Monday, September 3, 2007

Mengapa kata 'CINA' Dianggap Suatu PENGHINAAN?

IBRAHIM ISA -- "BERBAGI CERITA"
Senin, 23 Oktober, 2006.

Mengapa kata 'CINA' Dianggap Suatu PENGHINAAN?
Sekitar 'KEBEBASAN' Media kita.

BELUM LAMA KUTULIS sebuah 'Kolom' -- mempersoalkan sekitar
masalah apa sesungguhnya yang menyebabkan penggunaan kata
'Tiongkok' dan 'Tionghoa' diubah oleh Orba, menjadi 'Cina'. Paling
sedikit ada dua tanggapan yang kuterima. Satu , menyambut baik
artikelku itu, berterima kasih dan menanyakan apakah tulisanku itu
juga dimuat di media di Indonesia?



Satu tanggapan lagi, oleh S. Alex Flor dari 'Watch Indonesia' . Ia
setuju analisa dalam tulisanku mengenai latar belakang politik dari
pergantian kata 'Tionghoa menjadi 'Cina'. Tapi mempertanyakan mengapa
kata 'Cina' itu dianggap atau dirasakan sebagai penghinaan terhadap
golongan warga Indonesia asal etnis Tionghoa. Bukankah, di dalam
bahasa asing untuk kata 'Tiongkok' atau 'Tionghoa', digunakan juga
kata yang hampir serupa dengan kata 'Cina', misalnya 'China' ?br> dalam bahasa Inggris, atau 'Chinees' dalam bahasa Belanda, atau
'Chine' bahasa Perancisnya, dsb. Itu sebagai misal saja.

* * *

Kufikir: Barangkali menarik juga untuk bertukar fikiran mengenai
tanggapan-tanggapan tsb. Umpamnya saja, melakukannya dalam satu
ruangan atau rubrik, yang kuberikan saja nama rubrik 'Berbagi Cerita'.

Maka aku mulai sajalah dengan tanggapan pertama diatas. Apakah
tulisanku itu juga dimuat di media cetak atau elektronik di Indonesia.
Jawabnya: Terus terang, aku tak tahu. Aku selalu berharap dan merasa
senang bila tulisanku itu dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Itu kan
keinginan dan harapan wajar setiap orang yang menulis untuk dibaca
orang. Bukan sekadar untuk catatan sendiri. Ada yang betanya sambil
menegaskan, bila menulis-nulis di pelbagai mailist di media internet
itu, atau bila diwawancarai oleh media dalam atau internasional,
apakah aku memperoleh suatu imbalan? Dapat uang? Aku jawab tegas:
Tidak. Aku tidak pernah dapat imbalan uang. Penyebabnya mengapa aku
menulis , sesesungguhnya, asal mulanya karena ingin 'BERBAGI CERITA'
dengan pembaca. Ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ada sesuatu yang
dianggap benar dan adil mengenai bangsa dan tanah air yang ingin
disosialisasikan dan diperjuangkan. Selain itu, menulis itu bagiku
suatu hoby, belajar berani bertanggung-jawab terhadap apa yang
ditulis. Juga karena berniat untuk ambil bagian dalam proses
'pelurusan sejarah' negeri kita.

Salah seorang kenalan lama di Jakarta, suatu ketika menilai tulisanku
begitu cocok dengan situasi kongkrit Indonesia. Ia bilang tulisanku
itu bagus, sebaiknya dibaca lebih banyak orang. Sehingga ia
mengirimkannya kepada temannya untuk dimuat di surat kabarnya, yang
kebetulan adalah salah seorang pimpinan dari (aku lupa) Kompas atau
Sinar Harapan. Temanku itu kecewa dan mengeluh. Pimpinan redaksi
yang ia kirimi artikelku itu, tidak memuat artikel tsb di surat
kabarnya, --- tanpa penjelasan apa-apa..

Menurut dugaan temanku, mungkin karena artikelku mengenai tema
pelanggaran HAM dan hak-hak demokrasi di Indonesia, itu terlalu
'keras' atau terlalu 'tajam'. Mungkin juga karena mereka tahu penulis
artikel yang bersangkutan tergolong atau dianggap orang 'Kiri'.
Rupanya ada petunjuk atasan mereka yang tidak tertulis dan juga tidak
dinyatakan, agar 'jangan ikut menyiarkan artikel-artikel yang
ditulis oleh orang 'Kiri'. Mereka tentu ingat adanya 'TAP MPRS No XXV
Th 1966, yang melarang ideologi komunis. Ideologi Kiri menurut mereka
idem-dito dengan ideologi komunis. Jadi daripada ditegur oleh 'atasan'
, atau bahkan daripada
di-PHK-kan, lebih baik jangan 'cari pasal'. Tolak saja
tulisan-tulisan, apapun isinya kalau itu ditulis oleh SI ANU, yang
adalah 'orang bermasalah' atau dikenal Kiri, eks- tapol atau seorang
'eksil' yang paspornya dicabut Orba.

Dugaan tsb diatas tidak seratus perses benar. Karena, tokh ada media
yang bahkan mentayangkan gambarku dan sementara teman senasib, dalam
siaran TV mereka.. Belum lama bersama beberapa teman orang-orang
'eksil', orang-orang yang terhalang pulang lainnya di Belanda dan
Paris, kami di wawancarai oleh Trans TV Indonesia. Kata para jurnalis
muda dari Trans TV Indonesia itu, wawancara yang mereka lakukan ialah
dalam rangka meninjau kembali sejarah bangsa kita. Agar jangan melihat
sesuatu peristiwa sejarah, sebagai episode 'hitam-putih' belaka. Ada
yang kelabu dan ada yang pelangi kata merka. Jadi, mereka tidak mau
lagi menerima begitu saja interpretasi sejarah, khususnya mengenai
periode Presiden Sukarno, seperti yang ditulis oleh para penulis
sejarah Orba. Lebih jelas lagi, mereka ada keinginan untuk ambil
bagian dalam proses 'pelurusan sejarah' bangsa. Juga s.k. Seperti 'The
Jakarta Post' dan 'Riau Pos' sesekali menulis mengenai pelanggaran
HAM dan hak-hak demokrasi di Indonesia.

Harus diakui, nyatanya ada satu dua media Indonesia yang berusaha
sungguh-sungguh mentrapkan KEBEBASN PERS. Nyatanya perjuangan untuk
kebebasan pers, menyatakan pendapat, itu bukan saja harus menghadapi
penguasa yang sewenang-wenang, tetapi juga terhadap majikan pemilik
media. Saksikan saja sendiri, pasti bisa dilihat bahwa masih cukup
banyak yang bersikeras mempertahankan konsep Orba mengenai kebebasan
pers. Itulah sebabnya, kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari
tuntutan Reformasi dan Demokratisasi. Lihat saja larangan
menerbitkan oleh Kejaksaan Agung zaman Orba terhadap, misalnya
buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Sampai sekarang larangan tsb masih
belum dicabut. Bukankah usul Gus Dur untuk dibatalkannya TAP MPRS No.
XXV ?Th 1966, tetap ditolak oleh elite politik dengan pelbagai
dalih dan alasan. Padahal, jelas sekali TAP MPRS No XXV, Th 1966,
itu bertentangan dengan prinsip demokrasi tentang kebebasan berfikir
dan menyatakan pendapat. Bertentangan dengan UUD RI, bertentangan
dengan hak-hak demokrasi dan HAM. Sangat mungkin terjadi, dengan
menggunakan alasan masih berlakunya TAP MPRS No XXV/1966 itu, sebuah
penerbitan diberangus.

* * *
Tema kedua:
Mengapa kata 'Cina' yang oleh Orba didekritkan sebagai pengganti
kata 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' sejak 1965, -- oleh sebagian lapisan
masyarakat dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap orang-orang
Indonesia asal etnis Tionghoa. Benar, sementara kalangan tidak
menganggap atau merasakan kata 'Cina' itu sebagai suatu penghinaan
karena sudah terbiasa. Lahir, hidup dan dibesarkan di zaman Orba.
Orba kan menggunakan kata 'Cina' untuk Tionghoa dan Tiongkok.
Sebaliknya, sejak berdirnya Republik Indonesia dan selanjutnya, ya,
pada periode pemerintahan Syahrir, Amir Syarifuddin, Hatta, Sukiman,
Natsir, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Burhanuddin Harahap ataupun pada
zaman pemerintahan Presiden Sukarno, ------ kata yang dipakai
adalah kata 'Tionghoa' untuk bangsa, dan bahasanya dan kata
'Tiongkok' untuk negerinya.

Jangan sekali-kali lupa, bahwa yang 'bikin gara-gara', yang membuat
'ulah rasis dan rasialis' tsb adalah rezim Jendral Suharto dengan
Orbanya. Rezim Orbalah yang dengan maksud dan tujuan politik tertentu
telah mengubah kata 'Tionghoa' dan kata 'Tiongkok' menjadi kata
'Cina'. Apa penyebab dan motifnya telah diraikan dalam 'Kolom IBRAHIM
ISA', tertangal 20 Oktober 2006 y.l.

* * *

Sekarang soal berikutnya: Apakah menghina, atau tidak menghina
ketika Orba menggantikan kata 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' dengan kata
'Cina'? Suatu kenyataan ialah, bahwa orang Jakarta dulunya, pada
waktu Indonesia belum merdeka, menggunakan kata 'Cina' itu, tanpa ada
maksud tertentu . Orang Jawa juga menggunakan kata 'Cino'. Orang
Minang juga menggunakan kata 'Cino'. Dan itu biasa, tidak apa-apa dan
tidak ada maksud menghina.

Dalam sejarah kita memang pada waktu-waktu tertentu terdapat
pergesekan sampai-sampai mencuat menjadi tindak kekerasan oleh
sementara orang dari masyakat Bumiputera terhadap kaum etnik Tionghoa.
Sebab musababnya macam-macam. Terkadang disebabkan oleh soal keicl.
Seperti tabrakan kendaraan di tengah jalan. Terkadang oleh sebab
lebih yang lebih serius, seperti penghinaan atau bahkan pemukulan yang
dilakukan oleh suatu keluarga kaya atau nyonya rumah yang kebetulan,
berasal etnis Tionghoa terhadap pembantunya yang Bumiputera.

Konflik yang berlangsung antara majikan/tuan rumah dengan pembantu
rumah tangga, bukan barang aneh. Andaikatapun sang majikan atau
tuan/nyonya rumah yang mempekerjakan pembantu Bumiputera itu, adalah
orang asal Jawa, Batak atau Sunda, bisa saja terjadi cekcok semacam
itu. Dan bahkan perlakuan sewenang-wenang dari fihak yang
mempekerjakan. Yang itu pada dasarnya bukan suatu konflik antar ras
atu suku-bangsa.

Munculnya maki-makian, seperti : 'Dasar Cina lu', atau celotéhan :
'Pasti ini ulahnya Cina-Cina', --- misalnya dalam kasus penyuapan
atau penyelundupan, bukanlah kasus-kasus tipikal. Orang Batak, Manado
Bugis, Jawa, Sunda, Bali, Minang atau Aceh, yang kesemuanya itu adalah
bagian-bagian dari nasion Indonesia, bisa saja melakukan pelanggaran
hukum ataupun tindakan yang tidak etis ataupun sewenang-wenang.
Perbuatan yang tidak terpuji itu bukanlah monopoli sesuatu suku di
Indonesia. Juga timbulnya maki-makian: 'Dasar Batak lu', 'Ambon
tengik' atau 'Jawa kowék' , itu semua juga tidak tipika. Ia muncul
terkadang saja.

Konflik-konflik demikian itu, bilsa meluas dan menjadi lebih gawat,
sampai-sampai kepada pengrusakan, perampokan, pembakaran,
pemerkosaan bahkan pembunuhan terhadap asal etnis tertentu, bila ada
campur tangan golongan atau kekuatan politik tertentu di dalam
masyarakat. Itu bisa saja sebuah parpol, bisa fihak militer ?ini
sering terjadi -- yang memprovokasi dan menunggangi percekcokan biasa
ini meniupnya menjadi suatu konfrontasi antar-suku yang lebih besar.
Apalagi bila dari kalangan pejabat atau bahkan yang berkuasa itu
sendiri, yang mengambil prakarsa dan mencetuskan konflik antar-ras.
Ini pernah terjadi di Kalimantan dan juga di Ambon (antar Islam dan
Muslim). Kasus seperti itulah yang terjadi dalam tahun 1965 dan dalam
bulan Mei 1988 terhadap orang Indonesia asal etnis-Tionghoa.

* * *

Ada benarnya juga seperti yang dikatakan mantan PM Singapore Lee,
orang-orang Tionghoa ataupun orang Indonesia asal etnik Tionghoa,
menduduki posisi (kuat) tertentu di dalam dunia bisnis. Disebabkan
oleh syarat-syarat sejarah tertentu , adanya hak-hak dan fasilitas
khusus yang diberikan oleh kekuasaan kolonial Belanda.. Adalah memang
suatu kenyataan bahwa sukses mereka itu disebabkan oleh kemampuan
dan sifat rajin dan hemat dari kaum pengusaha yang asal etnik
Tionghoa, sukses mereka lebih menonjol. Dan tidak jarang menimbulkan
'rasa iri' dari suku-bangsa lainnya. Ini terjadi di mana-mana, di
mana terdapat kaum imigran pendatang yang punya keunggulan tertentu.
Bahkan di Amerika Serikat kaum tani imigran Belanda yang memang
disebabkan kebolehannya, memperoleh sukses besar, menimbulkan rasa iri
dari orang yang sudah lebih lama tinggal di Amerika. Demikian pula di
negeri kita, banyak perusahaan-perusahaan kecil, sedang dan yang
besar-besar yang dikelola dan dimiliki oleh asal etnis Tionghoa.
Mereka memperoleh sukses yang menyolok. Penduduk 'asli' merasa iri
terhadap pendatang yang lebih sukses dan makmur. Dan ini j terjadi di
segala pelosok dunia. Maka tidak aneh hal itu juga terjadi di Indonesia.

Di sinilah pentingnya pemerintah menjalankan kebijaksanaan ekonomi
untuk mencarikan solusinya yang sebaik mungkin, dengan memperhatikan
kesatuan dan persatuan bangsa. Yang berkuasa harus memberlakukan
serentetan kebijaksanaan untuk mengubah situasi ini menjadi 'seimbang'.

Di Indonesia pernah ada kebijaksaan pemerintah yang memberikan
kepada pengusaha 'nasional', semacam 'hak istimewa' . Memberikan
'lesensi', misalnya untuk impor dan ekspor. Atau dalam bidang usaha
lainnya. Maksudnya , antara lain, dalam rangka membina lapisan
pengusaha 'nasional' yang lebih besar dan kuat . Kebijakan ekonomi ini
menemui kekandasan. Karena para pengusaha 'nasional' yang memperoleh
'lesensi' dari pemerintah itu, menjualnya kepada pengusaha
orang-orang Tionghoa dan atau orang-orang Indonesia asal etnik
Tionghoa, yang sudah lama bergerak di bidang itu dan oleh karenanya
lebih berpengalaman.. Suatu kebijaksanaan lainnya yang diambil oleh
pemerintah Indonesia untuk mengubah situasi 'jomplang' antara
pengusaha Indonesia setempat dengan yang asal etnik Tionghoa, adalah
dengan melarang pengusaha-pengusaha Tionghoa berbisnis di pedesaan.
Akibatnya, penduduk desa yang dibilang 'asli' itu, merasa
'kehilangan'. Kehilangan pengusaha yang mensuply mereka dengan
barang-barang kebutuhan sehari-hari secara teratur dan wajar.

Politik ekonomi pemerintah yang demikian itu ternyata tidak dapat
mencapai tujuannya. Karena masih merupakan suatu kebijakan yang
didasarkan pada pemberian hak istimewa pada ras tertentu dari nasion
Indonesia.

* * *

Dalam masyarakat kita bisa terjadi seseorang, oleh sesuatu sebab,
melontarkan makian, dengan kata-kata: 'dasar Cina lu' , dsb.
Sesungguhnya makian itu, tidak banyak beda, dengan makian terhadap
orang Batak : 'dasar Batak lu', atau 'dasar Jawa, lu'. Mengapa bisa
terjadi, bila tadinya menggunakan kata 'Tionghoa' dan 'Tiongkok'
berubah diharuskan menggunakan kata 'Cina' ?lalu hal itu dirasakan
sebagai suatu penghinaan? Sebabnya sederhana saja.

Karena perubahan itu dilakukan dengan resmi, s a d a r , 'b e w u s
t ', kata orang Belanda, oleh penguasa Indonesia, sebagai suatu
kekuasaan yang sedang menanjak. Ia dilakukan pada saat yang
berbarengan dengan berlangsungnya kampanye besar-besan anti-Tiongkok,
anti etnis Tionghoa, yang dilancarkan oleh rezim Jendral Suharto.
Dilakukan dengan k e s e n g a j a a n yang amat menyolok. Orba
mencetuskan pergantian tsb secara amat resmi, dan dipaksakan,
diharuskan pemberlakuannya untuk seluruh negeri.

Maka jelaslah motif dari penggantian nama atau kata 'Tionghoa' dan
'Tiongkok' menjadi 'C i n a ' ,
ADALAH untuk MENGHINA. Menghina warga Indonesia keturunan Tionghoa,
menghina orang-orang Tionghoa penduduk Indonesia yang bukan
warganegara Indonesia, dan menghina Republik Rakyat Tiongkok. Itu
semua dalam paket politik anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa. * *

No comments: