggunakan analisis ini untuk mendesain kerja-kerja mereka di masa datang dan kersama untuk menentang impunitas ..


Ketika memberikan 'keynote speech'-nya Martha Meijer menjelaskan bahwa hasil studinya di Indonesia mengenai IMPUNITAS, adalah sebuah analisis yang diatur dengan menggunakan metode Penilaian Dampak Hak Azasi Manusia (Human Rights Impact Assesment, HRIA) , dengan langkah-langkah:


1. Diskripisi mengenai situasi akhir; 2. Konteks politik - yang difokuskan pada impunitas yang diarahkan pada analisis pola-pola impunitas selama periode 1965-2005; 3. Sasaran perubahan - difokuskan pada pengentasan impunitas dengan menggunakan panduan PBB yang dikembangkan oleh Orentlicher; 4. Isu-isu yang akan dimonitor - mendaftar isu-isu di mana pola-pola impunitas berkonflik dengan sasaran perubahan yang tampak pada sejumlah indikator spesifik yang dimonitor; 5. Kesimpulan dan rekomendasi - termasuk prioritas untuk perubahan dan advokasi.


Jelas kiranya, untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut dan mendalam mengenai hasil studi Martha Meijer mengenai masalah IMPUNITAS di Indonesia, yang paling baik ialah membeli buku hasil studi Martha Meijer tsb dan mempelajarinya secara khusus. (Terbitan Jaringan Mitra Impunitas 2007)


* * *


Hari memperingati Peristiwa Pelanggaran HAM Terbesar di Indonesia yang berlangsung di Diemen hari ini, tidak sekadar mendengar makalah para pembicara, khususnya hasil studi lapangan oleh Martha Meijer mengenai situasi impunitas di Indonesia. Tanya-jawab dan diskusi yang berlangsung setelah mendengarkan setiap pembicara, telah menambah pemahaman dan pengertian para hadirin yang dengan aktif ambil bagian dalam diskusi tsb.


Telah bertambah pula pemahaman dan pengertian hadirin bahwa, kegiatan membela para korban Peristiwa 1965, sampai tercapainya tujuan diakhirinya situasi impunitas di Indonesia, serta tercapainya rehabilitasi hak-hak politik dan hak-kewarganegaraan para korban dan keluarganya, yang hingga kini masih menderita diskriminasi dan stigmatisasi, ----- harus dilakukan kegiatan dengan berrencana, sabar dan dengan semangat yang tinggi.


Serta mengkhayati pentingnya memadukan kegiatan HAM di dalam negeri yang merupakan usaha utama dengan kegiatan solidaritas internasional sebagai fakor yang amat diperlukan.


* * *




Wednesday, September 26, 2007

SUDAH WAKTUNYA AMNESTY INTERNATIONAL, Komisi HAM PBB dan Lembaga HAM lainnya , Tangani Sampai Tuntas Kasus 'KORBAN PERISTIWA 1965'

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 26 September 2007
--------------------------------

SUDAH WAKTUNYA AMNESTY INTERNATIONAL, Komisi HAM PBB dan Lembaga HAM lainnya , Tangani Sampai Tuntas Kasus 'KORBAN PERISTIWA 1965'

Sudah Empatpuluh dua tahun berlalu sejak terjadinya peristiwa berdarah, pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah kehidupan Republik Indonesia, ---- bahkan dalam s e l u r u h sejarah nasion Indonesia, --- ketika aparat kekuasaan negara RI di bawah Jendral Suharto melakukan suatu kampanye pembunuhan massal, penangkapan besar-besaran, pemenjaraan dan penindasan terhadap kurang lebih tiga juta rakyat Indonesia yang tak bersalah.

Sudah lebih dari empatpuluh tahun pula, -- lebih dari duapuluh juta keluarga korban KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN rezim Orba, sampai detik ini, masih menderita secara mental, politik dan sosial. Karena terhadap mereka-mereka itu, --- aparat kekuasaan dan birokrasi negara, didukung oleh ketetapan , peraturan dan ketentuan, serta kebijaksanaan pemerintah warisan rezim Orba, masih meberlakukan diskriminasi, stigmatisasi dan pengucilan.

Sudah hampir sepuluh tahun rezim Orba yang dikepalai oleh Presiden Suharto formal 'lengser'. Namun, -- birokrasi dan aparatur kekuasaan negara pasca Suharto , termasuk lembaga-lembaga legeslatif dan judisial masih terus melakukan politik dan kebijakan rezim Orba terhadap para korban Peristiwa Pelanggaran HAM 1965.

Hak-hak politik dan kewarganegaraan korban Peristiwa 1965, masih saja belum direhabilitasi. Nama baik mereka yang telah dirusak dan dihitamkan oleh rezim Orba masih belum dipulihkan.

* * *

Pelanggaran HAM besar-besaran yang menjadi tanggungjawab rezim Orba, tak terbatas hanya pada orang-orang PKI, yang dianggap simpatisan dan pendukung PKI, orang-orang Partindo, PNI, Baperki, pelbagai ormas, serta orang-orang non-partai yang dianggap Kiri dan simpatisan serta pendukung Presiden Sukarno. Dimulai dari situ berlangsung serentetan Pelanggaran HAM besar-besaran, yaitu ketika militer Indonesia melakukan invasi serta pendudukan, 'anchlus' dan 'referendum' di Timor-Timur, --- dalam Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Mei 1998, ---- yang menyangkut sejumlah kasus 'orang hilang' , antara lain 'hilangnya' penyair muda dan aktivis demokrasi dan HAM Widji Thukul, kemudian kasus-kasus konflik kekerasan di Aceh, Papua, Maluku dan tempat-tempat lainnya.

Terakchir bangsa kita menyaksikan pembunuhan keji terhadap pejuang demokrasi dan aktivis HAM Munir, dimana terdapat indikasi kuat terlibatnya aparatur intelijen kekuasaan.

Kesemuanya itu menunjukkan bahwa di Indonesia dewasa ini 'ketiadaan hukum' masih berlangsung terus. Di Indonesia masih belum ada perubahan mendasar terhadap situasi 'impunity'. Hal itu terjadi meskipun sudah hampir sepuluh tahun Reformasi dan Demokratisasi diproklamasikan dan didengung-dengungkan . Walaupun --- negara Republik Indonesia yang diasumsikan sebagai suatu negara hukum karena sejak berdirinya didasarkan pada suatu UUD. Meskipun negara ini berfalsah PANCASILA yang berperikemanusiaan . Meskipun sejak Reformasi dan Demokratisasi telah ditambahkan pula fasal-fasal HAM yang universil ke dalam UUD-RI. Nyatanya, pelanggaran-pelanggaran HAM masih tetap tidak ditangani sebagaimana mestinya. Baik oleh pemerintahan Presiden Habibie yang lahir dari pilihan dan restu Presiden Suharto yang lengser, maupun oleh pemerintahan pasca Reformasi, di bawah Presiden Abdurrahman Wahid yang digulinggkan semasa masih dalam jabatan, demikian pula oleh pemerintahan Presiden Megawati dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerima jabatannya langsung dari para pemilih.

* * *

Betapapun, Gerakan dan Kegiatan demi HAM dan perjuangan untuk Demokrasi dan Keadilan dalam masyrakat Indonesia tak pernah berhenti. Ia berlangsung terus. Terkadang vokal dan bergelora, terkadang tak terasa dan seperti hilang tenggelam di bawah pemberitaan-pemberitaan lainnya. Di lain fihak, tanggapan dan reaksi dari jurusan yang berwewenang, sama saja. Mereka tetap membisu dan membuta terhadap pelanggran-pelanggaran HAM di masa 'lampau''. Sikap yang berwewenang dan kaum polistisi yang berucap membela HAM, tetapi bertindak lain, adalah seperti orang yang terjangkit penyakit 'hilang ingatan', layaknya

Terlebih-lebih lagi terhadap kasus pelanggaran HAM terbesar, kasus Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dalam Peristiwa Pembunuhan Masal 1965.

Kepada pelbagai lembaga HAM mancanegara telah berkali-kali diajukan seruan, petisi, imbauan, bahkan tuntutan agar organisasi-organisasi HAM internasional seperti AMNESTY INERNATIONAL. dan Komisi HAM PBB, agar memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap situasi HAM di Indonesia.

Untuk keperluan itu, beberapa tahun yang lalu, suatu delegasi korban Peristiwa 1965, dipimpin oleh Dr Ciptaning dan Ir Stiadai dari Pakorba, khusus berkunjung ke Jenewa menghadiri Sidang Komisi HAM PBB, dengan tujuan minta perhatian mancanegara dan PBB, atas situasi pelanggaran HAM di Indonesia. Selanjutnya, sepucuk Surat Terbuka dikirimkan kepada Sekjen PBB Koffi Anan, juga dengan maksud minta perhatian badan dunia tsb atas situasi HAM di Indonesia. Namun seruan-seruan dan imbauan tsb sampai sekarang masih belum mendapat tanggapan yang diharapkan.

Amnesty Inernational sebagai suatu badan HAM non-pemerintah terbesar di dunia dewasa ini, pernah melakukan aksi-aksi tertentu minta perhatian dunia serta pemerintah Indonesia dan dunia terhadap pelanggaran HAM terbesar 1965. Baru-baru ini ( di Utrecht, 13 Sept 2007) Amnesty Internatioanl (Belanda) bersama Universitas Utrecht, SIM dan ICCO dalam kesempatan diselenggarakannya 'Munir Memorial Lecture', minta perhatian dunia khusus terhadap kasus pemubunuhan keji terhadap MUNIR , aktivis dan pejuang demokrasi dan HAM Indonesia. Menuntut keadilan untuk Munir. Juga Keadilan untuk semua.

Kegiatan tsb merupakan dukungan atas usaha dan kegiatan aktivis HAM diIndonesia, yang perlu disambut. Agar dimasa mendatang Amnesty International dengan lebih teratur serta berrencana melakukan kampanye mancanegara untuk mendesak pemerintah Indonesia dan PBB secara nyata menanganai kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Sehubungan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM tsb, bagaimana sikap dan konsistensi Komnasham Indonesia dalam menangani kasus Munir dan kasus Peristiwa 1965 masih harus dilihat lebih lanjut.

* * *

Apakah organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga HAM internasional khususnya Amnesty Interntional dan Komisi HAM PBB serta organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga internasional lainnya sudah cukup memberikan perhatiannya terhadap pelanggaran HAM terbesar di Indonesia, khususnya perhatian terhadap para korban Peristiwa 1965 yang sampai dewasa ini hak-hak kemanusiaan dan hak-hak politiknya masih belum direhabilitasi oleh yang bertanggung jawab dan berwewenang di Indonesia?

Kiranya masih belum cukup.

Tidak seharusnya organisasi dan lembaga-lembaga HAM internasional maupun nasional, baru mulai bergerak dan bertindak serta melakukan aksi-aksi, h a n y a , apabila ada seruan, imbauan dan desakan masyarakat dan para korban serta keluarganya.

Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi naional dan internasional peduli HAM di manapun di dunia ini, diharapkan, bahkan perlu ditandaskan bahwa adalah tugas mereka, sejak semula memegang inisatif di tangannya sendiri, lebih tanggap lagi terhadap setiap pelanggaran HAM. Bertindak dan melancarkan aksi-aksi, tanpa membeda-bedakan di negeri mana pelanggaran HAM itu terjadi, dan siapapun yang menjadi korban akibat pelanggaran HAM tsb., apapun keyakinan dan aliran kepercyaan serta pandangan politik para korban tsb.

Sudah tiba waktunya organisasi-organsasi ornop dan LSM-LSM di seluruh dunia, khususnya organisasi HAM seperti Amnesty International dan organisasi dunia yang beranggotakan mayoritas negeri di dunia ini, seperti Komisi HAM PBB, menyadari kewajibannya, serta mengkhahayati misinya, ----

Tampil kemuka, membela para korban pelanggaran HAM di Indonesia, mengambil inisiatif di tangannya sendiri dalam pengurusan pelanggaran HAM dan menanganinya sampai tuntas.

* * *

Tuesday, September 11, 2007

Kolom IBRAHIM ISA -- MURIDAN DAN TESIS PAPUA-MALUKU

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------------
Selasa, 11 September 2007.


MURIDAN DAN TESIS PAPUA-MALUKU

Hari Rabu - 12 September 2007, (Kukira) mestinya adalah hari yang p e n t i n g dalam kehidupan intelektual sahabatku, cendekiawan muda Indonesia, MURIDAN S. WIDJOYO. Karena besok siang, . . . . untuk praktisnya, sebaiknya dikutip saja di bawah ini undangan yang dikirimkan Muridan kepadaku: (Dalam bahasa Inggris)

Defence Invitation

You are cordially invited to
the public defence of the PhD thesis

Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistance
in Maluku during the Revolt of Prince Nuku, c. 1780-1810

by

Muridan Satrio Widjojo
on Wednesday 12 September 2007, at 15:00 to 16:00,
at Lokhorstkerk, Pieterskerkstraat 1, 2311 SV Leiden,
Ph. 071-512 3392.

The reception will be held on the same day at 16:00 to 18:00 at
Clusius Café, Hortus Botanicus, Rapenburg 73, 2311 GT Leiden,
Ph. 071-527 7249.

* * *

Jadi, besok itu, ----- antara jam 15.00 dan jam 16.00 Muridan akan mempertahankan tesisnya di Universitas Leiden untuk gelar PhD. Tentu, semakin banyak cendekiawan Indonesia, dari generasi muda, yang menambah dan meningkatkan pengetahuan mereka di Indonesia maupun di luarnegeri, berarti bertambah pula jumlah cendekiawan bangsa kita. Perkembangan ini membesarkan hati kita sebagai orang Indonesia. Setiap harinya entah berapa banyak cendekiawan Indonesia yang menyelesaikan studinya dengan baik. Suatu perkembangan yang amat perlu diperhatikan pemerintah dan memperbesar lagi jumlah anggaran pendidikan negara. Supaya negara menkonsekwenkan janji-janji yang menyatakan memperhatikan masalah pendidikan bangsa.

Kemajuan suatu bangsa, dalam arti penting tergantung pada jumlah dan kemampuan kaum cerdik pandainya mengabdikan hasil studi dan penelitiannya untuk kepentingan kemajuan dan pertumbuhan kekuatan ekonomi, politik dan budaya bangsa itu.

Berhasilnya Muridan S Widjoyo menyelesaikan postgraduate study-nya di Leiden, seyogianya disambut dengan gembira. Hal tsb juga merupakan dorongan bagi mahasiswa-mahasiwa Indonesia yang dalam jumlah besar sedang menempuh studinya di Amsterdam, Leiden, Utrecht, Delft, Wageningen, Groningen, Rotterdam dan perguruan tinggi lainnya di Belanda.

Studi Muridan S Widjoyo memang bagiku agak istimewa.
Ini disebabkan oleh tema, --- oleh masalah yang diangkat dan dijadikan bahan studinya. Yaitu latar belakar sejarah Papua dan Maluku. Ini penting sekali. Agar dalam menelaah masalah Papua dan Maluku, dan kasus-kasus lainnya, tidak sekadar atas dasar apa yang terjadi di masa kini. Yang sering menjadi ramai dibicarakan semata-mata karena kasus simbolik semata, seperti dikirbarkannya bendera Papua, dsb.

Diharapkan dalam meninjau dengan seksama masalah Papua, ditinjau dan diteliti pula latar belakang sejarahnya. Hal ini teramat penting bagi politisi yang sering mengedepankan dan mengangkat sesuatu kasus daerah, banyak terdorong oleh kepentingan politik seketika dari parpol-parpol yang bersangkutan. Lebih-lebih lagi dilakukan tanpa mempelajari dengan seksama inti masalahnya. Hal ini lebih-lebih lagi perlu diperhatikan bila masalahnya menyangkut kasus daerah, seperti Papua, Maluku , Aceh dan lain-lain.

Yang mendorong Muridan mengapa ia memilih tema ini, dijelaskannya sbb:

Konflik-konflik yang ada di antara masyarakat sekarang ini mendorong saya untuk melihat bagaimana sebetulnya konfigurasi masyarakat Indonesia Timur pada masa lalu.

Seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Muridan, tesisnya menyangkut perjuangan lama yang dilakukan oleh kaum pemberontak Maluku dan Papua melawan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) dalam periode antara kira-kira 1780 - 1810, yang berlangsung di bawah pimpinan Pangeran Nuku dari Tidore. Dengan bantuan orang-orang Inggris kekuatan perjuangan Maluku dan Papua Nuku berhasil merebut kembali kesultanan Bacan dan Tidore, yang ketika itu ada di bawah perlindungan Belanda.

Selanjutnya, tulis Muridan dalam 'Korte Samenvatting' dari tesisnya: -- Salah satu dari konklusi penting desertasi ialah bahwa sukses pemberontakan tsb tidak seharusnya dikemukakan sebagai hasil terutama oleh konstruksi ideologi Maluku dan pengikutnya, seperti dikemukkakan oleh historikus L. Andaya. Sukses tsb terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa Nuku dalam kampanyenya, secara optimal mampu menggunakan kekuatan pejuang-pejuangnya, kaum perampok Papua dan Gamrange, dan bersamaan dengan itu secara maksimal menggunakan kapasitas logistik kaum pedagang Seram Timur. Terlebih lagi Nuku dapat dengan pandai mengikat orang-oarng Inggris dan menggunakan para 'country traders' itu untuk kepentingan tujuannya sendiri.(terjemahan bebas dari bahasa Belanda - I.I.).

Dalam kesempatan lain Muridan menyatakan bahwa --- 'Desertasi ini akan menunjukkan bahwa gerakan-gerakan rakyat yang ada sekarang ini sudah ada sejak lama, bahkan sejak abad XVII. Jadi sebetulnya aspek-aspek dasar dari gerakan-gerakan kerakyatan bisa terlihat dari situ.

Bicara tentang masalah Papua dewasa ini, menyangkut masalah identitas Papua, dikatakan Muridan a.l. : Problemnya adalah identitas itu bisa bersifat objektif atau subjektif. Ketika menjadi identitas subjektif seringkali menjadi audiological screen atau sebagai alat yang dipakai untuk melihat apa sebetulnya yang ada di balik pemikiran seseorang ketika dia berbicara tentang ke-Papuaan yang asli atau tentang Islam dan Kristen.
Sebenarnya apa yang ada di kepala mereka itu adalah proyek bisnis keamanan saja. Ada proyek-proyek yang memang mempunyai kepentingan ekonomi dan politik tersendiri di sana. Itu yang harus dibongkar.

Begitu juga di Papua, ada masalah separatisme, ada masalah pendatang dan asli, tapi sebetulnya yang ada di belakang itu adalah perebutan sumber daya. Itu yang harus diverifikasi sehingga kita memahami masalah konflik-konflik yang sekarang dan juga konflik-konflik vertikal dan horizontal yang ada di Indonesia Timur. Betul-betul melihat bahwa sumbernya ada pada persoalan ekonomi dan politik. (Wawancara Muridan yg disiarkan dalam Papua Watch -- 30 April 2005.)

* * *

Apa yang disinggung di atas mengenai tesis Muridan, adalah sebagian kecil saja. Sekadar untuk mendapat gambaran umum tentang apa yang akan dikemukakannya besok itu. Hanya sebagai pemula saja. Isi dari tesisnya jauh lebih luas dan lebih dalam. Yang paling baik adalah mendengarkan dan membaca sendiri tesis Murian dalam kesempatan lain.

Mudah-mudahan pengalaman dan hasil studi Muridan S. Widjoyo akan menjadi penggugah bagi kaum terpelajar kita, khususnya dari generasi muda, untuk lebih baik lagi mempelajari masalah daerah dan latar belakar sejarah suku-suku bangsa Indonesia yang bersatu dalam satu nasion Indonesia. Hanya dengan cara ilmiah dan bijaksana, Indonesia akan mampu menemukan solusi sebaiknya atas kasus-kasus yang menyangkut daerah.

Agar kasus-kasus daerah , tidak disalah-gunakan oleh siapapun, untuk menyulut dan mengobarkan separatisme dan dengan demikian membahayakan eksistensi dan kesatuan serta persatuan Indonesia sebagai bangsa dan negara .

Kita tutup tulisan singkat ini dengan MENGUCAPKAN SELAMAT dan SUKSES kepada Muridan.

* * *

Monday, September 10, 2007

IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 10.09. 2007

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
IBRAHIM ISA'S - SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 10.09. 2007
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
RI, Russia strike historic deals
TNI reshuffle promotes SBY relative
Forest pact a birthday present for SBY
State aircraft maker declared bankrupt
Supreme Court rejects final Amrozi appeal
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
RI, Russia strike historic deals
Urip Hudiono, The Jakarta Post, Jakarta, 07 SEPT 07
Indonesia and Russia dusted off and greased up their somewhat rusty relationship with the signing of a US$1 billion defense deal during President Vladimir Putin's visit to Jakarta on Thursday.Russia, intent on boosting its diplomatic and military influence in Asia, should be able achieve just that through the deal, which will provide credit lines for Indonesia to buy Russian-made helicopters, tanks and submarines.
In addition to the military deal, President Susilo Bambang Yudhoyono and President Putin also witnessed later in the day the signing of agreements for cooperation in the financial sector, financial audits, foreign loans, investment protection, terrorism, the environment, sport and tourism -- with the latter envisaging a "visa-on-arrival" facility for Russian tourists coming to Indonesia.
Speaking to reporters following the signing of the military agreement, Yudhoyono said that defense cooperation would help Indonesia modernize the arms and military equipment of its land, air and naval forces. The arms agreement follows Indonesia's signing of a deal to buy six Sukhoi-30 fighter planes at a Moscow airshow last month, and is seen as being part of an effort to reduce its dependence on U.S. weaponry. Commenting on the deal, Defense Minister Juwono Sudarsono told reporters that the military cooperation would allow Indonesia to gain access to a broader selection and supply of arms, and would entail simpler procurement procedures and savings of up to 40 percent.
"Purchasing arms from Western countries is complicated compared to Russia, with many conditions concerning human rights, accountability and licensing being attached," he said. Indonesia plans to buy 10 transport helicopters, five assault helicopters, 20 amphibious tanks and two submarines from Russia, Defense Ministry spokesman Edy Butar Butar had said. The arms agreement follows Indonesia's signing of a deal to buy six Sukhoi fighter planes at a Moscow airshow last month.
Putin, meanwhile, said that Russia was also interested in expanding cooperation in the energy, mining, aviation, telecommunications and other technical fields with Indonesia, which he said was "among the most dynamic and influential nations in the Asia Pacific region." Adding further geopolitical nuance to the new defense deal, Putin referred to the common interests in international affairs that he shared with Yudhoyono during a closed-door meeting before the signing of the agreements. These common interests included Palestine, Iraq, Iran and North Korea.
"Russia and Indonesia's approach to global issues are very much alike," Putin said. "We both support relations between nations on a equal basis and peaceful resolution to conflicts." Both countries, among the worlds' most populous, will be members of the United Nation's Security Council until next year, with Indonesia holding the chairmanship and Russia being a permanent member with veto rights.
Putin's one-day visit follows Yudhoyono's visit in December last year to Moscow, and is the first by a Russian leader in almost five decades, after Nikita Kruschev came here in 1960 at a time when the relationship between Indonesia and the former Soviet Union was at its peak -- politically and economically. After the signing of the agreements, Putin addressed the Indonesia-Russia business forum and attended a state banquet, before heading to the Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) summit in Sydney. After Australia, he will fly to the United Arab Emirates.
----------------------------------------------------------------------
TNI reshuffle promotes SBY relative , 07 SEPT 07
Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta
The Indonesian Military (TNI) announced Thursday a major reshuffle which included the promotion of President Susilo Bambang Yudhoyono's brother-in-law as the new TNI chief of general affairs.
Lt. Gen. Erwin Sudjono, a 1975 graduate of the Armed Forces Academy and the husband of First Lady Ani Yudhoyono's older sister, is the current commander of the Army's Strategic Reserves Command (Kostrad). His elevation to the post of chief of general affairs will see him filling the post of Lt. Gen. Endang Suwarya, who has been moved to "administrative tasks" at TNI headquarters.
The reshuffle, which was decided at a meeting of the TNI's High-ranking Officers Promotion Council (Wanjakti), was presided over by TNI commander Air Chief Marshal Djoko Suyanto on Tuesday and involved a total of 129 high-ranking officers from all the three forces -- the Army, the Navy and the Air Force -- including 32 officers entering retirement age.
"The reshuffle has been conducted as part of the routine tour of duty to refresh the military organization. It has been held in accordance with principles of professionalism and fair proportion among the three forces," TNI spokesman Rear Marshal Sagom Tamboen told The Jakarta Post after a ceremony that saw the chief of the National Air Defense Command Vice Marshal Eris Haryanto pass his position on to his successor Rear Marshal Gandjar Wiranegara. Eris was appointed the new Director General for Defense Planning and Weaponry at the Defense Ministry.
Some 51 senior officers were transferred to new positions while maintaining their military ranks, while 46 others were promoted to higher ranks. Other officers affected in the reshuffle include Lt. Gen. Cornel Simbolon, currently commander of the Army's Education and Training Command, who was appointed as Deputy Army chief. He will replace retiring Lt. Gen. Herry Tjahjana.
Maj. Gen. George Toisutta, currently chief of the Siliwangi Regional Military Command overseeing West Java and Banten provinces, was promoted as the new Kostrad chief. He is expected to get his three-star-general rank in the immediate future. Maj. Gen. Bambang Darmono, assistant to the TNI chief for General Affairs, was promoted to lead the Army Education and Training Center (Kodiklat) in Bandung. He will also get his three-star-general rank soon.
Rear Marshal Subandrio, currently assistant to the Air Force chief on logistic affairs, was promoted to deputy Air Force chief, while Brig. Gen. Sunarko, currently chief of staff of Kostrad's First Division, was promoted to commander of the Army's Special Forces (Kopassus). Both Subandrio and Sunarko will be awarded a higher rank.
Brig. Gen. Suwarno, currently a senior officer at Kodiklat, was promoted to be commander of the Presidential Guard Command, while Brig. Gen. Haryadi Sutanto, chief of staff of Central Java's Diponegoro Military Command, was promoted to chief of the Trikora Military Command overseeing the provinces of Papua and West Papua.
----------------------------------------------------------
Forest pact a birthday present for SBY
The Jakarta Post, Sydney
On the sidelines of the second day of the Asia-Pacific Economic Cooperation summit in Sydney, world leaders congratulated President Susilo Bambang Yudhoyono on his 58th birthday.
"Happy birthday to you," the Australian Prime Minister John Howard told the President, while other leaders applauded. Pictured here are (left to right) Chilean President Michelle Bachelet, Chinese President Hu Jintao, Hong Kong Chief Executive Donald Tsang and Japanese Prime Minister Shinzo Abe. Earlier in the morning, Foreign Minister Alexander Downer, who was celebrating his 56th birthday on the same day, visited the President at his suite in the Four Seasons Hotel. Yudhoyono witnessed the signing of a forests partnership to reduce greenhouse gas emissions between Downer and his counterpart Hassan Wirayuda.
The deal aims to preserve 70,000 hectares of peat forest in Kalimantan and Australia is initially contributing A$30 million ($22 million) to the project. It will contribute up to A$100 million in the next four years, which includes the planting of up to 100 million trees and the re-irrigating of 200,000 hectares of dried peat land. The project aims to cut greenhouse gas emmissions by about 700 million tons over 30 years, Downer said. Annual forest fires in Indonesia are in part caused by the burning of the peat lands, contributing to the country's greenhouse gas emissions. On Monday morning Yudhoyono is scheduled to meet with Indonesian students in Sydney. A lunch is scheduled with Howard at the prime minister's residence, Kirribili House, before Yudhoyono's departure to Jakarta on a special Garuda flight. JP/Kornelius Purba
---------------------------------------------------------------
State aircraft maker declared bankrupt
Tony Hotland and Yuli Tri Suwarni, The Jakarta Post, Jakarta, Bandung - 05 SEPT 07
State-owned aircraft manufacturer PT Dirgantara (PTDI) was on Monday declared bankrupt by Indonesia's commercial court system.The court said PTDI was on the verge of demise and had several long-overdue debts but PTDI said it would appeal to the Supreme Court.
The company said its defense would continue to be that it was still operating and had orders from overseas that would see it through to at least 2017. The lawsuit against the aircraft manufacturer was filed last month by some 6,500 former employers who were dismissed in 2003. They were told then the company was being restructured. The employees have demanded the company pay their pension funds and retirement allowances as per their last salaries. PTDI currently employs 3,200 employees and has said it has no further obligations to pay said pension or retirement funds, which amount to some Rp 200 billion (US$21.5 million). The presiding panel of judges said the evidence against Bandung-based PTDI was incriminating.
Presiding judge Andriani Nurdin said a document issued by the Committee for Central Labor Disputes (P4P) in January 2004 showed the company had been required to pay the compensation. A warning letter issued by the then-manpower and transmigration minister in October 2004 obligated PTDI to pay the funds within 30 days. The court also saw the company had outstanding debts to other creditors including Bank Mandiri at Rp 125 billion, as well as individuals Supriadi Jasa at Rp 79 million and Neli Ratna Sari at Rp 15 million. The court found the company's defense was baseless. "The document simply shows estimates that are not supported by adequate infrastructure and capital," judge Heru Pramono said, adding that there was no reason left to sustain the company. The court appointed curator Taufik Nugroho to appraise the company's standing assets and Zulfahmi as the overseeing judge. Legal expert Frans H. Winarta said a bankruptcy status would force the company to pay back all of its debts and compensation to its current employees. If the value of its assets is lower than the overall debts, the company should pay according to a proportion based on the amount of debt of each creditor, Frans said.
"But this cannot be executed until there's been a verdict from the Supreme Court." A pioneer in Asia's aviation industry, PTDI was set up as PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio in 1976 with then-research and technology minister BJ Habibie as president director. The 1997 Asian financial crisis forced it to restructure and reduce its payroll from almost 10,000 to less than 4,000. In Bandung, West Java, company spokesmen Rakhendi Priyatna said the company was "starting to pick up its pieces with orders coming from in and out of the country". "A bankruptcy verdict will lead to complaints and even penalties regarding our current production," he said. Workers at the company appeared unaffected but said they deplored the verdict. They said they believed the company would win the case at the Supreme Court.
--------------------------------------------------------------
Supreme Court rejects final Amrozi appeal
The Jakarta Post, Jakarta, 08 09.07 == The Supreme Court announced here Friday it has rejected a case review appeal from Amrozi bin Nurhasyim, a convicted bomber in the 2002 terrorist attacks on Kuta, Bali.Separately, Vice President Jusuf Kalla was quoted by AP as saying the ruling "abides by the law" and it was up to the attorney general to decide when to carry out the death penalty.
The 2002 bombings are considered one of the most high-profile cases in the country's judicial history. 202 people, mostly foreigners, were killed in the blasts. The Supreme Court's verdict was issued by a team of judges led by Iskandar Kamil. The team also included panel members Bahauddin Qoudry and Djoko Sarwoko. The verdict, issued on Aug. 30, upheld the death sentence issued by the Denpasar District Court against Amrozi in August 2003. The sentence was upheld by the Bali High Court in late 2003 and then by the Supreme Court in January 2004. Justice Djoko Sarwoko, who is also spokesman for the Supreme Court, said the court had decided to reject Amrozi's request for a review of the court's January 2004 verdict on the grounds that Amrozi had failed to provide any new evidence.
In his statement, Amrozi quoted a ruling by the Constitutional Court establishing that the 2003 law on antiterrorism could not be applied retroactively. Amrozi argued that he could not be convicted under the 2003 law since the Bali bombing occurred in the previous year. "However, the Constitutional Court's verdict does not automatically negate the verdicts of the Denpasar District Court and the Bali High Court, both of which sentenced him to death," Djoko said as quoted by Antara news wire. "The Court's panel of justices decided that the Constitutional Court's ruling was not new evidence in the case. It also concluded that there had been no mistakes (committed by the Denpasar Court and the Bali High Court) in issuing the death sentence," he added.
Djoko said the Supreme Court was aware the 2003 antiterrorism law was not without its flaws, including articles in contradiction to other legislation. Djoko added that the court believed the verdicts of the District Court, the Bali High Court and the Supreme Court met all the stipulations of the Criminal Code Procedures. The other two men currently serving sentences for the Bali bombing -- Imam Samudra and Amrozi's brother Ali Gufron -- have also filed for a case reviews with the Supreme Court. The Supreme Court has yet to issue its ruling on the two convicts' plea. Amrozi, Imam Samudra, and Ali Ghufron are currently serving their jail terms at Batu Prison in Nusakambangan, Central Java.
The 2002 Bali bombings were blamed on the Al-Qaeda-linked Jamaah Islamiyah terror network. None of the three condemned convicts has expressed remorse over the attacks.

* * *

Thursday, September 6, 2007

IBRAHIM ISA -- IN MEMORIAM - - - SUDJINAH, PEJUANG TANGGUH

IBRAHIM ISA
------------------------
Kemis, 06 September 2007

IN MEMORIAM - - - SUDJINAH, PEJUANG TANGGUH
Sore ini, baru saja kuterima BERITA DUKA, yang dikirimkan oleh sahabatku Trikoyo Ramidjo dari Jakarta. Menurut berita e-mail dari Trikoyo: IBU SUDJINAH, akitivis yang dulu sering menulis di Harian Rakyat dengan nama S. Djin telah tutup usia tadi sore jam tiga (Kemis, 06 September 2007 jam 15.00 WIB. Rencananya dikebumikan besok hari Jum'at tanggal 07 September 2007. Demikian Trikoyo.

Lanjut Trikoyo: Semoga saja kita semua ini seperti rumpun bambu, -- walau batang-batrang bambu ditebang dan mati, rebung-rebung akan tumbuh terus dan menjadi bambu-bambu yang lurus, tegar, kuat bagaikan bambu betung dan tak akan membusuk walau terendam air sekalipun.

Selamat jalan Zus Djinah, istirahatlah dengan tenang. Biar tugas selanjutnya diteruskan yang lain, yang masih sanggup meneruskan dengan tulus ikhlas berjuang untuk Rakyat dan tanah air tercinta.
Ikhlaskan tak ada pengorbanan yang sia-sia. Demikian e-mail Trikoyo yang kuterima.

* * *

Bersama segenap keluarga dan kawan-kawannya kita turut berdukacita dengan kepergian Sudjinah yang kukenal baik. Dua tahun yang lalu, ketika berkunjung ke Jakarta, kami, suami-istri menyempatkan diri untuk menemuinya dan bercakap-cakap . Sudjinah kukenal baik, khususnya dalam kegiatan dan aksi-aksi di Jakarta, mendukung kebijaksanaan Presiden Sukarno pada tahun-tahun 1957-1960, a.l. dalam aksi-aksi ambil alih perusahaan asing dan aksi pembebasan Irian Barat.

Sudjinah adalah seorang pejuang seumur hidupnya.

Bukan saja pejuang kemerdekaan bangsa, tetapi juga sebagai pejuang demi hak-hak wanita dan demokrasi yang berani dan tangguh. Ia dilahirkan di Solo tahun 1928. Pada periode perang kemerdekaan melawan kaum kolonialis Belanda, Sudjinah ambil bagian aktif dalam Tentara Pelajar dan Pemuda Putri Indonesia. Ia aktif ikut bertempur melawan musuh-musuh Republik Indonesia di dekat Salatiga, Tengaran dan Mrangen (1945-1950.). Ketika itu Sudjinah bertindak sebagai kurir Batalyon Bramasta di bagian Selatan Sungai Solo (1949).

Sebagai anggota GERWANI, sebuah organisasi wanita Indonesia yang terbesar ketika itu, Sudjinah sering mewakili Gerwani di pelbagai konferensi internasional. Kembali di Indonesia Sudjinah melakukan kegiatan sebagai wartawan dan penterjemah untuk GERWANI.

Sesudah terjadi peristiwa G30S, tanpa peroses peradilan apapun, Sudjinah ditangkap aparat militer dan dijebloskan di penjara Bukitduri. Berkali-kali Sudjinah mengalami siksaan aparat. Tanpa pembuktian apapun ia dijatuhi hukuman penjara18 tahun.

Sudjinah bebas dari penjara Tanggerang pada tahun 1983. Selanjutnya ia melakukan pekerjaan sebagai interpreter dan guru bahasa Inggris. Sudjinah telah menulis dua buku penting mengenai pengalamannya selama dipenjarakan oleh rezim Orba. (Sumber: Biografi IISG).

Mengharapkan segenap anggota keluarga, sanak saudara yang ditinggalkan oleh Sudjinah, tabah menghadapi musibah ini.

INNA LILLAHI WA INNA LILLAHI RAJI 'UN.
Semoga arwahnya diterima Tuhan YME.

* * *

IBRAHIM ISA Berbagi CERITA -- Apa Benar . . Orang Bilang SOSDEM SUKSES ?

IBRAHIM ISA Berbagi CERITA
Rabu, 05 September 2007

Apa Benar . . Orang Bilang SOSDEM SUKSES ?
Judul tulisan diatas bukan sensasi! Pun bukan maksud memprovokasi. Sekadar memancing dan menggugah pembaca berfikir sedikit lebih mendalam. Bagaimana, . . . . . kok, bisa-bisanya ada ucapan yang demikian itu? Berani-beraninya, pada zaman 'jaya-jayanya' globalisasi dan neo-liberalisme, . . . . masih bicara tentang SUKSESNYA SOSIAL DEMOKRASI!

Kan bisa dipertanyakan, pembicaraaan seperti itu apa relevan dalam situasi sekarang? Sungguh, ini bukan aku yang bicara begitu. Yang menulis tentang 'KESUKSESAN SOSIAL DEMOKRASI', adalah sebuah majalah mingguan Belanda, 'ELSEVIER' (No. 34, 25 Agustus 2007). Dalam mingguan itulah disiarkan tulisan salah seorang jurnalisnya, Leon de Winter. Artikel Leon berjudul 'Onwaarchijnlijk Success', artinya SUKSES Yang TAK TERBAYANGKAN' . Yang ia maksudkan ialah SUKSESNYA SOSIAL DEMOKRASI. Paling tidak di Belanda dan banyak negeri Eropah Barat sosial demokrasi itu sukses.

Ini memang menarik dinalisis. Betul! Tembok Berlin yang merupakan tembok besar Sosialisme yang didirikan Chrusjtjov untuk membendung pengaruh kapitalisme sudah runtuh. Sesudah 28 tahun (dibangun 13 Agustus 1961 - dan dirobohkan massa pada 13 Juni 1990) bertahan terhadap arus kapitalisme dari (Jerman)Barat, akhirnya benar-benar bobol. Bukankah 'breaking news' itu diikuti oleh 'breaking news' lainnya, dengan dibubarkannya Uni Sovyet oleh kombinasi pergulatan Gorbachov >< Yeltsin. Lalu follow-upnya bubarnya 'kubu Sosialis', 'The Communist Bloc' seperti yang disebut oleh Barat? Maka tampak ada alasan untuk menyatakan bahwa sosialisme, komunisme sudah selesai. Tak puya haridepan.

Pasti belum dilupakan pernyataan Presiden AS Ronald Reagan, ketika itu. Masih terngiang-ngiang di telinga maklumat mantan Presiden A.S. limabelas tahun yang lalu. Dengan gaya seorang bokser yang mengalahkan lawannya dengan suatu pukulan 'knock out' , Reagan berucap lantang: 'Kapitalisme sudah mengalahkan Komunisme!' Komunisme sudah hancur'. Pers Barat dan cendekiawannya menyatakan bahwa haridepan dunia tidak bisa lain, adalah: KAPITALISME!

Yang dimaklumkan Reagan kalah, bukankah namanya adalah komunisme? Sedangkan Sosialisme dan Sos-Dem, itu samasekali bukan Komunisme. Dua hal tsb tidak boleh disamakan! Baiklah, anggaplah begitu. Yang kalah itu adalah komunisme, samasekali bukan sosialisme atau sosial-demokrasi . . . . .!

Dinyatakan bawha Komunisme itu kalah. Penyebab utama kekalahan tsb ialah, karena dalam perjuangannya kaum komunis menggunakan cara revolusi, cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Setelah mencapai kemenangan dan mempertahankan kemenangannya, mereka memberlakukan sistim diktatur untuk membangun sistim masyarakat yang dipandanganya adil dan makmur

Sedangkan kaum sosialis dan kaum sosial-demokrat menggunakan cara demokratis, cara damai, cara pemilu. Jadi ada perbedan besar. Demikian dinyatakan.

Ada baiknya, dalam 'cerita' ini, hendaknya tidak melihat suatu gejala dari satu segi saja. Pandangan sebaiknya diarahkan ke cakrawala yang lebih luas. Karena, nyatanya, bukan satu dua saja negara-negara di dunia ini, yang penguasanya bukan kaum komunis tokh memberlakukan sistim diktatur. Lihatlah Myanmar (Birma), Lybia, Sudan, Republik Islam Iran, Saudi Arabia, Republik Islam Pakistan dan mungkin masih ada lain lagi, dalam praktek nyata sekali menggunakan sistim diktatur untuk mempertahankan kekuasaannya. Bahkan menggunakan religi sebagai alasan untuk melaksanakan diktatur tsb. Dengan demikian, diktatur itu bukan monopoli kaum komunis saja. Selain itu, diketahui juga bahwa terdapat sementara kaum Komunis di Eropah yang sudah lama mencampakkan teori diktatur proletariat. Lalu perhatikan kenyataan ini: --- Selama lebih dari 30 tahun rezim Orba seratus persen memberlakukan sistim diktatur. Bisa dipastikan bahwa diktatur Orba itu lebih ganas dari diktatur negeri sosialis. Diktatur militer rezim Orba menggunakan jubah 'Dwifungsi ABRI' dan parpol GOLKAR sebagai pijakan sosial. Dan betapa berdarahnya diktatur rezim Jendral Suharto.

Jangan lupakan kenyataan lainnya. Sebuah negara Barat yang memperkenalkan diri sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, Amerika Serikat, dalam kenyataannya juga adalah sebuah kekuasaan diktatur. Bukan diktatur proletariat seperti di Uni Sovyet dulu, atau diktatur demokrasi rakyat semacam di Tiongkok, tetapi diktatur kaum oligarki. Diktatur kaum modal yang menguasai kehidupan ekonomi dan finans negeri , memiliki dana berlimpah-limpah untuk mengedepankan calonnya dalam pemilihan presiden. Dari tahun ke tahun presiden di AS silih berganti, tetapi yang berkuasa tetap saja adalah kaum modal. Di AS mana mungkin tanpa modal bisa mencalonkan diri sebagai walikota, gubernur, senator apalagi presiden. Maka kekuasaan politik, kekuasaan negara di AS ---- u.u.d-nya - ujung-ujungnya -- adalah duit. Kekuasaan politik di negara demokrasi terbesar di dunia itu, adalah KEKUASAAN DUIT!

Memang, komunisme dengan sosial demokrasi, itu tidak sama. Tetapi sumbernya, ya, satu . . . . . . Baik sosialisme, komunisme ataupun sosial-demokrasi, ----- embah pemikiran mereka itu, sumber ilhamnya yang terpenting, adalah Marxisme. Karena isme itu yang dilihat sebagai yang ilmiah. Yang populer disebut aliran KIRI. Marxisme, adalah suatu faham, suatu ajaran yang secara teori dan praktek menganalisis masyarakat dan sistim kapitalis ketika itu. Teori itu membeberkan, mengungkapkan penghisapan kaum modal atas kaum pekerja. Teori tsb melawan pemerasan dan kekuasaan modal atas kerja. Akhirnya yang hendak dicapai oleh sosialisme, komunisme dan sosial demokrasi, ---- tujuan mereka itu , bukankah juga sama? Keadilan sosial, dihapuskannya pemerasan modal, solidaritas dengan kaum minima dalam masyarakat, melawan monopoli dan hegemonisme, melawan imperialisme, hendak menghapuskan kesenjangan sosial, dan menegakkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Di satu fihak blok Sosialis di dunia sudah hancur. Uni Sovyet dan sejumlah negeri sosialis di Eropah Timur sudah bubar. Di negeri-negeri tsb sistim kapitalisme sudah menggantikan sistim sosialis.

Namun, di Tiongkok pekembangan sosialisme tidak berakhir dengan kehancuran. Sosialisme tetap dipertahankan, dengan mengadaptasikannya pada situasi kongkrit Tiongkok. Begitu mereka nyatakan. Menjadilah ia sistim SOSIALISME TIONGKOK. Sosialisme Tiongkok nyatanya telah menghasilkan pertumbuhan luar biasa ekonomi negeri. Telah membikin kaya kas negara. Menjadikan negara Tiongkok Sosialis yang paling banyak memiliki devisa. Sistim sosialis Tiongkok, dalam duapuluh tahun belakangan ini, telah melahirkan golongan tengah baru yang lebih makmur. Sehingga timbullah ketakutan baru terhadap Tiongkok Sosialis yang semakin kuat dan makmur pada Amerika Serikat dan di kalangan Barat serta para pengikutnya.

* * *

Yang menarik di sini, ialah analisis jurnalis mingguan Belanda 'Elsevier', Leon de Winter ketika menilai situasi Belanda dan Eropah.

Jelas, Leon Winter menulis bahwa ide sosial-demokrsi, artinya ide Kiri, telah menjadi kenyataan dalam peri kehidupan rakyat Belanda, dan sementara negeri Eropah. Cara menulis Leon de Winter memang lain daripada yang lain. Ditulisnya: Faham (ide) sosial demokrasi (di Belanda) telah kehilangan sebagian besar hak hidupnya. Bukan karena ia telah mengalami kegagalan. Tetapi, karena tak terbayangkan, ia (justru) telah mengalami sukses.

'Welfare State' kita dewasa ini, tulis Leon de Winter, adalah terlaksananya impian tertinggi kaum sosialis moderat pada permulaan abad lalu. Proletariat telah tiada. Setiap anak kaum buruh dapat menempuh studi. Pengurusan sosial dan kesehatan berlaku untuk semua. Bahkan yang sudah lama menganggurpun memperoleh uang untuk bisa berlibur. Teman saya orang Jerman Henryk Browder, cerita bahwa kedua orangtuanya belum pernah bekerja. (Namun), di rumah terdapat tiga lemari es dan mereka diurus oleh 6 orang pekerja sosial. Di Belanda tidak banyak beda dari di Jerman.

Pemerintah kita, tulis Leon de Winter, telah mengalokasikan separuh dari jumlah total pemasukan kita, lalu membagikannya kembali bermilyar-milyar Euro tsb menurut faham bahwa 'bahu yang paling kuat harus memikul beban yang paling berat'. Suatu faham yang bukan tidak adil bagi siapa saja yang mengagngap ketenteraman sosial adalah kriteria terpenting dalam kehidupan masyarakat, dst.

Di sini tulisan Leo de Winter itu mengidap kekurangan serius. Leon de Winter tidak mengemukakan bahwa 'Welfare State' yang menjadi impian tertinggi kaum sosialis itu bukanlah datang dengan sendirinya. Bukan suatu 'sedekah' dari kaum modal dan majikan. Menurut catatan sejarah gerakan buruh Eropah, 'welfare state' itu adalah hasil perjuangan lama dan susah payah, kaum pekerja, kaum sosialis, kaum komunis dan kaum Kiri lainnya. Suatu perjuangan balas-berbalas melawan sistim kapitalisme yang inheren dengan pemerasan kamu modal terhadap kaum pekerja sepanjang zaman yang teramat kejam. Bahwa perjuangan kaum sosialis, kaum komunis dan kaum Kiri lainnya itu, tidak terbatas pada pemilihan untuk parlemen saja. Bahwa perjuangan itu juga dilakukan melalui cara-cara aksi massa. Seperti, melalui media massa, mengorganisasi dan memberdayakan kaum pekerja, berdemonstrasi dan melalui pemogokan yang tidak jarang disela-sela oleh penggunaan kekerasan aparat untuk menindas kaum pekerja yang berdemo dan mogok. Hal mana membawa korban tidak kecil pada kaum pekerja.

Tibalah kembali pada judul di muka. Apa benar ide-ide sosial-demokrasi, yang hakikatnya adalah ide-ide Kiri, mengalami sukses tak terbayangkan? Jawabnya silakan berikan dengan menalaah sendiri situasi kehidupan masyrakat di Belanda, dan sementara negeri Eropah Barat. Masa kini dan masa lampaunya. Mempelajari gerakan sosialis, komunis dan gerakan kaum pekerjanya, dulu dan sekarang.

Ini juga benar: Sebelum runtuhnya Uni Sovyet, banyak orang-orang Sosialis, orang komunis dan orang-orang Kiri lainnya, berucap di antara mereka sendiri, bahwa apa yang menjadi slogan di negeri-negeri Sosialis, di sementara negara Eropah Barat, hal-hal itu sudah menjadi kenyataan sehari-hari. Yaitu kenyataan munculnya suatu 'Welfare State'.

Memang, kehidupan yang nyata itu, seringkali tidak nyambung dengan apa yang dibayangkan dan apa yag diinginkan! Yang dicita-citakan. Tokh orang akhirnya tak bisa menutup mata terhadap kenyataan keras kehidupan.

Jangan lupa, tulisan ini, sekadar untuk menggugah pembaca ikut memikirkannya. Sekadar bahan pertimbangan. Tidak lain dan tidak bukan.

* * *

Monday, September 3, 2007

Ibrahim Isa -- 'CINA' atau 'TIONGHOA' ?

From: apakabar@saltmine.radix.net
Date: Fri Oct 06 2000 - 09:48:10 EDT
Subject: Kolom IBRAHIM ISA: MANA YANG BENAR? 'TIONGHOA' ATAU 'CINA'?
Date: Fri, 6 Oct 2000 15:16:51 +0100

Kolom IBRAHIM ISA:
6 Oktober 2000.

_CINA_ atau _TIONGHOA_?
Bahwa masalah penggunaan istilah _Cina_ atau _Tionghoa_ telah menjadi bahan
pembicaraan dan diskusi yang cukup ramai dan intresan dalam ruangan
website-CARI, beberapa hari ini, adalah suatu pertanda besarnya kepedulian
yang ada di kalangan sebagian masyarakat Indonesia di dalam maupun di
luarnegeri, khususnya di kalangan orang-orang Indonesia yang asal Tionghoa
(perhatikan: saya gunakan istilah Tionghoa dan bukan Cina) .

Selain ada latar belakang politik Orba yang opresif dan diskriminatif
terhadap orang-orang Indonesia yang keturunan Tionghoa, yang selalu
membayangi soal ini, adalah masalah perasaan atau emosi yang sebenarnya
wajar-wajar saja, di kalangan rakyat kita. Kongkritnya hal itu menonjol
diantara yang biasa disebut _pribumi_ dengan yang biasa disebut _non-pribumi
_. Kedua istilah ini sangat dipopulerkan melalui paksaan dsb oleh Orba dulu,
halmana menunjukkan bahwa ada latar belakang politik yang kuat sekali.

Menyinggung masalah perasaan atau emosi, yang ada antara pelbagai suku
bangsa kita: Jangankan terhadap orang-orang Indonesia yang keturunan
Tionghoa, di kalangan sesama suku bangsa Indonesia lainnyapun, yang
dijuluki sebagai pribumi itu, seperti suku Jawa, Sunda Periangan, Sunda
Cirebon, Sunda Banten, Minang (dulunya biasanya disebut orang Padang, yang
adalah nama sebuah kota) Batak, Bugis, Manado (Manado sebenarnya nama kota,
tapi memang sudah salah kaprah,semua orang Minahasa dibilang orang Manado),
Ambon (ini juga nama kota, lagi-lagi sudah terlanjur semua orang Maluku
disebut orang Ambon) dsb , terdapat seperti suatu tirai perasaan ,sebagai
tambahan terha-
dap perbedaan kultur dan religi, yang sering bisa membikin saling menjauhi,
bahkan bisa menjadi salah satu sebab-musabab dari pertikaian yang berkembang
menjadi pertumpahan darah, seperti halnya kasus konflik berdarah antara
suku Melayu/Dayak dengan suku Madura di Kalimantan tahun lalu.
Emosi atau perasaan antar pelbagai suku bangsa Indonesia, termasuk dalamnya
suku Tionghoa, merupakan kendala antara sesama suku bangsa Indonesia dalam
usahanya untuk membangun nasion Indonesia yang kokoh dan bersatu.

Kendala ini sesungguhnya memang obyektif ada, disebabkan perbedaan asal
kultur, agama ataupun keudukan sosial, sejak zaman kolonial Belanda dulu.
Oleh penguasa perbedaan ini telah digunakan, bahkan diperbesar dan
dikembangkan menjadi konflik tajam . untuk kepentingan politik penguasa.
Juga Orba memulai _kariernya_ sebagai penguasa lalim, antara lain dengan
memperhebat kampanye politik anti-Tionghoa dan anti-Republik Tiongkok.
Politik anti-Tionghoa dan anti-RRT sebenarnya sudah dilakukan oleh
segolongan elite dan penguasa sejak zaman Presiden Sukarno. Ini bisa
tampak, antara lain dengan dikeluarkannya PP-10, yang melarang orang-orang
Tionghoa atau keturuanan Tionghoa (hakikat-nya) berdomisili dan melakukan
usaha perdagangan di pedesaan di bawah tingkat kabupaten. PP-10 kemudian
mengakibatkan eksodus orang-orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa ke
Tiongkok. Politik PP-10 ini sempat amat mengganggu hubungan baik antra
Republik Indonesia dengan RRT. Memang itu salah satu dari tujuan pencetus
PP-10.

Kita lihat, dulu di zaman kolonial Belanda, penguasa menggunakan tirai yang
ada diantara pelbagai suku dan antara _pribumi_ dan _non-pri_ ,untuk memecah
belah usaha para founding fathers bangsa kita untuk membangun suatu nasion
Indonesia yang bersatu, dan untuk mematahkan gerakan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Orba di bawah Suharto, menggunakan tirai dan perebedaan tsb
untuk diabdikan pada politik anti-komunis dan anti-Tiongkok dari rezim. .

Selama 32 tahun sejak berkuasanya Suharto, Orba dengan sangat berrencana
telah menggunakan perbedaan yang ada diantara bangsa kita yang _pri_ dan
yang _non-pri_ untuk kepentingan politiknya sendiri. Politik serupa ini juga
digunakan ketika massa, khususnya mahasiswa dan pemuda turun kejalan-jalan
berdemonstrasi menuntut turunnya Suharto dari singgasana kepresidenan, Mei
1998 y.l. Terjadilah peristiwa pembakaran dan pembunuhan serta pemerkosaan
terhadap orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa di Jakarta dan
tempat-tempat lain. Disini kita bisa saksikan bahwa tirai yang ada antara
yang disebut _pri_ dan yang _non-pri_ itu menjadi amat serius dan laten,
karena adanya peranan penguasa yang menyalahgunakannya.

Orba seakan-akan ada maksud baik, dengan meluncurkan politik _assimilasi_,
yang katanya untuk menjadikan suku bangsa Tionghoa itu betul-betul menjadi
bangsa Indonesia. Tapi sesunggunnya politik Orba itu palsu. Perhatikan
contoh ini: Orang-orang keturunan Tionghoa yang menggunakan nama Tionghoa,
didesak atau ditekan melalui pelbagai cara untuk mengganti namanya. Maka Lim
Sui Liong menjadi Salim, dsb. Tapi kalau seorang keturunan Tionghoa yang
sudah berasimilasi, sudah ganti nama, berhadapan dengan pejabat pemerintah,
maka tetap dilihat apa orang itu dulunya namanya terdiri dari tiga suku kata
atau tidak, apakah matanya sipit dan kulitnya kuning atau tidak?
Lalu ada politik penjatahan bagi calon-calom mahasiswa yang mau masuk
universitas negeri. Jelas dibuat perbedaan antara yang _pri_ dan _non-pri_,
meskipun yang _non-pri_ itu sudah ganti nama segala. Selama 32 tahun
berkuasanya Orba, sulit untuk mencari yang berasal dari keturunan Tionghoa
di kalangan perwira tinggi ABRI atupun di kalangan MPR, DPR, lembaga-lembaga
tinggi kenegaraan lainnya, ataupun di kalangan menteri-menteri, gubernur,
bupati, dsb Jadi politik assimiliasinya Orba itu tidak sungguh-sungguh,
palsu dan merupakan alat penindasan politik dan kultur yang cukup kejam.

Lalu, bagaimana dengan istilah _Cina_ dan _Tionghoa_, bagaimana seharusnya
kita memperlakukannya?
Mempersoalkan masalah tsb jelaslah ,tidak mungkin tanpa melihatnya dalam
konteks latar belakang motif politik dari kekuasaan negara. Masalah istilah
_Cina_ adalah bagian yang penting dari politik negara Orba-nya Suharto.
Entah berapa banyak jumlah warganegara kita yang telah tertekan, diisolasi
dan menderita secara mental. Mereka menjadi penderita trauma, akibat
politik pengubahan istilah _Tionghoa_ menjadi istilah _Cina_ . Karena
soalnya, masalah tsb bukanlah soal istilah semata, tetapi soal politik, soal
kekuasaan, soal diksriminasi, soal politik besar anti-Tiongkok dari rezim
Orba dulu. Jadi yang menjadi masalah besar adalah politik Orba itu.

Sekarang situasi sudah jauh berubah. Perubahan itu sudah dan sedang
berlangsung terus. Bagaimana solusinya dari politik anti-Tionghoa dan
anti-Tiongkok? Dalam hubungan antara Indonesia dengan Tiongkok tampaknya
sudah mulai ada perbaikan khususnya sejak terpilihnya Abdurrahman Wahid
sebagai presiden yang melakukan politik persahabatan yang sungguh-sungguh
dengan Republik Rakyat Tiongkok.

Tetapi dengan masalah penggunaan istilah _Cina_ di kalangan kita sendiri,
itu masih dalam proses solusi. Memerlukan waktu, dan kita harus punya
sedikit kesabaran.

Karena diwaktu yang lalu, adalah pemerintah yang mencetuskan masalah ini,
maka seyogianya yang pertama-tama harus mengadakan pengkokreksian atas
kesalahan itu adalah pemerintah. Pemerintah yang sekarang ini harus mengurus
warisan Orba ini. Jadi, kalau memang seperti yang diberitakan, ada _Surat
Edaran Presidium Kabinet_ zaman Orba yang menjadi dasar pengubahan istilah
_Tionghoa_ menjadi _Cina_, maka seyogianya, sopannya, ya, pemerintahlah
yang harus mencabutnya, membatalkannya.

Namun, di kalangan masysrakat sendiri, yang sudah terbiasa menggunakan
istilah _cina_, khususnya dikalangan generasi muda di tanahair, dengan
tidak ada maksud apa-apa dalam menggunakan istilah itu, maka adalah
kebebasan setiap orang untuk menggunakannya. Asal saja yang bersangkutan
tahu, bahwa ada segolongan masyrakat, yang disebabkan oleh politik
anti-Tionghoa Orba itu, pernah amat menderita, dan menjadi semacam _peka_
mendengar istilah _cina_ itu.

Yang penting, jangan ada paksaan atau semacam instruksi dari pemerintah atau
siapapun, bahwa istilah _cina_ dewasa ini, di zaman reformasi, harus diganti
dengan istilah _Tionghoa_. Bukankah orang asal Jawa juga menggunakan istilah
_cino_ . Keluarga kami, yang terdiri dari ayah asal Minang, ibu asal
Bengkulu, serta saudara-suadara lainnya, di rumah selalu menggunakan
istilah _cino_. Dan tidak ada soal apa-apa. Dari dulu sampai sekarang sama
saja, yah tetap begitu.

Tetapi bila saya menulis, maka saya tetap menggunakan istilah _Tionghoa_,
Karena ketika saya masih seroang guru yang bebas dan merdeka di zaman
pemerintahan Sukarno, istilah untuk itu adalah _Tionghoa_. Ini istilah resmi
dan yang digunakan masyrakat ketika itu. Begitu juga dalam dokumen-dokumen
negara, dalam pers dan di sekolah-sekolah. Sesudah Suharto berkuasa, ketika
istilah _Tionghoa_ harus diganti dengan _Cina_, maka saya tahu itu adalah
bagian dari politik anti-Tionghoa dan anti-Tiongkok dari Orba.

Maka dewasa ini, juga dalam dokumen-dokumen negara dan dokumen-dokumen resmi
lainnya yang bersumber dari pemerintah, istilah _cina_ seyogianya
dikembalikan ke istilah Tionghoa_. Selain menyangkut politik, ini juga
masalah totokromo dari pemerintah, bila betul mengakui bahwa politik
ati-Tionghoa dulu itu adalah keliru, ya mbok secara blak-blakkan ngaku
salah, dan mengkoreksinya dengan tuntas.

Bagi setiap individu, terserah saja mau menggunakan istilah yang mana, bebas
saja. Kecuali untuk peresiden, wapres dan pejabat-pejabat negara, termasuk
guru, dsb adalah lebih etis dan lebih tepat, untuk menggunakan istilah
Tionghoa. Cobalah bayangkan, akan janggal sekali dan sama sekali tidak etis,
jika misalnya Amien Rais, Akbar Tanjung, Abdurrahman Wahid, Megawati
Sukarnoputeri, dan pejabat-pejabat pemerintah lainnya masih menggunakan
istilah _cina_, baik dalam pidato-pidato resmi mereka, maupun dalam
perbincangan sehari-hari. Begitu juga dalam penulisan resmi, sungguh, lebih
etis untuk menggunakan istilah _Tionghoa_, tidak akan menyinggung siapapun.
Bahkan mungkin sekali malah bisa merupakan suatu sumbangan bagi usaha
bersama kita untuk terbinanya dengan kokoh suatu nasion Indonesia yang
terdiri dari begitu banyak banyak suku: Bhineka Tunggal Ika!

Disini juga kita lihat bahwa mempersoalkan soal yang kelihatan kecil,
seperti masalah penggunaan istilah _Tionghoa_ atau _cina_, ada masalah yang
menyangkut pembinaan bangsa kita yang multi rasial ini menjadi suatu nasion
yang betul-betul bersatu.* * *

ETNIK-TIONGHOA dalam PEMBANGUNAN NASION -- Senin, 14 November 2005.

*Kolom IBRAHIM ISA
-
Senin, 14 November 2005.

ETNIK-TIONGHOA dalam PEMBANGUNAN NASION
================================================================
*
Beberapa hari belakangan ini bisa dibaca lagi siaran mengenai masalah
etnik-Tionghoa dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Ambillah peristiwa terakhir. Wartawan Kompas, Semarang, hari ini
memberitakan, bahwa: Sejumlah tokoh etnis Tionghoa Jawa Tengah, Jumat
pekan lalu, bertemu dengan para tokoh Nahdlatul Ulama Jateng, guna
mengantisipasi ancaman teror via layanan pesan singkat atau SMS yang
ditujukan kepada warga etnis Tionghoa akhir-akhir ini, yang intinya
mempertentangkan antara etnis Tionghoa dan umat Islam. Teror SMS yang
bernada ancaman kepada warga Tionghoa akhir-akhir tsb, dikatakan mungkin
dilakukan orang-orang yang tak ingin Indonesia bersatu dan tak berharap
adanya kerukunan antarumat beragama

KH Masruri Mughni (NU) mengatakan, kaum Islam harus melindungi warga
Tionghoa dari ancaman apa pun. Sesuai dengan pesan Rasulullah SAW, kaum
minoritas yang terikat perjanjian dengan warga Muslim harus dilindungi.
Saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa itu sudah terikat perjanjian
dengan warga Islam sebagai satu bangsa dan negara. Oleh karena itu,
warga Islam juga wajib melindungi etnis Tionghoa dan agama lain, paparnya.

Pertemuan lintas etnis dan agama itu dilaksanakan di rumah dinas Wakil
Gubernur Jateng Ali Mufiz. *Fikir penulis: Yang paling bertanggungjawab
melindungi warganegaranya, adalah pemerintah, adalah aparat keamanan
negara.*

Selanjutnya silakan ikuti beberapa cuplikan sajak-sajak di bawah ini
(lengkapnya bisa dibaca di media inernet), yang jelas mencerminkan masih
adanya hal-hal yang perlu dijernihkan dan dipecahkan bersama oleh
seluruh masyrakat, khususnya oleh pemerintah. Fajar, micalnya menulis:
/-- kasian makluk yang bernama tionghoa
ingat, ingat hanya di Indonesia/

Sedangkan "Kang Becak" menulis dalam sajaknya a.l.:
--/Selama etnis Tionghoa masih mau diperalat para pejabat,
Maka ia adalah kaum penindas,
Sekaligus kaum tertindas./

/Atau cuplikan sajak "Myt Pr":-- Bertanyalah pada para pedagang,
Mereka akan jawab,
Tionghoa adalah konglomerat, penindas.

-- Tapi,
Bertanyalah pada para konglomerat,
Mereka akan jawab,
Tionghoa adalah sapi perah para pejabat, tertindas.

Selama etnis Tionghoa masih mau diperalat para pejabat,
Maka ia adalah kaum penindas,
Sekaligus kaum tertindas.

/Yang dikutip dari sajak-sajak diatas, kiranya bukan yang tipikal
mencerminkan masih adanya pemikiran dan perasaan, bahkan pengalaman
langsung, bahwa terhadap warganegara Indonesia asal etnik-Tionghoa masih
didiskriminasi.

Sesungguhnya problim yang dihadapi oleh warganegara Indonesia etnik-
Tionghoa, adalah bagian tak terpisahkan dari masalah pembangunan nasion
Indonesia. Historis, sudah menjadi pemikiran kebangsaan, bahwa
warganegara Indonesia asal etnik-Tionghoa, adalah bagian tak terpisahkan
dari nasion Indonesia, bagian dari bangsa Indonesia.

Oleh karena itu dalam mencari jalan keluar dari problim yang dihadapi
oleh w.n Indonesia asal etnik-Tionghoa, seyogianya memandangnya sebagai
problim yang dihadapi oleh seluruh nasion. Kelirulah bila beranggapan
bahwa problim tsb semata-mata problim yang dihadapi oleh w.n. Indonesia
asal etnik-Tionghoa. Oleh karena itu pemecahannya harus dicari dan
ditemukan pada keseluruhan kebijakan dan langkah-langkah kongkrit
(terutama oleh pemerintah) yang harus diambil dalam menangani masalah
pembangunan lebih lanjut dan pengokohan kesatuan dan persatuan nasion
Indonesia.

Sehubungan dengan ini penulis mengajukan sekali lagi pokok-pokok
fikiran dalam bertukar fikiran mengenai masalah tsb. yang pernah
disiarkan lima tahun yang lalu dalam kesempatan TAHUN BARU IMLEK, sbb:
*Kolom IBRAHIM ISA
Selamat Hari Raya IMLEK! <*4 Februari 2000>

. . . . . Bukankah bangsa kita terdiri dari begitu banyak etnik atau
suku-bangsa? Terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan ataupun
keyakinan? Ada yang Islam. Jumlah ummat Islam Indonesia adalah yang
mayoritas mutlak. Syukur Alhamdulillah, yang beragama Islam di
Indonesia bukan penganut Islam "fundamentalis" seperti yang dikenal
dengan nama Thaliban ala Afghanistan. Ummat Islam kita bisa dengan
harmonis hidup berdampingan dengan ummat berbagai agama dan
kepercayaan lainnya. Kalau tokh ada perselisihan yang sampai kepada
pertumpahan darah antara Islam dengan yang lain-lainnya, maka hal
itu terjadi biasanya akibat provokasi fihak-fihak yang ingin menarik
keuntungan dengan cara "menangguk di air keruh". Kemungkinan lainnya
ada fihak-fihak jahat yang ingin mengalihkan sasaran pada dirinya
sendiri, yang disebabkan oleh kejahatan-kejahatannya sendiri, lalu
mencari kambing hitam, dengan cara mencetuskan peristiwa dengan
menggunakan isu sara. Perselisihan atau bentrokan itu juga mungkin
karena salah-faham semata-mata. Bisa juga benar-benar disebabkan
oleh individu yang "keblinger". . . . . . .

Pada bangsa kita semua itu ada. Ada yang Islam, ada yang Kristen,
ada yang Hindu Bali, ada yang Budis, ada yang etnik Tionghoa, yang
menganut Konghucuisme. Maka untuk bisa hidup harmonis dan bersatu
sebagai satu bangsa, para "founding fathers" nasion kita ini
meletakkan dasar dan prinsip yang dipakukan dalam tiga kata
"Bhinneka Tunggal Ika", "Berbeda-beda tapi satu". Harmonis.

Kecuali menjungkir balikkan dan menyalahgunakan prinsip-prinsip
hukum dan keadilan, Orba telah membikin prinsip dan dasar Bhinneka
Tunggal Ika hanyalah tinggal kata-kata belaka yang tertera pada
lambang negara Republik Indonesia, Sang Garuda Pancasila. Di zaman
mantan presiden Suharto, segala yang "berbau" Tionghoa diwas-padai,
diawasi, didiskriminasi dan "digencet". Yang kaya, yang berada,
bahkan yang kekayaannya biasa-biasa saja, diperas, "digorok"..
Diskriminasi yang paling kejam adalah diskriminasi politik dan
diskriminasi kultural. Orang-orang Indonesia yang berasal etnik
Tionghoa praktis direnggutkan dari kepribadian asal usul kulturnya.
Nama Tionghoa diganti dengan nama "Cina". Tujuannya tidak lain untuk
menghina kaum etnik Tionghoa dan menyerang Republik Rakyat Tiongkok.
Sudahlah ngaku saja, jangan cari macam-macam dalih yang tak masuk
akal , untuk memulas politik rasialis dan diskriminasi dari Orba.
Politik rasialis dan diskriminasi Orba itu diberlakukan a.l. dengan
melarang sekolah-sekolah berbahasa Tingohoa, menghapuskan nama-nama
Tionghoa pada toko-toko dsb. Sampai-sampai nama orang etnik Tionghoa
itupun ditekan agar diganti dengan nama yang kedengarannya
"pribumi", dengan dalih demi "asimiliasi". Demi tujuan politik
asimiliasinya, berbahasa Tionghoa tidak boleh. Dan yang paling kejam
dan biadab adalah dipasangnya pagar politik dan administratif untuk
memaksa bangsa Indonesia yang berasal etnik Tionghoa itu, berada
diluar kehidupan ilmu, kebudayaan, pengetahuan, birokrasi serta
keamanan dan pertahanan. Tidak heran, selama rezim Orba, hanyalah
dalam kabinet terakhir Suharto ada menteri yang berasal etnik
Tionghoa. Itupun "tokoh" macam apa pula beliau itu. Dalam angkatan
bersenjata maupun kepolisian saya tidak ingat ada seorang jendral
yang "non-pri".

Syukur Alhamdulillah, pemerintah Gus Dur/Megawati telah secara f o r
m a l menghentikan politik dan praktek diskriminasi rasial
anti-etnik-Tionghoa tsb. Peraturan-peraturan dan instruksi yang
menghalalkan praktek diskriminasi rasial itu telah dicabut. Apakah
masih ada undang-undang, ketetapan, peraturan ataupun instruksi yang
rasialis dan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintah Orba,
atau bahkan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya, itu perlu
diteliti dan dipelajari bila kita berniat sungguh-sungguh hendak
mengakhiri politik dan praktek diskriminasi rasial di Indonesia.
Bagaimana kongkritnya dalam praktek keadaan sesudah secara resmi
semua yang diskriminatif dan rasialis itu dihapuskan, hal itu
merupakan suatu proses. Suatu proses perjuangan yang harus dilalui
dengan konsisten. Kita tahu antara teori dengan praktek selalu ada
jarak. Terkadang itu sesuatu yang wajar, tapi pun tidak jarang
terjadi keseretan dalam proses tsb, karena memang ada kekuatan yang
hendak merintangi penghapusan kultur diskriminasi dan rasialisme,
yang motifnya adalah kepentingan golongan atau individu semata..

Ada satu soal besar yang harus ditarik ke depan, dalam rangka kita
dengan kesungguh-sungguhan yang maksimal hendak melanjutkan membina
nasion Indonesia serta memperkokoh dan menguatkan persatuan dan
kesatuan bangsa dan negeri. Disini harus secara jujur dan terbuka
kita buka hati sanubari kita semua, apakah itu suku Aceh, Batak,
Minang, Bengkulu, Melayu, Palembang, Lampung, Sunda, Jawa, Madura,
Bali, Dayak, Kalimantan, Bugis, Menado, Gorontalo, Maluku, Papua,
Timor, Lombok, keturunan etnik Arab, Eropah dan Tionghoa, dan masih
banyak lagi. Apakah kita, dalam praktek kehidupan sehari-hari sudah
benar-benar masing-masing saling memperlakukan suku lainnya atas
dasar prinsip sama derajat, tidak peduli itu suku apa? Kalau belum,
maka soalnya masih tetap besar.

. . . . . .saya ingin mengambil contoh-soal masalah, yaitu sikap
kita, yang asalnya bukan etnik Tionghoa, sikap pemerintah Indonesia
secara umum, terhadap peranan etnik Tionghoa dalam perjuangan
pembinaan nasion Indonesia, dalam perjuangan untuk kemerdekaan
nasional dan dalam perjuangan untuk menegakkan demokrasi dan negara
hukum? Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa dari kalangan etnik
Tionghoa, juga terdapat pejuang-pejuang yang tangguh, seperti
mendiang Siauw Giok Tjhan yang sejak mudanya telah memberikan
segala-galanya demi kemerdekaan dan keadilan sosial di Indonesia.
Beliau adalah tokoh patriotik yang sampai akhir hidupnya berjuang
untuk Indonesia, bangsa dan negerinya. Dengan sepenuh jiwa raganya
Siauw berjuang untuk membina bangsa kita, sebagai suatu nasion,
membangun suatu kesatuan Indonesia yang non-rasialis dan demokratis,
antara lain dalam kegiatannya sebagai pemimpin Baperki. Beliau
pernah menjabat menteri negara dalam kabinet Indonesia zaman
Republik Indonesia masih terlibat dalam perjuangan politik dan fisik
melawan Belanda. Pernah menjadi anggota DPR, dan sering masuk keluar
penjara karena kegiatan politiknya membela yang benar. Terakhir
dipenjarakan oleh Orba tanpa proses pengadilan apapun. Akhirnya
terpaksa hidjrah ke Eropah dan meninggal di Belanda.

Seyogianya bangsa dan negara kita dalam era reformasi dan demokrasi
dewasa ini, sudah siap dan mampu memberikan tempat yang sewajarnya
kepada salah seorang pejuangnya yang terkemuka, seperti Siauw Giok
Tjhan. Siauw Giok Tjhan, pejuang sejati yang tanpa pamrih apapun
tidak pernah absen dalam perjuangan. Kita seharusnya sudah dewasa
untuk bisa memberikan tempat yang terhormat kepada seorang pejuang
seperti Siauw Giok Tjhan, sebagai salah seorang pahlawan bangsa
kita. Jenazah ataupun abu beliau patut ditempatkan di Taman Pahlawan
nasional di Kalibata. Bisakah bangsa dan negeri ini memberikan
perlakuan yang wajar demikian itu kepada almarhum Siauw Giok Tjhan?
Sudah tiba masanya untuk menyelami hati nurani kita, dan mengambil
sikap yang adil dan luhur mengenai masalah tsb. Hanyalah nasion yang
berjiwa besar yang bisa menghargai pahlawan-pahlawan nasionalnya
sendiri.

Tidak hanya mendiang Siauw Giok Tjhan. Kita masih ingat Mr. Yap
Thiam Hien,advokat terkenal, patriot, pejuang dan penegak hukum yang
tanpa pamrih, berani dan ulet. Juga beliau adalah salah seorang
pahlawan nasional kita. Kita masih ingat nama-nama pejuang nasional
lainnya yang sudah tiada, seperti Lim Koen Hian "pendiri Partai
Tionghoa Indonesia, PTI, 1932" Tan Po Goan "mantan Menteri RI"; Tan
Ling Djie, mantan anggota DPR; Tjoa Sek In "mantan wakil Indonesia
di PB", Ong Eng Die "mantan Menteri Keuangan RI", Oei Tjoe Tat
mantan Menteri Negara. Kita juga masih mengingat usaha nasional di
bidang penerbitan yang dilakukan oleh Mas Agung. Pasti masih ada
yang belum disebut di sini tokoh-tokoh pejuang nasional kita yang
berasal etnik Tionghoa. Diantara pejuang-pejuang Republik Indonesia
dan yang ambil bagian aktif dalam pembinaan nasion dan negara RI,
yang masih ada diantara kita misalnya, Go Gien Tjwan, mantan
Direktur Kantor Berita Nasional ANTARA, anggota Pengurus Baperki dan
mantan anggota Konstituante RI. Kesemuanya mereka-mereka telah
memberikan sumbangan penting dalam perjuangan kita untuk membina
nasion Indonesia dan membela kemerdekaan RI.

Hanyalah dengan secara tepat memperlakukan pejuang-pejuang Indonesia
yang berasal etnik Tionghoa, barulah kita bisa mengatakan bahwa kita
adalah suatu nasion yang mendewasa, yang dengan konsisten bertindak
sesuai dengan prinsip "Bhineka Tunggal Ika". * * *

Mengapa kata 'CINA' Dianggap Suatu PENGHINAAN?

IBRAHIM ISA -- "BERBAGI CERITA"
Senin, 23 Oktober, 2006.

Mengapa kata 'CINA' Dianggap Suatu PENGHINAAN?
Sekitar 'KEBEBASAN' Media kita.

BELUM LAMA KUTULIS sebuah 'Kolom' -- mempersoalkan sekitar
masalah apa sesungguhnya yang menyebabkan penggunaan kata
'Tiongkok' dan 'Tionghoa' diubah oleh Orba, menjadi 'Cina'. Paling
sedikit ada dua tanggapan yang kuterima. Satu , menyambut baik
artikelku itu, berterima kasih dan menanyakan apakah tulisanku itu
juga dimuat di media di Indonesia?



Satu tanggapan lagi, oleh S. Alex Flor dari 'Watch Indonesia' . Ia
setuju analisa dalam tulisanku mengenai latar belakang politik dari
pergantian kata 'Tionghoa menjadi 'Cina'. Tapi mempertanyakan mengapa
kata 'Cina' itu dianggap atau dirasakan sebagai penghinaan terhadap
golongan warga Indonesia asal etnis Tionghoa. Bukankah, di dalam
bahasa asing untuk kata 'Tiongkok' atau 'Tionghoa', digunakan juga
kata yang hampir serupa dengan kata 'Cina', misalnya 'China' ?br> dalam bahasa Inggris, atau 'Chinees' dalam bahasa Belanda, atau
'Chine' bahasa Perancisnya, dsb. Itu sebagai misal saja.

* * *

Kufikir: Barangkali menarik juga untuk bertukar fikiran mengenai
tanggapan-tanggapan tsb. Umpamnya saja, melakukannya dalam satu
ruangan atau rubrik, yang kuberikan saja nama rubrik 'Berbagi Cerita'.

Maka aku mulai sajalah dengan tanggapan pertama diatas. Apakah
tulisanku itu juga dimuat di media cetak atau elektronik di Indonesia.
Jawabnya: Terus terang, aku tak tahu. Aku selalu berharap dan merasa
senang bila tulisanku itu dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Itu kan
keinginan dan harapan wajar setiap orang yang menulis untuk dibaca
orang. Bukan sekadar untuk catatan sendiri. Ada yang betanya sambil
menegaskan, bila menulis-nulis di pelbagai mailist di media internet
itu, atau bila diwawancarai oleh media dalam atau internasional,
apakah aku memperoleh suatu imbalan? Dapat uang? Aku jawab tegas:
Tidak. Aku tidak pernah dapat imbalan uang. Penyebabnya mengapa aku
menulis , sesesungguhnya, asal mulanya karena ingin 'BERBAGI CERITA'
dengan pembaca. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ada sesuatu yang
dianggap benar dan adil mengenai bangsa dan tanah air yang ingin
disosialisasikan dan diperjuangkan. Selain itu, menulis itu bagiku
suatu hoby, belajar berani bertanggung-jawab terhadap apa yang
ditulis. Juga karena berniat untuk ambil bagian dalam proses
'pelurusan sejarah' negeri kita.

Salah seorang kenalan lama di Jakarta, suatu ketika menilai tulisanku
begitu cocok dengan situasi kongkrit Indonesia. Ia bilang tulisanku
itu bagus, sebaiknya dibaca lebih banyak orang. Sehingga ia
mengirimkannya kepada temannya untuk dimuat di surat kabarnya, yang
kebetulan adalah salah seorang pimpinan dari (aku lupa) Kompas atau
Sinar Harapan. Temanku itu kecewa dan mengeluh. Pimpinan redaksi
yang ia kirimi artikelku itu, tidak memuat artikel tsb di surat
kabarnya, --- tanpa penjelasan apa-apa..

Menurut dugaan temanku, mungkin karena artikelku mengenai tema
pelanggaran HAM dan hak-hak demokrasi di Indonesia, itu terlalu
'keras' atau terlalu 'tajam'. Mungkin juga karena mereka tahu penulis
artikel yang bersangkutan tergolong atau dianggap orang 'Kiri'.
Rupanya ada petunjuk atasan mereka yang tidak tertulis dan juga tidak
dinyatakan, agar 'jangan ikut menyiarkan artikel-artikel yang
ditulis oleh orang 'Kiri'. Mereka tentu ingat adanya 'TAP MPRS No XXV
Th 1966, yang melarang ideologi komunis. Ideologi Kiri menurut mereka
idem-dito dengan ideologi komunis. Jadi daripada ditegur oleh 'atasan'
, atau bahkan daripada
di-PHK-kan, lebih baik jangan 'cari pasal'. Tolak saja
tulisan-tulisan, apapun isinya kalau itu ditulis oleh SI ANU, yang
adalah 'orang bermasalah' atau dikenal Kiri, eks- tapol atau seorang
'eksil' yang paspornya dicabut Orba.

Dugaan tsb diatas tidak seratus perses benar. Karena, tokh ada media
yang bahkan mentayangkan gambarku dan sementara teman senasib, dalam
siaran TV mereka.. Belum lama bersama beberapa teman orang-orang
'eksil', orang-orang yang terhalang pulang lainnya di Belanda dan
Paris, kami di wawancarai oleh Trans TV Indonesia. Kata para jurnalis
muda dari Trans TV Indonesia itu, wawancara yang mereka lakukan ialah
dalam rangka meninjau kembali sejarah bangsa kita. Agar jangan melihat
sesuatu peristiwa sejarah, sebagai episode 'hitam-putih' belaka. Ada
yang kelabu dan ada yang pelangi kata merka. Jadi, mereka tidak mau
lagi menerima begitu saja interpretasi sejarah, khususnya mengenai
periode Presiden Sukarno, seperti yang ditulis oleh para penulis
sejarah Orba. Lebih jelas lagi, mereka ada keinginan untuk ambil
bagian dalam proses 'pelurusan sejarah' bangsa. Juga s.k. Seperti 'The
Jakarta Post' dan 'Riau Pos' sesekali menulis mengenai pelanggaran
HAM dan hak-hak demokrasi di Indonesia.

Harus diakui, nyatanya ada satu dua media Indonesia yang berusaha
sungguh-sungguh mentrapkan KEBEBASN PERS. Nyatanya perjuangan untuk
kebebasan pers, menyatakan pendapat, itu bukan saja harus menghadapi
penguasa yang sewenang-wenang, tetapi juga terhadap majikan pemilik
media. Saksikan saja sendiri, pasti bisa dilihat bahwa masih cukup
banyak yang bersikeras mempertahankan konsep Orba mengenai kebebasan
pers. Itulah sebabnya, kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari
tuntutan Reformasi dan Demokratisasi. Lihat saja larangan
menerbitkan oleh Kejaksaan Agung zaman Orba terhadap, misalnya
buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Sampai sekarang larangan tsb masih
belum dicabut. Bukankah usul Gus Dur untuk dibatalkannya TAP MPRS No.
XXV ?Th 1966, tetap ditolak oleh elite politik dengan pelbagai
dalih dan alasan. Padahal, jelas sekali TAP MPRS No XXV, Th 1966,
itu bertentangan dengan prinsip demokrasi tentang kebebasan berfikir
dan menyatakan pendapat. Bertentangan dengan UUD RI, bertentangan
dengan hak-hak demokrasi dan HAM. Sangat mungkin terjadi, dengan
menggunakan alasan masih berlakunya TAP MPRS No XXV/1966 itu, sebuah
penerbitan diberangus.

* * *
Tema kedua:
Mengapa kata 'Cina' yang oleh Orba didekritkan sebagai pengganti
kata 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' sejak 1965, -- oleh sebagian lapisan
masyarakat dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap orang-orang
Indonesia asal etnis Tionghoa. Benar, sementara kalangan tidak
menganggap atau merasakan kata 'Cina' itu sebagai suatu penghinaan
karena sudah terbiasa. Lahir, hidup dan dibesarkan di zaman Orba.
Orba kan menggunakan kata 'Cina' untuk Tionghoa dan Tiongkok.
Sebaliknya, sejak berdirnya Republik Indonesia dan selanjutnya, ya,
pada periode pemerintahan Syahrir, Amir Syarifuddin, Hatta, Sukiman,
Natsir, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Burhanuddin Harahap ataupun pada
zaman pemerintahan Presiden Sukarno, ------ kata yang dipakai
adalah kata 'Tionghoa' untuk bangsa, dan bahasanya dan kata
'Tiongkok' untuk negerinya.

Jangan sekali-kali lupa, bahwa yang 'bikin gara-gara', yang membuat
'ulah rasis dan rasialis' tsb adalah rezim Jendral Suharto dengan
Orbanya. Rezim Orbalah yang dengan maksud dan tujuan politik tertentu
telah mengubah kata 'Tionghoa' dan kata 'Tiongkok' menjadi kata
'Cina'. Apa penyebab dan motifnya telah diraikan dalam 'Kolom IBRAHIM
ISA', tertangal 20 Oktober 2006 y.l.

* * *

Sekarang soal berikutnya: Apakah menghina, atau tidak menghina
ketika Orba menggantikan kata 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' dengan kata
'Cina'? Suatu kenyataan ialah, bahwa orang Jakarta dulunya, pada
waktu Indonesia belum merdeka, menggunakan kata 'Cina' itu, tanpa ada
maksud tertentu . Orang Jawa juga menggunakan kata 'Cino'. Orang
Minang juga menggunakan kata 'Cino'. Dan itu biasa, tidak apa-apa dan
tidak ada maksud menghina.

Dalam sejarah kita memang pada waktu-waktu tertentu terdapat
pergesekan sampai-sampai mencuat menjadi tindak kekerasan oleh
sementara orang dari masyakat Bumiputera terhadap kaum etnik Tionghoa.
Sebab musababnya macam-macam. Terkadang disebabkan oleh soal keicl.
Seperti tabrakan kendaraan di tengah jalan. Terkadang oleh sebab
lebih yang lebih serius, seperti penghinaan atau bahkan pemukulan yang
dilakukan oleh suatu keluarga kaya atau nyonya rumah yang kebetulan,
berasal etnis Tionghoa terhadap pembantunya yang Bumiputera.

Konflik yang berlangsung antara majikan/tuan rumah dengan pembantu
rumah tangga, bukan barang aneh. Andaikatapun sang majikan atau
tuan/nyonya rumah yang mempekerjakan pembantu Bumiputera itu, adalah
orang asal Jawa, Batak atau Sunda, bisa saja terjadi cekcok semacam
itu. Dan bahkan perlakuan sewenang-wenang dari fihak yang
mempekerjakan. Yang itu pada dasarnya bukan suatu konflik antar ras
atu suku-bangsa.

Munculnya maki-makian, seperti : 'Dasar Cina lu', atau celotéhan :
'Pasti ini ulahnya Cina-Cina', --- misalnya dalam kasus penyuapan
atau penyelundupan, bukanlah kasus-kasus tipikal. Orang Batak, Manado
Bugis, Jawa, Sunda, Bali, Minang atau Aceh, yang kesemuanya itu adalah
bagian-bagian dari nasion Indonesia, bisa saja melakukan pelanggaran
hukum ataupun tindakan yang tidak etis ataupun sewenang-wenang.
Perbuatan yang tidak terpuji itu bukanlah monopoli sesuatu suku di
Indonesia. Juga timbulnya maki-makian: 'Dasar Batak lu', 'Ambon
tengik' atau 'Jawa kowék' , itu semua juga tidak tipika. Ia muncul
terkadang saja.

Konflik-konflik demikian itu, bilsa meluas dan menjadi lebih gawat,
sampai-sampai kepada pengrusakan, perampokan, pembakaran,
pemerkosaan bahkan pembunuhan terhadap asal etnis tertentu, bila ada
campur tangan golongan atau kekuatan politik tertentu di dalam
masyarakat. Itu bisa saja sebuah parpol, bisa fihak militer ?ini
sering terjadi -- yang memprovokasi dan menunggangi percekcokan biasa
ini meniupnya menjadi suatu konfrontasi antar-suku yang lebih besar.
Apalagi bila dari kalangan pejabat atau bahkan yang berkuasa itu
sendiri, yang mengambil prakarsa dan mencetuskan konflik antar-ras.
Ini pernah terjadi di Kalimantan dan juga di Ambon (antar Islam dan
Muslim). Kasus seperti itulah yang terjadi dalam tahun 1965 dan dalam
bulan Mei 1988 terhadap orang Indonesia asal etnis-Tionghoa.

* * *

Ada benarnya juga seperti yang dikatakan mantan PM Singapore Lee,
orang-orang Tionghoa ataupun orang Indonesia asal etnik Tionghoa,
menduduki posisi (kuat) tertentu di dalam dunia bisnis. Disebabkan
oleh syarat-syarat sejarah tertentu , adanya hak-hak dan fasilitas
khusus yang diberikan oleh kekuasaan kolonial Belanda.. Adalah memang
suatu kenyataan bahwa sukses mereka itu disebabkan oleh kemampuan
dan sifat rajin dan hemat dari kaum pengusaha yang asal etnik
Tionghoa, sukses mereka lebih menonjol. Dan tidak jarang menimbulkan
'rasa iri' dari suku-bangsa lainnya. Ini terjadi di mana-mana, di
mana terdapat kaum imigran pendatang yang punya keunggulan tertentu.
Bahkan di Amerika Serikat kaum tani imigran Belanda yang memang
disebabkan kebolehannya, memperoleh sukses besar, menimbulkan rasa iri
dari orang yang sudah lebih lama tinggal di Amerika. Demikian pula di
negeri kita, banyak perusahaan-perusahaan kecil, sedang dan yang
besar-besar yang dikelola dan dimiliki oleh asal etnis Tionghoa.
Mereka memperoleh sukses yang menyolok. Penduduk 'asli' merasa iri
terhadap pendatang yang lebih sukses dan makmur. Dan ini j terjadi di
segala pelosok dunia. Maka tidak aneh hal itu juga terjadi di Indonesia.

Di sinilah pentingnya pemerintah menjalankan kebijaksanaan ekonomi
untuk mencarikan solusinya yang sebaik mungkin, dengan memperhatikan
kesatuan dan persatuan bangsa. Yang berkuasa harus memberlakukan
serentetan kebijaksanaan untuk mengubah situasi ini menjadi 'seimbang'.

Di Indonesia pernah ada kebijaksaan pemerintah yang memberikan
kepada pengusaha 'nasional', semacam 'hak istimewa' . Memberikan
'lesensi', misalnya untuk impor dan ekspor. Atau dalam bidang usaha
lainnya. Maksudnya , antara lain, dalam rangka membina lapisan
pengusaha 'nasional' yang lebih besar dan kuat . Kebijakan ekonomi ini
menemui kekandasan. Karena para pengusaha 'nasional' yang memperoleh
'lesensi' dari pemerintah itu, menjualnya kepada pengusaha
orang-orang Tionghoa dan atau orang-orang Indonesia asal etnik
Tionghoa, yang sudah lama bergerak di bidang itu dan oleh karenanya
lebih berpengalaman.. Suatu kebijaksanaan lainnya yang diambil oleh
pemerintah Indonesia untuk mengubah situasi 'jomplang' antara
pengusaha Indonesia setempat dengan yang asal etnik Tionghoa, adalah
dengan melarang pengusaha-pengusaha Tionghoa berbisnis di pedesaan.
Akibatnya, penduduk desa yang dibilang 'asli' itu, merasa
'kehilangan'. Kehilangan pengusaha yang mensuply mereka dengan
barang-barang kebutuhan sehari-hari secara teratur dan wajar.

Politik ekonomi pemerintah yang demikian itu ternyata tidak dapat
mencapai tujuannya. Karena masih merupakan suatu kebijakan yang
didasarkan pada pemberian hak istimewa pada ras tertentu dari nasion
Indonesia.

* * *

Dalam masyarakat kita bisa terjadi seseorang, oleh sesuatu sebab,
melontarkan makian, dengan kata-kata: 'dasar Cina lu' , dsb.
Sesungguhnya makian itu, tidak banyak beda, dengan makian terhadap
orang Batak : 'dasar Batak lu', atau 'dasar Jawa, lu'. Mengapa bisa
terjadi, bila tadinya menggunakan kata 'Tionghoa' dan 'Tiongkok'
berubah diharuskan menggunakan kata 'Cina' ?lalu hal itu dirasakan
sebagai suatu penghinaan? Sebabnya sederhana saja.

Karena perubahan itu dilakukan dengan resmi, s a d a r , 'b e w u s
t ', kata orang Belanda, oleh penguasa Indonesia, sebagai suatu
kekuasaan yang sedang menanjak. Ia dilakukan pada saat yang
berbarengan dengan berlangsungnya kampanye besar-besan anti-Tiongkok,
anti etnis Tionghoa, yang dilancarkan oleh rezim Jendral Suharto.
Dilakukan dengan k e s e n g a j a a n yang amat menyolok. Orba
mencetuskan pergantian tsb secara amat resmi, dan dipaksakan,
diharuskan pemberlakuannya untuk seluruh negeri.

Maka jelaslah motif dari penggantian nama atau kata 'Tionghoa' dan
'Tiongkok' menjadi 'C i n a ' ,
ADALAH untuk MENGHINA. Menghina warga Indonesia keturunan Tionghoa,
menghina orang-orang Tionghoa penduduk Indonesia yang bukan
warganegara Indonesia, dan menghina Republik Rakyat Tiongkok. Itu
semua dalam paket politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa. * *

WERTHEIM SAHABAT SEJATI RAKYAT INDOENSIA, 2

*IBRAHIM ISA dari BIJLMER*

------------------------------------------------

06 November, 2005.


*PROF. DR W.F. WERTHEIM, SAHABAT SEJATI INDONESIA -- (2)*


Tulisan di bawah ini adalah dalam rangka mengingatkan kembali siapa
tokoh ilmuwan Belanda Prof. Dr. W.F. Wertheim, yang namanya sangat erat
terkait dengan perjuangan bangsa kita untuk EMANSIPASI.


Untuk memperingati ultah ke-80 Prof. De. Wertheim, terutama sebagai
penghargaan atas sumbangan beliau pada ilmu pengetahuan dan perjuangan
rakyat Indonesia untuk kemerdekaan, --- telah didirikan sebuah yayasan
di negeri Belanda, pada tanggal 4 Maret 1998, bernama Stichting
Wertheim, atau dalam bahasa Inggrisnya, WERTHEIM FOUNDATION. Wertheim
Foundation adalah sebuah yayasan humanitair swasta, yang tak berpihak
dan secara politik tidak terikat. Dalam hubungan ini Wertheim Foundation
memberikan Wertheim Award kepada orang-orang Indonesia yang dengan
karyanya memajukan perjuangan emansipasi bangsa Indonesia, sesuai dengan
anggaran rumahtangga yayasan. Sehubungan dengan ini Wertheim Foundation
pernah memberikan WERTHEIM AWARD kepada novelis Paramudya Ananta Toer
(1995), penyair-penyair Rendra dan Wiji Thukul (1991).


Tahun ini, 2005, persisnya pada tanggal 16 Desember, Wertheim Foundation
akan menyampaikan pengharagaan berupa *WERTHEIM AWARD 2005, *kepada dua
orang tokoh Indonesia, --- Goenawan Mohamad dan Joesoef Isak, bertempat
di Kedutaan Besar Republik Indonesia, Den Haag. Sebagai penghargaan atas
kegiatan dan perjuangan mereka untuk kebebasan pers dan emansipansi
bangsa Indonesia pada umumnya.


Bahwa Prof. Dr. W.F. Wertheim, adalah pencinta dan sahabat sejati rakyat
Indonesia, telah diperkuat baru-baru ini a.l. oleh dua tulisan yang bisa
dibaca di ruangan media-inernet ini, yaitu dari peneliti Indonesia,
*SALIM SAID,* dan *KOHAR IBRAHIM*, sahabat baik penulis, penyair dan
pelukis Indonesia yang dewasa ini tinggal di Belgia.


Ruangan ini akan memuat lengkap tanggapan SALIM SAID dan KOHAR IBRAHIM
tsb, pada hari-hari mendatang ini.

Di bawah ini "dicuplik" sedikit tangapan *KOHAR IBRAHIM* sbb:

"Dalam kaitan itu saya jadi teringat pada salah seorang Belanda yang
saya apresiasi banget. Yakni Pak Wim F. Wertheim. Kalau saja beliau
masih hidup, pastilah beliaupun akan mengapresiasinya. Seperti bagaimana
sambutan atau apresiasi sekalian dukungannya ketika kami mengelola
penerbitan yang bersifat sederhana dan yang tergolong pers alternatip
periode 1989-1999. Seperti, antara lain, majalah-majalah Kreasi dan Arena.

"Tapi yang membikin saya tergugah untuk menulis artikel ini memang
justeru temponya pun cukup signifikan. Yakni juga di minggu pertama
bulan Nopember, Pak Wertheim wafat. Tahun 1998. Tepat sesaat sebelum
Majalah Kreasi N° 40 dicetak, yang justeru menurunkan naskah dalam
rangka hari ultahnya. Dengan kulit muka memuat foto beliau.

"Dalam rangka mengenang beliau, kiranya ada manfaatnya juga saya muat
ulang tulisan tersebut yang berjudul:

"Wim F. Wertheim,
Sahabat dan Pembela Rakyat Indonesia.

Demikian a.l. tulis Kohar Ibrahim tentang Pak Wertheim.

* * *


*SALIM SAID*, yang dikenal sebagai cendekiawan Indonesia yang menggeluti
perkembangan TNI dan peranannya, menulis tentang Prof. Dr WERTHEIM, a.l.
sbb:


"Tidak bisa diragukan lagi, Wertheim adalah seorang ahli sosiologi yang
terbesar sumbangannya dalam studi Indonesia.Bukunya INDONESIAN SOCIETY
IN TRANSITION adalah buku wajib bagi siapa saja yang ingin mengerti
masyarakat Indonesia yang bergerak dari masyarakat tradisional menjadi
masyarakat moderen.Buku itu adalah sebuah sejarah sosial masyarakat
Indonesia yang paling penting hingga saat ini. Wertheim adalah satu dari
beberapa ahli Indonesia yang sumbangannya sangat menentukan dalam studi
Indonesia, di samping Clipport Geertz, Herbert Feith, dan Ben Anderson.


"Sebagai pegawai kolonial Belanda yang berada di Indonesia selama bagian
terakhir penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang serta masa revolusi,
sulit bagi Wertheim untuk tidak terlibat secara emosional dalam sejarah
Indonesia. Dalam perjalanan persentuhan intensifnya dengan negeri
jajahan Belanda tersebut, sebagai intelektual Wertheim menjatuhkan
pilihan memihak kepada perjuangan Indonesia. Lalu itu ditafsirkan oleh
sejumlah orang Indonesia sebagai bukti bahwa Wertheim cinta Indonesia.
Saya tidak tahu apakah Wertheim secara pribadi pernah mengucapkan bahwa
beliau mencintai Indonesia. Tapi tafsiran adalah tafsiran, dan tafsiran
tidak harus sama dengan maksud penulis text. Mungkin saja yang dicintai
Wertheim bukan Indonesia sebagai political entyty dan sebagai kumpulan
manusia terjajah yang mau merdeka, tapi cita-cita Wertheim sendiri
mengenai emansipasi yang memang di matanya dilakukan Indonesia dalam
suatu kurun waktu tertentu. Demikian a.l. Salim Said menegnai Wertheim.


Baiklah kita teruskan mengikuti tulisan *PROF DR HARSJA W BACHTIAR,
mantan siswa Prof. Dr. Wertheim, yang bagian pertamanya telah dimuat
terlebih dahulu, sbb:*


*WILLEM FREDERIK WERTHEIM: SEORANG PENGKAJI BELANDA TENTANG MASYARAKAT*
*INDONESIA*, *Bagian 2.*
*Oleh: Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar,*
(Universitas Indonesia)
"Bahkan dalam laporan akhir yang dihasilkan oleh komisi Visman,
tertanggal 9 Desember 1941, kekuatan gerakan kebangsaan Indonesia tidak
ditampilkan, ditutup-tutupi. Laporan ini juga ditanda tangani oleh
Wertheim dan para anggota Indonesia komisi tersebut. Dalam bulan Oktober
1941 Wertheim diangkat sebagai Ketua (/Voorzitier/) Fakultas Pengetahuan
Hukum menggantikan Prof. Dr. G.H. Van der Kolff. Pada waktu itu nama
jabatan "Dekan" tidak digunakan di Sekolah Tinggi Pengetahuan Hukum.
Jabatan yang amat terhormat ini, antara lain, memberi hak kepada
Wertheim untuk menggunakan nomor mobil yang rendah angkanya, B-21,tanda
bahwa pengendaranya adalah orang yang amat penting dalam hirarki
kekuasaan pemerintah jajahan Hindia Belanda.

*Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945. *Ketika angkatin bersenjata Jepang
menyerbu kepulauan Indonesia dan dalam waktu singkat berhasil
menaklukkan angkatan bersenjata Hindia Belanda, sekalian orang Belanda,
termasuk Wertheim, ditangkap olch tentara Jepang, Maret 1942. Wertheim
sendiri ditahan diberbagai kamp konsentrasi Jeping selama masa
pendudukan Jepang, sedangkan isteri dan anak-anaknya berturut-turut
ditempatkan di 3 kamp konsentrasi di atau sekitar Jakarta. Kemenangan
gemilang angkatan bersenjata Jepang atas angkatan bersenjata Belanda
dalam waktu singkat melenyapkan anggapan bahwa golongan kulit putih pada
hakekatnya lebih tinggi martabatnya daripada bangsa -bangsa kulit berwarna.

Di dalam kamp konsentrasi Wertheim memperoleh banyak kesempatan untuk
bertukar pikiran dalam kelompok-kelompok studi yang diadakan oleh kaum
terpelajar Belanda. Salah seorang sesama tahanan yang banyak
mempengaruhi pemikirannya ialah Prof. Jaap de Haas^ (9) , mantan
Gurubesar di Sekolah Tinggi Kedokteran yang menganut paham Sosialisme
yang radikal. Di kamp konsentrasi ia juga belajar bahasa Indonesia
dengan Dr. Fokker, ahli bahasa Indonesia, sebagai gurunya.

Dalam masa pendudukan Jepang Wertheim pernah ditangkap oleh Kenpetai,
polisi rahasia Jepang yang sangat ditakuti, dan dibawa ke Purwokerto
dimana ia dipenjarakan selama 3 bulan. Terakhir ia ditempatkan di kamp
konsentrasi di Cimahi dimana ia meringkuk sampai, sesudah Jepang
menyerah kepada Sekutu dan kernerdekaan Republik Indonesia
diproklamasikan, ia dibebaskan pada tanggal 31 Agustus 1945 dan dapat
bergabung kembali dengan keluarganya di Batavia, kota yang pada waktu
itu bagi kebanyakan orang sudah dinamakan Jakarta.

*Masa Revolusi Indonesia, 1945-1950. *Dalam
kekacauanyangbiasaterjadipada masa peralihankekuasaan pemerintah,
seperti pada akhir Perang Dunia 11, Wertheim ikut mendirikan /Roode
Kruis/ (Palang Merah) Belanda di Batavia, September 1945, untuk membantu
korban-korban perang, terutama para bekas tahanan Jepang.

Dalam pada itu, para gurubesar Belanda yang berhasil bertahan selama
perang berlangsung dan sesudah Jepang menyerah keluar dari kamp-kamp
konsentrasi Jepang berkeinginan untuk selekas mungkin bekerja kembali
mclaksanakan tugas sebagai pengajar diperguruan tinggi. Dengan bantuan
Pemerintah Hindia Belanda, yang berusaha menegakkan kekuasaannya kembali
di bekas tanah jajahannya, pada tanggal 21 Januari 1946 diresmikan
pembentukan perguruan tinggi yang dinamakan /Nood Universiteit/
(Universitas Darurat) ^(10) , diJalan Raden Saleh, Jakarta, di Gedung
yang sekarang merupakan gedung induk Rumah Sakit "Tjikini". Wertheim
menjadi Gurubesar kembali di F/akulteit derrechisgeleerdheid en van
Sociale Wetenschappen/ (Fakultas Pengetahuan Hukum dan Ilmu Sosial) dari
universitas ini yang setahun (11) kemudian diganti namanya menjadi
/Universiteit Van Indonesie/ dan sekarang dikenal sebebagai Universitas
Indonesia. Dalam tahun kuliah pertama yang diselenggarakan oleh "/Nood
Universiteit"/ tersebut bekerja 27 gurubesar biasa dengan hanya 221
mahasiswa, kebanyakan keturunan Belanda dan Cina.

Pengalaman dan pengamatan Wertheim berkenaan dengan perkembangan amat
cepat yang terjadi di Indonesia segera setelah Perang Dunia II berakhir,
terlebih lagi kegiatan-kegiatan bangsa Indonesia yang berusaha
mendirikan suatu negara republik yang bebas dari kekuasaan asing,
mendorong Wertheim, yang mengalami perubahan pemikiran dalam masa
terkurung di kamp konsentrasi tentara Jepang berkenaan dengan perjuangan
bangsa Indonesia, menulis suatu nota, tertanggal 21 November 1945,
kepada Prof. Mr. Baron F.M. van Asbeck^(12) , Gurubesar Hukum di
Universitas Leiden ying sebelum Perang Dunia II bekerja sebagai sejawat
di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia.

Dalam nota ini Wertheim berusaha menggambarkan keadaan masyarakat
Indonesia pada akhir tahun 1945 itu sebagai suatu masyarakat dimana
rakyat golongan rendahan, meskipun terselubung oleh keramahan dan
kesediaan menanggung penderitaan, merasa tidak puas akan
perbedaan-perbedaan sosial yang besar sehingga mudah menjadi peserta
gerakan-gerakan perlawanan yang dengan sendirinya dapat diarahkan
terhadap orang asing dan pemerintah; dimana penduduk yang, sebagai
akibat kekalahan Belanda dan pendudukan Jepang, pada umumnya beranggapan
bahwa masa kekuasaan pemerintah Belanda dan kekuasaan penjajahan Belanda
telah berakhir; dimana ketaatan golongan priyayi pada kekuasaan Belanda,
terutama para bupati, wedana dan pejabat tinggi, ternyata hanya
merupakan oportunisme saja karena pada waktu pengusaha Jepang memberikan
kedudukan tinggi yang paling sedikit sederajat dengan yang mereka
tempati dalam masa jajahan Hindia Belanda, mereka bersedia bekerja sama
dengan penguasa Jepang, dan oleh sebab itu pasti bersedia juga bekerja
untuk pemerintah yang baru; dimana Pemerintah Republik didukung oleh
gerakan kebangsaan yang sehat; dimana kaum cendekiawan yang dipimpin
oleh Sjahrir dan Sjarifoedin mengusahakan menanggapi revolusi nasional
sebagai suatu revolusi sosial, yang akan meruntuhkan kekuasaan feodal,
bersifat revolusioner tapi tidak bersikap anti-Barat; dan seterusnya.

Dalam bulan November itujuga Wertheim bersama beberapa cendekiawan
Belanda yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Beb
Vuyk, Prof. W.P.C. van Hattum, dan J. de Kadt, mengeluarkan suatu
pernyataan yang mengemukakan pemikiran mereka berkenaan dengan
peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di Indonesia pada waktu itu.

*Gurubesar Di Universitas Amsterdam, 1946-1972 .*Dalam butan Februari
1946, atas naschat dokter, Wertheim dan keluarganya kembali ke Belanda
dimana Wertheim diangkat menjadi Gurubesar Sosiologi Indonesia di
Faculteit der Politieke en Sociale Wetenschappen (Fakultas llmu Politik
dan Sosial) yang didirikan sebagai faku]tas baru darigemeentelijkc
Universiteit van Amsterdam (Universitas Kotapraja Amsterdam). Pidato
pengukuhannya sebagai Gurubesar Sosiologi Indonesia memusatkan perhatian
pada masalah golongan peranakan Belanda, Belanda-Indo, di Indonesia.

Wertheim berusaha lagi mempengaruhi Pemerintah Belanda secara langsung
berkenaan dengan kebijaksanaan terhadap Indonesia dengan menulis suatu
Nota, tertanggal 6 Mei 1946, yang diarahkan kepada Prof.Dr. J.H.A.
Logemann, Menteri Daerah Seberang Lautan, Kerajaan Belanda^ (13) , yang
juga pernah bwkerja sebagai sesama Gurubcsar di Sekolah Tinggi Hukum di
Batavia. Dalam nota tersebut ia membantah anggapan komisi Parlemen
Beiinda yang berkunjung ke Indonesia untuk mciihat keadaan di tempat
bahwa rakyat Indonesia bersimpati pada orang-orang Belanda. Wertheim
mengemukakan lagi bahwa para orang terpelajar Indonesia dan rakyat
Indonesia pada umumnya mendukung Republik Indonesia kecuali sejumlah
oknum yang mendekati orang-orang Belanda, seperti para bekas pembantu
rumahtangga keluarga Belanda, atas dasar pertimbangan ekonomi.

Diantara mahasiswa Indonesia yang mengikuti kuliah dan kuliah kerja
beliau di Fakultas Ilmu Politik dan Sosial, Universitas Amsterdam
terdapat Sdr. M.P. Sediono Tjondronegoro (kini: Prof.Dr. M.P. Sediono
Tjondronegoro, Gurubesar Sosiologi Pedcsaan di Institut Pertanian
Bogor), Sdr. S.B. Martokoesoemo (kini: Drs. Soeksmono Besar
Martokoesoemo, mantan Direktur Bank Indonesia dan Direktur Asian
Development Bank di Manila), Sdr. Basuki Gunawan (kini: Dr. Basuki
Gunawan, ahli sosiologi yang menetap sebagai pencliti free-lance di
Nederland), dan penulis sendiri. Wertheim bekerja sebagai Gurubesar,
terakhir scbagai Gurubesar "Sociologic der Niet-Westerse Volken"
(Sosiologi Bangsa-bangsa Bukan-Barat), di Universitas Amsterdam sampai
tahun 1972 (^14 ), ketika beliau, pada umur 65 tabun, memasuki masa
pensiun. *** (Bersambung).








Sun Nov 6, 2005 8:10 pm

Show Message Info
#99526 of 120002
Msg List
View Source
Use Fixed Width Font
Unwrap Lines
"I. Bramijn"
ibrahim_isa1
Offline Offline
Send Email Send Email
Invite to Yahoo! 360° Invite to Yahoo! 360°

Forward | Delete < Prev Message | Next Message >
Expand Messages Author Sort by Date
IBRAHIM ISA dari BIJLMER -- PROF. DR W.F. WERTHEIM, SAHABAT SEJATI I
*IBRAHIM ISA dari BIJLMER* ... 06 November, 2005. *PROF. DR W.F. WERTHEIM, SAHABAT SEJATI INDONESIA -- (2)* Tulisan di bawah ini adalah dalam rangka... I. Bramijn
ibrahim_isa1
Offline Send Email Invite to Yahoo! 360° Nov 6, 2005
8:11 pm
< Prev Topic | Next Topic >
Message #
Search:
Advanced

Start Topic
SPONSOR RESULTS

Hyatt Hotels - Official Site
www.hyatt.com - Book Hyatt now for our best rates on the Internet guaranteed.

Hotels For Less
www.Hotwire.com - 4-star hotels at 2-star prices with low Hotwire Hot Rates.

Budget Birthday Parties
www.Family.com - Make $100 feel like a million: Party ideas for your kids big bash.
Copyright © 2007 Yahoo! Inc. All rights reserved.
Privacy Policy - Copyright/IP Policy - Terms of Service - Guidelines - Help