Sunday, May 1, 2011

Fenomen “NYAI” -- Dan DATANGNYA "VOC"

Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 01 Mei 2011
-------------------


Fenomen “NYAI” -- Dan DATANGNYA "VOC"



Seorang historikus dan penulis Belanda yang progresif, Reggie Baay,
dengan berani dan kritis mengangkat penanya -- mengungkap salah satu
peristiwa dalam sejarah Hindia-Belanda. Reggie Baay mengadakan studi
tekun dan menulis buku sekitar fenomen “NYAI”. Sebelumnya masalah
sekitar “NYAI”, -- semua tahu bahwa hal itu memang terjadi dalam sejarah
Hindia-|Belanda, ---- Tetapi, tak ada yang hendak bicara 'soal itu'.

Dengan langkah penerobosannya terhadap yang dianggap 'tabu' sekitar
'NYAI' di Hindia-Belanda, Reggie Baay mengubah masalah yang dalam waktu
panjang 'tertutup' bagi masyarakat, -- menjadi data sejarah yang
transparan. Dengan bukunya itu, Reggie Baay telah mendorong maju
selangkah lagi, usaha sejarawan yang obyektif, di negeri Belanda, di
Indonesia, dan dimanapun, untuk dengan berani dan obyektif mengungkap
lebih lanjut peristiwa-peristiwa sejarah. Khususnya yang bersangkutan
dengan hubungan Indonesia-Belanda. Baik yang pra-kemerdekaan Indonesia,
maupun yang sesudahnya, yang diselewengkan maupun yang digelapkan.
Ataupun yang selama ini dianggap 'tabu'. Dan dari situ menarik pelajaran
untuk masa depan.


Dari sejarah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan, serta kaum
penguasa feodal Nusantara, juga bisa diungkap bahwa sistim 'selir' dan
'gundik' merupakan praktek 'tradisionil' kaum penguasa. Sehingga dapat
dikatakan bahwa fenomena 'NYAI' itu adalah versi lainnya dari fenomen
SELIR atau GUNDIK. Yaitu suatu sistim perbudakan dan eksploitasi, suatu
perlakuan sewenang-wenang terhadap kaum wanita yang telah berlangsung
dalam waktu panjang.


* * *

Di kalangan generasi-tua Belanda, --- sudah lama bertahan suatu
kecenderungn fikiran-salah yang agak umum. Dimaksudkan di sini ialah
mengenai periode 'tempo-doeloe'. Teristimewa mereka-mereka yang
mengalami masa-masa 'gelukkig' dan 'happy' pada periode 'tempo doeloe',
di Hindia-Belanda. Sebagai bangsa penjajah, mereka hidup nyaman dan
makmur di Hindia-Belanda. Sebagai kasta elit dalam masyarakat kolonial,
yang berhak istimewa, mereka hidup serba-ada, berkelebihan dan nyaman,
di tengah-tengah penderitaan dan kemiskinan rakyat Indonesia.
Kecenderungan atau nostalgi itu, membuat mereka membagus-baguskan
kolonialisme, khususnya mengenai peranan VOC di Indonesia. Tanpa
sedikitpun sungkan-sungkan mereka mendemonstrasikan kebanggan=an mereka
sekitar VOC, serta mengemukakan 'hal-hal baik' yang ditinggalkan oleh
kolonialisme Belanda di Indonesia.


Sayangnya, sementara orang Belanda dari kalangan generasi-sesudah-perang
Dunia II, juga masih terjangkit kecenderungan fikiran salah tsb. Ini
jelas sekali: Ketika (masih menjabat) PM Belanda, Jan Peter Balkenende
memuji 'mentalitas VOC'. Ini dikemukakanya dalam rangka (pemerintah
Belanda) memperingati kejayaan duaratus tahun VOC. Balkenende
manganjurkan agar menghidupkan kembali 'mentalitas VOC', yang
dikatakannya punya 'semangat dagang', dan 'kegigihan mengarungi
samudera-samudera di dunia ini', yang pantas diteladani oleh bangsa
Belanda dewasa ini.


Sementara dari kalangan mereka berucap: -- Bukankah kami di zaman
Hindia-Belanda dulu telah membangun jalan-jalan kereta-api, jembatan,
jalan-jalan raya, rumah-rumah sakit dan sekolah-sekolah, dsb? Lalu
mereka bicara tentang 'positifnya' yg dinamakan:


"ETHISCHE POLITIEK" (1900).

* * *

Maka kiranya perlu disini kita masuki sedikit informasi-sejarah
sekitar yang disebut ETHISCHE POLITIEK tsb.

Prakarsa ini sering disebut *Politik Balas Budi. *Ide tsb
dilontarkan karena pemerintah kolonial Hindia Belanda tiba-tiba
merasa 'punya tanggung jawab' moral mengenai kesejahteraan
penduduk Pribumi. Namun, nyatanya ide ETHISCHE POLITIEK itu adalah
suatu kritik yang disasarkan terhadap politik CULTUUR STELSEL
pemerintah kolonial. Yang kita kenal dengan nama politik TANAM
PAKSA pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk Bumiputera
ketika itu. Politik 'tanam paksa' telah menggendutkan kas Belanda,
sebaliknya menambah penderitaan dan kemelaratan rakyat Bumiputera.


Sebenarnya, Ethische Politiek, adalah akibat langsung pengaruh
kaum Etiesch ( yg dipelopori a.l oleh wartawan s.k. De Locomotief,
Pieter Brooshooft, dan politikus C. Th. van Deventer). Mereka
mengemukakan, bahwa, seharusnya pemerintah memperhatikan nasib
Bumiputera yang terjajah.


Kemudian, Ratu Wilhelmina (17.9.1901) resmi bicara soal 'panggilan
moral' dan 'hutang budi' (eereschuld)' terhadap rakyat Indonesia.
Ini dituangkan dalam kebijakan pemerintah Nederland, di bidang
irigasi, imigrasi dan pendidikan untuk Hindia-Belanda.

Dinyatakan tentang perlunya, membangun dan memperbaiki pengairan
dan bendungan untuk keperluan pertanian. Lalu yang menyangkut
imigrasi: --mengajak penduduk untuk bertransmigrasi. Sedangkan
yang menyangkut edukasi akan memperluas bidang pengajaran dan
pendidikan


Tetapi dalam praktek kemudian, kebijakan bidang irigasi dan
imigrasi samasekali tak punya dampak positif. Yang dibangun
pemerintah kolonial adalah irigasi untuk perkebunan-perkebunan
Belanda. Sedangkan yang bersangkutan dengan imigrasi, yang
dilakukan hanyalah memindahkan penduduk ke daerah perkebunan
Belanda untuk dijadikan pekerja rodi.


Di bidang pendidikan pemerintah kolonial Belanda membangun
sekolah-sekolah. Yang ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi
yang cakap dan murah. Pendidikan yang seyogianya untuk seluruh rakyat,
hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang
mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan antara anak-anak pegawai negeri
dan orang-orang yang berharta, terbanding anak-anak pribumi dan
anak-anak rakyat miskin umumnya.


* * *

Dari praktek 'Ethische Politiek” yang dikatakan sebagai 'tanggungjawab
moral' dan 'balas budi' pemerintah kolonial terhadap penduduk
Bumiputera, nyatanya adalah politik yang diciptakan demi kepentingan
ekonomi penjajahan di Hindia Belanda.


* * *

Sejak datangnya orang-orang Eropah yang bekerja untuk VOC di
Hindia- Belanda, sekitar tahun 1600 Masehi, pada saat itu
muncul fenomena "NYAI".

Karena praktek dagangnya yang semakin luas, – – – mulai dari
rempah-rempah seperti merica, cengkeh dan pal- – – lalu berkembang ke
sutra, katun, kopi, indigo, tembaga dan timah. Untuk keperluannya VOC
membangun jaringan kantor dagang, gudang-gudang dan faktorai. VOC
memerlukan banyak pegawai untuk mengurus segala administrasi yg
bersangkutan. Juga diperlukan tukang-tukang akhli perkapalan dsb.


Yang dianggap penting sekali oleh VOC, dan melakukannya ialah membawa
dari Eropah, dan merekrut serta memelihara tentaranya sendiri di
Hindia-Belanda. Ketika itu dikenal di masyarakat Indonesia sebagai
'serdadu Kumpeni'.

Orang-orang Belanda itu, terutama pegawai rendahan dan serdadu-serdadu
dan opsir rendahan, umumnya berusia muda dan lajang. Kebanyakan dari
mereka itu mencari jalan keluar bagi “kebutuhannya”, dengan mengambil
"NYAI". Kaum wanita yang diambil jadi "Nyai" itu umumnya adalah
budak-budak rumah tangga. Hubungan mereka dalam rumahtangga berlangsung
atas dasar pemaksaan.

Hubungan dalam rumah-tangga yang mempraktekkan sistim selir/gundik atau
"Nyai" itu, dalam pratek sulit dibedakan dengan praktek prostitusi.

* * *

'Nyai' Bumiputera, begitulah 'prosedur'nya --- mula-mula
didatangkan dari kampung, untuk menjadi pekerja rumah tangga
penguasa kolonial. Dalam proses selanjutnya 'pembantu rumah
tangga' menjadi partner sang meneer di tempat tidur. Dan dalam
banyak hal menjadi Ibu dari anak-anak sang meneer.


Sejak datangnya VOC sistim Nyai ini boleh dikatakan menjadi suatu
lembaga yang abadi dalam masyarakat Eropah di Hindia Belanda. Ia
merupakan gejala yang diketahui semua orang tentang keberadaannya.
Meski pernah dinyatakan mau diakhiri tetapi lembaga Nyai ini
berlangsung terus selama seluruh periode kolonial.

Sudah menjadi hal yang biasa bagi orang-orang Eropah yang bekerja
untuk VOC di 'Hindia Belanda', mengambil seorang 'NYAI', nama
untuk selir atau gundik, yang dipakai pada zaman VOC duu itu . Ini
berlangsung ketika menantikan datangnya seorang calon istri (yang
asal Eropah) yang cocok. Begitulah 'adat-istiadat' periode VOC
itu, yang 'membolehkan' sang 'meneer' Eropah tsb 'menyuruh pergi'
sang Nyai, kapan saja ia menghendakinya. Nasib para nyai ini
tampaknya sudah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat Hindia

Belanda ketika itu.

'Pengusiran' terhadap para Nyai juga terjadi meski dari hubungan
'meneer-nyai' itu telah lahir anak-anak mereka. Para pengabdi VOC itu
mempraktekkan hubunngan perbudakan dengan para wanita Bumiputera yang
'diambil' dari kampungnya, untuk mula-mula bekerja untuk 'meneer'
sebagai pembantu rumah-tangga.


* * *

Dengan sendirinya keadaan ini menimbulkan pelbagai implikasi
sosial yang besar. Tidak saja bagi sang 'meneer' yang orang Eropah
itu, dan bagi sang Nyai yang Bumiputera. Tetapi juga bagi
anak-anak mereka yang sering dinamakan 'bastaard' atau anak
'blasteran'. Juga disebut anak-anak 'Indo' atu 'Eurazia'.


* * *


No comments: