Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 18 Juni 2012
---------------------------------------------
QUO VADIS JAKOB
OETAMA???
QUO VADIS
KOMPAS-GRAMEDIA??
Kebebasan
Menyatakan Pendapat, salah satu hak demokratis dari
hak-hak demokratis berorganisasi, mendirikan parpol, berdemonstrasi
dan hak mogok kaum pekerja; diberlakukannya pemilihan umum dan adanya
lembaga dewan perwakilan rakyat yang menentukan pemerintah yang
bagaimana yang berhak untuk memerintah; --- Semua itu menjadi
tuntutan perjuangan, aksi massa ratusan ribu untuk Demokratisasi dan
Raformasi negeri kita, hingga tercapainya tuntutan utama ketika itu,
TURUN PANGGUNGNYA REZIM OTORITER ANTI-DEMOKRATRIS ORDE BARU.
*
* *
Periode
pasca Presiden Suharto, menyaksikan masih berlangsungnya dengan
sengit perjuangan antara otoriterisme Orba, kesewenang-wenangan
kekuasaan rezim-militeristik yang otoriter dengan kekuatan demokrasi
dan reformasi negeri ini.
Keswenang-wenangan
membakar gereja maupun mesjid, aksi teror dan pelarangan terhadap
salah satu aliran kepercayaan, pelarangan terhadap didirikannya rumah
ibadah kepercayaan tertentu, “sweeping” yang dilakukan oleh
sementara golongan terhadap toko-toko buku, semua itu menunjukkan
bahwa perjuangan untuk HAK-HAK DEMOKRATIS, pada periode
pasca-Suharto, masih jauh dari selesai. Perjuangan dan aksi serta
kontra aksi masih dan akan berlangsung terus.
SURAT
TERBUKA tertuju pada JAKOB UTAMA, oleh Firdaus C, yang bisa dibaca
di mailist Gelora45, 18 Juni 2012, adalah salah satu pencerminan dari
masih berlangsungnya dengan sengit perjuangan antara demokrasi dan
kontra-demokrasi.
*
* *
Kompas
Gramedia, sebuah perusahaan penerbitan dan
percetakan yang tampil dengan semboyan
TIDAK
ADA KEBANGGAAN YANG LEBIH BESAR DI SAAT KITA BISA IKUT ANDIL DALAM
MENCERDASKAN BANGSA, dan Jakob Utama sebagai pendiri dan
penanggung-jawab, oleh Firdaus C, dimintai pertanggngan jawabnya.
Mengapa?
Karena, mereka melakukan aksi pembakaran buku “5 Kota Paling
Berpengaruh di Dunia” di halaman Bentara Budaya Jakarta yang
dilakukan PT Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Soalnya
jelas, sebuah penerbit yang tampil pada waktu pendiriannya di tahun
2010, dengan semboyan “Tidak ada kebanggaan yang lebih besar di
saat kita bisa ikut amdil dalam mencerdaskan bangsa”, JUSTRU
melakukan tindakan yang bertentangan dengan semboyan yang
dipropagandakannya itu. Itulah sebabnya Jakob Utama sebagai pendiri
dan penanggungjawab DIMINTAI PERTANGGUNGAN JAWABNYA.
Pertanyaan
yang tak tersurat tapi tersirat dalam surat terbuka C. Firdaus,
ialah: Apakah rituil pembakran salah satu buku yang ia terbitkan
sendiri itu, di bawah semboyan IKUT ANDIL DALAM MENCERDASKAN
BANGSA, itu, sesuai dengan klaim demokratis yang dipamerkannya itu?
Lebih
tandas lagi`Apakah rituil pembakaran buku itu, yang merupakan
praktek “biasa” di bawah rezim Orba, atau di bawah rezim fasis
di negeri fasis lainnya seperti di Jerman-Hitler, apakah aksi itu,
AKAN MENCERDASKAN BANGSA??
Maka
penulis artikel ini mengajukan pertanyaan:
QUO
VADIS JAKOB OETAMA???
QUO
VADIS KOMPAS-GRAMEDIA??
*
* *
Melihat
arti penting dan gawat masalah yang dikemukakan dalam surat terbuka
tsb, maka di bawah ini dimuat selengkapnya SURAT TERBUKA Firdaus C
kepada Jakob Oetama.
*
* *
SURAT TERBUKA untuk
JAKOB OETAMA
Gelora45, 18 Juni 2012
http://pejalanjauh.net/2012/06/surat-terbuka-untuk-jakob-oetama/
Sdr. Jakob Oetama,
Saudara sering berbicara
tentang pentingnya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu juga
dengan jelas dan gagah terpampang di situs resmi perusahaan yang
saudara dirikan, Kompas Gramedia. Jika saudara lupa atau mungkin
tidak sempat membacanya, saya tampilkan ulang di sini bagaimana
perusahaan yang saudara dirikan mendeskripsikan dirinya sendiri:
TIDAK ADA KEBANGGAAN YANG
LEBIH BESAR DI SAAT KITA BISA IKUT ANDIL DALAM MENCERDASKAN BANGSA
Terimakasih untuk telah
mendirikan Gramedia. Sedikit atau banyak, saya ikut tercerahkan
dengan buku-buku yang diterbitkan atau dijual oleh perusahaan yang
saudara dirikan. Tapi saya tidak mungkin berterimakasih untuk aksi
pembakaran buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” di halaman
Bentara Budaya Jakarta yang dilakukan PT Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.
Betul, bukan, itu salah
satu anak perusahaan yang saudara dirikan?
Tapi lihatlah bagaimana
buku-buku dibakar dan dibumihanguskan, bukan oleh Hitler atau rezim
fasis yang sudah tercatat dalam sejarah, bukan oleh Kejaksaan Agung,
bukan oleh Polisi, bukan oleh preman-preman yang jualan otot dan
hiruk-pikuk suara, tapi oleh PT Gramedia Pustaka Utama sendiri, dan
pembumihangusan buku itu juga dilakukan di halaman Bentara Budaya
Kompas. Apa yang saudara rasakan saat melihat foto di bawah ini?
Saya sengaja menghitamkan
wajah yang ada di dalam foto-foto itu, baik mereka direktur atau
wartawan atau ulama, baik yang mengenakan kemeja, baju batik,
menggunakan ID Card wartawan, yang mengenakan kopiah, yang memegang
payung atau yang sedang dipayungi. Bagi saya, wajah-wajah yang hadir
di sana itu sama saja: semuanya mewakili wajah kebudayaan yang makin
lama makin suram oleh ketidakmampuan menyikapi perbedaan dan (ini
yang terpenting) bersikap afirmatif terhadap tekanan dan kekerasan
yang mengatasi dan melampaui hukum.
Kompas (itu surat kabar
yang saudara dirikan, bukan?) pada 16 Oktober 2010 pernah menulis
tajuk rencana yang brilian mengenai dunia buku. Saat itu, sebagaimana
dikomiplasikan oleh akun @radiobuku, Kompas menyikapi putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan kewenang Kejaksaan Agung
untuk melarang peredaran sebuah buku. Kompas menulis editorial:
“Kewenangan melarang
buku dalam sejarah lebih banyak tersebab politik ketimbang
kepentingan edukatif. Atas nama politik buku gampang dilarang terbit.
Atas nama politik, buku dengan sewenang-wenang dirampas dan dibakar.
…Kita ucapkan selamat datang kebebasan berekspresi. Ini pekerjaan
rumah kita bersama untuk merawatnya.”
Amanat MK jelas: sebuah
buku dinyatakan bersalah atau tidak harus ditentukan oleh pengadilan.
Pelarangan buku masih bisa dilakukan, tapi hukum memberikan
perlindungan agar pelarangan itu tidak lagi dilakukan dengan
sewenang-wenang dan semau-maunya. Buku harus dibawa ke pengadilan,
diteliti, ditelaah dan diperdebatkan secara terbuka.
Sayang sekali Gramedia
Pustaka Utama, sebuah penerbit raksasa di Indonesia, tidak
memanfaatkan itu untuk menjadi contoh bagaimana menyikapi sebuah buku
dengan cara yang konstitusional. Asal saudara tahu, putusan MK itu
lahir setelah sekumpulan anak muda tanpa kocek tebal, dengan biaya
sendiri, mengajukan judicial review terhadap kewewenangan Kejaksaan
Agung untuk melarang peredaran sebuah buku secara sepihak.
Mestinya Gramedia yang
mengambil inisiatif melakukan judicial review, karena semua penerbit
sesungguhnya berkepentingan dengan beleid karet bergaya kolonial itu.
Tapi bahkan ketika judicial review itu sudah dilakukan dan berbuah,
putusan MK itu pun tidak digunakan sama sekali.
Benar bahwa buku itu
diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Benar bahwa itu duit dari
Gramedia Pustaka Utama. Benar bahwa Gramedia berhak menarik dari
peredaran buku yang diterbitkannya sendiri.
Tapi lain soal ketika
penarikan buku itu berdasarkan tekanan ormas. Lain soal pula ketika
penarikan itu juga ditindaklanjuti dengan pembakaran buku.
Lain soal juga ketika
pembakaran itu dilakukan di halaman Bentara Budaya Jakarta.
Tidak cukupkah penarikan
buku itu dari peredaran? Atau, jika ingin sedikit tega, bukankah bisa
didaur-ulang menjadi bubur kertas kembali demi menghormati
pengorbanan sekian pohon yang harus ditebang demi pencetakan buku
tersebut? Lalu kenapa sampai pembakaran itu harus dipertontonkan di
muka umum? Perayaan apa yang hendak dipertontonkan?
Saya menghormati, kita
harus menghormati siapa pun yang tersinggung dengan isi buku
tersebut. Tapi bayangkanlah apa jadinya jika tiap kali seseorang
tersinggung dengan sebuah buku lantas tiap penerbit akan membakar
buku yang diterbitkannya. Agar tidak terjadi seperti itu, makanya
Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review yang mempreteli
kewenangan Kejaksaan Agung sembari menyerukan agar setiap buku yang
bermasalah sebaiknya dibawa pengadilan untuk didiskusikan, ditelaah
dan diperdebatkan.
Saudara perlu
mempertimbangkan kembali apa efek dari tindakan yang dilakukan
Gramedia Pustaka Utama ini pada penerbit-penerbit lain yang jauh
lebih kecil, penerbit yang berkantong pas-pasan, penerbit yang tak
punya saudara kandung sebesar dan sepenting koran Kompas.
Penarikan buku masih bisa
dipahami, tapi pembakaran buku yang dipertontonkan di muka umum oleh
Gramedia Pustaka Utama adalah afirmasi sempurna atas sikap intoleran
yang makin menggejala belakangan ini. Bagi saya, pembakaran buku
di halaman Bentara Budaya, dengan disaksikan belasan orang dari
berbagai kalangan, adalah sebuah orgy yang merayakan syahwat
nekrofilia kebudayaan.
Kembali saya perlu
mengingatkan kalimat yang tertera dalam tajuk rencana Kompas itu:
“Kita ucapkan selamat datang kebebasan berekspresi. Ini pekerjaan
rumah kita bersama untuk merawatnya.”
Semoga pekerjaan merawat
kebebasan berekspresi ini masih dianggap sebagai pekerjaan rumah
bersama kita, saya, teman-teman saya, saudara dan semua
perusahaan-perusahaan yang saudara dirikan. Jika pun harus kalah
dalam perjuangan merawat kebebasan berekspresi itu, biarlah kekalahan
itu terjadi tidak dengan mudah dan setelah melalui perlawanan
sebisanya. Sehingga dalam pahitnya kekalahan itu seseorang masih bisa
berkata: “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya,
sehormat-hormatnya.”
Jika memang upaya merawat
kebebasan berekspresi itu tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan rumah
Gramedia Pustaka Utama, biarlah kami masyarakat sipil ini yang akan
merawatnya, dengan sebisanya, dengan semampu-mampunya — sebagaimana
dulu kawan-kawan kami juga yang dengan inisiatif sendiri melakukan
judicial review tanpa bantuan orang-orang kaya yang dibesarkan oleh
bisnis perbukuan.
(NB: Huruf cetak tebal
pada teks di atas adalah dari Kolumnis I.I.)
——————————–
post-script: foto milik
detik.com, maaf jika saya sedikit mengubahnya.
Firdaus C.
Koran-digital
Sent from BlackBerry® on
3
No comments:
Post a Comment