Sunday, May 29, 2011

Jangan Sampai Kejangkitan 'ANOMALI SELEKTIF MEMORI' !

Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 29 Mei 2011
------------------------------


MEMPERINGATI SETENGAH ABAD “AMNESTY INTERSIONAL” < Bagian 2 >


Kemarin, 28 Mei 2011, bertepatan dengan Setengah Abad Berdirinya “Amnesty International”, telah disiarkan (ulang) sebuah seruan kepada AMNESTY INTERNTIONAL untuk TIDAK MELUPAKAN KORBAN PERISTIWA PEMBUNUHAN MASAL 1965. Seruan tsb ditulis dan disiarkan dalam bahasa Inggris. Dialamatkan keada “AMNESTY INTERNATIONAL”. Baik yang di Belanda maupun untuk pusat gerakan dan organisasi AI di London.


Di bawah ini, masih dalam rangka LIMAPULUH TAHUN BERDIRINYA “AMNESTY INTERNATIONAL”, disiarkan (ulang) sebuah tulisan tertanggal 18 Mei 2009.


Pada akhir surat saya kepada AI Nederland, saya minta: Agar ketua sidang Rapat Umum Tahunan Amnesty International, 20 Juni 2009, dan Ketua Amnesty International Nederland, memberikan perhatian pada masalah-masalahseperti yang dibeberkan diatas, paling tidak ------ di dalam pidato pembukaan mereka.


* * *


Sayang, permintaan sederhanal tsb diatas agar menyebut kasus Peristiwa 1965, sebagai pelanggaran HAM yang masih belum ditangani di Indonesia, TELAH DITOLAK. Ketua AI Nederland, maupun ketua sidang, berkeberatan menyebut khusus kasus PERISTIWA 1965 dalam pidato pembukaannya.


* * *


Di bawah ini imbauan kepada Amnesty International, DUA TAHUN YANG LALU.


Sebuah CANANG Bagi AMNESTY INTERNATIONAL;
Jangan Sampai Kejangkitan 'ANOMALI SELEKTIF MEMORI' ! <
Kolom IBRAHIM ISA 18 Mei 2009>


Dalam kehidupan politik, lebih-lebih dalam situasi pergolakan atau perubahan
besar, anomali yang amat merugikan kepentingan rakyat banyak, ialah anomali
'selektif memori'. Yang dimaksudkan di sini ialah budaya melupakan yang tidak
hendak diingat lagi. Yang menyangkut hal-hal atau kejadian yang oleh yang
bersangkutan, lebih suka dilupakan saja. Let bygones be bygones. Bila yang kena
'anomali' itu, adalah kaum politisi, sejarawan atau pengamat politik, kerugian
yang ditimbulkan menjadi lebih luas dan lebih gawat.

Semakin merugikan, bila 'anomali' itu menjangkiti suatu organisasi masyarakat
yang mengaku didirikannya demi kepentingan pemberlakuan hak-hak azasi manusia.
Demi kebenaran dan keadilan.

Surat terbuka yang dikirimkan kepada Amnesty International, berkenaan dengan
akan diadakannya Rapat Umum Tahunan 2009 Amnesty International afdeling
Nederland, bertujuan agar organisasi kemanusiaan seperti Amnesty International,
jangan sampai kejangkitan 'ANOMALI SELEKTIF MEMORI'.

Tegasnya surat ini bertujuan agar Amnesty International tidak melupakan apa yang
terjadi pada tahun-tahun 1965, '66, '67 di Indonesia, ketika berlangsung
pembunuhan masal atas hampir 3 juta orang-orang tak bersalah, oleh kelompok
militer Jendral Suharto.

Lengkapnnya isi surat tsb, yang ditulis dalam bahasa Belanda serta terjemahannya
dalam bahasa Indonesia, adalah sbb:

SEBUAH USUL kepada AMNESTY INTERNATIONAL
IBRAHIM ISA, --Anggota AI Nederland, No 8351805

Kepada Yth.
Ketua Amnesty International Afd. Nederland
Pengurus Amnesty International Afd. Nederland
Ny. Sandra Lutchman,

Ketua Sidang Rapat Umum 2009 AI NederlanD
Para anggota Pengurus Yth.,
Ny. Ketua,
Para Anggota AI Nederland

Hari Sabtu, 20 Juni 2009, yang akan datang, akan berlangsung Rapat Umum Tahunan
Amnesty International, di de Flint Amersfoort. Sebagai anggota Amnesty
Internaional Nederland, saya sudah mendapat undangan dan bahan-bahan untuk Rapat
Umum Tahunan tsb.

Seyogianya kita bersikap jujur. Konferensi satu hari dengan demikian banyak
anggota dan dengan topik HAK-HAK AZASI MANUSIA, pasti tidak cukup.

Inilah sebab utama mengapa saya menulis surat terbuka ini kepada Ketua dan semua
Anggota Pengurus Amnesty International Nederland dan kepada ketua sidang Rapat
Anggota Tahunan 2009, Ny. Sandra Lutchman.

Amnesty International memperjuangkan satu dunia dimana semua orang menikmati
semua hak sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Umum Hak-Hak Azasi Manusia dan
di semua dokumen international lainnya. Selanjutnya Amnesty International
melakukan penelitian dan melancarkan aksi tertuju pada melawan dan menghentikan
pelanggaran serius atas semua hak-hak tsb.

Sejak bertahun-tahun lamanya, sahabat-sahabat saya di Indonesia yang
berkepedulian dan aktif dalam kegiatan untuk diberlakukannya hak-hak manusia di
Indonesia, dan saya pribadi, telah melakukan imbauan kepada UNHCHR (United
Nations High Commisiion for Human Rights), dan kepada Kofi Annan, mantan Sekjen
PBB, agar memberikan perhatian lebih besar pada para korban pelanggaran hak-hak
manusia secara besar-besaran, di sepanjang waktu di Indonesia, pada saat
terjadinya pembunuhan masal pada tahun-tahun 1965-66-67. Sampai pada saat ini
para pemimpin dan orang-orang dari rezim yang bertanggungjawab untuk pembunuhan
masal 1965, masih bebas.

Saya tidak minta agar Amnesty International membuat resolusi atau suatu 'seruan'
kepada pemerintah Indonesia agar memberlakukan hak-hak azasi manusia di
Indonesia. Tetapi suatu penelitian dan studi yang serius sekitar para korban
genoside 1965, sangat diharapkan.

Selanjutnya, saya minta perhatian terhadap nasib sekitar 20 juta eks-TAPOL dan
keluarga mereka di INDONESIA – korban genoside 1965-'66-'67. Mereka secara
sewenang-wenang dituduh bersalah terlibat dengan apa yang dikatakan kudeta G30S.
Sejak itu hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak politik mereka dicabut dan sampai
hari ini tidak dipulihkan. Mereka selanjutnya didiskriminasi dan distigmatisasi
untuk seumur hidup.

Apa yang kami, para aktivis hak-hak manusia di Indonesia, minta, adalah:

Agar ketua sidang Rapat Umum Tahunan Amnesty International, 20 Juni 2009, dan
Ketua Amnesty International Nederland, memberikan perhatian pada masalah-masalah
seperti yang dibeberkan diatas, paling tidak ------ di dalam pidato pembukaan mereka.Banyak terima kasih atas perhatian Anda-Anda,
Ibrahim Isa

*) I.Isa adalah Publisis dan Sekretaris Stichting Wertheim, Amsterdam.

* * *



Saturday, May 28, 2011

COMEMMORATING THE FIFTIETH ANNIVERSARY OF "AMNESTY INTERNATIONAL"

Kolom IBRAHIM ISA
Saturday, May 28th, 2011
------------------------

COMEMMORATING THE FIFTIETH ANNIVERSARY OF "AMNESTY INTERNATIONAL"


To-day is an important day to be remembered BY ALL HUMANRIGHTS ACTIVISTS.
Fifty years ago, 0n May 28th, 1961, an important worldwide humanrights
movement, started, THE AMNESTY INTERNATIONAL.

To comemmorate the 50th anniversary of the founding of AMNESTY
INTERNATIONAL, an appeal to the AI, --- not to forget the victims of the 1965 genocide in Indonesia, -- is republished below:

* * *


Kolom* *IBRAHIM* *ISA*
---------------------------
Friday, 11 June 2010


-----------------------------------------------------------------
Open Letter to the Annual General Meeting of Members of *Amnesty*
*International* Holland
-----------------------------------------------------------------

*
AMNESTY INTERNATIONAL ! NEVER FORGET
THE 1965-66-67 MASS KILLINGS IN INDONESIA
*



Tomorrow, Saturday 12th, 2010, *Amnesty* *International*, Holland, will
convene its annual general meeting of members, in Vergadercentrum
Regards De Eenhoorn, Amersfoort. Human Rights activists all over the
country welcome and support the acitivities of *Amnesty* Interntional
Holland, in general. *Amnesty* *International* Holland, was and continue to
be one of the most active branch of *Amnesty* *International* worldwide.

Sinds its establishment *Amnesty* *International* Holland, take active part
in *international* campaigns for a world in which everyone enjoy all
rights as stipulated in the Universal Declaration of Human Rights and
other *international* human rights documents. Including activities for
Human Rights in Indonesia. This endeavours is realized through
investigation/research and by organizing activities directed against and
the ending of serious volations of the rights of physical and mental
inviolability, the right of freedom of consience and freedom of expression.

* * *

However, for some time *Amnesty* *International* seems to 'forget' the
sufferings and plight of victims of human rights violations, perpetrated
under the direction of the Indonesia military clique under General Suharto.

That is the reason for my open letter, February 18, 2006, addressed to
the *Amnesty* *International* in London, a.o
as folows:


*"To date, the *international* community has failed to address the massacre
of around 1 million law-abiding citizens of Indonesia, orchestrated by
General Suharto during his rise to power in 1965-1966.*

Whereas the victims of the Bali bombings of 2002, mostly
non-Indonesians, found some measure of justice within months, more than
four decades later the survivors of this massive crime against humanity
as yet pass unrecognised.

Two years ago, March 27, 2004, I wrote an open letter to the Secretary
General of the UNO, Mr Kofi Annan. Quoting his selfcriticism on the
occasion of the memorial conference at the UN, March 26, 2004,
comemmorating the tenth anniv. of the Rwanda Genocide, that "The
*International* Community is guilty of sins of omission" , I asked his
attention to the present situation of i m p u n i t y in Indonesia.
Sadly enough I did not receive even an answer to my letter.

Now, I would like to draw the attention of the Internatinal
Secretariat to the following:

In 1965-1966 , anyone alleged to have the most tenuous links to the
Communist Party of Indonesia was killed, at heir houses, in the streets,
or at mass grave sites, such as the Wonosobo site, exhumed in November
2000. Some were hit on the head and thrown vertical caves, as was done
at the Blitar site, uncovered in August 2002. Many of the over 200.000
political prisoners were tortured, worked or starved to death; those who
survived did so by enduring years, often decades, of the most inhuman
conditions.

Upon release they, like other alleged communists who survived the
killings and avoided the jails, were systematically discriminated
against and ostracised. The regulations introduced to deal with these
persons remain in force even today, despite the fall of the Suharto
regime, and include restrictions on the right to marry freely, work,
travel and practice religion. To this day, nobody accused of being
connected with communism is allowed to participate in elections or hold
certain public or professional positions in society, such as practicing
medicine, working in government departments or undertake military service.

But these systematic remnants of the massacre are by no means its most
malevolent legacy. Far more insidious is the violent opportunism and
mean vengeful spirit that persist to this day. This was seen in the last
days of the Suharto dictatorship, with the so-called
'May Riots' of 1998, during which the military encouraged civilians to
rape and kill
ethnic Chinese Indonesians, destroy or loot their property. An es
timated 1190 were killed in Jakarta and 168 women gang-raped. In
September 1999 the military again incited murder, this time by civilian
militias in East Timor, after a successful referendum for independence.
One to two thousands person were again killed.

In October 1999, the military engineered a religious war in the Maluku
islands, causing an estimated 6000 deaths and displacing 500.000 person.
In February 2001, an estimated 500 Madurese settlers were massacred in
Sampit, Central Kalimantan.
None of these crimes have been properly investigated, perpetrators
subjected to fair and independent trials, or victims conpensated.

I solemnly request the *International* Secretariat of the *Amnesty*
*International* to do something in order to put pressure to bear upon the
Indonesian authorities, so as to:

Conduct a full, idependent and official ivestigation into the massacre
of 1965-66

Ensure that major criminals are not given impunity and that the safety
of witnesses is assured through a protection programme,

Immediately remove all discriminatory regulations against alleged former
communists and communist sympathisers,

Protect the human rights defenders and activitists collecting evidence
and advocating on behalf of the 1965-1966 massacre, such as the PAKORBA,
LPKP, LPKROB, YPKP and the Forum of Coordinating Advocacy and
Rehabilitation Team.

* * *

While *Amnesty* *International* in London and in the Netherlands have
recently done no meaningful actions
to address the Human Rights situation in Indonesia, Indonesian Human
Rights activists were
encouraged by the stand take by *Amnesty* *International* USA, in its open
letter to President Barack Obama, on the eve of
Obama's state visit to Indonesia.

In the open letter, *Amnesty* *International* USA pointed out a.o :

"Mr. President, *Amnesty* *International* urges
you to take this opportunity to ensure that steps are taken to improve
human rights in Indonesia. While in Indonesia, we strongly urge you to
speak publicly and meet with human rights defenders and families of
victims, especially those civilians who were killed during the 1965
political turmoil. Thank you.


* * *

I am writing this open letter to the General Meeting of Members of
Amensty *International*
Holland, with the hope that the meeting will pay due attention to the
problems mentioned above.



Amsterdam, 11 June, 20101.
<*Ibrahim* *Isa* is Secetary of Stchting Wertheim in Amsterdam.


Sunday, May 22, 2011

Mengunjungi Ruth dan Marijke Wertheim

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Minggu, 22 Mei 2011
----------------------------------------

Mengunjungi Ruth dan Marijke Wertheim --
Pertama kali lihat buku ttg IBN KHALDUN

Hari Sabtu kemarin, Amsterdam dalam cuaca yang paling indah selama musim semi ini. Matahari memamerkan keindahannya. Tanpa ragu berbagi kehangatannya. Suasana santai dan tenang sore itu sungguh bikin hati jadi nyaman. Seolah-olah cuaca Bogor.

Berempat kami: -- Farida Ishaya, putrindanya Ina Rakhmat, Murti dan aku berkunjung ke rumah Anna Ruth Wertheim bersama suaminya Rudi Künzel. Sudah hadir di situ putri satunya lagi dari Pak Wertheim, Marijke. Anne Ruth dan Marijke adalah dua orang putri-putri mendiang Prof. Dr. W.F. Wertheim. Hidangan kuéh kelepon, emping-melinjo manis-pedes, wajik, témpé goréng dan kuéh-lapis 'menemani' kami bercengkerama di rumah Anne Ruth dan Rudi sore hari itu, di Linnaeusparkweg 79, Amsterdam. Rupanya Ruth khusus pesan hidangan itu dari Toko Ramé, karena hendak menyuguhi kami dengan penganan Indonesia. How nice!

* * *

TIGAPULUH SATU BUKU WARISAN PAK WERTHEIM
Untuk “WERTHEIM COLLECTION LIBRARY”

Saking asyiknya ngobrol mengenai seribu-satu macam ihwal, hampir lupa waktu. Mungkin juga karena hidangan yang lezat itu.

Satu hal yang kurasa penting sekali dari Anna Ruth dan Marijke ialah, bahwa putra-putri Pak Wertheim, menunjukkan sebuah daftar terdiri dari 31 buku warisan Prof. Dr Wertheim.

Yang penting ialah, bahwa mereka menyimpulkan untuk menyerahkan 31 buku warisan Pak Wertheim itu kepada “WERTHEIM COLLECTION LIBRARY” di Universitas Gajah Mada Jogyakarta. Dimaksudkan 31 buku warisan Pak Wertheim tsb dikirimkan secara berangsur ke Jogyakarta. Ruth dn Marijke cerita bahwa ratusan buku-buku dari bibliotheek mendiang Pak Wartheim sudah diserahkannya kepada ISSG, Internationaal Institute voor Sociaal Geschiedenis, Amsterdam. Semoga buku-buku warisan Prof Wertheim itu dimanfaatkan bersama dengan baik oleh IISG maupun oleh Wertheim Collection Library di Uni Gajahmada, Jogyakarta.

Beberapa waktu yang lalu, Anna Ruth Wertheim, suaminya Rudi Künzel, bersama putra-putrinya mengadakan kunjungan ke Wertheim Collection Library di Jogyakarta. Keluarga Wertheim itu disambut hangat sekali oleh para pengelola “Wertheim Collection”. Sempat pula mereka berkunjung ke rumah Ibu Sri, istri mendiang Prof. Sartono Kartodiredjo, di rumah beliau di Bulak Sumur F9, Yogyakarta 55281.

* * *

IBN KHALDUN AL-ALHADRAMI
Pada 'kumpulan' kami petang itu di rumah Ruth Wertheim, ada hal-hal baru yang menarik perhatianku pribadi. Kumaksudkan mengenai tokoh ilmuwan besar abad ke-14 “IBN KHALDUN”. Di Indonesia telah sejak 1961 berdiri Universitas IBU KHALDUN, di Jl Raya Kemang Km4, Jl Raya Kemang Km-4, Badak, Bogor. Tapi, rasanya belum banyak yang mengenal betul siapa tokoh besar ilmuwan Afrika Utara, Ibn Khaldun ini.

Rudi Künzel suami Anna Ruth Wertheim, yang historikus itu, bersama historikus dan Arabis, Maaike van Berkel , tahun 2008 menerbitkan sebuah buku berjudul “IBN KHALDUN EN ZIJN WERELD”. “Ibn Khaldun Dan Dunianya”. Buku “Ibu Khaldun Dan Dunianya”, adalah mengenai karya-karya Ibn Khaldun.

Ibn Khaldun, yang adalah sorang ilmuwan besar Afrika Utara itu, dan juga seorang pegawai tinggi, hidup dari 1332 s/d 1406. Ia menjadi masyhur di dunia karena karyanya “MUQADDIMA”. Menyangkut masalah sebab-musabab dan lahirnya serta tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan di dunia ini. Buku tsb mengemukakan saling hubungan antara pedesaan dan kota, dan mengenai masalah pemerintahan.

Dengan bukunya itu, Ibn Khaldun menjelaskan visinya mengenai dunia,dilihat dari sudut perpsektif sejarah, antropologi dan falsafah. Buku itu mengemukakan masalah bangsa Berber, kota-kota dan arsitektur,dll.

Ibn Khaldun dinilai tinggi sebagai ilmuwan. Bahkan sebagai ilmuwan ekonomi. Sampai ada yang menilai beliau sebagai BAPAK EKONOMI. Seperti yang dikemukakan oleh Wikipidia: alasannya: Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibn Khaldun merupakan salah seorang ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa intelektuil paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja bapak sosiologi, tetapi juga adalah bapak ilmu ekonomi. Karena banyak teori ekonominya, jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo.

Artinya, ia lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut. Muhammad Hilmi Murad secara khusus telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibn Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi : Ibnu Khaldun,(1962) Dalam tulisan tersebut Ibn Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikannya pada Simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.

Buku van Berkel dan Rudi, kedua-duanya dari Universitas Amsterdam, mempersembahkan tulisan-tulisan sumbangan seorang Maroko, seorang Amerika dan sembilan orang Belanda.

* * *

Ina Rakhmat, putrinya Farida Ishaya, sungguh beruntung. Rudi menghadiahkannya, sebagai kenang-kenangan, buku Van Berkel dan Rudi Kürzel, `IBN KHALDUN En ZIJN WERELD`, dan satu lagi ´DE MUQADDIMAH`. Aku juga minta salah satu buku itu kepada Rudi. Sayang, katanya , sudah tak ada lagi persediaan pada saya.

Wah, kataku kepada Ina >Rakhmat, sore ini Ina 'panén´ . Sambil senyum dipinjamkannya buku ´Ibn Khaldun En Zijn Wereld´ kepadaku. Oom boleh membacanya lebih dahulu, katanya.

Biasanya buku-buku baru kami baca bersama, Murti dan aku. Setiap hari.

Mudah-mudahan kami memperoleh inspirasi dari hal/
hal yang ditulis oleh ilmuwan besar dari dunia Timur: IBN KHALDUN.

* * *

Friday, May 20, 2011

'HARI KEBANGKITAN NASIONAL' Dan “KESADARAN BERBANGSA”

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 20 Mei 2011
----------------------------

'HARI KEBANGKITAN NASIONAL' Dan “KESADARAN BERBANGSA”

Memperingati “Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908”, dilakukan bangsa kita dengan pelbagai cara. Seyogianya dengan tujuan utama MENINGKATKAN KESADARAN BERBANGSA. Karena, untuk meneruskan perjuangan demi kebenaran dan keadilan, demi kemulyaan dan kejayaan bangsa dan negeri Indonesia, yang dalam tahun-tahun belakangan ini menghadapi tantangan yang semakin gawat, -- amat diperlukan pengetahuan dan pengenalan tentang sejarah dan identitas bangsa sendiri . Hanya dengan landasan itu baru mungkin bisa ditegakkan keyakinan serta optimisme tak tergoyahkan, yang amat diperlukan dalam perjuangan yang panjang ini.

Dengan membalik-balik kembali banyak catatan dan lebih banyak lagi buku mengenai sejarah bangsa ini, bisa diperoleh kejelasan bagaimana para pendahulu kita, berjuang membangun, menegakkan serta memperkokoh “NATION BUILDING” dan “Character Building”.

Dalam periode pasca 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa dilanjutkan demi menegakkan dan membela kedaulatan serta keutuhan wilayah negara Republik Indonesia --- dari Sabang sampai Merauké. Berjuang untuk merealisasi cita-cita dan tekad bangsa seperti yang tercantum dalam pidato Bung Karno, “LAHIRNYA PANCASILA, 1 Juni 1945”. Visi dan falsafah berbangsa itu semua telah dituangkan secara padat serta dipatrikan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Dalam pada itu berbagai kegiatan dan usaha keras terus dilakukan untuk menarik pelajaran dari pengalaman perjuangan selama ini.

* * *

Cara memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, seperti tsb diatas, sudah banyak dilakukan. Khususnya oleh generasi muda, para mahasiswa, cendekiawan dan para aktivis pelbagai organisasi massa dan LSM, media dll. Yang peduli nasib dan haridepan bangsa dan tanah air. Yang punya cita-cita mulya berjuang demi merealisasi tuntutan gerakan Reformasi. Suatu gerakan masa yang historis. Yang berhasil menggoyahkan serta menggulingkan rezim otoriter dan opresif Orde Baru, – – – Tetapi masih tersendat-sendat dalam memberlakukan secara konsisten tuntutn agenda Reformasi, teristimewa yang bersangkutan dengan pelaksanaan 'rule of law' dan HAM. Halmana menunjukkan masih besarnya pengaruh dan kekuatan riil Orde Baru yang formalnya sudah ditumbangkan sejak Gerakan Reformasi dan Demokratisasi Mei 1998.

* * *

Memperingati Hari Kebangkitan Nasional, kali ini, dimaksudkan menarik perhatian pembaca pada hal yang mungkin dilupakan. Tampaknya hal yang sudah seharusnya difahami dan dikhayati bersama. Yaitu mengenai peranan serta perjuangan pejuang-pejuang pendahulu dalam MEMBANGKITKAN bangsa dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Lebih kongkrit lagi dalam MEMBANGUN BANGSA. Agar dari keteladan beliau-beliau itu dikhayati bersama manfaatnya.

Benar! Sukarno-Hatta telah resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional. Ajaran-ajaran Bung Karno oleh pelbagai lembaga pendidfikan dan studi dan bahkan parpol, – dinyatakan sebagai ide-pembimbing kegiatan dan perjuangan. Namun dalam kehidupan politik serta tindakan sehari-hari, terkesan bahwa pernyataan-pernyataan serupa itu, tinggal di atas kertas saja. Ajaran Bung Karno mengenai 'nation building' dan 'character building' boleh dikatakan hampir terlupakan samasekali.

Setelah berhasil menggeser Presiden Sukarno dari kedudukannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintah RI, -- Jendral Suharto menjadi presiden RI melalui proses 'kudeta merangkak' <çreeping coup d'etat>. Rezim Orba yang dikepalainya mempergencar kampanye 'de-Sukarnosasi'. Lebih dari tigapuluh tahun lamanya rezim Orba terus menerus melakukan segala sesuatu untuk menghapuskan dari catatan sejarah bangsa, nama dan peranan Bung Karno dalam proses perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda yang beliau lakukan sambil bersamaan dengan itu membangun dasar ideologi dan politik bagi suatu NATION BUILDING. Pembangunan Bangsa Indonesia.

* * *

Untuk menyegarkan fikiran dan semangat, serta mengokohkan KESADARAN BERBANGSA, MENGKHAYATI IDENTITAS BANGSA, MENGKHAYATI PANJACASILA, PRINSIP BERBANGSA BHINNEKA TUNGGAL IKKA, kini sudah waktunya suatu gerakan belajar kembali AJARAN -AJARAN BUNG KARNO. Dewasa ini lebih dari cukup buku dan tulisan mengenai ajaran Bung KARNO. Teristimewa yang telah tersusun dengan baik dalam karya klasik Bung Karno: “Dibawah Bendera Revolusi” , Jilid I dan II. Serta pidato-pidato beliau. Khususnya setelah terjadinya Peristiwa G30S, yang dibukukan dalam dua jilid, “REVOLUS BELUM SELESAI”. Juga tak boleh kurang buku klasik dan otentik riwayat hidup Bung Karno, “AN AUTOBIOGRAPHY, As Told to Cindy Adam, 1965”.

* * *

Disamping itu, kiranya menarik, untuk membaca bahan ilustrasi mengeni pribadi Bung Karno. Betapa beliau berusaha mencegah terjadinya 'perang saudara' , dan kareanya tidak melakukan perlawanan frontal terhadap 'kudeta merangkak' Jendral Suharto. Serta betapa kekuasaan militer Jendral Suharto ketika itu dengan sewenang-wenang memperlakukan pejuang dan Bapak Nasion Bung Karno. Bunng Karno diperlakukan lebih dari seorang kriminil.
Disajikan di bawah ini sebuah artikel berjudul SEPOTONG SEJARAH. Artikel tsb disiarkan oleh Maria Hartiningsih, Sbb:

SEPOTONG SEJARAH PUTU SUGIANITRI
,
Oleh Maria Hartininsih
Apakah bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar?
Putu Sugianitri terdiam sejenak sebelum mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya.

Putu Sugianitri (60), yang saat ini lebih dikenal sebagai pembudidaya jeruk bali, adalah ajudan terakhir Bung Karno. Ia baru bertugas sekitar setahun ketika situasi politik di dalam negeri sangat kritis.
Nitri, panggilannya, dilantik sebagai polisi wanita (polwan) pada pagi 30 September 1965 di Sukabumi, setelah mengikuti pendidikan bintara setahun.
"Ada 31 siswa bintara waktu itu, lima dari Bali," ungkap Nitri, suatu siang ketika kami berbincang di bale bengong bambu di halaman rumahnya, di kawasan Renon, Denpasar, Bali.
Mungkin ia termasuk siswa paling muda kalau menilik usia sebenarnya. Ia mengaku "mencuri umur". Syarat usia menjadi siswa bintara 18 tahun, dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Nitri saat itu baru selesai SMP.
Pada acara ramah tamah malam hari setelah pelantikan, sedianya Kepala Polri datang, tetapi tak jadi karena ada sesuatu yang penting di Jakarta.
"Saya sudah pakai kostum tari," tutur Nitri.
Di antara siswa-siswa seangkatan, ia dikenal sebagai penari Bali yang andal.
"Tiba-tiba lampu mati. Acara batal. Saya tidak jadi menari. Kami kembali ke asrama."

Beberapa hari setelah itu, seorang polisi dari Detasemen Kawal Pribadi Presiden, dikomandani Ajun Komisaris Besar Mangil, menggantikan Tjakrabirawa, menjemputnya ke Jakarta untuk bergabung dengan enam polwan lain di Istana Negara.
Di istana juga ada ajudan lain, masing-masing dua dari Korps Wanita Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Semuanya berseragam. Nitri satu-satunya ajudan yang tak berseragam karena tugasnya lebih untuk mendampingi Bung Karno di istana, menyiapkan makanan, minuman, serta obat.
Pekerjaan Nitri dimulai pada pukul enam pagi untuk mencari kue-kue jajan pasar kesukaan Bung Karno.
 
"Beliau paling suka lemper ayam yang daging ayamnya diopor, disuwir-suwir, dan lempernya digulung dengan daun pisang hijau pupus.  Juga hunkue tak berwarna yang di dalamnya ada pisang kepok," tutur Nitri.
 
"Beliau suka sekali sayur lodeh bari, ini sayur lodeh yang sudah tiga hari."
Bung Karno, kata Nitri, mengenal kedisiplinan sekaligus watak keras Nitri.
Ia berani bertanya, bahkan membantah Bung Karno kalau perlu.
Tetapi, ia juga sangat setia.
 
Dia adalah satu dari sedikit orang yang menjadi saksi saat-saat terakhir Bung Karno sebagai presiden dan bagaimana kemudian keluarganya diperlakukan.

Berhenti.
Pengumuman Bung Karno diberhentikan sebagai presiden terjadi ketika Bung Karno berada di Bogor. "Beliau berada di Istana Bogor, Jumat, naik helikopter. Begitu ada pengumuman, Bung Karno kembali ke Jakarta, dengan baju biasa, naik VW Combi.”
 
Sukma (Sukmawati Soekarno) waktu itu tanya,
’Kok baju Bapak enggak dipakai.’
Bung Karno menjawab, ’Kan, sudah ada pengumuman Bapak bukan presiden lagi,’" Nitri mengucapkan kalimat itu dengan suara tercekat.

Bung Karno dan para ajudan sempat melihat-lihat situasi Jakarta dengan kendaraan itu. Ia berpakaian biasa, tanpa peci. Waktu itu sedang musim rambutan. Bung Karno ingin makan rambutan rapiah kesukaannya.
"Beliau bilang dalam bahasa Bali, ’Tri, sing ngelah pis, saya tak punya uang.’"
"Saya turun, membeli rambutan, lalu bilang ke pedagangnya, ’Tolong kasih ke orangtua di mobil itu.’
 
Bung Karno bertanya, ’Manis enggak?’ Suara khas itu membuat si pedagang tahu siapa yang ia hadapi."
Sebelum diusir dari istana, setiap pagi Bung Karno membaca semua koran yang terbit, yang semua mendiskreditkan namanya.
"Saya tanya, kok Bapak diam saja. Beliau menjawab, ’
Saya tidak mau terjadi perang saudara karena pro dan kontra.’
 
Beliau juga tidak sudi meminta suaka seperti dilakukan Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja.
Kata beliau, ’Saya lebih baik mati di sini, tetapi Indonesia selamat dari perang saudara.’"
Dalam suasana politik yang panas itu, berbagai gosip juga menerpanya terkait dengan Bung Karno.
"Saya marah sekali. Tapi, bisa apa saya?" suaranya meninggi.
Nitri berhenti menjadi ajudan setelah Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso, diasingkan dari teman-teman, kerabat, dan keluarga.
Ia sempat diminta menjadi ajudan keluarga penguasa yang baru, tetapi ditolaknya.
"Semua orang waktu itu melihat kami dengan pandangan jijik. Untuk apa saya bekerja di situ?"
Protes atas perlakuan terhadap Bung Karno dan keluarganya, ia lakukan dengan menyatakan berhenti sebagai polwan.
"Kalau Bung Karno, Bapak Bangsa dan Proklamator saja bisa diperlakukan seperti itu, apalagi orang seperti saya?"
Setelah itu Nitri sempat tinggal di rumah Ibu Fatmawati dan menyaksikan dari dekat kesulitan-kesulitan yang dihadapi keluarga Bung Karno.
 
Ia sempat bertemu lagi dengan Bung Karno, ketika mantan presiden itu mendapat izin menghadiri upacara perkawinan Guntur dengan dikawal ketat.
"Mukanya bengkak, topinya menceng-menceng dan sudah banyak lupa," ungkap Nitri mengenang.
Kepada Bung Karno, ia sempat meminta nama untuk anak sulungnya.
"Nama itu ditulis di secarik kertas kecil, disembunyikan Mbak Mega di bawah alas sepatu. Pemeriksaan waktu itu sangat ketat, meski yang datang menengok anggota keluarga dekat. Bung Karno memberi nama anak saya, Fajar Rohita. Sekarang usianya 39 tahun."
Melanjutkan Hidup
Meski situasi sudah jauh lebih baik, bahkan Megawati pernah menjadi Presiden RI, menurut Nitri, ada bagian sejarah yang tak bisa diubah dan harus diingat, agar bangsa ini belajar dari apa yang dilakukan terhadap orang yang berjasa melahirkan negeri ini.
"Sampai saat ini masih sulit buat saya menerima perlakuan terhadap Bung Karno pada hari-hari terakhir beliau," ujarnya.
Nitri menjalani kehidupan berkeluarga yang penuh dinamika. Sempat tinggal di Bandung, Nitri kembali ke Bali. Ia melukis, menjadi eksportir kerajinan Bali dan menari. Sebagian lukisannya yang beraliran surealis tergantung di dinding rumahnya yang sederhana.
Beberapa tahun terakhir ini, ketika enam dari tujuh anaknya sudah mandiri, Nitri mengembangkan tanaman langka Bali di lahan yang ia kontrak selama 30 tahun.

"Mulanya saya hanya ingin makan buah-buahan asli Bali yang biasa saya makan waktu masih kecil. Selain jeruk bali besar merah, juga mangga amplemsari, itu mangga asli Bali yang sudah langka," ujarnya.
Setiap hari ia bangun pukul empat pagi, lalu ke pasar, belanja untuk warung makan kecil yang dijalankan pembantunya. Setelah itu, seharian ia berada di kebun.
 
Nitri menjalani hidupnya seperti orang kebanyakan, tetapi dengan kesadaran bahwa dari setiap langkah yang terayun, ada ingatan yang tertinggal. Itulah jejak sejarah.
Sumber: KCM, Sabtu, 18 Agustus 2007.

* * *

Monday, May 16, 2011

Sambutan atas Tulisan Ester Jusuf Memperingati Peristiwa Mei 1998>

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 16 Mei, 2011
-------------------


"TRAGEDI KEMANUSIAAN MEI 1998”, Adalah
SABOTASE Terhadap PENDIRIAN BERBANGSA -- “BHINNEKA TUNGGAL IKA”



Dalam masyarakat Indonesia dewasa ini terdapat dua kekuatan
sosial/politik yang bertolak-belakang. Satu, adalah kekuatan cukup besar
yang bertahan dan berkembang melalui usaha keras, dalam pelbagai
kegiatan yang konsisten.*Salah satu fokus perjuangannya adalah mencari
kebenaran dan keadilan sekitar Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Mei 1998.


Di dalam kekuatan pro-kebenaran dan pro-keadilan ini, salah seorang
diantaranya ialah pejuang dan aktivis dan tokoh LSM, Ester Jusuf. Kolom
yang ditulis hari ini ditujukan untuk menyambut tulisan Ester Jusuf tsb.


Kekuatan pro-kebenaran dan pro-keadilan ini, sesungguhnya meliputi
lapisan yang cukup luas, mendapat dukungan dari pelbagai aktivis muda,
media, politikus, maupun 'orang-orag biasa' yang gandrung kebenaran,
mendambakan terrealisasinya keadilan di tanah air tercinta.


/Namun, yang belum mereka capai ialah: Belum dimilikinya rencana
perjuangan dan kegiatan yang programatis serta ( -- faktor ini teramat
penting) -- *yang disepakati bersama*. Oleh karena itu gerakan,
aksi-aksinya dan derapnya gerakan belum terkordinasi baik./


Namun, sejarah perjuangan bangsa ini, menunjukkan bahwa, kesatuan hati,
fikiran dan tindakan di kalangan para pejuang, --- dalam proses kegiatan
dan perjuangan selanjutnuya, PASTI AKAN TIBA..


/* * */


/Kekuatan sosial/politik yang berlawanan dengan kekuatan pro-kebenaran
dan pro-keadilan, adalah, ------ Penguasa dewasa ini! Mereka punya
pengaruh besar dan kekuasaan di bidang eksekutif, judikatif dan
leleslatif. Mereka punya kekuatan dan pengaruh besar di lapangan
keuangan, bisnis, media dan sosial/budaya. Seluruh kekuatan tsb bisa
dipertahankan dan berlangsung terus, karena, mereka berhasil bertindak
dengan mengatasnamai semboyan “Reformasi”, 'anti-korupsi', 'demi membela
agama', 'demi pertumbuhan dan pembanunan ekonomi nasional' dan
semboyan-semboyan serta janji-janji kosong lainnya untuk menina-bobokkan
masyarakat luas,./


'Peristiwa Mei 1998' adalah suatu usaha kejam dan biadab dari fihak
penguasa ketika itu, untuk mempertahankan kekuasaan Orde Baru, yang
sedang dilanda krisis total, dengan mengalihkan kemarahan dan perjuangan
massa masyarakat luas untuk perubahan serta menggantikan rezim Orba,
menjadi suatu 'huru-hara anti-etnis Tionghoa. Sungguh suatu komplotan
yang merupakan sabotase terhadap Pendirian Berbangsa BHINNEKA TUNGGAL IKA.



* * *


Dalam rangka mengenangkan Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 seerta
berusaha menarik pelajaran untuk mencegah terulangnya kompolotan
kekuatan politik gelap yang terselubung, disajikan di sini, sebuah
tulisan penting oleh Ester Jusuf.


Artikel Ester Jususf memperingati Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Mei
1998, berjudul “TIGA BELAS TAHUN”. Ester menguraikan peristiwa dan
hakikat masalah dalam Peristiwa Mei 1998 itu. Artikel Ester Jusuf, telah
menggugah serta mengungkap hakikat dari apa yang kita kenal sekarang
sebagai 'Peristiwa Tragedi Kemanusiaan Mei 1998.'


/Estter Jusuf memulai tulisannya sbb: /


“Tiga belas tahun lalu adalah saat yang amat pahit bagi bangsa Indonesia.

Terutama untuk kota Jakarta .Setelah kota Jakarta dihancurkan kita semua

diperhadapkan dengan masalah lain yang tak kalah peliknya: politik adu
domba antar kelompok masyarakat, rasa tidak aman dan ketakutan yang
terus menerus. Sekaligus kebingungan tentang apa yang sesungguhnya
terjadi. Jelas sekali ada ada berbagai upaya rekayasa sosial yang jahat
dilancarkan. Bukan hanya untuk membuat orang lupa, tapi juga membuat
orang ketakutan atau berprasangka buruk tentang kelompok yang lain.”


Ester Jusuf menutup tulisannya dengan kalimat-kalimat menggugah berikut ini:
“Apa yang dikerjakan arsitek jahat tragedi Mei 98 bukan tidak dapat
dilawan. Setiap guru di kelas bisa mengajarkan pada semua muridnya untuk
menghargai sesama, untuk menjadi manusia yang jujur dan berani.
Ceritakan tentang Tragedi Mei 98. tanpa perlu menunggu pemerintah
menyetujui memasukkannya dalam kurikulum pendidikan nasional. Tidak
harus menjadi anggota parlemen untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat.
Setiap ibu bisa bercerita pada anaknya, rekan sekerjanya, tetangga atau
pembantu rumah tangganya tentang pelajaran dari tragedi Mei 98.

*Setiap pemimpin umat punya ruang yang amat luas untuk mengajar umatnya
bekerja bagi bangsa sebagai pertanggungjawaban iman. Semua orang bisa
berbuat sesuatu asalkan mau.

* * *

Selanjutnya silakan pembaca mengkhayati tulisan Ester Jusuf yang
dipublikasikan ulang di sini:


Ester Jusuf,15 Mei 2011:
*Tiga belas tahun*
, /

Tiga belas tahun lalu adalah saat yang amat pahit bagi bangsa Indonesia.
Terutama untuk kota Jakarta .Setelah kota Jakarta dihancurkan kita semua
diperhadapkan dengan masalah lain yang tak kalah peliknya: politik adu
domba antar kelompok masyarakat, rasa tidak aman dan ketakutan yang
terus menerus.

Sekaligus kebingungan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Jelas
sekali ada ada berbagai upaya rekayasa sosial yang jahat dilancarkan.
Bukan hanya untuk membuat orang lupa, tapi juga membuat orang ketakutan
atau berprasangka buruk tentang kelompok yang lain.


Mari kita amati kembali dengan tenang. Tragedi Kemanusiaan Mei 98
terjadi sekitar dua bulan setelah Sidang Umum MPR. Pengamanan di Jakarta
saat itu lebih dari biasanya. Pemerintah melalui Mabes ABRI melakukan
Operasi Mantap ABRI, yaitu pengamanan dan antisipasi penanggulangan
situasi keamanan dalam negeri.

Khusus untuk kota Jakarta dibentuk Operasi Mantap Jaya di bawah pangdam
Jaya. Sebagai gambaran jumlah pasukan yang dapat digunakan di lapangan
saat itu adalah 90 SSK (Satuan Setingkat Kompi) atau sekitar 9000 orang.
Pasukan ini masih ditambah kekuatan imbangan (Polda-Polda) sebanyak
46.236 orang. Jumlah pasukan yang amat besar untuk mengamankan Jakarta.

Pada tanggal 13-15 Mei 1998 kita semua ternganga saat pasukan yang amat
besar itu justru menghilang dari berbagai lokasi kerusuhan. Kalau pun
mereka ada di beberapa wilayah tampak seperti membiarkan saja segala
penyerangan terhadap penduduk sipil yang berlangsung di depan hidung
mereka. Di depan mata semua penduduk kota Jakarta sejumlah besar massa
berseragam SMA atau berpakaian lusuh atau preman melakukan penyerangan.
Mereka memapunyai pembagian tugas yang amat rapi: ada yang bertugas
membakar ban mobil, berteriak memprovokasi massa dengan yel reformasi
atau anti Cina, membongkar rolling door, membakar kendaraan, bangunan
atau manusia.

Semua bergerak cepat dan jelas terkoordinir. Usaimelakukan penyerangan
di satu titik mereka pindah ke titik lain. Begitu seterusnya sampai
Jakarta benar-benar porak poranda. Usai menjalankan operasinya, mereka
serentak menghilang. Lalu kembali Jakarta ‘aman’ dengan munculnya
kembali pasukan keamanan lengkap di lapangan.

Penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat di 80
titik lokasi ledakan di Jakarta mendapatkan fakta yang amat penting:
Masyarakat setempat secara umum tidak mengenali para pelaku penyerangan
di lokasi mereka.

Mereka terkejut melihat massa dalam jumlah besar melakukan pembakaran
dan penyerangan di mana-mana Mereka kuatir karena terjadi penyerangan
terhadap orang-orang Tionghoa atau wilayah mereka. Di banyak lokasi
masyarakat berjaga siang malam karena isu akan ada serangan dari
perusuh. Tidak jelas isu itu dari mana asalnya tapi menyebar cepat
merata ke seluruh wilayah Jakarta.

Di banyak lokasi terjadi kesepakatan bahwa yang berjaga di ‘garis depan’
kampung tau perumahan adalah orang dari berbagai etnis, sedang warga
yang beretnis Tionghoa diminta berjaga di belakang. Selain itu
masyarakat sengaja menempelkan tulisan “milik pribumi” di
bangunan-bangunan mereka dengan harapan perusuh beralih ke sasaran
lainnya. Jelas bahwa sebenarnya masyarakat amat menyadari problem
diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa.

Kehancuran paling parah secara umum terdapat di wilayah sentra ekonomi
atau lokasi yang warganya tidak bersatu melakukan perlawanan. Di lokasi
ang warganya bersatu secara umum selamat dari serangan./

Sebagai contoh serangan yang ditujukan ke wilayah RW 08 Muara Karang
yang mayoritas warganya adalah etnis Tionghoa justru membawa dampak yang
manis bagi kehidupan warga selanjutnya. Ketua RW 08 Bapak Hauw Ming saat
menyadari bahwa tidak ada harapan pertolongan atau pengamanan memutuskan
menggerakan semua warga bersatu melawan. Warga yang ketakutan dan
awalnya banyak tidak saling mengenal justru akhirnya bersatu dan
merasakan persaudaraan yang sejati. Mereka semua selamat walaupun
diserang berulangkali. Pelajaran amat berharga: tetangga atau komunitas
kita harus menjadi saudara sejati kita.

Usai babak pertama Tragedi Mei 98 kembali kita mendapat serangan kedua.
Bentuknya agak berbeda. Distorsi informasi dan teror. Tujuannya
sepertinya untuk membuat korban dan masyarakat bungkam, kebingungan dan
pasrah hidup dalam rasa takut. Pertama dengan isu-isu penyerangan atau
balas dendam dari perusuh.

Dilanjutkan dengan stigma buruk pada para korban. Beruntun komentar
negatif kepada etnis Tionghoa yang pada pokoknya menyatakan bahwa sudah
sewajarnya etnis Tionghoa menjadi korban. Gambaran bahwa semua orang
etnis Tionghoa adalah orang asing, kaya raya, pelit dan eksklusif
dipaksakan untuk diterima sebagai kebenaran. Gambaran ini dirangkaikan
dengan stigma bahwa semua orang miskin dari etnis berbeda benci dan
ingin menjarah harta benda milik etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa seperti
sengaja mau dibenturkan ke etnis-etnis yang lain. Sengaja dibangun
tembok agar kebencian dan prasangka tumbuh di antara kita.

Teror ditebar kepada para relawan dan para pekerja sosial. Selain teror
kepada personal, peristiwa pembunuhan alm. Ita Martadinata jelas membuat
hampir semua orang memilih bungkam. Juga kepada siapapun yang mau bicara
tentang fakta Mei 98. Berulang kali saya bertemu dengan orang-orang yang
menjadi saksi penting namun memilih bungkam. Bukan hanya orang awam.
Ketakutan yang samajuga dialami oleh aparat yang terlibat di lapangan.
Baik birokrat, kepolisian atau militer bersepakat untuk tutup mulut.
Sebagian secara terbuka menyampaikan ketakutan mereka, sebagian menolak
sama sekali untuk berkomunikasi.

Walau Tim Penyelidik ad Hoc Komnas HAM yang meminta mereka bersaksi,
mereka semua sepakat menolak. Seiring dengan percaturan politik
perebutan kue kekuasaan, bicara tentang Tragedi Mei pun seolah ditujukan
untuk kepentingan politik menjatuhkan salah satu atau dua capres atau
wakilnya. Sampai sekarang situasi sesungguhnya tetap sama. Tak
seorangpun dari pelaku yang bicara tentang apa yang terjadi. Proses
hukum masih macet, belum cukup kekuatan untuk mendorongnya maju.

Saat ini tahun ke tiga belas. Saya sungguh mensyukuri kebesaran TUHAN
yang selalu hidup dalam sejarah dunia, termasuk Indonesia. Tiga belas
tahun ternyata tidak menyurutkan semangat para relawan,korban dan
masyarakat. Harapan dan semangat untuk membuat perubahan ternyata masih
berkembang di mana-mana. Terutama pada anak-anak dan generasi muda. Kami
bertemu dengan ribuan anak yang dengan tegas menyatakan tekad untuk
menghargai sesama yang berbeda ras, etnis atau agama. Kami juga bertemu
dengan banyak orang muda di seluruh Indonesia dan negara-negara lain
yang masih amat bersemangat untuk berbuat sesuatu sesuai kapasitas
masing-masing.

Saya yakin akan tiba saatnya kebenaran dan keadilan berdiri tegak di
Indonesia. Akan ada masa di mana kita semua bisa hidup tentram tanpa
rasa takut. Semua bisa kita raih asalkan kita mau bergandengan tangan,
serius berjuang di bidang kita masing-masing. Jika Tuhan berkenan
membuka pintu keadilan tidak akan ada seorang pun yang mampu menutupnya.

Apa yang dikerjakan arsitek jahat tragedi Mei 98 bukan tidak dapat dilawan.

Setiap guru di kelas bisa mengajarkan pada semua muridnya untuk
menghargai sesama, untuk menjadi manusia yang jujur dan berani.
Ceritakan tentang Tragedi Mei 98. tanpa perlu menunggu pemerintah
menyetujui memasukkannya dalam kurikulum pendidikan nasional. Tidak
harus menjadi anggota parlemen untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat.
Setiap ibu bisa bercerita pada anaknya, rekan sekerjanya, tetangga atau
pembantu rumah tangganya tentang pelajaran dari tragedi Mei 98.

Setiap pemimpin umat punya ruang yang amat luas untuk mengajar umatnya
bekerja bagi bangsa sebagai pertanggungjawaban iman. Semua orang bisa
berbuat sesuatu asalkan mau.


* * *

Saturday, May 14, 2011

SEKITAR BUKU HERMAN BURGERS -- “DE GAROEDA EN DE OOIEVAAR”

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 13 Mei 2011
-------------------


SEKITAR BUKU HERMAN BURGERS -- “DE GAROEDA EN DE OOIEVAAR”


Sahabatku Hans Beynon, jurnalis senior Belanda, menyampaikan kepadaku
(24/11/2010), bahwa KITLV Leiden belum lama menerbitkan dua buah buku
yang menarik perhatian, yaitu,

1.

Sutan Syahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan (1909-1966)
(Rosihan Anwar).

2.

“De Garoeda en de Ooievaar”.


*Hans Beynon menganggap buku sejarah Indonesia yang ditulis oleh
sejarawan Herman Burgers, sebagai salah satu penelitian terpenting
mengenai hubungan Indonesia-Belanda.* Hans menyarankan agar membuat
resensi mengenai buku-buku tsb.


Aku tak lupa apa yang disampaikan Hans Beynon tsb. Maka sekarang ini
dimulai menulis sedikit SEKITAR BUKU HERMAN BURGERS – “DE GAROEDA EN DE
OOIEVAAR”. Tulisanku ini bukanlah sebuah resensi atas buku H. Burgers.
Sekadar kesan. Untuk menggugah. Menarik perhatian pembaca mengenai buku
sejarah Indonesia yang ditulis oleh seorang sejarawan Belanda.


* * *


Kemarin kuhubungi KITLV. Untuk memesan buku Herman Burgers. Bagi yang
berdompet tipis, harganya lumayan mahal. Sudah kubaca beberapa halaman
buku ts. Juga membaca bagian-bagian tertentu yang kiranya penting. Maka
kupedsnlsh buku penting terbaru yang ditulis oleh sejarawan Belanda,
mengenai Indonesia.


* * *


Bulan April yang lalu, sebelum memiliki sendiri buku itu, aku beruntung
bisa meminjam dari Openbare Bibliotheek Bijlmer, buku 'bagus' tsb :
“INDONESIË Van Kolonie Tot NATIONALE STAAT”. Judul besar buku sejarah
ini “DE GAROEDA En De OOIEVAAR”.

Tebalnya lumayan - 807 halaman. Di toko harganya paling tidak Euro
49,90. Sebagai anggota perpustakaan umum bisa meminjam untuk tiga minggu
lamanya. Boleh diperpanjang 3 minggu lagi. Sudah itu masih boleh
memperpanjangnya tiga minggu lagi. Kecuali bila ada anggota lainnya yang
menyatakan ingin membacanya. Maka sesudah dua kali 3 minggu meminjam,
harus mengembalikannya.

* * *

Baik dijelaskan sedikit mengapa penulis Herman Burgers mengambil
'Garoeda' untuk melambangkan Indonesia. Dan mengambil 'bangau', sebagai
lambang Nederland. Mengenai ´Garuda´ sebagai lambang Indonesia, tak
perlu penjelasan. Anggap saja semua warga Indonesia yang peduli tanah
air, bangsa dan sejarahnya, sudah mengetahuinya.

Tulis H. Burgers: -- Bagi Nederland bangau itu adalah burung terbesar.
Sejak zaman dulu bangau itu punya peranan mistik dalam mitologi Belanda.
Ratusan tahun lamanya burung bangau menjadi lambang kota Den Haag.
Bangau bukan simbol Nederland. Tapi simbol Den Haag. Sedangkan untuk
melambangkan kekuasaan Nederland, biasa orang menyebutnya pemerintah Den
Haag. Jadi Nederland dianggp identik dengan Den Haag dan sebaliknya. Ini
sederhananya saja.

J. Herman Burgers (75th) sejak semula mengikuti dengan penuh perhatian
konflik antara Belanda dan Indonesia, terutama yang menyangkut
tahun-tahun 1948-1950. Ketika itu Burgers anggota KL (Koninklijke Leger)
– (dinas wajib militer) dan berada di Indonesia. Burgers kemudian
bekerja di Kementerian Luar Negeri Belanda. Jadi tergolong 'orang dalam'.

* * *

Membaca buku ini menyegarkan. Karena ditulis dengan jelas dan baik.
Fakta-faktanya cukup. Literatur yang digunakan juga cukupan. Namun yang
khusus patut dihargai ialah SIKAP DAN PENDIRIAN penulisnya. Boleh
dikatakan bertolak belakang dengan pandangan dan sikap banyak penulis
Belanda lainnya mengenai Indonesia.

Satu contoh: Tulis H. Burgers dalam Kata Pengantarnya, a.l: – Oleh
karena pergerakan nasional Indonesia, berjuang melawan kekuasaan
Belanda, maka, orang baru bisa memahaminya dengan baik, bila mengetahui
bagaimana terjadinya penguasaan tsb. Suatu cara berfikir Burgers yang
logis dan wajar!

* * *

Juga menarik ialah analisis Burgers, bahwa berdirinya negara Indonesia
bukan saja berkat gerakan kemerdekaan nasional, -- tetapi juga karena
adanya faktor dan peranan kekuasaan Belanda, yang dilawan oleh gerakan
kemerdekaan Indonesia. Dari pandangan ini Burgers memasuki masalahnya.
Pertama-tama dengan menelaah perkembangan pokok kebijakan Hindia-Belanda
terhadap Indonesia. Kemudian melanjutkannya dengan gerakan kemerdekaan
nasional, menyerahnya Hindia-Belanda dan pendudukan Jepang (1942-1945).


Penting pula analisis Burgers, bahwa periode pendudukan Balatentera
Jepang di Indonesia, (punya peranan) melapangkan jalan bagi kemerdekaan
Indonesia serta diprokalamasikannya Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Burgers tampak kritis terhadap sikap Belanda yang hendak terus menguasai
Irian Barat. Tulis Burgers: Konflik Belanda-Indonesia berakhir dengan
Persetujuan KMB. Namun, menyisakan masalah Irian Barat. Belanda terus
saja menduduki Irian Barat. Analisis Burgers mengenai faktor pendudukan
Jepang di Indonesia yang dikatakannya punya peranan 'melapangkan jalan'
bagi kemerdekaan Indonesia, pernah juga ku-utarakan dalam salah satu
seminar. Tidak banyak yang bersedia menerimanya.


Sikap Belanda, yang menolak menyerahkan Irian Barat, mengakibatkan 13
tahun lamanya Belanda bersengketa dengan Indonesia mengenai masalah tsb.
Sampai Indonesia akhirnya memutuskan samasekali hubungan dengan Belanda.
Demikian Burgers.


Penuturan mengenai sengketa Indonesia-Belanda mengenai Irian Barat,
mengambil tempat hampir separuh dari buku Burgers.


* * *


Menulis tentang berbagai periode dalam sejarah hubungan kedua negeri,
Burgers menunjukkan bahwa antara pelbagai periode itu terdapat saling
hubungan yang erat sekali. Kesinambungan tahap-tahap perkembangan tsb
tercermin pada kehidupan SOEKARNO, HATTA, dan banyak/tokoh dramatis/
lainnya, seperti Soewardi Soerjaningrat, Agoes Salim, Sam Ratulangi,
Jonkman dan Van Mook.


* * *


Penting untuk menjadi pengetahuan kita semua, khususnya para pemeduli
sejarah di Indonesia, apa yang dikemukakan oleh Herman Burgers dalam
bukunya, a.l sbb:


Sehubungan dengan terjadinya penguasaan Nederland (atas Indonesia), --
Bagi kebanyakan orang Belanda dari periode sebelum Perang Dunia II, hal
itu sederhana sekali. Mereka menganggap bahwa seluruh “Hindia” sejak
abad ke-XVII sudah ada di bawah kekuasaan Nederland. Anggapan keliru
demikian itu juga masih terdapat pada banyak kaum nasionalis Indonesia.
Mereka bicara tentang 'tiga ratus tahun', bahkan 'tigaratus limapuluh
tahun' penindasan Belanda terhadap Indonesia.


Sesungguhnya, perluasaan kekuasaan Nederland atas Indonesia, terjadi
selangkah demi selangkah, berangsur-angsur. Itu terjadi dalam jangka
waktu 350 tahun itu.


* * *


Herman Burgers mengungkapkan bahwa penguasaan Belanda atas Indonesia, --
kongkritnya dilakukan oleh VOC, berlangsung selangkah demi selangkah.
Pada tahap permulaan VOC harus berhadapan lebih-dulu dengan Portugis,
Spanyol dan Inggris. Karena tiga negeri itu, sudah lebih dulu usahanya
mencaplok sumber rempah-rempah di Asia. Belanda terpaksa lebih-dulu
mengalahkan saingan-saingannya. Mereka berkali-kali terlibat dalam
peperangan sampai Belanda akhirnya berhasil mengusir Portugis, Spanyol
dan Inggris. VOC mulai menjadikan sebagian kecil terlebih dahulu dari
Indonesia, yaitu kepulauan Maluku dan sekitarnya, -- yang merupakan
penghasil utama rempah-rempah ketika itu, menjadi jajahannya langsung.


Herman Burgers juga mengungkapkan betapa luarbiasa kejamnya VOC, di
bawah Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen (1587-1629). Ketika menaklukkan
perlawanan rakyat Maluku, Banda, Ternaté,Tidoré dan sekitarnya. VOC
menggunakan serdadu-serdadu sewaanlangsung dari Eropah, lalu ditambah
dengan serdadu sewaan setempat. Selain itu, Belanda, khusus mendatangkan
'pendekar-pendekar maut' dari Jepang, untuk menteror dan membantai
rakyat Maluku, Banda, Ternate, Tidore dst.


Sejak digulingkannya Presiden Sukarno, sering disebut telah terjadinya
'genocide' terhadap rakyat di Indonesia (sehubungan dengan Peristiwa
Pembanrtaian Masal 1965 oleh tentara di bawah Jendral Suharto). --
Tetapi sesungguhnya, apa yang dilakukan oleh Gubernur Jendral VOC Jan
Pieterszoon Coen, terhadap rakyat Maluku dan Banda dalam abad ke-XVII
itu, ---- adalah GENOCIDE PERTAMA yang terjadi di Indonesia.


Dalam proses memaksakan monopoli perdagangan rempah-rempah, serta
penguasaan wilayah, VOC, disatu fihak, melarang penanaman rempah-rempah
di tempar lain yang tak bisa sepenuhnya dia kuasai. Di lain fihak dengan
sewenang-wenang membakar tanaman rempah-rempah di tempat-tempat lainnya,
dan akhirnya membantai rakyat setempat. Peristiwa-peristiwa tsb, seperti
a.l pengiriman ekspedisi militer, dalam sejarah penjajahan Belanda atas
Indonesia dikenal a.l. sebagai 'Hongi tochten' di kepulauan Maluku,
Banda dan sekitarnya.


* * *


Studi sejarah Indonesia, seperti yang dilakukan oleh sejarawan Herman
Burgers, banyak mengungkap hal-hal yang rinci dalam hubungan
Indonesia-Belanda. Ini perlu jadi pengetahuan pemeduli sejarah
Indonesia, lebih-lebih para historikus, politisi dan generasi muda
Indonesia umumnya.


Tanggapan atas buku Herman Burgers diatas, --- adalah secuplik saja dari
apa yang bisa dikemukakan mengenai karyanya itu. Sementara sampai di
sini dulu. Lain kali masih bisa ditanggapi bagian-bagian lainnya dari
buku Herman Burgers.


* * *


Buku Herman Burgers tsb ditulis dalam bahasa Belanda.

Mudah-mudahan sudah terkandung niat pada KITLV, Leiden, dengan fihak
manapun partnernya di Indonesia, untuk menerbitkan *EDISI INDONESIA,
buku “DE GAROEDA EN DE OOIEVAAR”, “INDONESIË Van Kolonie Tot NATIONALE
STAAT”.*



* * *

Monday, May 9, 2011

SATU EPISODE DALAM HUBUNGAN INDONESIA-BELANDA

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 09 Mei 2011

----------------------------


SATU EPISODE DALAM HUBUNGAN INDONESIA-BELANDA


Setiap tahun, dua hari berturut-turut, yaitu pada tanggal 04 Mei dan pada tanggal 05 Mei, Belanda mengadakan kegiatan yang punya arti sejarah penting bagi bangsa dan negeri Belanda. Pada tanggal 04 Mei diperingati DODENHERDENKINGSDAG, mengenai korban-korban yang diderita Belanda di bawah agresi, pendudukan dan ketika melakukan perlawanan terhadap Nazi Jerman.


Pada tanggal 05 Mei diperingati BEVRIJDINGSDAG, hari Belanda bebas dari pendudukan Jerman-Hitler.


* * *


Orang-orang Belanda tidak melupakan sumbangan dan jasa serta korban dari kalangan pemuda-pemuda IND0NESIA yang ketika agresi Jerman sedang belajar di Belanda. Radio Hilversum (NRW-Ranesi, 04 Mei) memberitakan a.l. sebagai berikut:


"Perlawanan terhadap Nazi Jerman juga menelan korban jiwa. Menurut sejarawan Harry Poeze, ada kira-kira sepuluh orang Indonesia, khususnya mahasiswa, yang ditahan Jerman. Mereka dikirim ke penjara atau kamp konsentrasi Jerman. Situasi di sana sangat buruk.


Sekitar 50-60 orang Indonesia ikut perlawanan, demikian Poeze. "Ada sekitar sepuluh yang ditahan. Dari sepuluh itu, ada lima yang meninggal." Ada yang ditembak mati atau meninggal karena sakit akibat kondisi buruk kamp konsentrasi Jerman.


Irawan Soejono


Dalam upacara peringatan pahlawan 4 Mei, lima korban selamat Indonesia diperingati juga. Salah satu di antaranya Irawan Soejono. Ia ditembak mati Jerman di Leiden. Salah satu jalan di Amsterdam-Osdorp dinamakan Irawan Soejonostraat. Demikin Radio Hilversum.


* * *


Begitu mulya dan agung keteladanan pemuda-pelajar Indonesia. Mereka adalah patriot-patriot Indonesia yang mendambakan dan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Namun, ketika Belanda diduduki Nazi-Jerman, dibimbing oleh semangat solidaritas internasional melawan fasisme, tanpa ragu-ragu mereka, pemuda-pemuda pelajar Indonesia itu, langsung ambil bagian dalam perjuangan perlawanan di bawah tanah demi kemerdekaan Belana dari kekuasaan Nazi Jerman. Dan beberapa orang dari pemuda-pelajar itu telah memberikan yang paling berharga, jiwa mereka, dalam perjuangan melawan pendudukan Nazi Jerman terhadap Belanda.



* * *


Di bawah ini disiarkan tulisan Joss Wibisono dari RNW, Radio Hilversum, RANESI. Menarik dan patut dibaca. Tulisan Joss mengkaitkan perlawanan di Belanda terhadap arus KANAN anti-Islam dan anti-Imigran Geert Wilders dari PVV, dengan masalah hubungan Indonesia-Belanda. Tulisan Joss Wibisono mencerminkan satu episode dalam hubungan Indonesia-Belanda



* * *


MENOHOK WILDERS DENGAN PERJUANGAN INDONESIA*

Oleh: Joss Wbisono

Radio Nederland Wereld Omroep - Ranesi


Kebebasan, terutama kebebasan berpendapat yang dijunjung tinggi di Belanda, sekarang dalam ancaman.

Masalahnya sejarawan dan kolumnis Thomas von der Dunk dibungkam.*


Dia dilarang berceramah soal persamaan antara Nazi di Jerman zaman dulu dengan PVV, partai kebebasan pimpinan Geert Wilders di Belanda zaman sekarang. Tentu saja, PVV yang anti Islam itu termasuk salah satu pihak yang melarangnya. Untuk kita di Indonesia pidato Thomas von der Dunk ini relevan juga, terutama karena dia juga menulis tentang upaya kemerdekaan kita yang dihalang-halangi oleh Belanda.


* * *


Arondéuslezing/ adalah ceramah tahunan yang diselenggarakan oleh Provinsi Noord Holland dalam rangkaian peringatan pembebasan Belanda dari pendudukan Nazi Jerman. Namanya diambil dari nama Willem Arondéus, seorang perupa Belanda yang ketika negeri Kincir Angin diduduki Jerman, semasa Perang Dunia Kedua, bergabung dalam kelompok perlawanan. Setelah ikut meledakkan gedung Dinas Kependudukan di Amsterdam, ia dihukum mati oleh pasukan pendudukan Jerman. Untuk menghormati Willem Arondéus, maka ceramah tahunan di Gedung Provinsi Noord Holland itu menyandang namanya.


Ceramah itu ingin memberi tempat kepada warga dan politisi untuk bertukar pikiran dan berdebat dengan bebas bahkan kontroversial, tentang topik-topik kemasyarakatan yang aktual dan relevan bagi Provinsi Noord Holland. Tetapi ketika tahun ini kolumnis dan sejarawan Thomas von der Dunk ingin membeberkan persamaan antara Nazi yang menduduki Belanda semasa Perang Dunia Kedua dengan PVV yang sekarang punya kursi di parlemen Belanda, dia dibungkam. Mengapa demikian? Topiknya bukan saja aktual tetapi juga relevan. Tapi bukan itu masalahnya. Yang punya masalah adalah PVV, karena ceramah itu dianggap menjelek-jelekkan partai pimpinan Geert Wilders ini.


Akhirnya ceramah itu diumumkan oleh harian pagi/De Volkskrant/, dipersingkat untuk edisi cetak, lengkap pada edisi internet. Bagi kita di Indonesia ceramah Thomas von der Dunk juga relevan, karena dia dengan sinis mengejek sikap pemeritah Belanda waktu itu, yang mati-matian menghalangi kemerdekaan Indonesia. Tapi sebelum itu, pertama-tama perlu diuraikan gagasan dasar ceramah Thomas von der Dunk.



* * *


Prinsip kenegaraan pada sebuah negara demokratis didasarkan pada dua hal penting, demikian tulis Thomas. Pertama semua orang sama di hadapan hukum dan kedua /trias politica/ yang digagas oleh filsuf Prancis Charles de Montesquieu. Prinsip pertama artinya hukum tidak bisa hanya berlaku untuk kalangan tertentu, sedangkan prinsip kedua artinya: harus dipisahkan ketat wewenang pihak eksekutif, judikatif dan legislatif. Jadi seorang politikus tidak boleh campur tangan pada sidang pengadilan atau mempengaruhi keputusan hakim.


Menurut Thomas von der Dunk dulu, kedua prinsip itu sudah pernah dilanggar ketika Belanda diduduki Nazi Jerman selama Perang Dunia Kedua. Dan sekarang PVV, partai kebebasan pimpinan Geert Wilders, kembali berupaya melanggar prinsip kenegaraan ini. Juga di Provinsi Noord Holland, karena PVV mengusulkan larangan mengenakan jilbab di tempat-tempat umum, sementara mengenakan kerudung bagi biarawati katolik atau penutup kepala pria Yahudi tidak dilarang. Ini berarti PVV tidak lagi mengakui kaidah semua orang sama di hadapan hukum.


Selain itu, Geert Wilders yang juga mengusulkan supaya para hakim tidak lagi diangkat untuk seumur hidup, melainkan diangkat selama lima atau enam tahun. Sesudah itu kontraknya selesai, kalau selama bertugas mereka menjatuhkan hukuman berat, baru mereka boleh diangkat lagi, kalau tidak, ya tidak perlu. Usul ini memang sudah ditolak parlemen Belanda, tetapi menurut Thomas von der Dunk, yang mengajukannya jelas ingin supaya penguasa politik bisa mencampuri proses hukum.


Khilafah Euro Arab

Thomas von der Dunk juga melihat persamaan lain antara partai pimpinan Hitler dengan PVV pimpinan Geert Wilders. Misalnya Nazi anti Yahudi, sedangkan PVV anti Islam. Dulu, Nazi percaya adanya komplotan orang Yahudi yang bertujuan untuk menghancurkan Jerman. Sekarang Wilders beranggapan orang-orang Islam akan mendirikan khilafah Euro Arab. Bagi Nazi, Jerman hanya untuk orang Jerman, seperti bagi Wilders, Belanda hanya untuk orang Belanda. Kemudian baik Nazi maupun PVV menginginkan sosok pemimpin kuat yang tidak terbantahkan lagi.


Selain itu Thomas von der Dunk juga mengamati adanya persamaan antara PVV dengan NSB, ini partai politik Belanda yang menyambut Jerman ketika menduduki Belanda selama Perang Dunia Kedua. Dulu orang Belanda bisa menjadi anggota NSB, tapi sekarang PVV tidak terima anggota. Anggota PVV cuma satu, itulah Geert Wilders yang sekaligus juga pemimpinnya.



* * *


Yang tidak dimengerti oleh Thomas von der Dunk adalah bagaimana mungkin Belanda yang baru bebas dari pendudukan Jerman bisa melarang Indonesia merdeka darinya, bahkan sampai menggunakan kekerasan yang berlebihan. Waktu itu, demikian Thomas, hanya sedikit orang yang melihat bahwa karena baru saja bebas dari pendudukan, Belanda sebenarnya tidak punya hak melarang orang lain untuk juga merdeka. Tapi yang terjadi adalah, bangsa yang baru merdeka itu langsung melancarkan perang neokolonial. Ini berarti dia tidak belajar banyak dari pendudukan yang baru saja dialaminya.


Di sinilah Thomas von der Dunk melihat Belanda telah mengalami perubahan, dari bangsa korban menjadi bangsa pelaku. Perubahan seperti itu sebenarnya sering terjadi, misalnya Israel terhadap Palestina. Tetapi di Belanda, dalam soal Indonesia, itu terjadi sangat cepat dan bertahan begitu lama.


Pada tahun 1990an, ketika banyak veteran memprotes kedatangan Poncke Princen, aktivis hak-hak asasi manusia Indonesia yang membelot semasa perang kemerdekaan, terbukti betapa orang Belanda belum punya pandangan sejarah yang berimbang. Sikap Belanda baru berubah pada Abad 21, 60 tahun setelah peristiwanya, ketika Menteri Luar Negeri Bernard Bot, atas nama pemerintah Den Haag, mengakui bahwa pada saat perjuangan kemerdekaan Indonesia dulu, Belanda berada di sisi salah sejarah.


Selama 60 tahun itu Belanda selalu percaya dirinya cinta damai. Padahal di Hindia Belanda, pada periode sebelum Perang Dunia Kedua, dalam upaya menaklukkan wilayah-wilayah Hindia lain, Belanda melancarkan banjir darah yang mengerikan. Thomas von der Dunk mencatat bagaimana di Bali tetara Belanda juga menembaki kaum perempuan. Di sini terlihat, demikian Thomas, bagaimana Belanda yang kolonial itu mencampur aduk jiwa pedagang, kebiadaban budaya dan semangat /zending /yang hipokrit.



* * *


Belanda selalu kesulitan mengakui tindak kekerasannya sendiri di Indonesia. Perang kolonialnya setelah proklamasi 17 Agustus selalu disebut sebagai /politionele actie/, aksi polisi. Perlawanan terhadap kekuasaannya selalu ditangani oleh polisi, bukan politik. Padahal yang aktif adalah tentara yang berisi para pewajib militer. Kalau perilaku militer itu melampaui batas, cuma disebut "ekses", tidak pernah disebut kejahatan perang. Di atas semuanya, yang oleh orang Belanda disebut perang itu cuma mencakup Perang Dunia Kedua, dan bukan ulahnya memerangi Indonesia yang berupaya untuk merdeka.


Sebagai penutup patut ditanyakan, kenapa dalam menelanjangi PVV Thomas von der Dunk tetap merasa perlu untuk menyinggung-nyinggung perang kemerdekaan Indonesia? Itu tidak lain karena Wilders punya latar belakang Indonesia. Neneknya yang lahir di Indonesia itu orang Indo, artinya berdarah campuran Indonesia Belanda. Kalangan Indo inilah yang paling menentang kemerdekaan Indonesia.


Thomas von der Dunk sendiri akhirnya tetap berpidato, bukan di gedung provinsi Noord Holland, di kota Haarlem; melainkan di lapangan Haarlemerhout, di depan gedung itu. Hadirin yang datang mencapai 1200 orang, jumlah yang berkali-kali lebih besar dibandingkan kalau pidato itu dilakukan di dalam gedung provinsi.



* * *




Saturday, May 7, 2011

IN MEMORIAM SAHABATKU MUDIRO

IBRAHIM ISA

Sabtu, 07 Mei 2011


* * *

----------------------------------------------------

IN MEMORIAM SAHABATKU MUDIRO ATMOSENTONO (1929-2011)

----------------------------------------------------


Melalui putrinya, SUDDHODAN N.TIFA, sekeluarga berdomisili di Canada, dengan amat terkejut dan sedih kutrima berita-duka (melalui komunikasi Facebook), bahwa sahabatku tercinta MUDIRO ATMOSENTONO, telah meninggal dunia pada tanggal 4 Mei malam jam 7:50 waktu Beijing. Tifa sekeluarga masih sempat bertemu dengan papanya. Mudiro sejak April tahun ini diopname di rumahsakit di Beijing. Beliau menderita sakit pada ginjal dan lever.


Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan Y.M.E. Dan seluruh keluarga Mudiro Atmosentono tabah menghadapi musibah ini.


Mudiro Atmosentono sekeluarga adalah sahabat lama kami sekeluarga sejak tahun 60-an abad lalu. Profesinya sebagai penterjemah membawanya bekerja di Tiongkok sebagai akhli-asing pada Pustaka Bahasa Asing di Beijing. Setelah memasuki masa pensiun bersama keluarganya berdomisili di Beijing. Fihak Tiongkok di mana Mudiro telah bertahun-tahun lamanya bekerja dan berdomisli, memperlakukan keluarga Mudiro Atmosentono sebagai SAHABAT LAMA, sebagai Lao Pengyou.



Semasa bekerja di Yayasan Pembaruan, Jakarta, dengan menggunakan nama-pena, D. Atmo, Mudiro Atmosentono menterjemahkan sebuah buku penting oleh penulis Tjekoslowakia, Julius Fuçik (1903-1943), berjudul “LAPORAN DARI TIANG GANTUNGAN” (Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1957. Diterbitkan kembali di Jakarta th 2004). Sebuah buku yang mengisahkan semangat perlawanan para pejuang di bawah tanah Tjeko melawan pendudukan Jerman Hitler. Julius Fuçik adalah jurnalis dan salah seorang pimpinan gerakan perlawanan di bawah tanah, yang tertangkap oleh Nazi, dipenjarakan dan kemudian dieksekusi. Info tentang terjemahan Mudiro buku Julius Fuçik ini, kuterima dari Sarmaji, pengelola “PERHIMPUNAN DOKUMENTASI INDONESIA”, .


* * *


Agak lama kami tak berkomunikasi, kemudian tahun 1989, Mudiro Atmosentono bersama istrinya, yang oleh kawan-kawan disapa RENO, berkunjung ke Belanda menjenguk kawan-kawan lama. Sebulan lamanya mereka tinggal di rumah kami. Sehingga sempat dengan leluasa bertukar fikiran mengenai banyak hal dan peristiwa. Baik yang terjadi di Indonesia dan di Tiongkok, tempat mereka berdomisili.


Ciri khas Mudiro ialah: BERFIKIR INDEPENDEN. Misalnya mengenai hal-hal yang

terjadi di Tiongkok, dimana ia tinggal dan bekerja puluhan tahun lamanya, Mudiro punya sikap dan pandangannya yang independen.


Ketika bercerita mengenai Peristiwa Tian An Men, yang kontroversial itu, Mudiro Atmosentono jelas punya analisis dan pandangannya sendiri. Tidak mengikuti pandangan siapapun.


Sebagai seorang sahabat Mudiro orangnya gembira, suka guyon tetapi juga amat berterus terang mengenai pandangannya tentang berbagai hal penting. Yang paling berkesan ialah KEHANGATANNYA terhadap sahabat. Tak peduli ada perbedaan pendapat dan pandangan. Kehangatannya terhadap sahabat tak pernah terpengaruh oleh adanya perbedaan pendapat dan pandangan mengenai sesuau hal.


Mudiro Atmosentono telah berpulang. Namun, kenang-kenangan mengenai Mudiro akan selalu teringat: Dedikasinya terhadap pekerjaan penterjemahan yang profesional, serta sikapnya yang independen dan hangat terhadap sahabat merupakan kesan mendalam yang tak mudah dilupakan.



* * *

Wednesday, May 4, 2011

HOW INDONESIA REACTS ON BIN LADEN'S DEATH

IBRAHIM ISAS FOCUS * * *

HOW INDONESIA REACTS ON BIN LADEN'S DEATH, Thursday, 05 May 2011

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


IMPLICATIONS OF BIN LADENS DEATH FOR INDONESIA

Sidney Jones, Jakarta | Wed, 05/04/2011

Osama bin Laden is being hailed as a hero and martyr by radical groups around the country, with the Islam Defenders Front (FPI) holding a program of “gratitude for service” later today at its headquarters. Demonstrations against the US by other groups are planned. The question is whether there will be more serious consequences, and three come to mind.

One: a temporary shift back to foreign targets. For the last two years, Indonesian extremists have moved away from attacks on the West, symbolized by iconic brand names of American hotels and fast food chains, to hits and attempted hits on local targets, especially the police.

This was a direct result of anger at Detachment 88 for arresting and killing so many mujahidin after a training camp in Aceh was broken up in February 2010, but it also reflected recognition that international targets had no general recruitment value: Few Indonesians saw the logic of killing foreign civilians to avenge Muslim deaths in Iraq
or Gaza.
Bin Laden was such a powerful symbol and so revered in the extremist community, however, that calculations of costs and benefits may be overridden by a felt need to respond somehow to his death. The ubiquitous television images of cheering Americans may strengthen that resolve.

As we wrote in a Crisis Group report last month: “No one should conclude that targeting of foreigners is gone for good. One lesson from this report is that there is a constant process of adaptation, and developments in the Middle East and Pakistan, as well as within Indonesia, could produce new strategic directions.” Bin Laden’s death could be one of those developments.

Two: possibility of revenge attacks. While the possibility of revenge attacks is real, it is not a simple matter to pull them off. Planning an attack takes time, so the danger is less likely to be in the coming days than in the coming months or longer, giving police more time to get wind of a plot. Indonesian extremists also do not have a successful track record in this regard.
Police operations in Poso, Central Sulawesi, in January 2007 killed 14 local fighters and led to demands within the movement for retaliation, but no group had the capacity to respond. The execution of the Bali bombers in November 2008 led to massive demonstrations at their funerals, but no counter-attacks, despite widespread fears.

The fastest retaliation thus far was the Sept. 22, 2010, attack on the Hamparan Perak Police station, North Sumatra, in which three policemen were killed.
It came only three days after police killed three suspects they were hunting for the Medan bank robbery. But the fugitives already had arms, motive, target and opportunity. Putting all that together for a response to Bin Laden’s death may not be so easy.

While that may be somewhat reassuring, it is also true that there are five or six constellations of possible perpetrators, and only one of them needs to be successful.

Three: Strengthened attachment to al-Qaeda. Another possible consequence of Bin Laden’s death is a strengthened attachment of Indonesian extremists to al-Qaeda, both to the idea and to specific parts of the network.
A succession of Southeast Asia extremists have tried to set up local affiliates of al-Qaeda, based more on shared ideology than direct institutional linkage. At the time of the second Bali bombing, Noordin M Top called his group al-Qaeda for the Malay Archipelago.

By 2009 and the Jakarta hotel bombings, he was calling it al-Qaeda for Southeast Asia, even though a Malaysian named Mohamad Fadzullah Abdul Razak (since arrested) was using the same time a year earlier for a completely different group that wanted to send fighters from Malaysia to southern Thailand.
In early 2010, the alliances of extremists that set up the camp in Aceh began calling itself al-Qaeda for the Verandah of Mecca, a common term for Aceh.

By the admission of one participant, the name was in recognition of Bin Laden’s leadership of the global jihad rather than anything more concrete. Finally, only a few days ago, a statement appeared on radical websites here, again in the name of al-Qaeda for Southeast Asia, praising the April 15 suicide bombing at a police station mosque in Cirebon, West Java.

Obviously the idea of al-Qaeda still resonates, to the point that most self-respecting jihadi groups want to identify with it.
But there are also more substantial links. On Jan. 25 this year, Umar Patek was arrested in Abbottabad, the same town where Bin Laden was living. It was probably not a coincidence (indeed, may have been part of the same operation).

Indonesian authorities need to be asking Patek, who remains in detention in Pakistan, exactly what the nature of his communication was with the al-Qaeda organization and who else from Southeast Asia is actively working with al-Qaeda in propaganda, training, or even operations.
In his desire to work with Bin Laden, Patek, a former Jamaah Islamiyah (JI) member who was one of the original Bali bombers, follows in the footsteps of Hambali, the JI leader detained in Guantanamo whose relationship with al-Qaeda until his arrest in 2003 is outlined in a recent WikiLeaks document.

But he is not the only one. Muhammad Jibril, founder of the ar-Rahmah publishing company and arrahmah.com, was in regular communication with al-Qaeda’s media outlet in Waziristan.
And other parts of the radical network in Indonesia are in communication with the radical Yemen-based preacher, al-Awlaki, who is active in al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP).

The death of Bin Laden could lead to a renewed push to bolster these ties or to an intensified propaganda campaign based on al-Qaeda materials, especially from AQAP, translated into Indonesian.
There is thus no reason to believe that the security situation in Indonesian has in any way been significantly improved by the killing of al-Qaeda’s founder.

The good news, if there is any, is that none of the groups that have emerged over the last two years have shown the kind of technical capacity that Noordin M Top used to such devastating effect. No one, however, should be celebrating the end of terrorism in Indonesia.
The writer is senior adviser at the International Crisis Group.


* * *



WHAT THE DEATH OF OSAMA BIN LADEN MEANS

The Jakarta Post | Thu, 05/05/2011

Muhamad Ali

As I watched US President Barack Obama announcing the death of Osama bin Laden with his body buried at sea after Saudi Arabia refused to accept it, I posted my reactions through my Twitter account.
“An ideology is hard to kill with the death of its advocates like Bin Laden, but his death can help reduce his global leadership.”

I tweeted further: “Osama and many terrorists have used Islam to sustain their ideologies and actions, but they don’t represent around 1 billion Muslims in the world.”
However, the death has meant different things to different people around the globe. Many in the US and elsewhere have welcomed and celebrated Bin Laden’s demise as a victory over the leader of number-one terrorist network al-Qaeda.

Obama thinks “we can all agree this is a good day for America”. Obama and Hillary Clinton pointed out that “justice has been served” for the victims of 9/11 in particular, and Americans in general. Many say “the world is now safer”.
American Muslim leaders, including that of CAIR (Council of American-Islamic Relations) welcome the death, because “Osama was a mass murderer”.

Muslim Senator Keith Ellison said Bin Laden was responsible for mass killings in the US, Pakistan, Iraq, Kenya, Tanzania and more, and had caused fear and suffering for many.
Some in the US have expressed their ambivalence toward the death: The killing of a man without trial is clearly not correct for them. Some would expect Bin Laden to have been captured alive.

Some, including self-proclaimed Christians, said “they do not rejoice the death of a human being, no matter how monstrous he was”.
“Judgment and punishment are up to God,” Christian author James Martin wrote. Although he prays that Bin Laden’s departure may lead to peace, as a Christian, he is asked to pray for Bin Laden and at some point forgive him, a command that comes from Jesus.

In Indonesia, when people are preoccupied with domestic problems, including how to deal with the spread of the Negara Islam Indonesia (NII, the Indonesian Islamic State) ideology, including in schools and colleges, mixed responses have been voiced in the media: Many have welcomed the death, whereas others, including the Nahdlatul Ulama (NU) moderate leader Said Aqil Siradj implicitly welcomed it but added that the Allied Forces in Afghanistan, Pakistan, Iraq and Libya could also be regarded as terrorists, radicals and uncivilized.

The US, he implied, should not demonstrate double standards, but serve justice in dealing with terrorism.
Some Islamist leaders have said Bin Laden’s death will not eliminate al-Qaeda. Prosperous Justice Party (PKS) president Luthfi Hasan Ishaaq said the death would have no direct impact in Indonesia because none
of Bin Laden’s family has investments here.
He added that violence came from injustice and poverty, so violence would not stop if justice and prosperity were absent.

Another PKS leader commented that al-Qaeda was based on an ideology and had a developed organization and recruitment system and therefore terrorism remained a threat.
Some liberal progressive activists commented that it would be better if Bin Laden were captured alive so he could stand trial and people could hear what he had to say.

Progressive activists commented only a little. One simply observed that when a friend is killed the loss is mourned, but when an enemy is killed, it is rejoiced.
They seem to agree with an analyst that the loss of a symbolic, semi-charismatic leader whose own survival burnished his legend was significant, but that radicalism and violence were not about to end.

Many questions have been raised, including about the future of terrorist ideology: Will terrorism decline? Will the death of Osama bin Laden bring a new world order? How should the world leaders address the root causes of terrorism and reduce its spread in many parts of the world, including Indonesia?

The fatwas or edicts reportedly from Bin Laden have been read and translated into many languages. The edicts issued in 1996, 1998, 2004 and later years contained a global call to war waged against the US and mention some of the reasons for Bin Laden’s ideology of terror: Because of the US presence in the holy sites Mecca and Medina, the unqualified US support of Israel and of the US attacks on Iraq and other “Muslim soil”.
Bin Laden urges the Muslim world to kill American crusaders and Jews, combatants and civilians as well as whoever is in support of them.

For those who show support or sympathy, Bin Laden constitutes a symbol of resistance against the US power. Some observers like Middle Eastern historian Bernard Lewis have argued that Bin Laden was a model for anti-globalization, anti-Westernization and anti-modernism.
Other scholars comment that terrorists as fundamentalists have lived as by-product of modernity.
But the appeal of Bin Laden cannot be overstated because many fatwas were issued to reject such calls. Most Muslims have rejected terrorism, the killing of civilians and the use of violence.

The struggle and discursive debate among Muslim leaders and groups have intensified between those who agree with the ideas but not the violent tactics; those who reject violence and terrorism without qualification; those who sympathize with terrorists and those who commit similar acts of terror in London, Bombay, Manila, Bali, Jakarta and other places.

A survey conducted by Pew Research Center on Muslim publics around the world a few months prior to Bin Laden’s death indicates little support for the al-Qaeda leader. In the Palestinian territories, which he used as rationale for his war, only 34 percent expressed confidence in him to do the right thing in world affairs.

In 2011, about 26 percent of Indonesians supported Bin Laden, compared to 22 percent of Egyptians and 13 percent of Jordanians. These numbers dropped from the figures in 2003 and 2005. This explains why there have been fewer reactions to Bin Laden’s death in the Muslim world than in the US.

Now that Bin Laden has been officially confirmed dead, some people have remained concerned about the perpetration of his ideology.
Others have raised more ethical, philosophical questions about just war, patriotism based on killing, the value of human beings, violence to end violence, soft power and hard power, and the like. Others have pointed to addressing the root causes of terrorism and its circumstances.

The death of a world terrorist seems to have been welcomed by many, albeit in different ways, but this is not sufficient to make this complex world a safer place to live.

The writer is an assistant professor in Islamic studies, Religious Studies Department, University of California, Riverside. * * *

SECURITY BEEFED UP IN BALI

The Jakarta Post | Wed, 05/04/2011

Ni Komang Erviani

Security check: Police officers stop a truck in Cipinang Muara, East Jakarta, and check its contents for contraband such as drugs and firearms. Police throughout Indonesia have beefed up security in anticipation of possible terror attacks in the wake of Osama bin Laden’s death in Pakistan. JP/P.J. Leo

Security in Bali has been heightened for the visit by the US warship USS Guardian at Benoa Harbor on Tuesday to thwart possible retaliation by al-Qaeda followers after the death of Osama bin Laden.
Three Balinese dancers welcomed ship commander Lt. Kenneth Brown and his 84-strong crew with the traditional Penyembrahma dance under the close watch of the Indonesian Navy and police.

Capt. Adrian J. Jansen, Naval Attache at the US Embassy in Jakarta, said the five-day visit was part of a diplomatic journey across Indonesia. Last April, the Guardian docked in Makassar, South Sulawesi.
“After we finish our visit in Bali, the ship will go to Surabaya for training exercises with the Indonesian Navy,” Jansen said.

He added that while in Bali, the ship’s crew would conduct various outreach programs.

“We may visit a few high schools in Bali and talk to Indonesian students about life in America, and answer any question they may have,” Jansen said.
The crew, he added, would also get to enjoy Bali. “It is a chance to see how beautiful the island is, and a chance to meet some of the great people here in Bali,” he added.

Col. I Wayan Suarjaya, the Indonesian Navy commander in Bali, said he expected the arrival of the US Navy vessel would mark stronger relations between the US Navy and its Indonesian counterpart. However, he was quick to add that the visit was not related to efforts to counter terrorist threats on the island.

Bali Governor Made Mangku Pastika earlier ordered security be increased at key entry points to the island, tourist destinations, hotels, entertainment centers and other public places in anticipation of possible terrorist attacks following the news of the death of Bin Laden on Sunday.
“Bali has always been a target for terrorist threats as thousands of foreign and local visitors holiday here,” Pastika said.

Bali Police deployed 8,000 officers to safeguard the island since the Easter holidays.
“We are still on very high alert,” police spokesman Sr. Com Sri Harmiti said.
In Jakarta on Tuesday, presidential spokesman Julian Aldrin Pasha said that “in the context of universal security we have to guarantee the safety of the community, not necessarily in response to [the death of Bin Laden]”.
“Security officers are conducting their duty well to safeguard public places or other locations considered to be prone to terrorist attacks,” he added.

In Yogyakarta, police have also been on high alert to anticipate any possible retaliation by al-Qaeda followers. Two-thirds of the police force in the city have been deployed to safeguard areas such as tourist sites.



Indonesia: Terror suspect went to meet bin Laden

Niniek Karmini, The Associated Press, Jakarta | Wed, 05/04/2011

A top Indonesian terror suspect arrested this year in the Pakistani town where Osama bin Laden was killed was intending to meet the al-Qaida chief, officials here say, raising questions over how isolated bin Laden was in his final months.

Indonesian and Pakistani intelligence officers said the arrest of Umar Patek on Jan. 25 in Abbottabad by Pakistani officers did not lead to the American raid on bin Laden on Monday and the two men did not meet.

A senior American counterterrorism official said Patek's arrest in Abbottabad "appears to have been pure coincidence" and also said they did not meet.

Patek is wanted for his role in the 2002 Bali bombings and trained with al-Qaida in Pakistan before the Sept. 11, 2001 attacks in the United States. He is a key Southeast Asian militant and was one of the last on the run believed to have contacts with al-Qaida's central command.

"The information we have is that Umar Patek ... was in Pakistan with his Filipino wife trying to meet Osama Bin Laden," Defense Minister Purnomo Yusgiantoro told reporters Wednesday.

Chairul Akbar, an official at Indonesia's Anti-Terrorism Agency, earlier told the Associated Press that Patek and his wife traveled to Pakistan using false names - Anis Alawi Jaafar and Fatima Zahra - on August 30, 2010, aiming to meet Osama Bin Laden to get his "support and protection."

"He was instructed to go to Abbottabad to meet other militants," Akbar said.

Akbar said it was possible that Patek met al-Qaida leaders in January somewhere in Pakistan but that he did not meet with bin Laden himself.

Many intelligence officials had assumed bin Laden was living in the remote Afghan border region, possibly in a cave, meeting only with a small trusted circle. While its possible that Patek may have been misguided if he thought he could meet bin Laden, the fact he ended up in the same town as him with that intention is striking, and could suggest someone told him bin Laden was there and was prepared to see him.

Pakistani officials kept Patek's arrest under wraps until late March, when the AP broke the news.

A Pakistani official said he was tracked down after authorities arrested an al-Qaida courier in the town called Tahir Shehzad, who worked as a clerk at the post office. Tahir had been under surveillance since last year when he was spotted in Abbottabad with an Arab terror suspect, said the intelligence official.

"Indonesian authorities need to be asking Patek exactly what the nature of his communication was with the al-Qaida organization and who else from Southeast Asia is actively working with al-Qaida in propaganda, training, or even operations," said Sidney Jones, an expert on Southeast Asian militancy.

Muhammad Jibriel, an Indonesian currently serving time in Jakarta over hotel bombings in 2009. was found guilty of obtaining funding for the bombings while visiting Saudi Arabia in 2008. By his own admission, he also traveled to North Waziristan before his arrest.



* * *