Tuesday, December 25, 2007

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- INTERMEZO (1)

IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA

------------------------------------------------

Selasa, 25 Desember 2007


INTERMEZO (1)


Pada pagihari NATAL ini, alangkah sepi dan tenangnya keadaan sekeliling. Memancing orang untuk mengenang dan berfikir. Berfikir dan berfikir. Tapi lebih dulu baiklah dimulai dengan mengucapkan SELAMAT HARI NATAL, semoga di waktu-waktu mendatang keadaan dan situasi akan membaik dan lebih baik lagi untuk kita semua. Amien, ya rabul alamien.


* * *

Jum'at pagi minggu yang lalu, aku ada urusan harus keluar rumah. Di luar, . . . . aduh mak, dinginnya alang kepalang. Apalagi kalau keluar bersepedah. Aku lakoni juga bersepedah dalam cuaca dingin begini. Soalnya kalau berkendaraan umum, tokh harus tunggu bus atau metro, sama saja, dingin juga. Dengan pakaian yang cukup tebal dan pakai ' kopiah' rajutan dari benang acryl atau wool, insyaallah, suhu dingin yang menyusup sampai ke tulang belulang itu bisa teratasi. Dengan bersepedah itu, karena gerak yang intensif dan teratur, maka badan terasa hangat, dan nyaman serta .. gar, . . gar, . . gar . . . . .! Segar yang tak ada tandingnya. Segarnya cuaca musim dingin di udara terbuka.


Di Belanda, memang MUSIM DINGIN sudah berlangsung sebulan lebih. Musim ini juga memamerkan kebolehannya. Dingin tapi segar! Lebih-lebih lagi karena ada angin yang bertiup. Tidak besar, sepoi-sepoi basa. Tapi lain dengan sepoi-sepoi basanya cuaca musim panas di Indonesia tercinta. Dingin. . . , dingin sekali! Tetapi dingin di Amsterdam Bijlmer ini, di suatu tempat yang terletak di tepi Bijlmerbos (hutan Bijlmer), makin terasalah keindahan negeri dingin ini.


Bahkan indah sekali. Pepohonan besar kecil, semak-semak yang sudah gundul karena daunnya pada rontok, dalam semalam saja berubah, memamerkan wajah musim dinginnya yang indah sekali. Percayalah betul indah! Pepohonan dan semak-semak yang tinggal cabang dan ranting tak berdaun itu, seperti diliputi salju putih yang tipis. Rerumputan seperti ditebari oleh lapisan kapas sutra yang halus keputih-putihan. Namun, itu bukan salju. Karena salju belum turun di Amsterdam. Itu adalah embun yang turun malam sebelumnya, lalu berubah menjadi seperti kapas halus yang indah. Suhu di bawh nol malam-malam sebelumnya , itulah penyebab keindihan di tengah tengah suhu dingin yang bukan kepalang.


Sambil menikmati pemandangan yang indah keputih-putihan itu, tampak di kejauhan suatu kelucuan. Dua ekor angsa dan burung manyar serta beberapa burung belibis serta ayam rawa dan unggas-unggas berbagai warna 'berjalan diatas air'. Bukan seperti biasa, berenang-renang mencari makan di empang-empang dan saluran, tetapi ' énak- 'enak saja jalan-kaki' di atas air. Ya, mesti saja, karena air yang biasa mengalir di situ sudah membeku berubah jadi és.


Jangan lupa, meski dinginnya bukan kepalang. Namun, terpampang suatu pemandangan yang patut dinikmati.


* * *


Menulis menuruti style pribadi, seperti yang sedang kulakukan ini, mungkin sulit untuk memberikan nama yang pas untuk itu. Ada juga yang menamakan style tulisan yang menuruti kemauan sendiri itu, suatu 'Catatan Pinggir'.' Seperti yang sampai sekarang masih dilakukan oleh budayawan Goenawan Mohammad di mingguan Tempo. Ada yang pakai nama 'obrolan' atau 'iseng-iseng'. Di periode Presiden Sukarno dulu, umumnya setiap s.k. punya semacam kolom kecil di sudut s.k masing-masing. Biasanya diberi nama 'pojok'. Dimuatnya memang di pojok s.k. Tulisan di situ singkat padat. Bahasanya santai dan leluasa. Terkadang menggunakan bahasa Jakarta. Biasanya amat tajam. Sentilannya nyelekit. Lincah!. Namun, penulisnya masih memperhatikan 'toto-kromo' yang tak tertulis. Menulis ya menulis, tetapi tidak kebablasan sampai hanya untuk memuntahkan makian dan fitnahan belaka.


S.k. 'Harian Rakyat' punya 'Wong Cilik'nya, Pedoman juga punya. Warta Bhakti punya 'Mata Jeli', dll. Komentar-komentarnya jenaka, santai dn berisi. Dan, jangan dikira tidak mengandung maksud yang mendalam. Sering-sering isinya mengandung muatan politik yang cukup berat. Tidak heran, karena pojok- pojok s.k. itu tidak jarang penulisnya adalah pemimpin redaksinya sendiri.


* * *


Begitulah ceriteranya, sampai aku juga tertarik untuk menulis yang santai. Yang tidak terikat oleh sesuatu yang 'diharuskan menurut teradisi atau aturan tulis-menulis' jurnalistik. Pokoknya tidak menuruti sesutu ketentuan yang ketat dan kaku. Nyatanya, sering pembaca itu lebih menyukai tulisan-tulisan yang tidak ditentukan oleh aturan yang ketat. Tentunya (dan harap perhatikan ini) ditulis dalam batas-batas kesopanan yang umum serta beradab. Juga yang memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang wajar. Perlu juga dicatat bahwa apa ukuran 'sopan' dan ' beradab' itu, pada lain orang lain tidak mesti sama interpretasinya.


* * *


Sudah beberapa saat lamanya, aku duduk dimuka computerku ini. Memulai tuisan yang kuberi nama 'INTERMEZO'. Simaklah 'Kamus Besar Bahasa Indonesia', terbitan Dep. P & K, Balai Pustaka , 1989. Di situ kata 'INTERMESO', artinya ' s e l i n g a n '. dalam Kamus Ned-Indonesisch, Dr Teeuw, INTERMEZZO artinya ' intermezo'. Bagaimana dengan penjelasan kamus An English-Indonesian Dictionary, oleh John M. Echols dan Hassan Shadily (1975). Di situ dijelaskan , 'intermezo' artinya: selingan, --- 'intermeso'.


Pokoknya SELINGAN. Tapi aku gunakanlah kata asing ini yang sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indnesia: I N T E R M E Z O. Pokoknya santai, tapi enggak main-main. Guyon, tapi tidak 'asal lucu' saja.


* * *


Dalam fikiran, sudah kurencanakan hari-hari pertama tahun 2008 nanti akan meneruskan (bagian ke-2) tulisanku yg berjudul 'Sima'i Hal Baru Dalam Dalil-Dalil Sri Margana Tentang BLAMBANGAN'.


Sebelumnya aku sudah berrencana ingin menulis tentang begawan Sartono Kartodirdjo begitu membaca berita yang pertama kuperoleh dari Boni Triyana, kemudian ada tulisan dalam Kompas dan tulisan sejarawan Aswi Adam, mengenai meninggalnya Prof. Dr Sartono Kartodirdjo. Sartono Kartodirdjo adalah ilmuwan Indonesia pertama yang menulis mengenai 'Pemberontakan Kaum Tani Banten'. Itu tesis doktoralnya di Leiden. Begawan Prof Sartono Kartodirdjo (87), adalah sejarawan tangguh yang berani melawan pengawasan dan 'arahan' rezim Orba dalam penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia. Tapi rencana penulisan itu sementara kutunda dulu. Sambil mencari inspirasi dan mengumpulkan bahan.


Juga karena sering tersirat dalam fikiran, ingin menulis yang 'ringan-ringan'. Ringan, bisa agak panjang, bisa cekak-aos, tapi tidak tergelincir melantur ke hal-hal yang 'tak senonoh'. Ngalor-ngidul menggunakan media 'gratis' untuk memaki-maki orang lain, atau memfitnah dsb. Apakah itu menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, budaya kepercayaan agama, atau masalah perorangan belaka. Yang dijiwai oleh amarah dan kebencian.


Aku menulis begini bukan tanpa dasar. Coblah lihat 'literatur' yang tersiar di media internet dalam tahun-tahun belakangan ini. Sering menyedihkan, tapi juga menimbulkan kemarahan. Perkembangan computer dan media internet sungguh maju melompat. Sesuatu yang telah memberikan jasanya pula pada dunia informasi dan telekomunikasi, bagi publik sedunia. Namun, perhatikanlah. Tidak sedikit bisa dijumpai kalimat-kalimat atau kata-kata dari penulis (biasanya menggunakan nama samaran) yang memang dimaksudkan untuk menyerang, memfitnah dan menghina orang lain. Tulisan-tulisan yang dimuat jelas dimaksudkan untuk menyakiti hati dan mendeskreditkan orang lain. Bila pembaca tidak menyetujui bahkan menentang sesuatu tulisan, itu adalah wajar dan sehat. Tapi, bila tanpa argumentasi, tanpa mau susah-payah untuk meyakinkan pembacanya, lalu mencari jalan gampang, melontarkan cacian, tuduhan, makian dan umpatan, itu sudah lain lagi soalnya. Kemungkinan besar sikap dan tindakannya itu, disebabkan kemalasannya menulis dengan argumentasi yang baik dan sopan, atau memang tidak mampu.


Kemajuan dunia internet, website atau 'blogging' seryogianya digunakan untuk memajukan pencerahan, menyebarkan ilmu pengetahuan, melawan ketidak adilan dan membela kebenaran, memupuk kekritisan, melawan pesimisme dan memperkokoh opritmisme. Menulis semata-mata dipicu oleh kepentingan pribadi, untuk memuaskan hati sendiri serta melampiaskan hinaan dan fitnahan ke alamat orang lain, seyogianya bukan tempatnya di media internet. Dengan demikian media internet yang boleh dibilang 'gratis' itu bisa benar-benar dijadikan wadah yang positif, bukan untuk melampiaskan kemarahan, kecemburuan dan kesirikan.


* * *


Banyak yang ada dalamn fikiran, yang hendak ditulis, dibagi-ceritakan kepada pembaca. Tetapi maklumlah menjelang akhir tahun, meski sudah dalam usia tergolong 'manula' (77th), tetapi kesibukan-kesibukan yang macam-macam itu nyatanya tak pernah jedah. Macam-macam kesibukan hidup sehari-hari itu. Kecuali setiap hari pasti harus gerak-badan (ini lebih-lebih perlu untuk orang-orang yang sudah 'manula), jalan kaki, atau naik sepeda. Kecuali itu dalam seminggu paling tidak dua kali harus mencuci pakaian dll, ngepél, 'nyedot abu', bahasa Belandanya 'stofzuigen' dengan menggunakan alat listrik penyedot abu yang khusus untuk itu. Juga paling tidak dua minggu sekali bersama Murti, sang istri, berbelanja untuk dapur ke winkelcentrum.


* * *


Sebelum mengakhiri INTERMEZO ini, ada satu hal menarik dan penting yang ingin kusampaikan mengenai seorang penyair Chili, kaliber dunia, PABLO NERRUDA ( 12 Juni 1904 - 23 Sept 1973 ). Memang aku ini keterlaluan! Buku PABLO NERUDA (tebal 455 halaman), edisi bahasa Belanda, berjudul -- 'IK BEKEN IKHEB GELEEFD, Herinneringan'. dalam bahasa Indonesianya kira-kira, 'SAYA AKUI SAYA HIDUP, Kenang-kenangan' (Cetakan pertama 1975).


Mengapa aku bilang aku ini keterlaluan. Soalnya buku itu sudah tiga tahun nangkring dimeja kecil di bagian kepala tempat tidurku. Kubeli di Toko Buku 'Vrije Universiteit Amsterdam', pada tanggal 13 Desember 2004. Masyaalah baru hari ini, betul-betul aku mulai membacanya. Tentu, pada waktu membelinya sudah kubalik-balik juga halamannya dan membaca semacam kata pendahuluan buku pada halaman 8. Di situ Pablo Neruda menulis bahwa,


'Memori kenang-kenangan ini bukanlah suatu cerita yang sambung menyambung menjadi suatu keseluruhan yang utuh, dan di sana sini tampak adanya kekosongan. Persis sama dengan kehidupan itu sendiri'. . . . . .


Aku tertarik membaca permulaan kata pengantarnya itu.

Jauh pada tahun limapuluhan abad lalu, aku sudah mendengar nama Pablo Neruda yang tenar. Menjadi kebanggaan kalangan progresif dunia. Kemudian kubaca sendiri beberapa tulisannya.


Jelas Pablo Neruda adalah seorang KOMUNIS. Seorang penyair besar! René De Costa dalam THE POETRY OF PABLO NERUDA, menulis bahwa 'Sekali tempo ia (Pablo Neruda) disebut Picassonya poësi, berkat pandangannya yang banyak-segiannya dan talennya untuk selalu berada di barisan depan'.


Setelah Pablo Neruda dianugerahi HADIAH NOBEL UNTUK SASTRA (1971), perhatian khalayak sedunia semakin meningkat terhadap diri dan syair-syair serta tulisan-tulisannya. Bukunya ' MEMORI . . . ' yang penerbitannya ditangani oleh istrinya sendiri, amat dinanti-nantikan dan disambut hangat. Bukan kebetulan bahwa terbitnya buku Memori Pablo Neruda tsb berlangsung pada tahun 1975. Yaitu tahun ketika pemerintah progresif Kiri Partai Sosialis Presiden Salvador Allende digulingkan oleh suatu kup militer anti-Komunis di bawah pimpinan Jendral Pinnochet. Syukur alhamdulillah, akhirnya almarhum Preisiden Jendral Pinnochet yang telah melakukan pelanggaran HAM besar-besaran terhadap rakyat Chili, akan diadili.


Sebelum ia meninggal (1973), Pablo Neruda sempat menjadi Dubes Chili di Perancis. Ia menerima jabatan itu karena merasa bangga bahwa di negerinya, Chili, telah berdiri suatu pemerintah Sosialis yang progresif, di bawah Preisiden Allende. Dan ia bersedia mewakili pemerintah Kiri seperti itu.


Meskipun umum tahu bahwa PABLO NERUDA adalah seorang Komunis. Namun tidak membikin mata mereka cadok, tapi masih mampu bersikap obyektif, untuk melihat dan mengakui bahwa Pablo Neruda yang Komunis itu, adalah seorang raksasa di dunia sastra , dunia persairan internasional.


Aku lega mengetahui ini, karena ternyata di dunia ini, tidak semua orang matanya cadok, yang membikin mereka tidak bisa atau tidak rela melihat dan mengakui, bahwa orang Komunis itu tidak sedikit yang hebat-hebat. Yang telah memberikan suri teladan, telah mengabdi pada rakyat dan negerinya, yang patriotik dan internasional, da telah memberikan sumbangan penting dalam khazanah poësi dunia. Orang-orang yang fikiran dan mata hatinya sudah cadok begitu mendengar nama KOMUNIS, hati nuraninya sudah bisu, fikrannya membatu, macet, persis seperti pahlawan anti-Komuinis MAC CARTHY di Amerika pada tahun limapuluhan.


Belakangan nanti akan kutulis lagi tentang PENYAIR DUNIA PABLO NERUDA.


Sampai kali berikut.


* * *


Wednesday, December 19, 2007

IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS, 15.12.07

==========================================
IBRAHIM ISA'S -- SELECTED NEWS & VIEWS, 15.12.07
==========================================

BALI CLIMATE NEGOTIATIONS - ON THE EDGE

GOVT BANS, --- BOOK ON PAPUA POLITICAL STRUGGLE

HUMAN RIGHTS BODY (KOMNASHAM), TO INVESTIGATE CHURCH CLOSURE

SLOW YEAR FOR HUMAN RIGHTS -- SAY ACTIVITISTS

----------------------------------------------------------------------------------------------

Bali climate negotiations on the edge

Abdul Khalik, The Jakarta Post, Nusa Dua, Bali 15/12/07

Despite the removal of several sticking points that hindered talks in creating a road map toward future climate commitments, participants in the UN climate conference here failed Friday to decide on emissions-cutting targets for developed countries. Another stumbling block was the question of the responsibilities of developed countries, and what efforts developing countries should undertake regarding mitigation, with the U.S. pushing for national level efforts instead of international commitments.


Most participants, particularly those from the European Union and developing countries, insisted that the inclusion of carbon emissions cut targets were crucial to guide the next two negotiations in Poland in 2008 and Denmark in 2009, in which the future commitment is to be concluded. The new agreement is to replace the earlier pact on climate change, the Kyoto Protocol. Meanwhile, the U.S., fearing economic disadvantages from a rising China and India should they commit to certain targets, continue to oppose any figures in the road map. Developing countries also opposed any targets, citing fears of economic slowdown and further constraints to wiping out poverty. The negotiations, which were supposed to end by Friday, continued until after midnight with no sign of a conclusion.


Speculation even arose on whether the U.S. delegation was waiting for directions from the White House which could change the course of the negotiations. The executive secretary of the UN Framework Convention on Climates Change, Yvo de Boer, said the negotiations were taking "longer than I expected." "But this is a very important journey ... they need to craft the language very carefully because that language is going to guide them over the next two years. I think it's better to leave here with a very clear decision rather than spend next session trying to understand what's been agreed here in Bali," he told reporters. Many officials, however, have speculated that the negotiations will not be concluded until Saturday. De Boer said the progress had been made in the two weeks in which the participants had been able to reach agreements on points that had previously posed a problem, such as technology transfers, adaptation efforts and a financial scheme for the road map. He said that the parties had also decided what mitigation efforts the developed countries should bear, with discussion on the responsibilities for developing countries still going on.


But the trickiest problem, de Boer said, was how the Intergovernmental Panel on Climate Change scientific report's discussion on the need for the cutting of emissions by 25-40 percent for developed countries is reflected in the roadmap, without inviting rejection from the U.S., the EU and the developing countries. The determining moment of the negotiation occurred Thursday night after the U.S. unexpectedly came up with a proposal on mitigation efforts that did not differentiate responsibility between developing and developed countries but underlined the need for domestic efforts for each country, threatening to undo the progress made in the negotiations so far. After negotiating until past 3 a.m., Foreign Minister Hassan Wirayuda postponed the meeting to 10 a.m. , and came up with a new proposal with accommodation being given to the U.S. on softening the target by changing it to reducing 50 percent of emissions by 2050 by 1990 levels. But officials said that the numbers have been reduced further after participants agreed to mention only targets of deeper emission cuts before 2012 as mandated by the Kyoto Protocol.---


Govt bans, confiscates book on Papuan political struggle Angela Maria Flassy, The Jakarta Post, Jayapura, Papua

State prosecutors seized Friday 60 copies of a book they say could divide Papua politically, while critics have accused them of robbing local people of their freedom of expression. The 244-page book, titled Tenggelamnya Rumpun Melanesia, Pertarungan Politik di Papua Barat (The Sinking of the Melanesian Race: The Political Struggle in West Papua) was written by a local academic, Sendius Wonda. "The book is misleading, it could spark unrest and divide the Papuan community," said Rudi Hartono, the intelligence chief at the provincial prosecutors' office.


The 60 copies of the book printed by local publishing house Deiyai were confiscated from a Gramedia bookstore in Jayapura. "We will continue raiding bookstores in other places for the book," Rudi added. Rudi said the management of Deiyai would be summoned to the prosecutors' office for questioning on Saturday. The prosecutors said their legal basis for banning the book was a 2007 attorney general's circular about banning printed materials that could "mislead the public" and "disturb public order". They said they would start looking for other copies of the book in towns throughout Papua next week, but stopped short of demanding people surrender their copies to the authorities. Muridan S. Widodo, researcher with the Center for the Indonesian Political Institute of Sciences, described the sweep as a "threat to the freedom of expression". "The book reflects the typical thoughts of Papuan activists about the 'culture of terror' in the territory," Muridan said. He added that the author bemoaned the Papuan's loss of their long-standing struggle for economic and political leverage.


Papua, formerly called Irian Barat, or West Irian, has been in the international spotlight due to a simmering secession movement triggered by widely perceived injustices. The military has been waging a low-level armed uprising. Muridan said that instead of banning the book, the government should have countered the intellectual work with a book of its own. "Then invite those who support Sendius Wonda's ideas to an open debate. This would have been better," he said. He said the government should nurture the budding intellectual tradition in Papua rather than try to suppress it.




Rights body - (KOMNASHAM) - to investigate forced church closures

Alfian, The Jakarta Post, JakartaThe National Commission on Human Rights (Komnas-HAM) has said it will investigate reports on the increasing incidence of forced closings of churches. The commission will act on a complaint filed Friday by leaders of the Communion of Indonesian Churches (PGI) and the Indonesian Bishops Conference (KWI). The Protestant and Catholic leaders submitted a list of 108 houses of worship, notably in West Java, which they said have been forcibly closed, ransacked, threatened or burned down since 2004.


Perpetrators range from local officials to such radical organizations as the Islam Defenders Front (FPI) and the Anti-Apostasy Alliance (AGAP), they said. "I am afraid the violence will destroy Indonesia's image internationally because we are unable to protect human rights," commissioner Yoseph Adi Prasetyo said. Filing the complaint were PGI chief Rev. Andreas A. Yewangoe, and KWI chairman Bishop Mgr. Martinus D. Situmorang. They said that in many areas, Christians have difficulty performing religious duties due to intimidation. "From 2004 to now, some 108 houses of worship have been requested and even forced to close," said Andreas. He added people in some areas have been prohibited from performing their religious duties. "It (church closure and intimidation) is a violation of both the right to freedom of religion and the right to express one's religion or beliefs." Bishop Martinus said many churches had experienced frequent threats. "It is time for us to solve this problem because it is related to the respect of human rights and civil society's commitment to safeguarding security," he said. Christians account for some 10 percent of the 230 million population of predominantly (88 percent) Muslim Indonesia, according to official statistics. As a minority group, Christians have often complained of discrimination, saying building churches in some areas is practically impossible due to local Muslims' objections.


The report filed with commissioners said the strongest resistance to the presence of churches was in West Java province, where congregations using shops and homes as churches had been forced to close. Similar intimidation also forced long-existing churches to shut down, the report said. Different actors, the report said, have been involved in the effort to close the churches. In some area, the district executive assembly was deemed responsible, while in other areas, mass organizations such as FPI and AGAP. At the center of the controversy is a 2006 joint decree from the Home Ministry and the Religious Affairs Ministry, which requires a minimum of 90 observers for building a house of worship. Antonius Benny Susetyo, a KWI executive, said at the grassroots level the joint decree had not been properly understood. "Even if the requirements have been fulfilled, sometimes the subdistrict heads do not want to grant the permit," said Benny. Andreas said the decree was meant for the sake of making religious activities convenient. "It cannot be used to criminalize people performing religious duties." Commissioner Yoseph Adi Prasetyo promised to review the disputed decree.



Slow year for human rights, say activists ,

The Jakarta Pos, Jakarta - 11 Dec 07

Human rights activists say there has been no significant improvement in human rights protection in the country this year."Many people have been said to have disappeared without a trace, but /ipso iure/ (by operation of the law) we can not find the kidnappers. (Human rights activist) Munir died, but /ipso iure/ we can not find his murderers. "Many lives were taken in East Timor, but the courts can not find any proof that human rights abuses happened there," human rights activist Soetandyo Wignjosoebroto said here Monday.

Soetandyo, who chaired the selection team for the recruitment of the current membership of the National Commission on Human Rights (Komnas Ham) attributed the problems to the elites' "lack of guts" to face the politics risks that could result from law enforcement efforts.

"We can still see a lot of impunities; there's no significant improvement in human rights protection in the country," Soetandyo told the audience at an event to commemorate International Human Rights Day on Dec. 10 at the office of Komnas Ham in Central Jakarta.

However, commission chairman Ifdhal Kasim said the year 2007 was a milestone in the progress of human rights protection in Indonesia, with the government starting to implement the 1966 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights and the 1966 International Covenant on Civic and Political Rights, which were ratified in 2005. But he also said that the government had yet to seriously implement the principles and provisions of the two covenants by not reforming existing regulations and annulling those against the covenants.

"This can be seen as the government's unwillingness or disregard for doing something (to improve human rights protection)," said Ifdhal. He said Indonesia still was not conducive to a good human rights situation, with a number of atrocities left unsolved.

These cases include the May 1998 riots, the Trisakti shootings, the Semanggi I shooting incidents in 1998, the Semanggi II shooting incidents in 1999, and the Wasior (2001-2002) and Wamena (2003) rights cases in Papua, whose initial investigations had long been completed but were never followed up.

Ifdhal added that many officials refused to cooperate with human rights investigators. He said some of the prominent human rights violations that occurred this year included the suffering of the Lapindo mudflow victims, domestic violence and human trafficking. "Domestic violence contributed 20 percent of the cases reported to us, while human trafficking is getting more common. The government's efforts to curb both cases are still very poor," Ifdhal told reporters after the event.

He said the commission also recorded "disturbances" to freedom of religion in 2007, while observing what had happened to followers of the Ahmadiyah and Al Qiyadah sects.

Regarding past human rights abuses, he said the government needed to reestablish the truth and reconciliation commission, which was dismissed by the Constitutional Court in December last year. "We recommend the immediate re-establishment of the commission because there were too many human rights atrocities cases in the past that we can't settle through just the human rights courts.

"We need to settle the past cases so we can move forward with the new ones," said Ifdhal. (wda)


* * *
Kolom IBRAHIM ISA
-------------------------
Jum'at, 14 Desember 2007



KOLONIALISME TETAPLAH KOLONIALISME

Belum lama di ruangan ini dipublikasikan artikel tentang, dubes Belanda di Indonesia NIKOLAS VAN DAM, yang memberikan ceramah di Pesantren Darusalam Gontor . Beberapa pembaca memberikan taggapannya. Di antaranya dari seorang sarjana muda Indonesia, bernama YANTI MIRDAYANTI. Yanti diperkenalkan kepadaku beberapa tahun yang lalu, oleh seorang kawan, pada kesempatan memperingati 'Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945', di Wisma Duta, di Wassenaar, Holland.



Yanti Mirdayanti tergolong kaum muda Indonesia. Dewasa ini ia mengajar ( jadi dosen) pada sebuah Universitas di Bonn, Jerman. Dari tanggapan Yanti Mirdayanti, dapat dilihat bahwa sarjana Indonesia tergolong kaum muda, yang sekarang ini bekerja di Bonn, Jerman, memiliki pengetahuan dan sikap mengenai kolonialisme, khususnya kolonialisme Belanda, yang jernih dan benar.



Sikap dan pandangan seperti yang diuraikan Yanti Mirdayanti, yang jernih dan teguh mengenai kolonialisme, mengenai sejarah bangsa kita, adalah pandangan yang merupakan dasar dan arah bagi pencerahan fikiran dan kemajuan bangsa. Suatu sikap dan pandangan kebangsaan yang selalu diajarkan salah seorang pejuang unggul kemerdekaan dan bapak nasion Indonesia, BUNG KARNO. Supaya kita semua, dengan tepat mengenal sejarah bangsa sendiri, memiliki pandangan BEBAS MANDIRI, BERDIRI DI ATAS KAKI SENDIRI, dan BERPKRIPADIAN INDONESIA.



Khusus mengenai masalah sejarah bagi bangsa ini, teristimewa bagi kaum mudanya, amat mendesak dimilikinya pengetahuan dan sikap yang jernih. Mengenal sejarah bangsa sendiri, mengenai sejarah hubungan internasional yang jernih dan tepat, yang bertolak dari kepentingan dasar bangsa Indonesia, akan memperteguh dan memajukan pandangan dan pendirian kaum muda, terhadap masalah-masalah seperti kesadaran berbangsa, identitas nasion Indonesia dan patriotisme.



Terlebih lagi pentingnya ditegakkanya pandangan tsb, mengingat selama periode rezim Orba, fakta-fakta, konsepsi dan pemahaman mengenai masalah sejarah bangsa, sudah begitu dijungkirbalikkan, dibengkak-bengkokkan, sehingga membenamkan sampai ke dasarnya keberanian dan kemampuan untuk dengan bebas berfikir sendiri, untuk menganalisis dan mengambil kesimpulan sendiri. Pada periode Orba, kaum muda kita dijejali dengan konsepsi dan pandangan yang mutlak membenarkan sikap, pandangan dan politik penguasa. Bahwa kebenaran dan keadilan adalah milik penguasa semata.



* * *



Untuk selanjutnya tulisan-tulisan berikutnya dari Yanti Mirdayanti, termasuk yang menyangkut masalah internasional, seperti masalah SELAT MALAKA, dan SEKITAR PRESIDEN RUSIA PUTIN, akan dimuat di ruangan ini pada waktu mendatang.



Mari ikuti tanggapan YANTI MIRDAYANTI, mengenai kolonialisme Belanda:



KOLONIALISME TETAPLAH KOLONIALISME



Apa pun alasannya,kolonialisme tetaplah kolonialisme. Tidak ada keuntungannya untuk negara yang dijajah. Kalau umpamanya Belanda meninggalkan 'warisan' jalan-jalan raya atau beberapa hal yang waktu itu dibangun dengan berbekal teknologi Eropa, toh mereka membangunnya juga demi kelancaran proses perekonomian mereka di negara jajahan. Buruh bangunan yang dipakai untuk membuat jalan-jalan juga rakyat Indonesia, dan mereka kuli tak diupah.

Hitler di Jerman juga mendirikan jalan-jalan tol (Autobahn) yang besar-besar dan mulus itu tokh tujuan utamanya demi kelancaran lalu lintas transportasi militernya.

Kalau dulu Belanda berkunjung ke Indonesia demi kebaikan hati, maka tidak mungkin mereka mengangkut dan memperdagangkan rempah-rempah hasil bumi Nusantara oleh mereka sendiri secara monopoli (dalam bentuk VOC). Tidak mungkin pula mereka tingal di Indoeneia sampai 350 tahun. Pasti betah orang-orang Belanda dulu di Nusantara yang gemah ripah loh jinawi, hijau, makmur buminya. Alamnya begitu ramah dan iklimnya yang hangat terus, tidak seperti di negara mereka yang ada musim dinginnya. Masyarakat tradisional Nusantara juga begitu ramahnya terhadap tamu pendatang. Terlalu ramah, saya kira. Semuanya adalah syurga untuk kaum Eropa dan telah disalahgunakan oleh kaum kolonial Belanda dalam bentuk: penjajahan.



Jaman modern ini juga sama. Imperialisme tetap saja imperialisme. AS menyerang Irak dengan dalih menegakkan demokrasi. Sekarang masih berkuasa secara militer di Afghanistan dengan dalih terorisme, Taliban, Al-Qaida, etc. Tokh hasilnya masih tetap kehancuran bagi warga civil di sana.



Nah, baru-baru ini Bush dipermalukan oleh hasil laporan Dinas Rahasia AS sendiri yang mengumumkan bahwa Iran ternyata tidak memiliki atom nuklir.

Apakah tujuan laporan itu sendiri untuk menyelamatkan Bush di penghujung masa jabatannya atau bertujuan untuk menghindarkan perang AS-Iran, ataukah ada tujuan politis lainnya. 'Ntah lah.

Jadi, yang jelas, dalih apa pun tidak bisa diterima kalau suatu negara menjadi tuan raja di negara lain.



Kolonialisme tetap kolonialisme. Belanda dulu di Indonesia adalah tamu tak diundang yang telah datang dengan perahu kosong mereka ke Nusantara. Kemudian tinggal lama di bumi Nusantara ini sambil mengisi penuh perahu mereka. Bulak-balik Indonesia-Eropa sebagai bandar dagang dengan menjual hasil bumi Nusantara ini. Keuntungan hasil penjualan adalah untuk negara Belanda sendiri, bukan untuk kemakmuran rakyat Nusantara.

Salam dari Bonn,

Yanti Mirdayanti -

Tuesday, December 11, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - INDONESIA MASIH JAUH DARI NEGARA HUKUM

Kolom IBRAHIM ISA

---------------------------

Senin, 10 Desember 2007.


INDONESIA MASIH JAUH DARI NEGARA HUKUM


Tepat limapuluh-sembilan tahun yang lalu, 10 Desember 1948, dunia yang ketika itu belum lagi pulih dari luka-luka dan derita, korban dan penghancuran Perang Dunia II, dipesonakan dan diberi harapan mengenai haridepan yang damai, demokratis, berperikemanusiaan dan adil.


Usainya perang di Eropah dan Pasifik telah mendorong berdirinya di San Francisco, AS, pada tanggal 24 Oktober 1945 sebuah organisasi bangsa-bangsa yang baru: -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Organisasi bangsa-bangsa yang baru ini dibangun di atas puing-puing reruntuhan organisasi Liga Bangsa-Bangsa, yang gagal memelihara perdamaian, dan bubar dengan meletusnya Perang Dunia II. Pada hari bersejarah itu, 10 Desember 1948, PBB mengeluarkan sebuah deklarasi universil yang memberikan perspektif baru bagi ummat di dunia. Suatu pernyataan yang terkenal dengan nama


The UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS',

'DEKLARASI UNIVERSIL HAK-HAK MANUSIA'.


Deklarasi tsb dikumandangkan ke seluruh penjuru dunia. Pada saat ketika di bumi kita ini, sudah mulai (lagi) timbul dan berkecamuk sengketa-sengketa dan perang-perang lokal baru. Halmana terutama ditimbulkan oleh aksi-aksi militer supresif oleh negeri-negeri imperialis-kolonialis, seperti Inggris, Perancis, Belanda dll, terhadap (bekas) koloni-koloninya sebelum Perang Dunia II. Bangsa-bangsa di bekas-bekas jajahan tsb telah merebut nasibnya di tangannya sendiri. Mereka bangkit dan berontak terhadap belenggu penjajahan. Negeri-negeri imperialis dan kolonialis tidak mau mengerti perubahan besar yang telah terjadi di dunia ini.


Tambahan lagi, ketegangan baru mulai disebabkan munculnya pertentangan baru. Yang kemudian dikenal dengan julukan 'PERANG DINGIN'. Suatu konflik yang secara gamblang termanifestasi dengan terbentuknya dua blok politik/militer yang saling berhadapan, saling pasang 'kuda-kuda'. Blok yang satu adalah NATO yang dikepalai oleh Amerika Serikat dengan yang berdirinya didahului oleh yang disebut peserta negeri-negeri 'Treaty of Brussel' (17 Maret 1948). Kemudian dilengkapi dengan keanggotaan AS yang kemudian bernama NATO (4 April 1949).


Pembentukan suatu aliansi politik/militer Barat yang hakikatnya bersifat konfrontatif, meskipun formalnya dinyatakan sebagai suatu organisasi demi kerjasama dan keamaman kolektif, pasti mengundang tindakan-balas dari fihak satunya. Demikainlah blok Timur membentuk yang dinamakan Pakta Warsawa (14 Mei 1955), yang dikepalai oleh Uni Sovyet.


Begitulah keadaannya, dalam kondisi perpolitikan dunia yang digandoli berat oleh konsepsi dan strategi 'Perang Dingin'. Pertarungan 'hidup-mati' diantara kedua blok tsb, telah mewarnai pemahaman dan pengertian tentang demokrasi, 'kemanusiaan' serta 'manusiawi' atau tidak 'manusiawinya' segala sesuatu. Niali-nilai tsb dengan kerasnya dibayangi oleh ideologi yang melatarbelakangi berdirinya blok-blok yang berhadap-hadapan . Dalam keadaan yang demikian itu adalah amat tidak mudah ditemukan kata bersama mengenai pentrapan, tentang memberlakukan prinsip-prinsip yang dideklarasikan di dalam Universal Declaration of Human Rights-nya UNO.


Masalah ini bagi kita, sebagai bangsa yang lahir dalam kondisi 'Perang Dingin', telah kita alami sendiri dalam perkembangan dan pergolakan politik perjuangan kemerdekaan. Pengalaman pahit kita alami lagi ketika berkecamuknya pembantaian masal terhadap orang-orang tidak berasalah, dilanggarnya secara besar-besaran hak-hak demokrasi warganegara, dalam periode akhir sembilanbelas enampuluhan, sekitar penggulingan pemerintahan Presiden Sukarno dan naiknya Jendral Suharto menjadi Presiden RI. Pada saat itu, meski adanya Deklarasi HAM PBB, malah negara-negara besar yang menjadi pencetus prinsip-prinsip demokrasi dan Ham, seperti Amerika Serikat dan Inggris, membisu seribu bahasa terhadap pelanggaran HAM terbesar di Indonesia. Menjadi jelas bahwa terdapat ukuran berbeda mengenai nilai hak-hak azasi manusia.

Begitu banyaknya korban yang jatuh dalam pergolakan sekitar berdirinya ORBA, dalam operasi militer Aceh, Maluku, Papua, dan kemudian pada invasi, pendudukan dan 'penyatuan' Timor Timur ke wilayah RI, namun prinsip-prinsip HAM yang dideklarasikan oleh PBB, boleh dikatakan tidak berperanan dalam mengungkap, mengadili dan menghukum pelanggaran berat HAM yang menjadi tanggung jawab pemerintah RI ketika itu, selama periode ORBA.


* * *


Di dunia internasional, UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS, ironisnya diumumkan pada periode yang kira-kira sama, dengan berdirinya sebuah negara baru bernama ISRAEL. Negara yang penduduknya terutama terdiri dari kaum pengungsi Yahudi dari Eropah, Amerika dan sementara negeri lainnya ini, lahir dengan pengorbanan amat besar dari fihak bangsa Arab Palestina. Ratusan bahkan jutaan penduduk Arab Palestina dibantai dan diusir dari kampung halamannya. Mereka dengan paksa dijadikan pengungsi-seumur hidup di negerinya sendiri dan negeri-negeri Arab tetangga, selama puluhan tahun hingga detik ini. Adalah pada saat dilanggarnya HAK-HAK AZASI rakyat Palestina, PBB mengakui dan menerima negara baru Israel tsb menjadi anggotanya. Ironis, tragis dan . . . entah apa lagi namanya keadaan semerawut dunia ketika itu. Sehingga kesan umum ketika itu, Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB, nilainya tidak lebih dari secarik kertas belaka.


Namun, biarpun nyatanya Deklarasi Universal HAM PBB tu, barulah merupakan suatu DEKLARASI UMUM BELAKA! Diukur menurut perkembangan ide-ide demokratis, damai dan manusiawi, hal itu merupakan kemajuan penting dalam rangka perjuangan untuk sutu dunia yang demokratis, damai dan adil yang didasarkan atas hukum. Maka tidak salah bila orang berucap syukur atas perkembangan kesedaran dunia dewasa itu. Tetapi, kalau berhenti disitu saja, menganggap bahwa segala sesuatu sudah OK karena sudah ada Deklarasi Universil HAM PBB, dan mayoritas anggota PBB formal menyetujuinya, --- maka sikap demikian itu TERAMAT NAIF dan KELIRU. Suatu sikap yang samasekali bertentangan dengan kenyataan yang ada di dunia.


* * *


Sebagai bangsa yang cinta perdamaian, keadilan, demokrasi, dan HAM, kita menyadari bahwa di atas pundak bangsa ini masih ada masalah serius dan berat yang harus ditangani dan diurus sampai tuntas. Nasion ini tidak boleh terus menerus mentolerir sikap 'burung unta' , terutama di kalangan pemerintah dan elite yang punya posisi di pelbagai lembaga eksekutif, legeslatif dan yudikatif negara, yang membisu dan pura-pura lupa terhadap pelanggaran HAM terbesar di sepanjang sejarah Republik Indonesia sejak berdirinya negara merdeka ini. PEMBUNUHAN MASAL 1965,1966, 1967; pelanggaran hak-hak demokrasi dan HAM yang dilakukan oleh Orba selama 32 tahun berdirinya, yang sampai sekarang ini masih belum disentuh, merupakan kendala besar terhadap tegaknya negara Republik Indonesia yang benar-benar didasarkan dan memberlakukan prinsip-prinsip hukum dan HAM, bila tidak diselesaikan dengan tuntas.


Republik Indonesia sudah puluhan tahun menjadi anggota PBB, memiliki UUD yang mencantumkan fasal-fasal yang menyangkut HAM, menyetujui Deklarsi HAM PBB, --- namun Republik Indonesia masih jauh dari suatu NEGARA HUKUM. Mengapa?


Karena pelanggaran HAM terbesar yang pernah berlangsung di bawah rezim ORBA, dibunuhnya hampir tiga juta warganegara yang tidak bersalah, tanpa proses hukum apapun; masih didiskriminasikannya hampir 20 juta eks tapol dan keluarganya; masih belum dipulihknnya nama baik, belum DIREHABILITASINYA hak-hak kewaganegaraan dan politik para warganegara yang dipersekusi dan didiskriminasi karena fitnah dan tuduhan terlibat dengan G30S, --- dalam satu kata, masih belum dijamah dan diurusnya 'CRIME AGAINST HUMANiI'Y, 'KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN' yang berlangsung di bawah rezim Orba; masih tetap berlangsungnya IMPUNITY; masih merajalelanya kultur dan praktek KORUPSI, KOLUSI DAN NEPONTISME -- semua itu menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih amat-amat jauh dari kenyataan suatu NEGARA HUKUM, yang menghormati hukum dan HAM.


* * *


Hari ini bisa dibaca berita yang 'boleh' menimbulkan 'optimisme baru' mengenai perjuangan untuk memberlakukan HAM di Indonesia. Diberitakan Jakarta Post (8 Des 07), bahwa KOMNASHAM 'segera' akan mengambil keputusan sekitar masalah 'apakah pelanggaran HAM yang terjadi dalam periode pemerintahan presiden Suharto, bisa diklasifikasikan sebagai 'pelanggaran berat HAM'.


Diantara 6 kasus yang dipelajari dan akan diambil keputusan, ialah yang bersangkutan dengan pembantaian masal pada pertengahan tahun 60-an, sekitar pembuangan tahanan tak bersalah ke pulau Buru, sekitar konflik di Aceh, Papua, dan Kalimantan Timur (22 Juli 1996). Bila kasus-kasus tsb dinyatakan sebagai pelanggaran berat HAM, maka akan dibentuk komisi adhoc untuk meneleitinya lebih lanjut, dan seterusnya .

Diharapkan usaha dan kegiatan KOMNASHAM tidak sekadar sampai di situ saja..


* * *


Lama, dan sulitnya, serta lika-likunya perjuangan untuk keadilan bagi ummat manusia di dunia, khususnya untuk kita, bagi para penderita pelanggaran berat HAM di Indonesia selama periode rezim Orba, tidak boleh mengendurkan kehendak dan semangat juang untuk meneruskan usaha mulya diberlakukannya HAM di negeri tercinta INDONESIA.


Agar cita-cita dan hasrat sepanjang massa bangsa ini untuk bisa hidup tenteram dan langgeng di Republik Indonesia yang didasarkan atas hukum dan HAM, akhirnya bisa terrealisasi!


* * *



Friday, December 7, 2007

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA - PERGOLAKAN DIMANA-MANA ---

IBRAHIM ISA - BERBAGI CERITA

---------------------------------------------

Kemis, 29 NOV. 2007


PERGOLAKAN DIMANA-MANA --- PEMUDA-PELAJAR BELANDA PUN TAK KETINGGALAN !


Dimana-mana dalam kehidupan masyarakat dunia ini terjadi pergolakan! Selalu ada, tak pernah berhenti. Tak perduli, ada atau tidak teori reformasi atau teori revolusI. Apalagi bila kekuasaan diktatur militer atau sipil yang anti demokratis merajalela, seperti pengalaman kita dengan Orba di bawah Jendral Suharto, cepat atau lambat pergolakan akan bergelora. Ini bukan bicara politik atau renungan berfalsafah. Ini realita hidup.!

Sudah terbukti.


Pergolakan yang muncul, mungkin saja ditindas, . . . lenyap. Tetapi akan muncul lagi! Itu pasti! Dalam banyak hal termanifestasi dalam bentuk aksi-aksi massa. Aksi-aksi massa tak pernah berhenti dalam kehidupan insan bermasyarakat. Sekali tempo aksi itu besar, sekali tempo kecil, sekali tempo sedang-sedang saja. Semua itu tak perlu digelisahkan, tak perlu ditakuti. Juga tak perlu 'di-kipasi'. Itu wajar! Itu normal! That's life! Itulah kehidupan. Hadapi saja dengan tenang, tapi, tentu perlu persiapan fikiran, agar bisa mengambil sikap dan posisi yang adil dan benar.


Aksi massa itu biasanya muncul untuk menentang sesuatu. Ada pula aksi-aksi massa demi membela sesuatu. Yang ditentang atau yang dibela itu, bisa sesuatu yang salah, atau, diangap benar yang kemudian ternyata salah. Bisa juga yang dibela atau ditentang itu, sesuatu yang benar dan adil. Aksi-aksi massa bisa terjadi secara damai dan teratur. Bisa juga kemudian terjadi bentrokan antara massa yang melakukan aksi, dengan aparat keamanan. Bisanya terjadi bentrokan, mungkin karena disusupi 'oknum' provokator. Bisa juga aparat yang memprovokasinya, karena penguasa sejak awal menentang aksi-aksi massa tsb.


Sebagai contoh mengenai aksi massa yang salah, adalah aksi massa pada tanggal 17 Oktober 1952 di muka Istana Negara, Jakarta. Saat itu aksi massa ditopang dengan moncong-moncong meriam tentara yang diarahkan ke Istana. Dari fihak tentara yang bertanggung jawab adalah Letkol A. H. Nasution. Dikeluarkan tuntutan agar Presiden Sukarno membubarkan DPR, suatu lembaga demokratis. Maka, itu adalah aksi massa yang salah. Suatu aksi rekayasa sementara fihak di kalangan tentara! Juga aksi-aksi KAMI/KAPPI (1965-1966) menuntut Presiden Sukarno supaya turun, adalah KELIRU! Karena aksi itu kemudian menaikkan Jendral Suharto ke singgasana kekuasaan. Jendral Suharto terbukti adalah seorang Presiden yang bergelimang dengan KNN dan pelanggaran HAM. Sedangkan aksi massa yang bergelora pada Mei 1998 yang menuntut Presiden Suharto turun panggung kekuasaan, adalah aksi-massa yang adil, benar dan patut disokong.



Aksi-aksi massa, umumnya menyangkut masalah peri kehidupan. Massa rakyat yang menderita miskin dan kewewenang-wenangan penguasa, yang sudah bosan dan muak dengan janji-jani palsu para elite politik dan penguasa, cepat atau lambat akan bangkit berlawan. Aksi-aksi mereka itu adalah demi untuk bisa 'survive', demi keadilan. Aksi-aksi massa biasanya ada bobot politiknya. Bisa besar, bisa juga kecil.


* * *


Kali ini, ---- aku ingin berbagi-cerita tentang aksi-aksi massa yang belum lama berlangsung di Perancis maupun yang di Belanda. Tidak peduli, meski keadaan ekonomi di Belanda cukup baik, dan di Perancis juga tidak buruk, namun aksi-aksi massa berlangsung juga.


Mengapa? Karena di situ terdapat ketidak-adilan. Sebagian tidak kecil dari masyarakat, baik yang di Perancis maupun yang di Belanda, merasa diperlakukan tidak adil oleh kebijakan pemerintah. Ketidak adilan, ------ itulah sumber aksi-aksi massa tsb.


* * *


TIMUR TENGAH DAN AMERIKA SERIKAT

Har-hari belakangan ini, media dunia dipenuhi oleh berita dan komentar, liputan dan analisis sekitar pergolakan dan perkembangan politik di mancanegara. Maraknya kegiatan politik a.l. ditandai dengan dicetuskannya insiatif Amerika Serikat untuk diselengarakannya suatu pertemuan internasional di Annapolis, AS. Adapun maksud dan tujuan AS, seperti dinyatakannya sendiri, adalah untuk memulai kembali PERUNDINGAN PALESTINA-ISAREL. Pertemuan seperti itu, menurut Menlu AS Condoleeza Rice, dirasakan sudah waktunya, guna menembus kemacetan proses perdamaian sekitar kasus 'konflik' Palestina-Israel.


Oleh sementara fihak yang berpandangan optimis, inisiatif AS tsb dianggap akan bisa dijadikan pemicu dimulainya lagi perundingan Israel-Palestina. Dengan tujuan jelas, yaitu berdirinya negara Palestina merdeka yang hidup berdampingan (secara damai) dengan negara Israel.


Para pengkiritisi inisiatif AS, termasuk yang penting, seperti HAMAS yang berkuasa di Gaza Stroke, mengadakan aksi-massa menentang inisiatif AS. Inisiatif AS itu dilihat sebagai usaha, mengalihkan dan cari-muka semata dan cari nama Presiden Bush, sebelum ia turun dari jabatan Presiden AS. Umum diketahui bahwa Presiden Bush selalu mendukung Israel. Di dalam maupun di luarnegerinya, terjebak oleh kemacetan dan kegagalan petualangan militernya di Afghanistan dan Irak, bak orang yang pelan-pelan, tapi pasti, sedang tenggelam dalam pusaran-air bikinannya sendiri.

Sedangkan Presiden Abbas dari Palestina, yang menjadi peserta dan partner dalam perundingan tsb., dianggap praktis hanya didukung oleh adminstrasi Palestina di daerah West Bank S. Jordan. Di daerah Palestina Jalur Gaza, yang kuasa disitu adalah HAMMAS, Presiden Abbas ditolak. Hammas keras menentang Israel, menentang AS (di fihaknya AS menganggap Hammas adalah organisasi kaum teroris). Hammas juga menentang pemerintahan Presiden Abbas yang dituduhnya bergelimang dengan korupsi.


Isu besar dan utama antara Parlestina dengan Israel, masih tetap tak terpecahkan. Yaitu (1) tuntutan adil fihak Palestina sekitar (internasionalisasi kota Yerualem yang oleh Israel dijadikan ibukota Israel), --- (2) tuntutan Palestina agar pemukiman-pemukiman Jahudi di Tepi Barat Jordan (West Bank) dihentikan dan dibongkar, dan, ---- (3) tuntutan fihak Palestina, agar orang-orang Arab Palestina yang bertahun-tahun lamanya hidup sebagai 'pengungsi' di negeri sendiri, karena diusir-paksa dari kampung halamannya, oleh tentara Israel semasa perang Arab-Israel tahun-tahun 1948 dan 1967, -- agar mereka dibolehkan pulang ke kampung halamannya masing-masing, (yang sah), yang sekarang sudah menjadi wilayah negara Israel. Semua itu adalah kendala-kendala besar dalam masalah konflik Palestina-Israel. Belum lagi isu wilayah Dataran Tinggi Golan, wilayah Syria yang diduduki militer Israel.


Semua isu dan tuntutan Palestina tsb sampai sekarang ditolak keras oleh Israel. Jadik bagaimana perundingan bisa membawa hasil?


Jadi, menurut pandangan pesimis, pertemuan Annapolis, di AS, itu tidak akan menghasilkan apa-apa.

Hanya untuk memupur wajah politik pemerintah Presiden Bush!


PEMOGOKAN DAN DEMO KAUM PEKERJA DAN ANAK-ANAK MUDA AFRO-PERANCIS

Pergolakan lainnya adalah konfrontasi antara pemerintah Presiden Perancis, Sharkozy, dengan kaum pekerja kendaraan umum kota Paris. Akibatnya lalu-lintas umum lumpuh. Kaum pekerja Perancis terpaksa melakukan pemogokan tsb untuk membela nasibnya. Mereka menentang kebijakan pemerintah Presiden Sharkozy yang mengadakan 'reformasi' sistim pensiun, dikatakan, demi efisiensi dan demi pertumbuhan ekonomi yang wajar. Namun oleh kaum buruh dan karyawan., kebijakan Sharkozy tsb dirasakan merugikan mereka. Untung Presiden Sharkozy masih mau berunding, sehingga pemogokan tsb dihentikan (untuk sementara, kata serikatburuh)


Dua tiga hari belakangan ini muncul (lagi) aksi-aksi pemuda-pemuda Afro-Perancis (yang miskin, menganggur dan merasa selalu didiskriminasi oleh aparat keamanan) di jalan-jalan sekitar Paris. Mereka marah pada aparat kepolisian, berhubung dengan terbunuhnya dua pemuda Perancis asal Afrika, akibat tabrakan dengan kendaraan polisi, dan plintat-plintutnya polisi yang menolak tanggungjawab atas kematian dua pemuda Afrro-Perancis tsb. Terjadilah perusakan, pembakaran dan penangkapan terhadap kaum pendemo. Sejumlah polisi luka-luka dan puluhan demonstran ditangkap dan ditahan polisi.


* * *


PEMUDA-PELAJAR BELANDA TIDAK KETINGGALAN -- MEREKA TURUN KE JALAN-JALAN

Seakan-akan untuk menambah kemarakan aksi-aksi massa yang terjadi di Perancis, pemuda-pelajar Belanda tidak ketinggalan, ikut juga mengadakan aksi-aksi massa. Mereka menuntut agar dalam mengambil kebijakan kongkrit yang menyangkut nasib mereka, seryogianya pemerintah, mendengar dan mempertimbangkan pendapat dan fikiran yang bersangkutan. Nyatanya, pejabat yang bertanggungjawab soal pendidikan di Belanda, merasa serba tahu, hanya bersandar dan percaya pada birokrasinya, tanpa penelitian yang rapi, lalu mengambil kebijakan sendiri. Maka terjadilah konflik pemuda-pelajar dengan pemerintah. Itulah pasalnya mengapa, sejak Senin yl pemuda-pelajar Belanda meninggalkan gedung sekolah mereka, turun ke jalan-jalan dan lapangan di puluhan kota besar dan kecil seluruh Belanda. Suatu aksi mogok dan demo besar-besaran kaum pemuda dan pelajar Belanda yang lama tidak pernah terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini.


Aku memerlukan bertanya sendiri pada cucuku yang kebetulan sekolah di sebuah Lyceum di Amsterdam. Ia ikut berdemo hari itu. Apa pasalnya pemogokan pelajar itu, tanyaku. Menurut penjelasan cucuku, duduk perkaranya adalah sbb: Tuntutan aksi kami adalah adil! Kami mengadakan aksi, karena kebijakan pemerintah merugikan studi kami. Aksi turun ke jalan-jalan tsb di organisasi oleh LAKS. Demikian keterangan cucuku yang antusias ambil bagian dalam aksi-aksi tsb.


Kami-kami ini, kata cucuku, bersama para guru dan dosen, menyadari bahwa Belanda secara keseluruhan, mengalami kekurangan guru. Pekerjaan sebagai guru tidak menarik. Gajinya kecil terbanding pegawai negeri lainnya. Pekerjaannya berat dan tanggungjawabnya besar dalam mendidik generasi muda. Di segi lain taraf pendidikan di sekolah-sekolah menurun dibandingkan dengan dasawarsa yang lalu. Sudah sering masalah ini dibicarakan dan diseminarkan. Tetapi pemerintah sudah lama menunda-nunda mengambil langkah yang kongkrit dan efektif untuk menanggulangi masalah tsb. Pemerintah dalam hal ini tidak serius menangani masalah menurunnya mutu pelajaran, isu kekurangan guru, serta rendahnya penghasilan kaum guru. Jelas, cucuku itu bukan ikut-ikutan, tetapi ambil bagian dalam aksi dengan suatu pengertian dan sikap yang jelas.


Lalu muncul kebijakan Sekretaris Negara Urusan Pendidikan menentukan NORMA 1040 JAM PELAJARAN WAJIB SETAHUN. Tidak peduli ada gurunya atau tidak. Tidak peduli bahwa guru yang dipasang sebenarnya tidak cocok atau bahkan tidak berhak dan tidak mampu mengajar di bidang mata pelajaran yg bersangkutan. Murid-murid tsb tetap saja harus tinggal di kelas, untuk memenuhi norma 1040 jam pelajaran setahun. Murid-murid diharuskan tinggal di kelas. Kalau tak ada gurunya, disuruh cari kegiatan sendiri.


Keruan saja para pelajar tsb memprotes, marah dan turun ke jalan-jalan untuk beraksi, berdemo, karena pendapat mereka tidak digubris samasekali oleh pemerintah.


Sesungguhnya, tuntuan para pemuda-pelajar itu sederhana saja. Seperti yang dinyatakan oleh LAKS, Landen Aktie Komitee Scholieren (Komite Nasional Aksi Pelajar), mereka menuntut diturunkannya norma-minimum 1040 jam pelajaran yang diwajibkan pada para pelajar tsb. Mereka menolak dipaksa tinggal di kelasnya tanpa diberi pelajaran yang sepatutnya.


* * *

Seluruh Belanda dicengkam oleh pemogokan pemuda-pelajar. Mereka memprotes, mengeritik, melawan dan menentang kebijakan pemerintah, c.q. Sekretaris Negara Urusan Pendidikan, Marija van Bijsterveld. Dia ini sebelumnya adalah mantan ketua parpol Kristen Demokrat (CDA). Parpolnya Perdana Menteri Peter Balkenende.


Berhari-hari lamanya TV, Radio dan pers Belanda meliput aksi dan masalah sekitar pemogokan pemuda-pelajar itu. Seperti biasa, ada yang pro dengan aksi pemuda-pelajar tsb, dan, ada yang anti. Yang anti, biasanya adalah tokoh politik, pers dan parpol kanan dan konservatif. Biasalah ---- , mereka memfokuskan pemberitaan dan komentarnya serta menyoroti segi-segi yang merupakan akibat sampingan dari aksi tsb, seperti pengrusakan dan bentrokan dengan aparat kepolisian. Sedangkan yang pro dengan aksi, (biasanya golongan progresif dan dari parpol Kiri, seperti Partai Sosialis dan Groen Links,) menyatakan simpati, sekaligus mengungkap problim yang menjadi latar belakang dan penyebab munculnya aksi-aksi adil pemuda-pelajar Belanda itu.


Dalam sidang Tweede Kamer (Parlemen) Belanda kemarin, ternyata Sekretaris Negara Pendidikan, bersikeras membela kebijakannya. Ia tetap mempertahankan NORMA 1040 JAM PELAJARAN WAJIB. Meskipun disana-sini diusahakan 'penyesuaian'. Sikap ini ditolak oleh perhimpunan pemuda-pelajar yang tergabung dalam LAKS. Oleh karena itu, besok 'Jum'at, 30 November 2007, para pemuda-pelajar Belanda akan beraksi demo lagi. Turun ke jalan-jalan dan mengadakan rapat umum di lapangan Museumplein, Amsterdam. Menarik pelajaran dari terjadinya bentrokan dengan aparat pada aksi-aksi yang lalu, organisasi LAKS mengumumkan tata-tertib aksi sendiri.


Kepada cucuku, kukatakan bahwa aksi pemogokan itu adalah adil dan demokratis. Oleh karena itu pantas memperoleh dukungan masyarakat!. Pemerintah Belanda seyogianya mendengar baik-baik pendapat para pemuda-pelajar yang berdemo, (dan juga mendengar dan berunding dengan para guru dan dosen) , untuk kemudian mengambil sikap yang bijaksana. Karena ini menyangkut nasib mereka, para pemuda-pelajar dan para dosen dan guru. Menyangkut haridepan pendidikan di Belanda.



* * *



Kolom IBRAHIM ISA - DUBES BELANDA Nikolas Van DAM Di 'PESANTREN GONTOR'!

Kolom IBRAHIM ISA

Jum'at, 07 Desember 2007

-------------------------

CERAMAH DUBES BELANDA Nikolas Van DAM

Di 'PESANTREN GONTOR'!


Masalah hubungan Indonesia-Belanda, bagaimanapun bentuk dan perwudjudannya, apakah itu melalui saluran resmi, ataukah saluran organisasi kemasyarakatan, adalah salah satu topik yang selalu menarik dan tak pernah luput dari kepedulianku. Jangan salah faham pula, --- masalahnya, bukanlah disebabkan karena aku orang Indonesia yang berdomisili di negeri Belanda. Soalnya besar, --- dan banyak seginya. Bangsa kita, dalam hubungannya dengan bangsa dan negeri Belanda punya latar belakang sejarah yang begitu panjang. Hubungan itu sudah berlangsung ratusan tahun. Dengan catatan, bahwa selama tigaratus tahun lebih bangsa ini dikuasai dan dieksploitasi oleh bangsa Belanda. Entah berapa banyak literatur yang ditulis selama ini mengenai hubungan Indonesia-Belanda. Aku bisa pastikan masih akan banyak lagi literatur, berupa laporan resmi, hasil studi, hasil penelaahan, ataupun sekadar sebagai kesan perjalanan, tanggapan bahkan komentar biasa-biasa saja. Terhadap Belanda, orang-orang kita bukan saja tertarik pada kincir anginnya, keramik Delft Blue-nya, kijunya ataupun hasil-hasil produksi elelektronik merek Philips.


Bagi kita, setiap inisiatif, setiap langkah yang mempromosikan saling memahami dan saling menghormati, memperbaiki lebih lanjut komunikasi antara kedua negeri, Indonesia dan Belanda, terutama antara kedua rakyat, antara pelbagai organisasi dan kegiatan masyarakatnya, sepatutnya disambut, didukug dan dikembangkan. Sehubungan dengan maksud itulah, seyogianya disambut setiap langkah Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, khususnya langkah Dubes Belanda Nikolas van Dam.


* * *


Perhatikan! --- Dari tahun ke tahun, seiring dengan membaiknya hubungan Indonesia-Belanda, semakin banyak mahasiswa dan postgraduates yang jauh-jauh datang dari Indonesia berkunjung ke negeri dingin ini, UNTUK STUDI, untuk BELAJAR. Suatu perkembangan yang tidak bisa tidak harus disambut dengan gembira dan lega. Karena kita tau bahwa kita bisa dan seyogianya harus belajar banyak dari Belanda, negeri dan bangsanya yang ulet.


Kita tau juga, bahwa banyaknya orang-orang Indonesia, yang menuntut ilmu di negeri Belanda, itu sebagian tidak kecil adalah kelanjutan wajar politik pemerintah Belanda yang positif terhadap negeri-negeri yang sedang berkembang, khususnya Indonesia. Cukup berragam seginya perhatian dan bantuan Belanda kepada negeri-negeri yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.


* * *


Dikala negeri kita sudah mencapai kemerdekaan nasional, melalui perjuangan politik, maupun kemudian, lewat revolusi yang berdarah, suatu perang kemerdekaan yang makan waktu kurang lebih lima tahun, melawan kolonialisme Belanda, tokh masih banyaK terjadi lika-liku, jalan zig-zag yang ditempuh dalam hubungan dua negeri ini. Belum tercapai saling pengertian dan menghormati seperti yang diharapkan.


Banyak orang bertanya, khususnya generasi muda. Bagaimana mungkin? Bangsa dan negeri kecil, seperti negeri Belanda, mengapa sampai bisa menguasai Indonesia, negeri ribuan pulau dengan penduduk yang berlipat ganda lebih banyak dari Belanda, dan dalam waktu yang begitu lama? Atas pertanyaan tsb sudah banyak orang, banyak pakar dan cendekiawan berusaha menganalisis dan memberikan jawaban. Tapi, dari tahun ke tahun, pertanyaan serupa tokh diajukan lagi.


Kalau kita ikuti perkembangan dunia pendidikan dan pengajaran di negeri Belanda, tampak bahwa pertanyaan tsb menunjukkan bahwa, jawaban yang diberikan sebelumnya, atas pertanyaan mengapa Indonesia sampai bgitu lama terkungkung di bawah kolonialisme Belanda, belum memadai. Atau ada sebab lainnya, yaitu, sesuai dengan perkembangan bidang studi dan penelitian, ditemukan bahan-bahan baru, yang melengkapi usaha penelitian dan studi. Sehingga lahirlah, analisis dan kesimpulan yang lebih lengkap. Tercapai pula pengertian yang baru.


Segi lainnya, mengenai hal-hal tertentu, di kalangan Indonesia maupun Belanda, masih terdapat penilaian dan tanggapan yang sering bertolak belakang. Ambil contoh menyolok, tentang peranan VOC. Perdana Menteri Belanda, Peter Balkenende, yang tidak bisa dikatakan ia tidak tau sejarah Belanda, sejarah kolonialnya di Indonesia, --- belum lama masih menonjolkan peranan (positif) VOC dalam sebuah pidato resmi di Tweede Kamer Belanda. Maksud Balkendende tentu termasuk pengalaman 'positif' VOC di Indonesia. Kitab boleh géléng-géléng kepala, nyatanya PM Peter Balkenende menganggap VOC suatu kebanggaan Belanda!


Padahal bagi kita bangsa Indonesia, VOC itu adalah sumber malapetaka dan pengalaman keaiban dan kehinaan! Sumber penindasan dan penguasaan asing.


* * *


Tibalah ceritaku berkenaan dengan tokoh Dubes Belanda NIKOLAS VAN DAM.


Dr. Nikolas van Dam, adalah Dutabesar Kerajaan Belanda. Ia belum lama bertugas di Jakarta. Van Dam sejak 2005 mewakili pemerintahnya untuk Republik Indonesia dan Timor Leste. Mengapa pula aku perlu menulis tentang sang Dubes Belanda tsb? Meskipun sedikit banyak bersangkutan dengan situasi-dan-posisiku di Beladna. Tetapi itu bukan faktor yang menentukan, mengapa kutulis artikel ini.


Kutulis artikel ini, pertama-tama, karena dalam benakku timbul pertanyaan, 'ngapaian' Dubes Belanda ini berkunjung jauh-jauh ke sebuah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Semua orang kan tau, pesantren Gontor itu, adalah sebuah balai pendidikan Islam? Ada urusan apa orang Belanda ke sana? Orang juga sudah bisa memastikan bahwa sang Dubes Belanda itu adalah seorang Nasrani, bukan Islam? Lalu? Terus terang, aku tak tau, apa sesungguhnya yang meyebabkan Van Dam bertamu ke pesantren Gontor itu. Tetapi kunjungan Van Dam tsb bagaimanapun seyogianya ditanggapi sebagai suatu pernyataan KEMAUAN BAIK, suatu GOOD WILL!


Dilihat dari segi maskud-baiknya sang Dubes, boleh dikatakan, maksud kunjungan itu adalah untuk mengenal lebih dekat, keadaan pendidikan di Indonesia, khususnya pesantren. Perhatikan! Pemerintah Belanda belakangan ini, memperbesar keterlibatannya, bantuannya, kepada Indonesia, termasuk di bidang pendidikan. Ini, bisa disaksikan dari meningkatnya jumlah mahasiswa Indonesia (termasuk yang sudah sarjana) yang menuntut ilmu ke negeri Belanda. Termasuk 'Islamic Studies'. Halmana menunjukkan dua hal.


Pertama, bahwa cendekiawan muda Indonesia yang lulusan perguruan tinggi Islam di Indonesia, tidak segan-segan untuk mengikuti kuiliah 'Islamic Studies' di negeri Belanda, sebuah negeri sekular yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani.


Kedua, bahwa negeri Belanda sebagai sebuah negara sekular, memiliki cabang perguruan tinggi yang membuka kesempatan para mahasiswa Belanda dan asing untuk mengikuti 'Islamic Studies'. Dari kedua belah fihak, baik Indonesia, maupun Belanda, gejala tsb menunjukkan adanya semangat dan sikap TOLERAN dan SALING MENGHORMATI keyakinan masing-masing.


* * *


Ternyata, kunjungan Nikolas Van Dam tsb, bukan sebarang kunjungan. Yang ia lakukan di pesantren itu, ialah memberikan semacam ceramah. Dan ceramah tentang apa? Isinya, bagiku pasti, di satu segi -- menarik, penting. Segi lainnya : unik. Itulah sebabnya aku membuat tulisan kecil ini. Yang khusus menarik perhatian ialah ketika Nikolas van Dam bicara mengenai hubungan Indonesia-Belanda dengan suatu 'message, suatu 'pesan' yang tak biasa.


Kiranya ada baiknya sedikit lagi bicara soal Pesantren Gontor yang dikunjungi Nikolas van Dam. Nama resmi pesantren yang dikunjunginya di Ponorogo itu, adalah BALAI PENDIDIKAN PONDOK MODERN DARUSALAM GONTOR. Pesantren Gontor, dibangun pada tahun 1926. Oleh pendiri dan penopangnya Pondok Gontor dipromosikan sebagai pelopor modernisasi sistim pendidikan pesantren .


Intermezo!

Ketika aku bertugas dan berdomisili di Cairo dalam tahun-tahun 1960-1966, kusaksikan bahwa perguruan tinggi Islam yang terkenal di dunia Arab, yaitu Universitas Al Azhar Cairo, yang sebelumnya lebih banyak menggeluti masalah agama Islam , budaya dan kesusasteraan Arab, oleh Presiden Gamal Abdul Nasser, dimodernisir sedemikian rupa sehingga tidak kalah dengan universitas umum yang ada di mancanegara. Dalam tahun 1961, pemerintah Presiden Nasser, melakukan reorganisasi terhadap Universitas Al Azhar. Ditambahkan pada Universitas Al Azhar, fakultas kedokteran, teknik, pertanian dll. Juga didirikan fakultas perempuan Islam. Jasanya Gamal Abdul Nasser! Mungkin saja pesantren Gontor terinspirasi oleh modernisasi Universitas Al Azhar.


Tanpa penterjemahpun Dubes Belanda tsb akan dengan mudah berkomunikasi dengan tuan-rumahnya dan para siswa di pesantren Gontor. Karena Van Dam menguasai 5 bahasa asing selain bahasanya sendiri. Yaitu bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Indonesia dan ARAB. Van Dam adalah seorang akhli sastra Arab. Ia belajar bahasa Arab dan Ilmu Politik & Sosial di Universitas Amsterdam dan tamat (cum laude) dalam tahun 1977. Jadi Van Dam ini adalah seorang ilmuwan yang jadi diplomat. Ia telah menulis sejumlah karya ilmiah mengenai Mesir, Syria, Turki dan sementara negeri Timur Tengah lainnya.


* * *


Ini dia ----- Yang paling menarik dari pendapat Nikolas Van Dam, yang ia tuangkan dalam sebuah artikel di Jakarta Post. Artikel tsb merupakan bagian dari ceramah di 'Balai Pendidikan Modern Islam Darusalam Gontor', pada tanggal 12 November 2007 yang diberikannya --- JANGAN KAGÉT, ya --- dalam BAHASA ARAB, Ditulisnya antara lain:

'Perancis dan Inggris, sebagaimana halnya bekas-bekas kekuasaan kolonial lainnya, umumnya dipersalahkan berhubung terpecah-belahnya dunia Arab menjadi beberapa negara yang berdiri sendiri. Tetapi tidak semua kekuasaan kolonial dituduh memecah-belah jajahan-jajahan mereka. Belanda dalam hal ini mungkin termasuk pengecualian itu. Demikian Van Dam.Untuk memperkuat argumentasinya, van Dam menambahkan sbb:


'Pada pertengahan tahun 1990-an, saya pernah diskusi dengan seorang politisi Syria yang berargumentasi bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia, atau 'Hindia Belanda' seperti dikatakan waktu itu, mungkin merupakan suatu tipe-positif dari suatu 'kolonialisme yg mempersatukan', halmana bertentangan dengan macam 'kolonialisme yang memecah-belah'. Sekian dulu kutipan dari tulisan Nikolas Van Dam.


Begitu kubaca tulisan van Dam ini, aku tersenyum. Bagi kita bangsa Indonesia, kolonialisme Belanda, sama halnya dengan kolonialisme lainnya, politik yang mereka trapkan untuk menguasai jajahannya, yang sangat terkenal dan efektif adalah politik DEVIDE ET IMPERA! Pecah-belah dan kuasai!. Makanya perjuangan kita, para pemimpin nasional bangsa Indonesia, mengangkat semboyan BERASATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH!.


* * *


Bukankah menarik dan unik apa yang dikemukakan oleh van Dam? Ia menyatakan (dengan mengutip politisi Syria), bahwa, kolonialisme Belanda atas Indonesia itu, (kemungkinan) merupakan TIPE KOLONIALISME YANG MEMPERSATUKAN Indonesia. Aku teringat salah seorang sahabat kami, orang Belanda, seorang chirurg (pensiunan. Istrinya adalah putri seorang CONTROLEUR di zaman Hindia Belanda. Tidak hanya satu kali, istrinya mempertanyakan pada kami: . . . . Tidakkah ada sedikitpun yang baik, yang ada gunanya bagi rakyat Indonesia, yang ditinggalkan Belanda pada bangsa Indonesia? Misalnya di bidang infra-struktur, kesehatan umum, pendidikan dan adminstrasi? Bukankah hal-hal itu dilakukan Belanda setelah dilaksanakannya 'Etische politiek' oleh Den Haag terhadap Hindia Belanda?


Kujawab:

Tentu saja, segala sesuatu, segala hal ihwal, mengandung lebih dari satu segi. Kekuasaan kolonial Belanda memang meninggalkan 'warisan' jaringan jalan-jalan raya dan kereta api di pulau Jawa dan Sumatera. Secara (amat terbatas) memberlakukan sistim kesehatan umum, mendirikan sekolah-sekolah, termasuk beberapa sekolah menengah. Bahkan mengadakan perguruan pendidikan tinggi, seperti di Jakarta, Bogor dan Bandung. Memang hal-hal tsb dilakukan oleh Belanda setelah dilaksanakannya apa yang terkenal dengan nama 'Etische politiek'. Diketahui bahwa 'Etische politiek' diberlakukan atas desakan kaum liberal Belanda di Den Haag. Tetapi kolonialisme Belanda juga meninggalkan 'bekas' negatif, a.l. Perang Aceh, Perang Imam Bonjol, Perang Diponegoro, 'Honqi Tochten' dan 'cultuur stelsel' yang menimbulkan begitu banyak korban dan malapetaka terhadap rakyat Indonesia. Kaum liberal Belanda merasa 'rikuh' dan 'malu', bahwa dalam waktu demikian panjangnya selama kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, hanyalah keuntungan berjuta-juta gulden yang dikeduk dari Hindia Belanda, diboyong ke Belanda. Sedangkan di Indonesia, rakyat hidup sebagai sapi perahan belaka. Kaum liberal Belanda tsb merasa bahwa sudah tiba waktunya, harus dilakukan sesuatu untuk mengimbangi keadaan yang 'jomplang' ini. Dengan demikian lahirlah 'Etische poltiek'tsb.


'Etische politiek' pemerintah Den Haag tidak bisa dijadikan alasan untuk membagus-baguskan kolonialisme. Kolonialisme Belanda atas Indonesia, telah mendominasi bangsa dan negeri ini melalui berkali-kali peperangan kolonial yang telah makan korban ratusan ribu bahkan jutaan rakyat kita, merusak sawah ladang dan pertanian serta peri kehidupan rakyat, dalam kurun waktu yang begitu lama. Tinggallah rakyat Indonesia sebagai rakyat yang tereksploitasi, dirampok kekayaan bumi dan lautannya. Sejarah menunjukkan bahwa kolonialisme Belanda amat menghambat kemajuan negeri dan bangsa. Suatu bangsa yang terjajah dan terekploitasi tidak mungkin maju dan berkembang dengan wajar, sesuai dengan kemajuan zaman. Kolonialisme adalah suatu penghinaan terhadap negeri dan bangsa yang dijajah.


Seorang wartawan senior Belanda, Hans C Beyon, melukiskannya antara lain dalam bukunya berjudul 'VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDERS'. Melalui kumpulan esay yang oleh berbagai penulis, buku tsb menceriterakan tentang bagaimana orang Indonesia di zaman 'Hindia Belanda'dihina habis-habisan. Di Indonesia pada zaman kolonial, terdapat tempat-tempat dimana anjing dan orang Indonesia (inlander) dilarang masuk. Nilai orang Indonesia, yang disebut 'inlander'itu, tidak lebih dari nilai seekor anjing.


Kolonialisme, kapanpun dan dimanapun, segi utamanya adalah suatu perbuatan jahat, suatu kriminalitas satu negeri atas negeri dan bangsa lain. Demikian pula halnya dengan kolonilaisme Belanda atas Indonesia. Jangan sekali-kali menilai bahwa tipe kolonialisme Beland itu, lain dari pada yang lain. Dengan misalnya menjulukinya sebagai 'tipe kolonialisme yang mempersatukan' Indonesia.


Dengan segala hormat kepada Dubes Belanda Nikolas van Dam, harus dikatakan kepada beliau, bahwa, kalau ada fikiran seperti itu mengenai kolonialisme, itu adalah fikiran yang jauh sekali ketinggalan zaman. Sudah kedaluwarsa. Makin cepat ditinggalkan semakin baik. Semakin menambah syarat untuk lebih baik lagi menggalang hubungan wajar dan bersahabat antara kedua negeri dan bangsa, Indonesia dan Belanda.


* * *

Thursday, November 29, 2007

Kolom IBRAHIM ISA - SEBUAH 'MONUMEN INDONESIA' DI KOTA PARIS

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Kemis, 22 November 2007



SEBUAH 'MONUMEN INDONESIA' DI KOTA PARIS



'RESTORAN INDONESIA' di PARIS, pada papan nama restoran, memanjang dari atas ke bawah, tertulis dengan huruf-huruf besar dan indah: *RESTAURANT *I* , Spécialité indonesienne.


Tidak salah untuk menyatakan bahwa gedung kecil mungil, di 12 rue de Vaugirard - 75006 Paris, sesungguhnyalah sebuah 'MONUMEN' . MONUMEN? --- Ya, sebuah Monumen.

Monumen Kemanusiaan, Mental dan Politik sekaligus!



Restoran Indonesia di Paris juga pantas disebut sebagai MONUMEN PERSAHABATAN. Persahabatan sejati antara rakyat Indonesia dan rakyat Perancis. Persahabatan sejati antara dua rakyat, Indonesia dan Perancis, jelas, dari fihak Indonesia, tugas mulya ini, pasti TIDAK BISA DIWAKILI OLEH KBRI - nya rezim ORBA. Hal itu sudah dibuktikan! Tanya saja pada orang-orang Perancis yang cinta demokrasi dan HAM, tanya saja pada orang-orang Indonesia yang berfikiran cerah dan bebas yang pernah datang ke Paris pada periode rezim Orba, bagaimana sikap bermusuhan yang dibawakan KBRI Paris zaman rezim Orba terhadap Restoran Indonesia Paris. Benarlah bila disimpulkan bahwa 'Restoran Indonesia' di Paris, bertahun-tahun terus menerus, memanifestasikan, mencerminkan, membuktikan keuletan dan keteguhan semangat dan daya juang manusia-manusia Indonesia. Membuktikan bahwa mereka, dengan mengandalkan pada semangat, tenaga dan kearifan bersama serta selidaritas kolektif, mampu berhasil bisa servive di negeri yang samasekali asing.



Para pendiri dan pengelola Restoran Indonesia Paris juga membuktikan rasa cinta tak terbatas mereka pada tanah air dan bangsa Indonesia. Bisa disaksikan, selain menyediakan santapan Indonesia asli yang sedap dan nikmat bagi para pelanggan, Resto Indonesia dari waktu ke waktu, menyelenggarakan pameran seni dan budaya Indonesia, mengadakan pertunjukan musik dan tarian, dan secara teratur pula melakukan seminar demi memperkenalkan Indonesia tercinta kepada masyarakat Paris khususnya dan Perancis umumnya.



Maka tidaklah kebetulan bahwa, di masa pemerintahan Presiden Mitterand, Ibu negara Ny Mitterand, bersama rombongannya, paling tidak telah enam kali mengunjungi dan menikmati santapan Indonesia. Juga janda mendiang Presiden Allende dari Chilli, sering berkunjung ke Resto Indonesia Paris. Mereka berkunjung ke sana, tidak semata-mata untuk menyipi santapan Indonesia yang memang lezat-lezat itu, tetapi juga, untuk bertemu muka, bersilaturakhmi dengan para pendiri dan pengelola resto, yang mereka kenal betul adalah manusia-manusia Indonesia yang bisa bicara jujur dan mampu memberikan penjelasan yang benar tentang situasi Indonesia, rakyat dan negerinya. Dengan sendirinya orang-orang Indonesia yang berkunjung ke Paris, tanpa mempedulikan 'kebijakan' KBRI Paris ketika itu, -- untuk JANGAN MENGUNJUNGI Resto Indonesia Paris --- , pernah juga menikmati santapan Indonesia asli di situ. Termasuk kenalanku Arief Budiman yang sekarang bekerja di Ausatralia. Begitu pula halnya banyak orang Malaysia, Tionghoa, Jepang dan Asia lainnya menjadi pengemar Restoran Indonesia Paris.


* * *



Kesetiaan pada rakyat, bangsa dan tanahair Indonesia, itulah yang ditunjukkan selama duapuluh lima tahun belakangan ini oleh orang-orang warganegara Indonesia, --- MANUSIA MANUSIA INDONESIA yang cinta tanah air dan bangsa Indonesia, yang patuh hukum serta mengemban cita-cita kemulyaan , kemakmuran dan keadilan bagi nasion dan tanahair Indonesia. Sekaligus juga memperlihatkan pada dunia, bahwa manusia-manusia Indonesia tsb adalah warganegara Indonesia yang tak bersalah yang dipersekusi dan diperlakukan sewenang-wenang oleh rezim Orba. Paspor mereka dicabut, atas tuduhan dan fitnahan rekayasa bahwa mereka itu melakukan kegiatan 'ANTI-INDONESIA'.

Dengan sewenang-wenang dan semena-mena, tanpa bukti tanpa saksi, mereka dituding. dituduh dan difitnah rezim Orba dan KBRI Paris ketika itu , bahwa mereka terlibat ataupun 'berindikasi' terlibat, atau bersimpati dan mendukung G30S, yang dinyatakan sebagai suatu gerakan untuk merebut kekuasaan politik di Indonesia.



Padahal mereka-mereka itu, para pendiri dan pengelola Restoran Indonesia Paris tak diragukan sedikitpun, adalah manusia-manusia Indonesia pengemban patriotisme, kesetiaan pada tanah air dan bangsa, pada Presiden Sukarno dan Republik Indonesia. Kesetiaan mereka pada bangsa dan tanah air, kepada Republik Indonesia, bisa dipastikan, lebih besar dan lebih sejati, terbanding para elite dan politisi yang bergelimang dengan KKN, dan yang sampai sekarang ini masih saja terus berkiblat pada politik rezim Orba yang telah formal digulingkan oleh gerakan Reformasi dan Demokratisasi 1998.



Wajarlah munculnya harapan, agar KBRI Paris yang sekarang ini, menyadari pengalaman buruk yang dilakukannya selama rezim Orba terhadap Restoran Indonesia Paris, yaitu, menjauhinya, memusuhinya dan menyebarkan fitanahan dan tuduhan tanda dasar dan tanpa bukti. Diharapkan KBRI Paris yang sekarang ini, mengkorekasi kebijakan yang menjauhi dan memusuhi Restoran Indonesia Paris. Hal mana sebenarnya telah dimulai sejak pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, dan diteruskan oleh Dubes Silalahi serta diplomat seorang wanita dari KBRI Paris, bernama Leni, yang dewasa ini telah menjadi Dubes KBRI di Swiss. Semoga harapan ini menjadi kenyatan adanya! Amien, ya rabbul alamiin!



* * *



Bicara soal RESTORAN INDONESIA PARIS, yang tahun ini memasuki tahun ke-25 dalam kehidupannya, tak bisa tidak orang akan terpukau serta mengagumi keuletan mereka bergelimang dalam suka-dukanya kehidupan kota Paris yang sibuk itu.



Maka, kalau saja Anda masih ada sedikit, --- sedikit saja , kejujuran dalam hati sanubari Anda, ---- Maka Anda akan mengacungkan dua jari jempol sekaligus untuk para pelopor pendiri dan pengeloloa RESTORAN INDONESIA PARIS.


Kalau saja sedikit, sedikit saja, --- ada rasa kemanusiaan dan rasa Ke-Indonesiaan dalam rongga dada Anda,----- Maka Anda , tak akan salah, akan sekali lagi, bahkan berkali-kali lagi mengacungkan dua jari jempol Anda kepada para pendiri dan pengelola RESTORAN INDONESIA PARIS. Meyatakan: Lihatlah betapa semangat juang dan semangat berdikari manusia-manusia Indonesia tsb.



Mendengarkan tuturan, kisah-kisah hidup dan tulisan-tulisan yang sudah tidak sekali dua dimuat di media internet maupun di media di Perancis dan di Indonesia, betapa manusia-manusia Indonesia yang terdampar di Paris itu, menyingisngkan lengan baju, bercancut taliwondo, kerja siang malam, mencucurkan keringat dan dengan mengeratkan sabuk pinggangnya, telah menegakkan MONUMEN INDONESIA DI PARIS.



Modal terpokok mereka adalah KEYAKINAN AKAN KEBENARAN DAN BERPIJAK PADA TEKAD UNTUK SURVIVE, terjun dalam kancah kehidupan kota Paris dengan berpijak pada semangat. BERDIKARI DAN MANDIRI. Mereka , melakukan apa saja, segala sesuatu, untuk memperkenalkan bangsa dan tanah air tercinta, INDONESIA, kepada masyarakat Perancis dan Paris khususnya. Agar mereka itu tidak hanya pernah dengar dan baca tentang Bali (thok). Tetapi juga mengenal sastra, budaya dan tradisi bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang telah merebut kemerdekaannya melalui perjuangannya sendiri.



Bukan yang pernah dituduhkan terhadap mereka, oleh rezim Orba dan aparat patuhnya ketika itu, Kemlu dan KBRI kota Paris, bahwa mereka terlibat dalam kegiatan 'anti-Indonesia'. Arif Budiman, sekarang profesor di Australia, pernah dosen di Salatiga, ketika tanpa mempedulikan anjuran KBRI untuk tidak menunjungi Rstoran Indonesia Paris, tokh pergi juga ke sana dan menikmati santapan Indonesia asli, berkomentar, bahwa apa yang dilakukan oleh RESTORAN INDONESIA DI PARIS, dalam mempromosi Indonesia, sesungguhnya LEBIH BAIK KETIMBANG KBRI PARIS ketika itu.



Dengan demikian para pendiri, pengelola dan karyawan Restoran Indonesia Paris, telah menegakkan sebuah MONUMEN ABADI di kota Paris, di Perancis, memperkenalkan bagaimana manusia-manusia Indonesia tak kenal putus asa, tak takut susah payah, dengan apa yang ada pada mereka mempertahankan kehormatan mereka sebagai manusia-manusia Indonesia yang berdikari dan bermandiri. Bukan orang-orang yang minta-minta dan hidup dari belas kasihan orang lain.



ITULAH DIA PARA PENDIRI DAN PENGELOLA serta KARYAWAN RESTORAN INDONESIA PARIS.



Harus dijelaskan sejelas-jelasnya, bahwa usaha mereka untuk bisa hidup mandiri dan berdikari, mendirikan dan mengelola RESTORAN INDONESIA PARIS, tidak mungkin akan berhasil, tidak mungkin akan berkembang, menjadi populer, suka didatanngi para penggemar masakan Indonesias, yang diperkenalkan oleh Restoran Indonesia, tanpa -- tanpa --- ADANYA SOLIDARITAS dari kawan-kawan mereka, relasi-relasi mereka orang-orang Perancis yang berpandangan cerah, maju, progresif, dan manusiawi.



Dengan demikian, kiranya, samasekali tidak berkelebihan untuk menamakan RESTORAN INDONESIA PARIS, sebagai sebuah MONUMEN.



Karena ia monumental, dalam mencerminkan keteguhan dan keuletan manusia-manusia, yang notabene adalah orang-orang awam dalam masalah horeca, maupun dagang berdagang. Karena mereka itu adalah orang-orang yang profesinya samasekali tidak ada bau-baunya pengusaha restoran.



Mengenal mereka akan segera tau, misalnya, salah satu pendiri dan pengelola utama, UMAR SAID, adalah seorang wartawan, mantan Pemimpin Redaksi harian Ekonomi Nasional. Kemudian, Budiman Sudharsono (alm), adalah seorang aktifis pemuda-pelajar, mantan pemimpin organisasi pemuda pelajat terbesar di Indonesia ketika itu -- IPPI; -- JJ Kusni putra Dayak, budayawan; Sobron Aidit (alm), penyair dan budayawan dan ---- SUYOSO, penanggungjawab dan pemimpin Restoran Indonesia Paris dewasa ini. Dan para karyawan lainnya.



Teriring harapan dan doa, SEMOGA RESTORAN INDONESIA MAJU TERUS.



Selain menyuguhkan santapan-santapan Indonesia yang asli dan lezat ---- Seperti yang dilakukan selama ini --- Terus memperkenalkan seni dan budaya Indonesia, memperkenalkan tanah dan bangsa kepada khalayak Paris dan Perancis

* * *