Saturday, June 30, 2012

RADIO HILVERSUM Ke INDONESIA DI STOP


Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 30 Juni 2012
----------------------------

RADIO HILVERSUM Ke INDONESIA DI STOP
Katanya Karena INDONESIA Sdh “DEMOKRATIS . .”

Sudah beberapa waktu diketahui, bahwa siaran Radio Belanda untuk Indonesia akan distop. Ini diketahui dari sumber Ranesi (Radio Nederland Seksi Indonesia). Pada mula memancarkan siarannya 65 tahun yang lalu, siaran radio Belanda itu populer dengan nama RADIO HILVERSUM. Sudah agak lama para karyawan Ranesi, teman-teman Indonesia yang dikenal, sudah 'ketar-ketir' dan 'dak-dik-duk' hatinya. Pada suatu hari kelak mereka akan di 'PHK”-kan! Teman-teman Indonesia yang berkarya di Ranesi, termasuk diantaranya yang sudah memberikan fikiran dan tenaganya antara 20-30 tahun di situ, akan berubah statusnya. Mereka akan jadi 'penganggur'.

Menjadilah kenyataan apa yang dikhawatirkan itu :
Pada tanggal 29 Juni 2012, Ranesi – MENGAKHIRI SIARANNYA . Tragisnya ialah bahwa peristiwa itu dilangsungkan dengan suatu upaca 'meriah'. Tetapi sesungguhnya 'memilukan' bagi karyawannya. Sesunguhnya demikian juga perasaaan pendengar Indonesia yang selama ini merasakan manfaatnya mengikuti Ranesi dari Hilversum. Di Jakarta upacara 'duka' ini sudah lebih dulu diadakan, yaitu pada tanggal 14 Juni di Erasmushuis. Salah seorang pimpinan Radio Belanda khusus terbang ke Jakarta untuk 'meramaikan' upacara 'duka' penyetopan siaran ke Indonesia.

Yang kita ingin fokuskan di sini ialah alasan (lebih tepatnya adalah dalih) yang disampaikan oleh salah seorang pimpian Radio Nederland Wereld Omroep (RNW), ketika ia bicara di pertemuan di Erasmushuis di Jakarta. Ia dengan bangga mengatakan bahwa penyebabnya mengapa Ranesi menghentikan siarannya ke Indonesia adalah karena KALIAN SENDIRI. Kalian, Indonesia, dewasa ini, sudah DEMOKRATIS. Di Indonesia sudah ada 'kebebasan pers' , 'freedom of speech'. Maksudnya di masa lalu 'kebebasan pers' di Indonesia masih merupakan masalah. Maka diperlukan siaran Ranesi dari Holand, untuk mengisi kekosongan kebebasan informasi di Indonesia.

Kira-kira begitulah maksudnya. Sorry maar meneer. , aku baru tahu bahwa Ranesi didirikan untuk mengisi ketiadaan kebebasan informasi di Indonesia! Dan juga baru dengar bahwa Indonesia “Amboi, amboi” sudah 'benar-benar demokratis'. Was het maar waar meneer! Belum lama kita ikuti berita sekitar pembakaran buku oleh penerbit yang dipimpin jurnalis kawakan Jacob Oetama. Belum lama sekelompok preman yang atas nama religius, mengadakan 'sweeping' toko-toko buku di beberapa kota di Indonesia untuk 'membersihkan' toko-toko buku dari buku-buku 'terlarang'. Dan siapa tidak tahu, banyak berita penting yang menyangkut pelanggaran HAM berat atau tindak korupsi, karena menyangkut sementara elite, atau mengenai tindakan kekerasan aparat kepada warga, yang tidak muncul di media. S.k, stasiun radio dan TV, yang besar-besar pemiliknya adalah dari kalangan yang berkuasa. Sehingga bicara tentang sudah adanya kebebasan informasi yang sungguh-sungguh di Indonesia, itu lebih banyak merupakan 'igauan' belaka!

Nanti, kita singgung lagi isu yang diajukan oleh salah seorang pimpinan Radio Belanda di pertemuan di Erasmushuis di Jakarta.

* * *

Ketika ramai diberitakan di media tentang kesulitan ekonomi di Belanda, sudah diketahui juga bahwa politik utama pemerintah Belanda untuk mengatasi kesulitan ekonomi: adalah mengadakan “BEZUINIGING”. Dalam bahasa Indonesianya: PENGHEMATAN. Celakanya yang dihemat itu justru adalah bidang-bidang kegiatan pemerintah dimana yang sesungguhnya harus diintensifkan. Di situ pemerintah sesungguhnya perlu mealakukan pengucuran INVESTASI baru. Termasuk investasi modal. Kebijakan 'bezuinining' ini sejiwa dengan 'bezuining' di bidang lainnya yang mau diberlakukan pemerintah (koalisi liberal dan Kristen) Perdana Menteri Rutte. Yaitu 'bezuining' di bidang bantuan Belanda kepada negeri-negeri yang sedang berkembang, termasuk Indonesia.

'Bezuining' lainnya adalah di bidang jaminan kesehatan dan sosial serta pendidikan. Tipikal kebijakan pemerintah-pemerintah parpol Kanan di Eropah: Untuk mengatasi kesulitan ekonomi, mereka mengurangi bahkan menghentikan subsidi dan pengeluaran negara yang menyangkut peri kehidupan rakyat kecil. Justru yang jadi korban politik 'bezuining' ini adalah golongan rakyat yang disebut 'minima'. Rakyat biasa yang berpenghasilan rendah, yang memerlukan bantuan dan subsidi pemerintah. Kita jadi ingat politik ekonomi pemerintah SBY yang hendak mengakhiri subsidi atas BBM demi mengatasi kesulitan ekonomi Indonesia.

* * *

Kita ikuti sejenak apa yang disiarkan di situs Ranesi sekitar penutupan siaran tsb a.l sbb:



“Hari yang mendebarkan sekaligus menyedihkan. Hari ini Jumat 29 Juni 2012, Radio Nederland Siaran Indonesia, yang telah mengudara selama 65 tahun, akan mengakhiri siarannya untuk waktu yang tidak ditentukan.
"Runtuhnya sebuah monumen," demikian komentar banyak orang. Acara penutupan antara lain akan diakhiri dengan sebuah pertunjukan human shadowplay atau wayang orang, langsung dari studio Radio Nederland di Hilversum, Belanda.
. . . . . semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu dan kesempatan. Dengan ini seluruh kru Ranesi di Hilversum dan Jakarta pamit kepada para pendengar, pembaca, fans di Facebook dan teman-teman semua.
“Tabik Ranesi!!” Demikianlah a.l yang disiarkan oleh situs Radio Nederland.
Benar kan? Disatu fihak mengadakan suatu pesta, di lain fihak merupakan “Hari yang mendebarkan sekaligus menyedihkan”.
Terus terang, perasaan yang muncul membaca situs tsb dan mendengar sendiri langsung dari kalangan Ranesi, tidak bisa lain ingin aku berteriak kepada mereka-mereka yang berwenang di Belanda: MENGAPA KALIAN BEGITU BODOH!! BEGITU KELIRU!
Coba perhatikan perkembangan hubungan Indonesia-Belanda di bidang keilmuan baru-baru ini: Yang menunjukkan masih sangat diperlukannya hubungan dan kerjasama antara Indonesia dan Belanda menyangkut masa lampau dua negeri ini.
Belum lama diajukan prakarsa dan ajakan kerjasama tiga lembaga penelitian sejarah Belanda untuk melakukan riset dan studi, mengkaji kembali sejarah hubungan Indonesia-Belanda, khususnya mengenai kekerasan militer yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia dalam periode 1945-1949. Suatu periode peperangan yang berlangsung antara Indonesia dan Belanda, disebabkan politik Belanda ketika itu untuk menghancurkan Republik Indonesia, mengembalikan Indonesia di bawah kekuasaan kolonial Belanda.

Kiranya perlu fihak Indonesia menyambut perkembangan positif di kalangan cerndekiawan Belanda tsb.

Sejarwan Indonesia Bambang Purwanto, menurut de Volkskrant, menyatakan bahwa inisiatif fihak Belanda itu adalah suatu "ide yang baik sekali". Karena di Indonesia dilakukan usaha yang keras
untuk suatu karya-standar mengenai sejarahnya sendiri. Historikus terkenal Belanda, Cees Fraseur, menyatakan kegembiraannya dengan munculnya prakarsa dari tiga lembaga penelitian Belanda tsb. Saya berharap hal ini ditangani sebaiknya, demikian Fraseur.

De Volkskrant, menulis bahwa pada akhir tahun lalu, hampir 70 tahun dihitung dari terjadinya peristiwa itu, Belanda menyatakan minta maaf dan bersedia membayar ganti rugi untuk pertumpahan darah di desa Rawagede. Beberapa minggu yang lalu, diajukan tuntutan ganti rugi untuk pelanggaran-hukum perang di Sulawesi Selatan.

Dinyatakan bahwa diperlukan penelitian baru untuk bisa memahami peperangn yang macam apa yang berlangsung di situ. Mengapa dan bagaimana peperangan dilangsungkan di sana. Bagaimana kekejaman itu berlansung dari dua belah fihak. Juga diperlukan fakta-fakta keras dan jawaban atas pertanyaan siapa yang bertanggung-jawab. Diharapkan (kali ini) kita bisa menanganinya sampai tuntas. Para ilmuwan Belanda yang berinisiatf itu, ingin terlibat langsung dalam penelitian tsb. Menurut perkiraan mereka dengan enam orang peneliti berpengalaman diperlukan waktu tiga tahun. Dengan biaya sekitar 2 -- 3 juta Euro.




Inilah masalah yang ingin kita fokuskan:
Dalam situasi adanya kehendak baik di fihak kesarjanaan Belanda dan kesediaan fihak Indonesia untuk inisitif baru melakukan studi bersama di bidang sejarah hubungan dua bangsa ---- BUKANKAH KOMUNIKASI RADIO merupakan cara yang baik dan efektif untuk mempromosi kehendak baik di fihak Belanda dan Indonesia. Maka dengan dengan latar belakang pandangan seperti disebut diatas, -- semakinlah tampak nyata betapa ABSURDNYA politik menghentikan siaran RANESI pada saat ini.
Pendapat mengenai masalah ini dan kritik terhadap kebijakan Belanda itu, kusampaikan secara pribadi dan langsung kepada salah seorang petinggi Belanda yang kebetulan kujumpsi pada resepsi perpisahan kemarin, yang diadakan oleh Dutabesar Indonesia di Belanda, Ibu Retno L.P Marsudi, untuk orang kedua di KBRI, Minister Councellor Umar Hadi.
Tadinya aku menduga bahwa petinggi Belanda itu anggota EERSTE KAMER Belanda (Senat), salah satu lembaga perwakilan tinggi negeri Belanda disamping Tweede Kamer (DPR). Dr. Chrisward |J. Gradewitz, ternyata adalah Deputy Secretary General of the Senate, Wk Sekjen Senat. Kepada beliaulah kusampaikan 'unek-unekku' sekitar kebijakan Belanda yang kuanggap keliru dan bodoh! Mudah-mudahan meneer Gradewitz berkenan menyampaikan informasi yang didengarnya kepada yang bersangkutan di Senat.



Maksudnya tak lain tak bukan, agar semua cara dan kemungkinan dimanfaatkan dalam menggalakkan hubungan antar Indonesia dan Belanda, demi kebaikan dan kemanfaatan bagi kedua negeri dan bangsa. Termasuk memanfaatkan media radio.



Dengan demikian siaran radio seyogianya tidak seperti yang dikemukakan oleh kalangan pimpinan Radio Belnda, seakan-akan sekadar untuk 'menberikan pendidikan demokrasi' kepada Indonesia. Bukan, bukan untuk memberikan 'pelajaran demokrasi' semata. Siaran radio dari Belanda itu seyogianya, pertama-tama dan terutama demi menggalakkan hubungan baik kedua negeri dan bangsa!



* * *





Tuesday, June 26, 2012

SELAMAT ULTAH KE-33 BONNIE TRIYANA

IBRAHIM ISA
AMSTERDAM, RABU, 27 JUNI 2012
-----------------------------------------------

SELAMAT ULTAH KE-33 BONNIE TRIYANA

MY DEAR BONNIE TRIYANA, --- HARI INI, 27 JUNI, MURTI DAN AKU MENGUCAPKAN SELAMAT BERULTAH, YANG KE-33.

SELAMAT DAN BAHAGIA KEPADA BONNIE DAN SOFIA SEKELUARGA .  

TERIRING HARAPAN DAN DOA SEMOGA SUKSES DAN KEBAHAGIAAN SELALU MENYERTAI ANDA, DEAR BONNIE.

SEMOGA BONNIE SEBAGAI EDITOR IN CHIEF "MAJALAH HISTORIA ONLINE" -- MAJU TERUS PANTANG MUNDUR, SEBAGAI SATU-SATUNYA (BAGIKU) MAJALAH HISTORIA YANG DIKELOLA OLEH GENERASI MUDA, PROGRESIF DAN POPULER. MEMBERLAKUKAN AJARAN BUNG KARNO  -- "DJAS MERAH  - JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH".

HAPPY BIRTHDAY BONNIE TRIYANA!!!!

SEKITAR RENCANA PEMBELAN TANK(bekas) Belanda oleh Indonesia.


Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 26 Juni 2012
-------------------------------

KESAN MEMBACA TULISAN JOS WIBISONO
SEKITAR RENCANA PEMBELAN TANK(bekas)
Belanda oleh Indonesia.

* * *

Artikel Jos Wibisono seperti dikutip di bawah ini, ditulis dengan gaya siaran-radio yang lancar dan santai. Banyak masukan yang bisa diperoleh dari tulisan Jos itu. Yaitu sekitar kehidupan perpolitikan (tak tahu apa istilah ini cocok dipakai di sini) di kalangan parpol-parpol Belanda yang punya perwakilan di Tweede Kamer. Serta saling hubungannua dengan politik Indonesia-Belanda dari waktu ke waktu. Terima kasih, Bung Jos.

Cuma yang jadi perhatian sbb:
(Hendak diangkat di sini segi lainnya dari rame-rame jual beli tank bekas Belanda tsb)

Ribut-ribut . . . . Kok beli senjata yang 'second-hand', sih? Dan tank-tank Leopard itu, begitu banyak (katanya 200 buah) . . . . Indonesia siap-siap mau perang apa? Perang lawan siapa? Paling-paling untuk nakuti-nakuti rakyatnya sendiri. “Jangan berani-berani lho, nanti tak tembak dari . . . . tank?” Kira-kira begitukah yang dimaksudkan??

Tapi pengalaman tentara menumpas PKI, dan golongan Kiri lainnya dan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno, serta mendepak Gus Dur dari Istana Merdeka, juga tidak diperlukan begitu banyak tank! Paling-paling perlu beberapa kendaraan lapis saja. Dengan semburan air, bom-gas air-mata, tembakan pistol dan senapan saja, kan sudah bisa merebut kekuasaan negara dan membikin rakyat takut selama lebih 30 tahun, tokh?

Dulu saja, ketika kampanye pembebasan Irian Barat kemudian GANYANG MALAYSIA, rasanya RI tidak begitu banyak memerlukan tank? Yang mengancam kestabilan Indonesia dewasa ini dianggap paling-paling datangnya dari gerakan OPM dan (mungkin hidup kembalinya) GAM? Tapi, untuk aksi-aksi militer sekitar itu rasanya TNI tidak memerlukan begitu banyak tank. Apalagi tank-tank second-hand. Yang belum tentu cocok dengan kondisi Indonesia!

Masih ingatkah cerita pembelian (lagi-lagi) kapal perang second-hand dari Jerman ketika masih berjayanya Habibie? Malah banyak pengamat mengungkap,bahwa kapal yang dibeli Habibie itu adalah kapal rongsokan!!!

Berapa besar negara mengalami kerugian ketika itu? Dan kapal-kapal perang rongsokan itu, apa betul efektif bagi Alri? Padahal Indonesia punya galangan kapal sendiri. Mengapa bukannya galangan kapal sendiri itu yang dimodernisasi? Supaya mampu bikin kapal perang sendiri? Kan bisa belajar dari Korea Selatan bagaimana bikin kapal perang yang cepat-tangkas dan dipersenjatai modern, untuk melindungi para penangkap ikan Indonesia, dan menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan negeri.

Lalu mengapa kok pada ribut mau beli tank second-hand dari Belanda? Apa sekadar mau kasih unjuk bahwa pemerintah Indonesia mampu membantu Belanda yang sedang sibuk MENGHEMAT? Belanda perlu uang cepat, lalu mau jual tank-tank bekasnya. Datanglah Indonesoa mengulurkan tangan-persahabatan??

Ataukah, ataukah . . . .Mungkin masalahnya . . . . . yang tidak pernah disebut . . .. yaitu adanya KOMISI. Lalu dari siapa dan untuk siapa KOMISI itu? Bisa sampaikah tangan KPK kesitu??

Demi KOMISI ini kok tega-teganya penguasa Indonesia, menugaskan, memobilisasi para diplomat kita ??

Komentar ini bukan semata-mata dari pandangan kecurigaan, bagaimana yang berwenang-wenang di Indonesia memperoleh Komisi dari pembelian senjata atau keperluan lainnya bagi angkatan perang Indonesia. Seperti dulu ketika membeli kapal laut bekas dari Jerman? Ini sekadar menguak sedikit pengalaman jual-beli senjata antara RI dengan luarnegeri.

Kalau bukan karena masalah KOMISI, cobalah ajukan alasan dan penjelasan yang meyakinkah mengapa di saat ini kok ribut sekali mau beli tank-tank bekas dari Belanda??? Apa Indonesia betul-betul memerlukan tank-tank bekas Belanda itu?

Demikianlah, sahabat-baikku – Bung Jos Wibisono, --- kesan setelah membaca artikel Bung di Tempo.

* * *

Tank Leopard dan Diplomasi Kita”
oleh Joss Wibisono

* * *

Versi jang sedikit lain dan dalem EYD nongol di Koran Tempo
edisi 26 Djuni 2012

Debat /de Tweede Kamer/, parlemen Belanda, hari Kamis 21 Djuni itu berachir
aneh. Di luar kebiasaan, usai debat tidak diadakan pemungutan suara. Sore itu
tidak ada keputusan jang diambil. Apa pasal? Maklum pemerintah, dalam hal ini
Menteri Luar Negeri Uri Rosenthal, mentjabut rentjananja minta izin parlemen
untuk mendjual 80 unit Tank Leopard kepada Indonesia.

Tampaknja memang itulah satu2 nja pilihan sang Menlu. Maklum dia berhadapan
dengan parlemen jang, dalam majoritas, menentang rentjana itu. Dengan mentjabut
usulnja, berarti pemerintahan demisioner Perdana Menteri Mark Rutte jang djatuh
April silam, menjerahkan soal pendjualan tank ini kepada pemerintah baru hasil
pemilu 12 September mendatang.

Menghadapi debat ini, pemerintah Belanda sebenarnja sudah mengambil langkah2
memadai. Misalnja telah dilakukan pengetjekan pada peraturan ekspor Uni Eropa,
dan dipastikan rentjana pendjualan tank ke Indonesia tidak melanggar aturan itu.
Lebih dari itu, duta besar hak2 asasi manusia Lionel Veer djuga sudah diutus ke
Indonesia untuk mentjari tahu perihal situasi hak2 asasi manusia. Veer
menjatakan dalam bidang demokrasi dan hak2 asasi manusia Indonesia sudah
mengalami kemadjuan pesat. Tetapi sang dubes masih mengchawatirkan situasi
Papua, walaupun pemerintah Belanda jakin Tank Leopard tidak akan dikerahkan ke sana.

Sudah sedjak achir tahun lalu, tak lama setelah Indonesia mengumumkan niatnja
membeli tank Belanda jang diobral, parlemen Belanda menentang rentjana ini.
Anggota Fraksi GroenLinks Arjan El Fassed jang berdarah tjampuran Palestina
Belanda mengadjukan mosi menentang rentjana itu. Alasannja kinerdja hak2 asasi
manusia Indonesia tidak mejakinkan. Mosi ini mendapat dukungan partai2 oposisi
lain, termasuk, menariknja, PVV, partai pimpinan Geert Wilders jang anti muslim
serta anti pendatang.

Wilders waktu itu masih merupakan /gedoogpartner/ (mitra koalisi jang tak ikut
memerintah) dua partai jang berkuasa, jaitu partai konservatif VVD dan partai
kristen demokrat CDA. Bagaimana bisa demikian? Bukankah sebagai mitra koalisi
Wilders djuga harus mendukung pemerintah? Ternjata waktu itu ada kesepakatan
dengan PVV bahwa partai ini akan bersikap “se-olah2 tidak melihat” kalau
parlemen memperdebatkan pendjualan tank kepada Indonesia

Masalahnja bertambah rumit ketika Kabinet Perdana Menteri Mark Rutte djatuh
achir April lalu. PVV pimpinan Wilders merasa tidak terikat lagi pada
kesepakatan itu. Artinja, mereka tetap mendukung mosi parlemen jang menentang
pendjualan Tank Leopard kepada Indonesia. Kalau partai2 lain mempermasalahkan
hak2 asasi manusia, PVV punja alasan lain. Partai ini bersitegang Belanda tidak
boleh berhubungan dengan negara Islam dan karena penduduknja majoritas Islam,
Indonesia bagi mereka termasuk negara Islam.

Penolakan /de Tweede Kamer/ menimbulkan pertanjaan baru. Apalagi kalau mengingat
parlemen Belanda mengizinkan pendjualan kapal perang Korvet kepada Indonesia.
Mengapa Korvet diizinkan sedangkan Leopard tidak?

Ada tiga kemungkinan jawaban. Pertama komposisi kabinet Belanda waktu izin
pendjualan Korvet keluar. Waktu itu, tahun 2004, di Belanda berkuasa Kabinet
Balkenende II jang terdiri dari partai kristen demokrat CDA, partai konservatif
VVD dan partai demokrat D66. Tiga partai ini menguasai majoritas parlemen,
sehingga mosi menentang pendjualan Korvet jang diajukan Partai Sosialis SP tidak
memperoleh majoritas.

Djawaban lain adalah pemilihan umum jang akan berlangsung 12 September
mendatang. Untuk itu pelbagai partai politik Belanda ingin tampil se/sexy/
mungkin di hadapan pemilih. Karena itu kalangan partai kiri memegang teguh
prinsip mereka, termasuk prinsip menghormati hak2 asasi manusia. Mereka menolak
berkompromi dengan dua partai kanan jang berkuasa.

Kemungkinan ketiga adalah kemampuan politisi Belanda membedakan Angkatan Laut
dari Angkatan Darat kita. Di zaman Orde Baru AD lebih banjak terlibat pada
pelanggaran hak2 asasi manusia ketimbang AL. Selain itu Belanda djuga paham
Indonesia perlu mendjaga integritas wilajahnja dan bagi negara kepulauan, itu
adalah tugas Angkatan Laut.

Pada dasarnja memang partai2 kirilah jang menentang pendjualan sendjata kepada
negara2 jang dianggap melanggar hak2 asasi manusia. Selain PVV jang punja
alasan sendiri, mosi anti pendjualan Tank Leopard kepada Indonesia digerakkan
oleh partai2 kiri: GroenLinks (kiri hidjau), SP (Partai Sosialis), Partij van
de Arbeid (Partai Buruh). Lalu masih ada partai ketjil ChristenUnie jang
beraliran kristen ortodoks dan selalu membela orang2 Papua.

Di sini langsung tampak betapa partai2 kiri merupakan ladang jang masih belum
digarap oleh diplomasi Indonesia. Harus diakui selama ini diplomasi kita hanja
merapat pada partai2 kanan. Maklum hanja kalangan kanan jang mendukung
Indonesia di masa Orde Baru. Sebagai pengganjang PKI dan partai kiri lain, Orde
Baru selalu alergis terhadap kalangan kiri.

Puntjaknja adalah ketika orang kuat Orba murka terhadap Jan Pronk (Menteri
Kerdjasama Pembangunan, anggota Partai Buruh PvdA) karena mengetjam bandjir
darah Santa Cruz, November 1991. Waktu itu batuan Belanda dihentikan, organisasi
donor IGGI dibubarkan dan si menteri kiri Jan Pronk ditjekal.

Dengan bubarnja Orde Baru zaman tentu sadja berubah. Kalau di zaman reformasi
ini Djakarta terus2 an mendesak pihak luar negeri supaja menggunakan katjamata
lain dalam melihat Indonesia, maka Indonesia sendiri pada gilirannja harus sadar
pula bahwa diplomasinja selama ini djuga berat sebelah.

Ketika mendjabat duta besar RI untuk Keradjaan Belanda, mendiang Fanny J. E.
Habibie djuga dikenal dekat dengan politisi kanan Belanda. Dua di antara mereka,
Hans van Baalen (partai konservatif VVD) dan Ben Bot (partai kristen demokrat
CDA) bahkan dianugerahi bintang Mahaputra pada tahun 2009. Djangankan
dianugerahi bintang, dekat dengan kalangan kiri sadja tidak pernah diupayakan
oleh diplomasi Indonesia jang menganggap dirinja negara besar.

Hanja ketika Gus Dur mendjabat RI satu, politisi kiri Belanda merapat ke
Indonesia. Dipelopori oleh Ad Melkert (ketua fraksi PvdA di parlemen) jang kawan
dekat Gus Dur semasa INFID, mereka memudji demokratisasi jang melanda Indonesia.
Walau begitu, Marijke Vos, politikus GroenLinks (kiri hidjau), sempat mendebat
Gus Dur soal kekerasan di Maluku. Sajang kedekatan ini tidak dikembangkan lebih
landjut. Salah satu sebabnja, mungkin, Indonesia sampai sekarang belum djuga
mengenal partai berhaluan kiri. Ini djelas berbeda dengan zaman awal republik,
waktu itu PvdA masih bisa menemukan /geestverwant/ (mitra sealiran) pada diri PSI.

Sekarang sudah tiba saatnja diplomasi Indonesia diperlebar dengan mendekati
partai2 kiri Belanda. Duta Besar Retno Marsudi jang sempat ditolak ketika mau
bertemu Diederik Samson, pemimpin Partai Buruh, harus pandai2 mengerahkan
segenap daja pesona diplomasinja supaja bisa dekat dengan kalangan kiri. Apalagi
karena djadjak pendapat meramalkan partai2 kiri itu akan menang pemilu 12
September mendatang.

Tanpa upaja mendekati kalangan kiri, penundaan pendjualan Tank Leopard bisa
berubah mendjadi pembatalan. Ketjuali kalau memang mau belandja Leopard di
Djerman jang djelas2 lebih mahal.***


Sunday, June 24, 2012

“DJAS MERAH”, kata BUNG KARNO



Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 24 Juni 2012
---------------------------------------

DJAS MERAH”, kata BUNG KARNO
Djangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”

Ini adalah kata-kata, adalah ajaran, dan petuah Bung Karno pada generasi penerus dan seluruh bangsa. Ajaran Bung Karno tsb dikemukakannya dalam pidato beliau pada “Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, 17 Agustus, 1966. Imbauan Bung Karno tsb amat menyolok dan punya arti sejarah poenting sekali. Mengundang perhatian, karena justru diserukannya pada saat ketika dimulainya kudeta merangkak Jendral Suharto dan pendukung-pendudukungnya.

Pada saat dimulainya persekusi, pengejaran, penyiksaan, pemenjaraan dan eksekusi ekstra-judisial besar-besaran terhadap golongan Kiri dan pendukung Presiden Sukarno.

Imbauan Presiden Sukarno mengenai JASMERAH, punya nilai sejarah yang harus dicamkan bangsa ini. Karena mulai period ini Jendral Suharto menegakkan rezim Orde Baru, yang memporak-porandakan pengertian dan makna sejarah bangsa. Rezim Orde Baru adalah suatu kekuasaan yang tak-tahu-malu dan terang-terangan memalsu dan merekayasa sejarah semata-mata untuk berkuasa dan melanggengkan kekuasaannya.

Namun Orde Baru gagal total dalam niat jahatnya hendak menenggelamkan dan menghapuskan samasekali peranan dan jasa-jasa seorang tokoh nasional penegak-pembina bangsa serta proklamator kemerdekaan bangsa: BUNG KARNO.

Ajaran Bung Karno mengenai arti penting pemahaman sejarah bangsa, selalu harus diingat dan berupaya diberlakukan di sepanjang hidup kita sebagai bangsa. Pengalaman membangun dan memperkokoh nasion Indonesia yang masih muda, dibanding dengan nasion-nasion lainnya seperti India, Tiongkok dan Jepang umpamanya; -- Menunjukkan sekaligus betapa dalam dan fundamentilnya pengertian dan visi Bung Karno mengenai masalah bangsa.

Bangsa kita, --- di satu segi berjuang untuk kemerdekaan nasional. Di segi lainnya, bersamaan dengan itu terus-menerus bergumul dan berjuang, pantang mundur dalam proses membangun dan memperkokoh KESADARAAN BERBANGSA serta mengkonsolidasi persatuan bangsa.

Proses Kesadaran berbangsa itu, berjalan bersamaan dengan proses perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme, untuk menjadikan nasion muda ini suatu bangsa yang merdeka, berdaulat, berdiri sama derajat dengan bangsa-bangsa lainnya di mancanegara, adil dan makmur.

Berbahagialah bangsa kita ini memiliki pemimpin-pemimpin, pendahulu-pendahulu dalam perjuangan gagah berani melawan kolonialisme Belanda, pejuang-pejuang melawan pendudukan militer Jepang. Berbahagialah kita memiliki pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang memimpin perjuangan bangsa ini berperang melawan tentara Inggris, yang datang atas nama Sekutu untuk mengurus penyerahan Jepang di Indonesia dan para warganegara Hindia Belanda yang ditawan Jepang.

Kita mengalaminya, bahwa Inggris yang datang atas nama Sekutu itu, diam-diam membawa 'boncengan', a.l yang terpenting adalah Van Mook, dari Australia. Van Mook yang punya tugas utama NICA ( Netherlands Indies Civil Administgration). Yaitu untuk mengembalikan kekuasaan Hindia Belanda atas Indonesia. Mengembalikan 'kedaulatan' Kerajaan Belanda atas 'daerah-daerah seberang lautan', khususnya atas Indonesia, yang sudah memproklamasikan kemerdekaan bangsa dan negeri. Yang sudah menegakkan NEGARA REPUBLIK INDONESIA.

* * *

Berbahagialah kita memiliki pemimpin-pemimpin nasional yang juga TIDAK LUPA MENULIS, mendokumentasikan jadi aset sejarah. Yaitu hal-hal bersangkutan dengan perjuangan kita menjadi suatu bangsa baru, dengan perjuangan kermerdekaan nasional. Maka kita memiliki pemimpin-pemimpin perjuangan kemerdekaan seperti Ir Sukarno yang menuliskan visi, strategi dan taktik perjuangan bangsa, seperti a.l tertera dalam dua bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi”. Perlu khusus diangkat pidato beliau dimuka Pengadilan kolonil Belanda, di Bandung berjudul “Indonesia Menggugat” dan pidato beliau pada tanggal 1 Juni 1945 “Lahirnya Pancasila”, dll.

Tercatat pula dalam tulisan bersejarah visi nasional dan pengalaman perjuangan seperti ditulis oleh Tan Malaka (“Dari Penjara ke Penjara” dan “Madilog”, dll). Seperti tulisan Drs Moh Hatta mengenai Masalah Koperasi dan Otobiorgrafinya. Tulisan Sutan Syahrir , “Perjuangan Kita” dan “Renungan Indonesia”; serta tulisan tulisan Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro dll. Semuanya itu merupakan dokumen otentik sekitar perjuangan bangsa ini dalam proses menjadi suatu nasion baru yang bersatu, untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Dari tokoh-tokoh partai politik kita temui tulisan-tulisan yang sistimatis dan programatis mengenai perjuangan kemerdekaan bangsa untuk kemerdekaan dan keadilan; untuk suatu Indonsia yang sosialis. Menonjol diantaranya serta terdokumentasi adalah tokoh pemimpin parpol D.N. Aidit, Ketua CC PKI. Tulisan-tulisan dan pidato DN Aidit yang terpenting di muat dalam bukunya “Pilihan Tulisan Aidit” (PTA), terbitan Yayasan Pembaruan. DN Aidit dengan jelas mengemukakan visinya mengenai bangsa dan perjuangan untuk mencapai suatu Indonesia yang kokoh, adil dan makmur.

* * *

Tulisan-tulisan para pejuang kemerdekaan pendahulu kita itu, selain menguraikan visi dan misi mereka, strategi dan taktik perjuangan bangsa untuk kemerdekaan nasional, juga menguraikan situasi dan kondisi bangsa dan negeri ini dalam periode-periode penting dalam sejarah bangsa.

Dengan demikian merupakan aset berharga dalam penelitian, penulisan dan pendidikan sejarah untuk generasi muda. Merupakan bahan input tak ternilai dalam menyusun penulisan yang menyeluruh dan kesatuan utuh tentang sejarah bangsa.

* * *

Disinilah relevansi prakarsa dan ajakan kerjasama tiga lembaga penelitian sejarah Belanda untuk melakukan riset dan studi, mengkaji kembali sejarah hubungan Indonesia-Belanda, khususnya mengenai kekerasan militer yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia dalam periode 1945-1949. Suatu periode peperangan yang berlangsung antara Indonesia dan Belanda, disebabkan politik Belanda ketika itu untuk menghancurkan Republik Indonesia, mengembalikan Indonesia di bawah kekuasaan kolonial Belanda.

Salah seorang sejarwan muda Indonesia, Bambang Purwanto telah menyatakan sambutannya sehubungan dengan uluran tangan sejarawan-sejarawan Belanda itu.

Kita baca a.l dalam tulisan Joss Wibosono dari Ranesi (Radio Nederland Seksi Indonesia), bagian dari Radio Nederland Wereld Omroep, sbb:

“Usul mengadakan penelitian ini juga dilengkapi dengan seruan untuk melibatkan kalangan Indonesia. Dan sudah ada seorang gurubesar sejarah Indonesia yang diwawancarai, itulah Prof. Bambang Purwatno dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Menyambut baik ajakan ini Bambang Purwanto tetap berhati-hati, katanya, kalau ia memahami langkah Belanda, maka itu bukan berarti ia juga menyetujuinya.

“Bambang paham: dalam soal istilah saja Indonesia sudah berbeda dari Belanda. Belanda misalnya menggunakan istilah politionele actie (aksi polisi) sementara bagi Indonesia itu adalah agresi militer. Kemudian pada akhirnya Indonesia menyebut Belanda mengakui kemerdekaannya, seperti berlangsung di Amsterdam pada tanggal 27 Desember 1949. Belanda menyebut upacara di Istana De Dam itu sebagai "penyerahan" kedaulatan.

"Bagi saya Hindia Belanda itu sudah berakhir pada tahun 1942. Tuan penjajah kita waktu itu ganti dengan masuknya Jepang", demikian Bambang Purwanto. Baginya yang terjadi pada tahun 1945 sampai 1949 itu adalah langkah Indonesia mempertahankan proklamasi kemerdekaannya. Belanda yang belum bisa menerima itu mencoba membangun kembali kekuasaan kolonialnya. "Ya, otomatis yang terjadi adalah konflik!" Tegas Bambang.

“Bambang juga melihat di Indonesia sendiri kenyataannya tidak semudah yang digambarkan orang. Tidak semua orang Indonesia menghendaki Belanda diusir dengan kekerasan militer. Ada kelompok yang mau bernegosiasi sehingga muncullah pelbagai macam perjanjian damai, mulai dari Linggarjati sampai Renville. Sampai kemudian menghasilkan apa yang disebut Meja Bundar. Di lain pihak juga ada kelompok yang mengatakan Indonesia merdeka 100%. Mereka tidak setuju dengan diplomasi atau perundingan, karena Indonesia sudah merdeka.

"Kenapa kita tidak memanfaatkan data Belanda. Kalau kita bicara tentang periode 1945-1949 seakan-akan datanya hanya yang berasal dari Indonesia saja. Padahal data Belanda tentang itu banyak sekali".

“ . . . . Bambang juga berpendapat Belanda tidak bisa hanya menggantungkan diri pada dokumen yang ada di arsip Belanda. Menurutnya Belanda juga harus mendengar apa yang dikatakan dan dialami oleh orang Indonesia. "Jadi saya kira ini akan membangun sebuah keseimbangan historiografis sehingga orang bisa saling mengerti". Demikian a.l. Tulis Joss Wbisono dari Radio Hilversum ( yang sayang pada tanggal 29 Juni 2012 nanti menghentikan siarannya).

* * *

Bila proyek penelitian bersama berkenaan dengan sejarah hubungan Indonesia-Belanda, menjadi realita, maka yang terpenting adalah agar yang bersangkutan dengan sungguh-sungguh mengikutsertakan banyak historikus muda kita, dan melibatkan seluruh masyarakat cinta-sejarah dalam usaha besar ini.

Semoga akan menjadi kenyataan dan memperoleh dukungan semakin meluas AJARAN BUNG KARNO---

JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH -- “DJAS MERAH”.

* * *











Friday, June 22, 2012

“PROTOTYPE” Kolusi MILITER, BIROKRAT Dan BISNIS


Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 22 Juni 2012
-----------------------------

OM LIEM -- Jen. SUHARTO -- Bob HASAN -- Jen. A, JUSUF - -
PROTOTYPE” Kolusi MILITER, BIROKRAT Dan BISNIS

Om Liem (Liem Sioe Liong) belum lama meninggal dunia di Singapura. Upacara belasungkawa dan pengebumian berlangsung 'luar biasa'. Besar-besaran dan mewahnya. Layatan 'besar-besaran' yang tak pernah terjadi sebelumnya bahkan bagi orang setempat sekalipun, itu terjadinya bukan di Indonesia, tetapi di Singapur.

Tidak jelas apa pertimbangannya beliau dimakamkan di Singapur, bukan di Indonesia. Padahal, semua tahu. Om Liem itu, asal muasalnya, dari Fucien, Tiongkok, berimigrasi ke Indonesia. Mula-mula dagang biasa. Berdagang dan berbisnis di Indonesia sampai jadi orang kaya besar di Indonesia, terkenal (sampai sekarang) a.l dengan produk INDOMIE.

Kita masih ingat, di jaman Orba pernah Om Liem itu adalah orang Indonesia yang terkaya yang paling dekat dengan dinasti Cendana. Begitu juga seluruh keluarganya. Sampai sekarang ini mereka masih berbisnis di Indonesia dan menjadi orang kaya besar Indonesia. Meski, siapa tahu, sudah berapa besar kekayaannya itu yang sudah “diamankannya” di Singapur atau Eropah sana? Om Liem dan seluruh 'clan'-nya adalah orang-orang Indonesia turunan Tionghoa. Mereka jadi besar, kaya dan berjaya sebagai bisnismen yang punya hubungan khusus dengan Jendral Suharto.

Lalu, cobalah jelaskan, mengapa Om Liem dikebumikan di Singapur?? Orang (mungkin) tidak akan begitu heran, jika, andai kata Om Liem dimakamkan di dekat kuburan mantan Presiden Suharto, di Jawa Tengah. Kalau Om Liem dimakamkan di dekat makamnya mantan Presiden Suharto, kan agak 'nyambung' ditinjau dari sudut latar belakang hubungan mereka, ketika masih hidup dan berjaya?

* * *
Sejak meninggalnya Om Liem entah sudah berapa artikel saja yang ditulis dan komentar-komentar TV dan Radio. Banyak yang memujinya sebagai seorang 'filantroop', orang kaya yang dermawan dan baik hati. Itu wajar-wajar saja. Karena, siapa tak tahu, bahwa, tidak sedikit yang berhutang budi dan dana pada Om Liem. Dari segala lapisan, dari birokrat terutama, militer dan lingkungan bisnis lainnya.

Tapi yang kubaca hari ini (tulisan Irwan Andri Atmanto, dalam Mingguan Gatra) mengenai Om Liem, agak lain dari yang lain. Amat menarik. Artikel Gatra itu mengungkap saling-hubungan dan 'kerjasama' – 'saling menguntungkan' antara tentara yang sudah riil kuasa saat itu (akhir 1965, sesudah aktuil pegang kekuasaan di Pusat) dengan kalangan bisnis. Khususnya bisnis yang diwakili oleh Liem Soei Liong (Oom Liem) dan Bob Hasan.

Tanpa 'sungkan-sungkan', secara blak-blakan Irwan Andri Atmanto menulis, bagaimana Oom Liem bisa memperpanjang izin impor cengkeh 40.000 ton. Oom Liem 'tahu betul' siapa yang sesungguhnya berkuasa di Pusat, ketika itu. Meskipun Presiden Sukarno masih di situ bersama Waperdam Dr. Subandrio, tapi Presiden dan Waperdannya sudah jadi “tawanan” Jend. Suharto, yang 'hanya' Panglima Konstrad itu.

Maka Oom Liem tidak ayal lagi untuk 'mengurus' ini dan 'itu' menyangkut bisnisnya, ia menghubungi Jen. Suharto, Komandan Kostrad. Ingat, Suharto belum punya jabatan kenegaraan apapun, namun proses 'kudeta merangkak' sudah dimulai.

* * *

Suharto menugaskan Bob Hasan mengurus izin itu dengan Menteri Perdagangan ketika itu , Jen. A. Jusuf. Bob Hasan, yang punya 'hubungan baik' dengan Jen. A.Jusuf untuk mengurus pepanjangan izin import bagi Om Liem, menyelesaikannya dalam sekejap saja.

Tentu ada 'deal'nya. Keuntungan yang diperoleh, menurut perhitungan Oom Liem, sebanyak Rp. 15 milyar dari impor 40.000 ton cengkeh itu. Kurang dari separuh dari jumlah itu, yaitu Rp 7 milyar untuk Om Liem, yang Rp. 8 milyar untuk Kostrad.

Bacalah langsung berita Gatra di bawah ini, dan simpulkan sendiri sekitar saling hubungan dan saling berbisnis antara tentara-birokrasi-konglomerat. Dan perhatikanlah situasi dewasa ini, meski Suharto sudah bukan presiden lagi, dan sudah dimulai proses Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia, apakah berarti sudah ada perubahan di Indonesia? Bila dianalisis dengan latar belakang apa yang ditulis oleh Gatra, tampaknya tidak banyak perubahan.

Bahkan ada faktor kekuasaan yang tampil sebagai 'new-comer' sesudah jatuhnya Suharto. “Newcomer” namun agresif dan rakus, yaitu PARPOL-PARPOL. Tanpa kecuali, apakah mereka menyatakan diri sebagai nasionalis ataukah religius.

Podo waé! Haus kekuasaan dan kekayaan dan rakus alang kepalang!

* * *

Om Liem: Dari Pedagang Menjadi Industriawan
21 Juni 2012

Bermula sebagai pedagang di zaman Orde Lama, kemudian bisnis Om Liem bekembang menjadi industri yang menyerap ribuan tenaga kerja. Presiden Soeharto-lah yang meminta Liem Sioe Liong membangun industri dalam negeri. ---

Liem Sioe Liong sempat bingung ketika surat izin impor cengkeh miliknya sudah kedaluwarsa. Ia ingin memperbarui izin impor cengkeh sebanyak 40.000 ton yang diterbitkan Menteri Perdagangan Adam Malik. Beberapa hari setelah peristiwa G-30-S/PKI, Liem Sioe Liong alias Sudono Salim yang akrab dipanggil Om Liem menemui Kepala Staf Kostrad, Brigadir Jenderal Tjokropranolo.

Ia minta bantuan agar izin impor cengkehnya diperpanjang. Selanjutnya, Tjokropranolo atau biasa dipanggil Nolly melapor kepada Panglima Konstrad, Mayor Jenderal Soeharto. Pak Harto menyatakan, yang bisa memperbarui izin impor itu Menteri Perdagangan, bukan Kostrad. Ketika itu, Menteri Perdagangan dijabat Brigadir Jenderal Ahmad Yusuf

Pak Harto mengetahui bahwa Ahmad Yusuf adalah kawan akrab Bob Hasan. Kemudian ia memanggil Bob Hasan dan meminta sahabatnya itu membantu Om Liem mengurus perpanjangan izin impor cengkeh. "Ini ada izin yang mesti diberesi sama Yusuf. Kamu kan teman dekat Yusuf," kata Pak Harto kepada Bob Hasan.

Keesokan harinya, Bob Hasan menghadap Ahmad Yusuf di kantornya. "Pak Yusuf masih rapat, Pak,'' kata sekretaris Ahmad Yusuf kepada Bob Hasan. Kemudian Bob Hasan meminta sang sekretaris membuka pintu sedikit agar Ahmad Yusuf bisa melihat Bob Hasan yang sedang menunggunya.

Ia pun segera mengakhiri rapat dan menemui koleganya itu. "Ada apa?" tanya Ahmad Yusuf. ''Ada izin yang mesti diperpanjang,'' jawab Bob Hasan sembari menjelaskan detail urusannya. Pada hari itu, Menteri Perdagangan Ahmad Yusuf memperpanjang izin impor cengkeh Om Liem.

Setelah urusan perpanjangan izin impor cengkeh itu beres, Bob Hasan kembali menghadap Panglima Kostrad. "Pak, apa boleh saya ketemu orang yang minta diuruskan izinnya ini?" tanya Bob Hasan kepada Pak Harto. Pada waktu itu, antara Om Liem dan Bob Hasan belum saling mengenal.

Selanjutnya Pak Harto meminta Om Liem menemui Bob Hasan. Akhirnya dua pengusaha itu bersua di salah satu rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Nah, dalam pertemuan itulah Om Liem menyatakan, sebagian keuntungan dari hasil impor cengkeh akan disumbangkan kepada Kostrad. Berdasarkan perhitungannya, impor cengkeh 40.000 ton itu akan mendatangkan laba Rp 15 milyar.

''Dengan mendapat untung sebesar itu, Om Liem mau nyumbang berapa kepada Kostrad?" tanya Bob Hasan. "Terserah Pak Bob, saya mesti sumbang berapa," jawab Om Liem ketika itu. "Kalau terserah saya, bagaimana kalau kita bagi dua. You dapat Rp 7 milyar, yang Rp 8 milyar disumbangkan untuk Kostrad," kata Bob Hasan.

Om Liem setuju memberikan keuntungan Rp 8 milyar kepada Kostrad. Lalu Bob Hasan melaporkan kesepakatan itu kepada Pak Harto. Pada kesempatan itu, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan agar dana Rp 8 milyar itu dipecah menjadi empat lembar cek, masing-masing sebesar Rp 2 milyar. Bob Hasan diminta membawa cek tersebut ke Markas Kostrad di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.

Oleh Pak Harto, cek itu diberikan kepada Panglima Kodam (Pangdam) Brawijaya Mayor Jenderal Soemitro, Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal Soerono, dan Pangdam Jaya Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, masing-masing Rp 2 milyar. Adapun cek keempat diserahkan kepada Yayasan Kostrad untuk biaya operasional prajurit di lapangan.

Om Liem tidak hanya menjalin koneksi dengan penguasa Orde Baru. Bisnisnya berkembang di masa Orde Lama. Om Liem, antara lain, mendapat dukungan dari Hassan Din, tokoh Muhammadiyah yang juga mertua Presiden Soekarno. Hassan Din adalah ayah Fatmawati, istri Presiden Soekarno.

Hassan Din juga terlibat di dalam perusahaan Om Liem. Di PT Mega, misalnya, Hassan Din menjadi komisaris utama. Adapun direktur utama dijabat Om Liem. Selain itu, Hassan Din menjadi direktur di beberapa perusahaan Om Liem, misalnya di Bank Central Asia.

Di jaman Orde Baru, bisnis Om Liem kian moncer setelah mendirikan pabrik Bogasari. Disoskong oleh penguasa pada jaman itu, Bogasari pun melahirkan Grup Usaha Indoofood yang berkembang pesat hingga produknya dikenal dunia.

Ketika krisis moneter menerjang Indonesia pada 1997, Kelompok Usaha Salim ikut terimbas. Salim Group terlilit utang kepada pemerintah sebesar Rp 52,7 trilyun. Untuk membayar utang itu, Salim menyerahkan 107 perusahaannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Biarpun 107 perusahaannya diserahkan kepada negara untuk menutup utang ke pemerintah, Salim masih punya aset yang sangat bernilai di Tanah Air, yaitu Indofood Sukses Makmur.

Indofood membawahkan empat grup usaha. Mereka adalah grup produk konsumer bermerek (mi instan, bumbu penyedap makanan, makanan ringan, nutrisi, dan makanan khusus), Grup Bogasari (penguasa tepung terigu di Indonesia), grup distribusi (Indomarco), dan grup agrobisnis (Indofood Agri Resources). Apa yang dicapai Om Liem itu merupakan hasil kerja kerasnya selama 60 tahun.

Sejak krisis 1997 itu, kendali bisnis Salim Group perlahan dialihkan kepada Anthoni Salim, anak ketiga Om Liem. Om Liem yang sebelumnya tinggal rumahnya, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pindah ke Singapura. Hingga kemudian ia meninggal di sana pada Minggu 10 Juni 2012 dalam usia 96 tahun. Om Liem dimakamkan di Choa Chu Kang, Singapura, Senin 18 Juni lalu.

Selamat jalan, Om Liem.
Irwan Andri Atmanto
(Laput Majalah GATRA edisi 18/33, terbit Kamis 21 Juni 2012)

* * *

Thursday, June 21, 2012

SUARA KRITIS MANTAN PRESIDEN BRAZILIA LULA

IBRAHIM ISA
Kemis, 21 Juni 2012
-------------------------

SUARA KRITIS MANTAN PRESIDEN LULA DA SILVA  MENGECAM  KEBIJAKAN IMF/NEGARA KAYA
(Harian ANALISA, 05 Mei 2012)

*Presiden Brazil Kecam Negara Kaya dan IMF*


Mantan Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Kamis, mengecam negara-negara kaya untuk mengelola krisis dunia dengan menyerukan pengetatan ikat pinggang oleh masyarakat miskin sembari memetik manfaat diri mereka dari sistem keuangan.*
*Dalam pidato publik pertamanya setelah tujuh bulan pengobatan kanker tenggorokan, Lula, tampak lemah dan berjalan dengan tongkat, menghadiri seminar tentang investasi di Afrika yang disponsori oleh Bank Pembangunan Brazil (BNDES).

Dia mengkritik negara-negara Eropa melakukan tugas menanggulangi krisis dengan langkah-langkah penghematan dan dengan menyuntikkan sejumlah besar uang ke dalam sistem keuangan.

"Mereka menyerukan penghematan oleh masyarakat miskin, pekerja dan pemerintah dari negara-negara yang secara ekonomis paling rapuh. Tetapi pada saat yang sama, mereka menerima paket dan paket sumber daya keuangan disuntikkan kedalam sistem keuangan yang justru menguntungkan sektor-sektor yang bertanggung jawab atas spekulasi yang memicu krisis yang kita alami saat ini," tambahnya.

"Mereka menghukum korban krisis dan memberi hadiah bagi mereka yang bertanggung jawab untuk itu. Ini adalah kesalahan besar," kata Lula.

Dia mencatat bahwa negara-negara kaya berhadapan dengan krisis dengan "pemotongan investasi publik, memotong gaji dan tunjangan pekerja, meningkatkan pengangguran dan menaikkan usia pensiun minimum."

"Logikanya dapat diringkaskan sebagai berikut: sistem keuangan menikmati semua dukungan yang diperlukan agar tidak menderita dari krisis. Namun para pekerja, pensiunan, yang paling rentan dan paling miskin, tidak dibantu oleh siapa pun," kata Lula.

Penerus Lula, Presiden Dilma Roussef, juga telah berulang kali mengkritik apa yang disebut "tsunami moneter" yang disebabkan oleh ekspansi moneter zona euro.

Brazil, kekuatan dominan di Amerika Latin dan ekonomi keenam terbesar dunia, telah menyalahkan apresiasi mata uangnya, real, pada "perang mata uang " yang dilakukan oleh negara-negara maju, yang membanjiri pasar dengan dolar melalui kredit murah.

Masuknya mata uang asing ke negara-negara seperti Brazil, yang menawarkan tingkat bunga yang tinggi, menyebabkan impor meningkat nyata dan kuat, dan membuat ekspor Brazil lebih mahal.

Lula, yang memerintah pada periode 2003-2010 dan mengeluarkan 28 juta warga Brazil dari kemiskinan, juga secara tidak langsung membidik Dana Moneter Internasional (IMF), sebuah lembaga di mana Brazil dan sesama kekuatan negara berkembang mencari suara yang lebih besar. (Ant/AFP)

*    *    *

Wednesday, June 20, 2012

IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON PAPUA


IBRAHIM ISA'S -- FOCUS ON PAPUA
Wednesday, June 20, 2010
------------------------------------------------------

-- President should return home to solve Papuan conflicts:
-- Govt has been talking to Papuan separatists
-- SBY handling of human rights violations disappointing
-- Police share blame in Mesuji killings
-- Lesson of Indonesia’s democratic experience
------------------------------------------------------------------------

KontraS:
President should return home to solve Papuan conflicts:
The Jakarta Post, Jakarta | Tue, 06/19/2012
Susilo Bambang Yudhoyono (JP)A human rights activist said on Tuesday that President Susilo Bambang Yudhoyono should immediately return to Indonesia to solve the escalating conflicts in Papua.
The Commission for Missing Persons and Victims of Violence (KontraS) coordinator Haris Azhar said that Yudhoyono, who is currently attending the G20 Summit in Los Cabos, Mexico, should “unravel the Papuan conflicts with his own hands.”
“The President should come back to Indonesia in the next few days to organize a conflict resolution team for Papua as soon as possible,” Haris said as quoted by tempo.co. “He [Yudhoyono] should also start dialogues with related parties.”
Haris said he was pessimistic about the dialogue between the government and Papuan community members, saying that Coordinating Political, Legal, and Security Affairs Minister Djoko Suyanto had a tendency to defend the security officers, particularly in the killing of Papua independence activist, Mako Tabuni.
“He [Djoko] should have listened to the opinion from eyewitnesses in the community first, but he went on to defend the law enforcers instead,” said Haris.
Commenting on this, Haris said that it was about time Yudhoyono took on Papuan matters by trying to hold dialogues with the Papuans.
Tabuni died an hour after he was shot by law enforcers last Thursday.
The police claimed that they had to shoot Tabuni because he was violently resisting the officers who were trying to arrest him. Tabuni was reported to have been involved in a number of provocative and violent incidents. (asa)

Govt has been talking to Papuan separatists since December: Djoko

Bagus BT Saragih, The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 06/20/2012
The government says that it has been in talks with the separatist Free Papua Movement (OPM) since last year — months before the start of the latest wave of violence in Papua that has killed 17.

The talks with the OPM began in December and had not been easy, as members of the group had to be coaxed to “leave the mountains and join society,” Coordinating Political, Legal, and Security Affairs Minister Air Marshall (ret.) Djoko Suyanto said on Monday.

“The government has continued to approach the OPM by sending a delegation,” Djoko told reporters in Jayapura on Monday as reported by Antara news agency.

The delegation, which includes several high-ranking military, police and intelligence officials, left Jakarta for Jayapura on Monday.

Among the delegation are Djoko, National Police chief Gen. Timur Pradopo, Indonesian Military
(TNI) chief Adm. Agus Suhartono, and National Intelligence Agency (BIN) chief Lt. Gen. Marciano
Norman.

The government has continued to blame the OPM for the deteriorating security situation in Papua while declining to provide concrete evidence of the group’s complicity in the violence that has wracked the province in recent months.

Police officers, for example, shot and killed Papuan activist Mako Tabuni in Waena on June 14 for allegedly resisting arrest for his supposed involvement in seven violent attacks.

Mako was deputy chairman of the National Committee for West Papua (KNPB), which supports a referendum on Papuan independence.

Tabuni’s supporters retaliated by setting ablaze dozens of vehicles and properties in the city.

The incident was the latest in a series of bloody incidents involving civilians and security officials.

The delegation from the central government held a closed-door meeting with religious and tribal leaders soon after their Indonesian Air Force Boeing 737 landed at Sentani Airport in Jayapura, Papua, on Tuesday.

Also in attendance at the meeting were Papua Legislative Council speaker Jhon Ibo, Papuan People’s Assembly speaker Timotius Murib and Interim Papua Governor Syamsul Arief Rivai.

Djoko and his entourage then met with members of the Papua General Elections Commission (KPUD).

Local politics have been touted as one potential cause of the renewed violence, following the
postponement of the provincial gubernatorial election.

The officials left Jayapura for Timika later on Tuesday and are expected to arrive in Manokwari, the capital of West Papua, on Wednesday.

Djoko has said his agenda in Papua was part of the government’s commitment to promote dialogue to address the situation in the region rather than stepping up security measures.

Contracted separately, Haris Azhar, the coordinator of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras), said he welcomed the government’s initiative to promote dialogue.

Haris, however, said that the security and intelligence officials had picked the wrong time for the meeting, as many Papuans remained angered, fearful and on edge over the violent attacks.

“Papuans are now psychologically uncomfortable. Papuans are still losing confidence to the
government, particularly following the amateurish actions of the National Police and TNI troops,”
Haris s
SBY handling of human rights violations disappointing: Kontras
The Jakarta Post, Jakarta | Thu, 12/29/2011
Many victims and their family members of human rights violation cases expressed their disappointment in the way President Susilo Bambang Yudhoyono’s (SBY) administration has handled human rights violation cases.
“We are deeply disappointed with President SBY, who did not deliver on his political commitment to resolve past gross human rights violation cases,” Indria Fernida, deputy coordinator of the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) said as quoted by tribunnews.com on Thursday.
Kontras gathered victims of gross human rights violations and their families during an event titled the “Year End Message from Human Rights Violation Victims” at its office in Jakarta.
“Cases of gross human rights violations such as Trisakti, Semanggi I and II (took place in 1998-1999 respectively), the May 1998 incident and the kidnapping in 1997-1998, Talangsari, and Wasior-Wamena of Papua (2001-2003 respectively) are all stuck at the Attorney General’s Office (AGO),” said Indira.
In the midst of uncertain legal processes regarding those human rights cases, the president has even encouraged non-legal settlements, such as a national consensus.
Police share blame in Mesuji killings:
The Jakarta Post, Jakarta | National | Thu, 12/15/2011
Police contributed to the mass killing in Mesuji, Lampung according to the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras).
“We suspect there was collaboration between the plantation company, security forces and PAM Swakarsa [civilian militia] to deal with local people. In the last two years there were many cases that were reported but [have been] neglected afterwards. Even if [the police] responded,
it was only on the surface,” Kontras coordinator Haris Azhar said Thursday as quoted by kompas.com.
Lampung residents made allegations of the brutal killings in Mesuji, Lampung to members of the House of Representatives’ Commission III on Wednesday.
Thirty people were killed after violence erupted when a Malaysian-based company, PT PT Silva Inhutani, took the residents’ land in 2003 to plant rubber and palm.
Maj. Gen. (ret.) Saurip Kadi, a member of Mesuji residents’ advocacy team, said the company sought help from the police and established a private militia to cast out the residents from their land.
He said the private security force was established to do all the dirty work, primarily intimidating locals, right under the police’s nose.
“Police should be held responsible over this incident. Why did they back up and let the [private militia] commit the violence. If the police punished only officers for shooting charges and punished them with only 21-day suspensions then it looks like the police want only to cover this for awhile,” he said.
Lesson of Indonesia’s democratic experience

Susilo Bambang Yudhoyono, Jakarta | Opinion | Thu, 04/15/2010



On behalf of the government and people of Indonesia, I am pleased to extend a very warm welcome to all of you to Jakarta. This is a very impressive gathering of the members of the World Movement for Democracy.
We see a positive trend of significant expansion of democracy, particularly in the second half of the 20th century. Democracy expanded in many regions of the world. It also swept Indonesia in 1997 – and changed us for good. As a result, the political map of the world was significantly changed, with all its strategic, geopolitical, economic and social consequences.
But at the same time, we also see a parallel trend of democracies in distress. Military coup, political instability, constitutional crisis, divisive polarization, violent conflicts, the return to authoritarianism and failed states.
Democracy, as we all know too well in Indonesia from experience, is never easy, never smooth and never linear. It always involves a painful process of trial and error, with many ups and downs.
I have no doubt that the future belongs to those who are willing to embrace pluralism, openness and freedom. I say this based on the Indonesian experience. For decades, when we experienced high economic growth in the 1970s and 1980s, Indonesians found convenient cover in our “comfort zone”, an authoritarian system that sought stability, development and national unity at all costs.
It was widely held that democracy would lead to national regress, rather than progress. Thus, our political development had to proceed through a very narrow and rigid corridor. Certainty was much more preferred than uncertainty.
Yes, it took some noisy soul searching and fierce public debate about the form and pace of democratic change. But 10 years after we held our first free elections in 1999, democracy in Indonesia is irreversible and a daily fact of life.
Indonesia’s democratic experience is relevant also in another way. For decades, we lived in environment which argued that we had to choose between democracy and economic growth. I do not wish to prejudge my predecessor. But I can tell you that such is no longer the case of today’s Indonesia. Today, our democracy is growing strong, while at the same time, Indonesia is registering the third highest economic growth among G20 countries, after China and India.
Indonesia’s democratic experience is also relevant if you consider the doomsday scenario about it. Indonesia was in total disarray. Our economy contracted by 12 percent. Ethnic violence flared up. East Timor seceded from Indonesia. Terrorist bombs were exploding. Constitutional crisis seemed endless. Even Thomas Friedman called Indonesia, like Russia, “the messy state – too large to work, too important to fail”. Many predicted Indonesia, after East Timor’s secession, would break apart into pieces. Some even talked about us becoming a failed state.
But we proved the skeptics wrong. Indonesia’s democracy has grown from strength to strength. We held three peaceful periodic national elections: In 1999, in 2004 and in 2009. We peacefully resolved the conflict in Aceh and pursued political and economic reforms in Papua. We made human rights protection a national priority. We pushed forward ambitious decentralization. Rather than regressing, Indonesia is progressing.
One of the key lessons for us is that democracy must connect with good governance. In the early years of our transition, this was one of the hardest things to do. We were so consumed in the euphoria of our newfound freedom that there was a time that governance suffered.
I can tell you that one of the key challenges for our democratic development is how to minimize and ultimately do away with “money politics”. Money politics can seriously undermine democracy because it induces elected leaders and politicians to serve their pay masters at the expense of the public good. It also produces artificial democracy, one that betrays public trust and crushes the democratic ideals and conscience.
I believe that the more money politics prevail, the less the people’s aspirations will be heard, and the more democracy will suffer. Certainly, fighting money politics will be a short, medium and long term challenge for Indonesia’s democracy.
This is why in our democratic development it is extremely critical to build lasting institutions. In the past 10 years, this is precisely what we have done. Our periodic elections ensure political accountability and peaceful changeovers. The office of the President is no longer the all-powerful dominant executive that it once was. The military and police no longer intervene in politics. The Parliament is vibrant and completely independent, and so is the judiciary. The constitutional relations among them are clearly defined. And the rule of law reigns supreme in our land.
All this is important because leaders may come and go, but the system must remain and democracy must go on. One of the reasons our democracy has held up is that it is completely homegrown. Yes, our democracy came out of a political crisis that was triggered by the 1997 financial crisis, which originated from outside our borders. But the desire to get rid of corruption, collusion and nepotism came wholly from within.
Thus, if we in Indonesia have made the right turns in history, it is only because that power of judgment rests at the hands of the good people who exercise it with great caution. That is why the most terrible thing to waste in a democracy is the mandate from the people, and the most precious asset to keep is the public trust.
Indeed, I see democratic development as a constant process of expanding opportunities and empowerment of the people. It is a process to promote gender equality and bring more women into politics. It is a process to reach out to those that are still marginalized. It is a process to prevent a tyranny of the majority, and build a national consensus on the future direction of a country. It is a democracy where every citizen can become a stake-holder.
We in Indonesia have shown, by example, that Islam, democracy and modernity can grow together. We are a living example that there is no conflict between a Muslim’s spiritual obligation to Allah SWT, his civic responsibility as a citizen in a pluralist society and his capacity to succeed in the modern world.
This brand of moderation, openness and tolerance in Indonesia and in other societies around the world is the seed of a 21st century world order marked by harmony among civilizations.
It is a sad fact that humanity has never had the good fortune to enjoy a century without conflict or contest between civilizations and cultures. But the 21st century can be different. It need not be a century of clash of civilizations. It can be a century marked by the emergence of global conscience across cultures and civilizations, working together to advance common cause of peace and progress.
Finally, it is time for us to build on this solidarity across cultures to promote a confluence of civilizations and make the 21st century the best century in the history of mankind.

* * *



Tuesday, June 19, 2012

W.S Rendra - MASKUMAMBANG

MASKUMAMBANG

W.S Rendra

Kabut fajar menyusup dengan perlahan
bunga Bintaro berguguran di halaman perpustakaan
di tepi kolam, di dekat rumpun keladi
aku duduk diatas batu melelehkan airmata

Cucu-cucuku
zaman macam apa,
peradaban macam apa
yang akan kami wariskan kepada kalian.

Jiwaku menyanyikan lagu maskumambang
kami adalah angkatan pongah
besar pasak dari tiang.

kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan

Cucu-cucuku
negara terlanda gelombang zaman edan
cita-cita kebajikan terhempas batu
lesu dipangku batu
tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa
biarpun tercampak diselokan zaman

Bangsa kita kini
seperti dadu terperangkap dalam kaleng hutang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adi kuasa
tanpa kita bisa melawannya
semuanya terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan
Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum
juga mencontoh tatanan penjajahan
menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan
Yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik

o comberan peradaban,
o martabat bangsa yang kini compang-camping
negara gaduh, bangsa rapuh
Kekuasaan kekerasan meraja lela
Pasar dibakar, kampung dibakar,
gubuk-gubuk gelandangan dibongkar
tanpa ada gantinya
semua atas nama tahayul pembangunan.

restoran dibakar, toko dibakar, gereja dibakar,
atas nama semangat agama yang berkobar
Apabila agama menjadi lencana politik
maka erosi agama pasti terjadi
karena politik tidak punya kepala,
tidak punya telinga, tidak punya hati,
politik hanya mengenal kalah dan menang
kawan dan lawan,
peradaban yang dangkal

Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik
tidak boleh menjamah kemerdekaan iman dan akal
didalam daulat manusia
namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat
dan daulat hukum akal sehat

Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon dinding
udara yang ramah menyapa tubuhku
menyebarkan bau bawang yang digoreng di dapur
berdengung sepasang kumbang yang bersenggama
http://www.youtube.com/watch?v=IzHGW7WwQIc&feature=related









Di Hari Minggu Menonton TIGA FILM BERMUTU


Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 19 Juni 2012
----------------------------

Di Hari Minggu Menonton TIGA FILM BERMUTU
(Di Gedung Sekolah SCHAKEL, Diemen , 17 Juni 2012)

Sudah jauh-jauh hari Perhimpunan Persaudaraan Indonesia, melalui Sekretarisnya, Suranto, mengumumkan di media inernet ini, undangan untuk bersama-sama menonton 3 film Indonesia. Ini kegiatan yang reguler yang diselenggarakan oleh “Persaudaraan” (singkatan dari Perhimpunan Persaudaraan Indonesia. Tidak pernah disingkat jadi “PPI”. Supaya jangan kisruh dengan nama organisasi mahasiswa Indonesia di luarnegeri).

Begitulah. . . . .Persaudaraan mengundang masyarakat Indonesia di Belanda, juga jika ada yang kebetulan dari negeri Eropah lainnya sedang berkunjung ke Holland, baik yang anggota Persaudaraan maupun yang non-anggota untuk datang pada hari Minggu y.l, tanggal 17 Juni 2012, bersama-sama menikmati film-film Indonesia. Ketika itu hadir sekitar 70-an sahabat dan kenalan.

Hadir juga sahabat kita peniliti Indonsia, Max Lane dan Faiza yang kebetulan sedang di Belanda mengadakan kegiatan penelitian . Wartawan senior Belanda Hans Beynon, juga memerlukan datang. Hans Beynon datang terutama untuk melihat film dokumenter JOESOEF ISAK, sahabat kentalnya sejak dulu.

Usaha fihak Persaudaran ini baik sekali. Karena jarang masyarakat Indonesia di luarnegeri bisa menonton film-film Indonesia. Yang dimaksudkan di sini bukan sekadar sebagai kegiatan 'entertainment', bukan sekadar bersantai-bersantai nonton film. Dimaksudkan ialah untuk bisa menikmati film-film Indonesia yang bermutu, yang kritis. Yang berlatar belakang kejadian sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat Indonesia di zaman krisis ini; dan yang berisikan pesan pendidikan bangsa.

* * *

Film-film yang dipertunjukkan hari itu ada tiga: 1) Film dokumenter tentang JOESOEF ISAK; 2) Film cerita TANDA TANYA, karya Hanung Bramantyo; dan 3) Film cerita ALANGKAH LUCUNYA (Negeri ini); karya Deddy Mizwar.

Pada pengantar film cerita TANDA TANYA, dinyatakan demikian: Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku, kepercayaan dan agama. Perbedaan tsb dapat memperkaya wawasan dan keragaman budaya. Tapi dapat juga menjadi potensi perpecahan. Untuk memperkaya wawasan dan keragaman budaya, diperlukan TOLERANSI untuk dapat menerima perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar kita.

Yang penting adalah bahwa produser dan regisur film, berusaha untuk menyampaikan pesan penting, bahwa negeri dan bangsa ini MEMERLUKAN SEMANGAT TOLERANSI.

Film terakhir yang dipertunjukkan berjudul ALANGKAH LUCUNYA (Negeri ini), mengisahkan seorang muda lulusan S1, yang masih nganggur. Nasib mengantarkannya pada sekelompok tukang copet anak-anak tanggung. Muluk, sarjana hukum yang masih menganggur itu tergerak untuk 'turba' ke kelompok pencopet kanak-kanak ini, hidup bersama dan mengubah mereka menjadi manusia yang bisa hidup atas kerjanya sendiri. Meninggalkan “profesi” mereka sebagai tukang copet!
Muluk berhasil . . . . tapi aparat kekuasaan negara menjebloskan Muluk dalam penjara dan melakukan pengejaran terhadap para mantan pencopet, yang sudah menempuh hidup baru berjualan di jalan-jalan dimana mobil-mbil berhenti sebentar dimuka lampu merah, atau karena kemacetan lalu lintas. Begitulah kiranya situasi negeri kita. Yang berwewenang tidak berbuat apa-apa untuk mnengatasi pengangguran di kalangan sarjana muda yang baru tamat, Suatu upaya sang penganggur sarjana muda Muluk untuk bergerak berprakarsa mengubah nasib pencopet muda menjadi manusia-manusia yang bisa hidup dari karyanya sendiri, namun, dijawab dengan penahanan dan pengejaran oleh aparat kekuasaan. Dua kesimpulan yang bisa ditarik: Pertama di kalangan muda masih tetap ada inisiatif untuk mengubah nasib buruk. Kedua, di kalangan yang berwewenang, bukan saja menyambut inisiatif ini, sebaliknya, malah menindasnya.

* * *

Dua sahabat asing yang ikut menonton film-film segera kutanyakan kesan mereka. Peniliti Indonesia Max Lane, Faiza dan wartawan senior Hans Beynon, menyatakan bahwa film-film tsb BAGUS!
Mereka gembira bisa melihat film Indonesia yang bermutu di negeri Belanda yang begitu jauh
dari Indonesia. Kami-kami orang Indonesia juga merasa puas dan merasakan manfaatnya memenuhi undangan Persaudaraan nonton film Indonesia bermutu.

Kepada Pengurus Persaudaraan, Sungkono, Taufik Tahrawi, Chalik Hamid dan Suranto, kunyatakan banyak-banyak terimakasih atas undangan mereka. Tak lupa menyampaikan betapa lezatnya hidangan kueh-kueh dan masakan lontong Indonesia, yang bisa diperoleh dengan imbalan harga yang amat murah itu.

Hadirin meninggalkan gedung Schakel, dimana pertunjukkan film-film tsb diadakan dengan rasa puas dan mengharapkan kegiatan budaya seperti hari itu, bisa diadakan lagi di waktu mendatang.

* * *




Penyelidikan Baru Sekitar Tindakan MILITER BELANDA Di INDONESIA (1945-1949)


Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 19 Juni 2012
----------------------

Tiga Lembaga Penelitian Minta Pemerintah Belanda Adakan Penyelidikan Baru Sekitar Tindakan MILITER BELANDA Di INDONESIA (1945-1949)

* * *

Kiranya perlu fihak Indonesia menyambut perkembangan positif di kalangan cerndekiawan Belanda, khususnya yang bersangkutan dengan perhatian meraka pada kasus tindakan militer Belanda di Indonesia, sekitar periode 1945-1949. Periode itu terutama berlangsung ketika Belanda melancarkan dua kali agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia. Tiga lembaga penelitian itu menganggap penting disamping melakukan kerjasama dengan arsip dan lembaga Belanda, juga dengan yang bersangkutan di fihak Indonesia. Kongkritnya para cendekiawan sejarah dan militer Belanda menawarkan kerjasama dengan cendekiawan Indonesia dalam usaha penelitian tsb.

Sejarwan Indonesia Bambang Purwanto, menurut de Volkskrant, menyatakan bahwa inisiatif fihak Belanda itu adalah suatu “ide yang baik sekali”. Karena di Indonesia dilakukan usaha yang keras
untuk suatu karya-standar mengenai sejarahnya sendiri.

Historikus terkenal Belanda, Cees Fraseur, menyatakan kegembiraannya dengan munculnya prakarsa dari tiga lembaga penelitian Belanda tsb. Saya berharap hal ini ditangani sebaiknya, demikian Fraseur.

* * *

Di lain fihak, juga terdapat suara-suara yang pesimis. Mereka-mereka itu meragukan bahwa usaha penelitian demikian itu akan mencapai hasil yang diharapkan. Ini, katanya, karena yang bersangkutan sudah banyak yang tiada. Argumentasi yang diajukan oleh yang berpandangan pesimis terhadap usaha penelitian tsb tidak beralasan samasekali. Karena pengalaman penelitian sejarah selama ini yang bersangkutan dengan masalah sejarah, justru banyak terungkap SETELAH yang bersangkutan, yaitu yang terlibat TIDAK ADA LAGI. Sebab, tidak jarang, bahwa justru yang telibat itu, peranannya sedikit banyak menghambat ditemukannya fakta-fakta keras dan diambilnya kesimpulan yang sesuai.

Dilain fihak, masih adanya yang langsung terlibat, juga bisa memainkan peranan possitif untuk tercapainya kejelasan dan berhasilnyha penulisan sejarah yang sesuai, yang obyektif.

* * *

Para peneliti di NIOD (Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer) dan lembaga KITLV menyatakan bahwa, kasus perang di Hindia-Belanda terus saja muncul lagi, dan kapan berakhirnya masalah ini masih belum jelas.

S.k. De Volkskrant, hari ini, menulis bahwa pada akhir tahun lalu, hampir 70 tahun dihitung dari terjadinya peristiwa itu, Belanda menyatakan minta maaf dan bersedia membayar ganti rugi untuk pertumpahan darah di desa Rawagede. Beberapa minggu yang lalu, diajukan tuntutan ganti rugi untuk pelanggaran-hukum perang di Sulawesi Selatan.

Dinyatkan bahwa diperlukan penelitian baru untuk bisa memahami peperangn yang macam apa yang berlangsung di situ. Mengapa dan bagaimana peperangan dilangsungkan di sana. Bagaimana kekejaman itu berlansung dari dua belah fihak. Juga diperlukan fakta-fakta keras dan jawaban atas pertanyaan siapa yang bertanggung-jawab. Diharapkan (kali ini) kita bias menanganinya sampai tuntas.

Para ilmuwan Belanda yang berinisiatf itu, ingin terlibat langsung dalam penelitian tsb. Menurut perkiraan mereka dengan enam orang peneliti berpengalaman diperlukan waktu tiga tahun.
Dengan biaya sekitar 2 – 3 juta Euro.

* * *

Diluar insiatif dan usaha tiga lembaga penelitian Belanda tsb secara individuil tidak sedikit sejarawan Belanda yang dengan tekun dan teliti melakukan riset sekitar sejarah hubungan Indonesia-Belanda, dan telah menghasilkan karya-karya besar seperti buku sejarawan Belanda Herman Burgers.

Buku Herman Burgurs, DE GARUDA EN DE OOIEVAAR, setebal lebih dari 800 halaman mengenai sejarah hubungan Belanda-Indonesia akan terbit edisi Indonesinya tahun depan.
Adanya usaha dan uluran tangan untuk kerjasama dari para cendekiawan/sejarawan lembaga penelitisan Belanda, --- perlu sekali disambut baik oleh fihak Indonesia dan direalisasikan bersama.

Sejajar dengan itu kita amat menyambut usaha dan kegiatan para sarjana sejarah Belanda dan Indonesia yang secara pribadi melakukan kegiatan penelitian dan penulisan sejarah hubungan Indonesia-Belanda.

* * *