Sunday, March 3, 2013

“*LUKA – LAMA ” YANG TAK PERNAH “NUTUP” ,* “*TAK PERNAH TERLUPAKAN” BAGI PARA KORBAN*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Sabtu, 02 Maret 2013-*
-----------------------


“*LUKA – LAMA ” YANG TAK PERNAH “NUTUP” ,*

*TAK PERNAH TERLUPAKAN” BAGI PARA KORBAN*


Kemarin, Jum'at 02 Maret 2013, di ruangan ini disiarkan tulisan *Andjarsari Paramaditha, *jurnalis “The Jakarta Globe”, berjudul “*The Act of Killing' Reopens Old, Long-Buried Wounds in Indonesia”. *Dalam bahasa Indonesia, kira-kira begini bunyinya*“Jagal”, Membuka Kembali Luka-luka Lama Yang Dalam Waktu Panjang Dikubur di Indonesia”.*


** * **


Andjarsari Paramadhita menuangkan kesan dan tanggapannya dalam tulisan tentang film produksi film-maker berbangsa Amerika*Joshua Oppenheimer*, berjudul “The Act of Killing”. Sebuah film yang dewasa ini sudah dipertunjukkan di pelbagai festival film internasional dan memperoleh pengharagaan AWARD. Joshua Oppenheimer mendokumentasikan tutur cerita Anwar Congo dan kawan-kawannya, dari organisasi Pemuda Pancasila. Anwar Congo dan kawan-kawannya yang terlibat dalam pembunuhan masal periode 1965, setelah gagalnya G30S, adalah mantan preman, gangster Medan yang menguasai bioskop-bioskop Medan pada tahun 60-an abad lalu.


Membaca judul artikel yang menggugah dan menyentuh hati nurani ini, -- tersirat dalam fikiran:


Sebenarnya “luka-luka lama” akibat pembantaian masal oleh aparat negara (TNI, Polisi, preman-preman dan regu-regu pembantai yang diregisir oleh penguasa militer di bawah Jendral Suharto pada periode 1965/66/67 dst terhadap warga tak bersalah**anggota dan bukan anggota PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno), tak pernah pulih.


Tak terhindarkan fikiran wajar akan berreaksi: Apa para korban pelanggaran HAM terbesar oleh aparat kekuasaan negara RI sekitar periode pertengahan tahun 60-an abad lalu, ---


*PERNAH MELUPAKAN PENDERITAAN MEREKA AKIBAT KESEWENANG-WENANGAN APARAT?? Apa luka-luka lama yang disebabkan oleh persekusi rezim Orde Baru, itu pernah “sembuh” ? Apakah luka-luka lama yang dikubur dalam-dalam oleh penguasa tsb PERNAH TERTUTUP??*


Masuk di akalkah, -- para korban pelanggaran HAM berat oleh aparat negara di sekitar Peristiwa 1965, akan berhenti mempersoalkan, mengapa bapak, ibu, suami, anak, dan anggota keluarga mereka di “amankan” oleh aparat negara dan dipenjarakan. Dibuang ke Pulau Buru. Bahkan dibunuh secara ekstra judisial.


Apakah kesalahan mereka, maka sampai diperlakukan sewenang-wenang demikiuan oleh penguasa negara? Selama itu mereka tetap setia pada negara Republik Indonesia dan patuh mendukung politik kepala negara dan pemerintahan Presiden Sukarno? Bisakah dikatakan abnormal, -- bila keluarga para korban itu masih bertanya-tanya dimana bapak, ibu, anak dan keluarga mereka itu? Dan bila dibunuh aparat, dimana kuburan mereka itu?


Jelas luka-luka lama itu tidak mungkin dilupakan terutama oleh para korban. Adalah kewajiban penguasa negara dewasa ini, untuk menjernihkan masalah-masalah sejarah bangsa ini.


Seperti dikatakan a.l oleh Joshua Oppenheimer: *"For Indonesians old enough to remember the genocide, the film makes it impossible to continue denying what everybody in that generation already knew. They are closer to the perpetrators . . . . . ".*


Terjemahan bebas: ---- “*Untuk orang-orang Indonesia yang cukup umurnya untuk mengingat kembali genosida (1965/66/68dst), film tsb (The Act of Killing''”) tidak memungkinkannya lagi untuk terus-terusan membantah apa yang sudah diketahui oleh semua orang dari generasi tsb. Mereka lebih dekat dengan para pelaku (genosida) itu . . . “*


** * **


Sementara petinggi tentara dan birokrasi kekuasaan sekarang dan politisi serta elite yang lahir dalam buaian, dibesarkan dan didewasakan rezim Orde Baru dan sekarang berada dalam posisi kekuasaan dan unggul di bidang finansil dan ekonomi, – – – –*lebih-lebih lagi* mereka-mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat sekitar periode 1965, ------ dari waktu ke waktu membuat pernyataan absurd sbb:


“Apa yang sudah terjadi di sekitar periode itu (maksudnya pelanggaran HAM berat sekitar Peristiw 1965) *itu masa lampau*. Kita harus melihat ke depan. Mempersoalkan masalah Peristiwa 1965 akan “membuka kembali luka-luka lama”.


Juga elite di DPR yang golongannya terlibat dalam pelanggaran HAM berat tidak ketiggalan mengeluarkan *suara sumbang.* Mereka mengkhawatirkan langkah keterbukaan terhadap publik, dikatakannya, yang justru (akan) menimbulkan kegaduhan baru. Ini dikatakan oleh anggota Komisi II DPR RI, Salim Mengga. Celetuknya: "Keterbukaan dokumen G30S-PKI harus dikoordinasikan dengan lembaga lain, karena (kalau tidak) akan menimbulkan kegaduhan."


Pernyataan dan dalih yang diutarakan oleh mereka-mereka itu, semata-mata untuk mencegah terbukanya bagi masyarakat umum, apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah bangsa ini sekitar Peristiwa 1965. Itulah sebabnya, Kejaksaan Agung menggunakn berbagai taktik dan muslihat, yang hakikatnya menolak Rekomendasi dan Kesimpulan KomansHAMN tertanggal 23 Juli 2012. KomnasHAM dalam rekomendasinya itu mengungkap keterlibatan aparat negara dalam pelanggaran HAM berat, serta menyarankan Kejaksaan Agung mengambil tindakan lanjut.


Itulah pula sebabnya mereka berusaha mencegah dibukanya arsip Lembaga Negara Arsip Nasional Republik Indonesia, ANRI, bagi masyarakat umum. Ingat canang Peneliti Senior LIPI *Prof* *Dr Asvi Warman Adam: “ARSIP BANGSA KOK DISEMBUNYIKAN?*


** * **




A MUST FOR EVERYONE

*IBRAHIM ISA*
*Friday, March 1, 2013**
------------------------*


To read the article by Andjarsari Paramaditha (Febr. 27th), published below

*IS A MUST FOR EVERYONE to know the Human Rights situation in Indonesia today. *



** * ***
*

*The Act of Killing' Reopens Old, *

*Long-Buried Wounds in Indonesia **
Andjarsari Paramaditha | February 27, 2013* *

The Jakarta Globe, Sat, March 2, 2013 *
*

** * **


*"For Indonesians old enough to remember the genocide, the film makes it impossible to continue denying what everybody in that generation already knew. They are closer to the perpetrators than they like to believe," **Oppenheimer said. *


Bejo Untung was a 17-year-old Indonesian schoolboy when armed soldiers came to his village in 1965, forcing him on the run for years until he was caught, tortured and jailed.

A communist-led coup attempt had just failed, triggering a wave of arrests and killings that ushered in more than three decades of rigid anticommunist education and propaganda. The subject is still so sensitive it is rarely broached in public.

But now a documentary, "The Act of Killing," made by Texan-born director Joshua Oppenheimer, shines a light on that dark era, focusing on the death squads and torture that seem like a myth to the majority of the Indonesian population.

Oppenheimer came up with the idea for the film while working on a different project in North Sumatra and found many relatives of the Indonesians he was talking to had been killed or imprisoned between 1965 and 1966 for trying to form a union.

Most were too afraid to appear on camera to speak with him and suggested he talk to the killers. He took their advice and was horrified by his findings.
*
"I ... encountered the boastful and shocking way that the killers were talking about what they did," said Oppenheimer in a telephone interview from Denmark.
*
*"That was for me the beginning of the journey. I realized, my goodness, how is it possible that the perpetrators of mass murder should talk loudly and boastfully and with smiles and laughter." *

The film, which runs for nearly two hours and won two prizes at this month's Berlin International Film Festival, re-enacts several murders and features a member of a death squad.

*Death squads*

These death squads were operating systematically across Indonesia mostly in the late 1960s. Estimates put as many as one million people dead in a wave of violence after the aborted coup and purge of communists and alleged sympathizers.

The main character in the film, Anwar Congo, was the one of the most feared death squad leaders in the area around the city of Medan in Sumatra.

"I choke them to death, with steel wire around the neck," Congo says in the film, demonstrating in front of the camera how it was done. "And then pull it, sometimes with a pole. It's easier that way and less blood to clean."

Premiered at the Toronto Film Festival in October 2012, "The Act of Killing" took the Panorama Audience Award and the Ecumenical Jury Prize at the recent 2013 Berlin International Film Festival but there have been no official screenings in the country where it took place.

It has been shown in about 265 underground screenings, with secret invitations sent to small groups, but there is the fear that police might try to block the screenings. Still, some 10,000 have been to see it.

The National Police spokesman did not respond to questions asking whether the officers would have tried to stop showings of the film. Young Indonesians had long been taught that communism was sadistic and evil and given no alternative view to that era.

Until 1998 and the end of the iron rule of Suharto, the leader who took power shortly after the coup, viewing of a violent movie about how six generals and an officer were killed in the coup attempt was compulsory for schoolchildren.
*
Even last year an attempt by Indonesia's human rights commission to look into the events surrounding the slaughter were effectively blocked by the government. *

*"Baby rat was my favorite"*

Bejo Untung said the movie reflected accurately what happened to him and many others.

Caught and imprisoned in 1970, Untung survived a year of torture - beating and electrocution - in prison and then a camp of several hundred men located in Central Jakarta. Three killed themselves while he was there, while others disappeared and were feared to have been killed. He spent eight years in jail without trial, including a stint of brutal forced farm labor.

"Ten of us were forced to stay in a room which can only fit two," he said of his time in one prison. "We slept like layered cake, my head facing another inmate's toes so we could breathe while we slept."

Most of the protein in his diet came from "anything that moved" in the fields, including frogs, rats, snakes and snails.

"My favorite was the baby rat, it's easy to swallow it alive," said Untung.

He learned to play guitar and piano and made his own instrument during breaks. To learn English, he copied a dictionary word for word onto cigarette papers.

It wasn't until 1979 that political prisoners were released, in order to open the way for Indonesia to receive financial grants from the United States and European nations.

Untung was a private music tutor until retiring and now heads YPKP 65, an organization for victims of the brutality. For nearly six years, he marched in front of the State Palace, the seat of Indonesian government, every Thursday together with other human rights victims, demanding resolution.
*
Now he and others want Indonesian history to be revised to reflect the truth of that period. *

Hilmar Farid, a Jakarta-based historian at the University of Indonesia, said this was a lesson - not to allow absolute power to take hold.

*"I doubt that the perpetrators will watch the movie and apologize ... Political interest plays a big part. There is a need to have mass consciousness, mass repentance if necessary." *

Oppenheimer said his film, which cost $1 million to make over five years, gave young Indonesians a different chapter to their nation's history.

"From the history lessons in school, I only remember that they [the communists] killed and oppressed people, that's it." said 23 year-old graduate student Frederika Dapamanis after watching the movie. "I was sad and ashamed."

There were also lessons for those older as well.

"For Indonesians old enough to remember the genocide, the film makes it impossible to continue denying what everybody in that generation already knew. They are closer to the perpetrators than they like to believe," Oppenheimer said.

"It's not because they're communist or Indonesian, but they are human beings," he said. "The movie, that's a hurtful truth. Indonesia has to speak out about this. The government has to apologize and the truth has to come out." * * *





*SEKITAR TURUNNYA PAUS BENEDIKT XVI*

*IBRAHIM ISA *
*Kemis, 28 Februari 2013**
-------------------------*

*SEKITAR TURUNNYA PAUS BENEDIKT XVI*


Membaca tanggapan sahabat karibku: -- *Arif Harsana*, Munster, Jerman, sekitar turunnya Paus Benedikt XVI dan latarbelakangnya, --- aku fikir baik dan bagus bila lebih banyak lagi yang membacanya. Tulisan Arif Harsana tsb adalah sebuah tanggapan dalam suatu diskusi kecil yang sedang berlangsung di mailist sekitar masalah itu.


Tulisan Arif Harsana cekak-aos dan memberikan sedikit gambaran mengenai latar belakang mundurnya Puas yang sekarang ini. Singkat dan jelas!


Bagiku sendiri merupakan suatu bahan iformatif yang yang ditulis dengan memberikan argumentasi dan sumber bahan yang transparan. Oleh karena itu berguna sekali!


*Terima kasih pada Arif Harsana atas tulisannya yang singkat, informatif dan analitis!!*


Silakan membaca stulisan menarik Arif |Harsana tsb sbb:


* * *


*SEKITAR TURUNNYA PAUS BENEDIKT XVI & *

*LATAR BELAKANGNYA *

*Oleh Arif Harsana*


Kita tengok sebentar tema awalnya mengenai "Vatican scandal".


Saya ingin ikut menanggapinya, sekaligus dalam kaitannya dengan latar belakang turunnya Paus Benedikt XVI secara resmi , tgl. 28 Februari 2013.


Baru sekarang ini seorang Paus turun dari jabatannya secara sukarela, menolak untuk menduduki jabatan Paus seumur hidup - seperti lazimnya kebiasaan Vatikan semenjak 7 abad terakhir ini.

Dari segi ini, langkah Paus Benedikt XVI dianggap membuat terobosan revolusioner yg berani. Ada sementara pengamat yang punya harapan, langkah Paus yang satu ini bisa membuka babak sejarah baru pembaharuan /Reformasi besar, yg mungkin akan mempunyai pengaruh jangkauan jauh kedepan.


Tentang sebab2 yang sebenarnya dari langkah berani Paus Benedikt XVI, selain disebabkan oleh faktor2 pribadinya, y.i. usia lanjut sehingga kondisi baik jasmani maupun mental menurun, tetapi menurut para pengamat juga disebabkan banyaknya problem2 besar didunia gereja Katholik yg tidak mampu lagi ditangani olehnya.


Beberapa faktor penyebab turunnya Paus Benedikt XVI, a.l. seperti yg dimuat dlm koran La Republica, yg terbit pertengahan Desember 2012 yg.lalu, (yg diposting oleh bung Taher kemarin itu kemilis ini), yaitu tentang meledaknya skandal " VatiLeaks affair " - kasus ttg. bocornya dokumen rahasia Vatikan 300 halaman yg ditulis oleh orang penting pejabat tinggi di Vatikan tentang praktek korup dan intrik2 di lingkaran dalam puncak kekuasaan Vatikan. ( http://au.news.yahoo.com/world/a/-/world/16205271/vatican-scandal-cited-in-pope-resignation/ )


Masalah besar selanjutnya adalah terbongkarnya kasus2 pemerkosaan thd anak2 didik dilingkungan seminari Katholik di AS, Jerman dan di Inggris, yang dilakukan oleh para pengasuh /pemimpin gereja. Belakangan juga semakin kuat kritik2 thd doktrin2 konservativ Vatikan seperti pelarangan yg rigid dlm hubungan seksual (mis. pelarangan penggunaan kondom), menolak peran wanita sbg Pastur, peraturan Solibet (Pastur dilarang nikah), peraturan yg diskriminatif terhadap para pekerja dilingkungan gereja yg. berstatus cerai atau pernah cerai, serta sikap diskriminativ Vatikan thd orang2 Homo (orang2 yg berpasangan hidup dg yg sejenis kelaminnya).


Kritik2 yang lebih lebih mendasar terhadap doktrin konservativ kolot Vatikan, bisa dilacak kebelakang dalam sejarah perkembangan ide2 reformasi sejak masa kepemimpinan Paus Johannes XXIII, yang menyelenggarakan Vatikanum II (Zweite Vatikanische Konzil) pada th. 1962 -- 1965, yang memandang perlunya pembaharuan doktrin2 agama yg sudah ketinggalan jaman untuk ditingkatkan agar sesuai dengan tuntutan perkembangan masa kini. Usaha pembaharuan Vatikanum II sepeninggalan Paus Johannes XXIII itu dilanjutkan oleh penggantinya Paus VI dan berakhir tahun 1965. Hasilnya, a.l. disepakatinya prinsip kebebasan memeluk agama dalam hukum ketatanegaraan dan perlunya memperkuat dialog dengan penganut agama lainnya maupun dengan mereka yg tidak menganut kepercayaan. Yang juga ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan Vatikanum II adalah para Paus berikutnya Johannes Paul I., Johannes Paul II. dan Paus Benedikt XVI.

Gerakan pembaharuan dalam semangat Vatikanum II mendapat pengikut kuat di Eropa, terutama di Jerman, Belanda dan Austria yg dimotori oleh Professor Theolog Hans Küng. Inti pokok kritik Hans Küng adalah tentang pengingkaran /pengkhianatan terhadap semangat pembaharuan yg terkandung dalam kesepakatan Vatikanum II, yang mulai dirasakan semakin kuat semenjak masa tampilnya kepemimpinan Paus Johannes Paul II. dan dilanjutkan oleh Paus Benedikt XVI.

Pada pokoknya, kritik Hans Küng ditujukan terhadap usaha Restorasi ajaran kuno absolutisme jaman pertengahan, yang sedang dihidupkan kembali oleh pusat penguasa gereja di Vatikan. Sebagai aktor intelektual usaha Restorasi itu adalah Kardinal Ratzinger, yang waktu itu diangkat oleh Paus Johannes II menjabat sebagai Kepala bidang dogma /ajaran (Präfekt der Glaubenskongregation) dan sekaligus penasehat utama Paus Johannes Paul II dibidang ideologi dan garis politik pusat gereja diVatikan.

Belakangan, Kardinal Ratzinger menggantikan Johannes Paul II dan berganti nama sebagai Paus Benedikt XVI. Pokok2 pikiran Hans Küng dalam mengkritik penguasa di Vatikan, antara lain bisa disimak dlm wawancaranya dengan majalah "Der Spiegel" di Link berikut ini :

http://www.spiegel.de/panorama/gesellschaft/interview-mit-hans-kueng-jeder-reformer-muss-angst-vor-rom-haben-a-801075-2.html.


Di Amerika Latin, para pengikut gerakan pembaharuan Vatikanum II yang legendaris diwakili oleh kalangan gereja yang beraliran "Theologi Pembebasan" dengan pimpinannya Prof. Theolog Leonardo Boff dan rekannya Gustavo Gutiérrez. Dalam ajarannya (Theologi Pembebasan), Leonardo Boff mengkritik pihak petinggi gereja yang selama ini hanya memusatkan perhatiannya kepada kepentingan golongan orang kaya dan mengesampingkan nasib Rakyat kecil. Bahkan tidak jarang pihak gereja malah bersekutu dengan pemegang kekuasaan negara yang melakukan penindasan dan perampasan hak-hak asasi warga. Theologi Pembebasan yg dipimpin Leonardo Boff lahir dalam kancah perjuangan Rakyat Amerika Latin melawan kekejaman penindasan kekuasaan Junta Militer, yg kala itu sedang meraja lela hampir diseluruh negara2 Amerika Latin. Banyak para Pastor dari Theologi Pembebasan yg pada masa itu ikut aktif bersama para pasukan partisan dipegunungan, ikut bertempur dalam perang gerilya melawan kekejaman penindasan Junta Militer.

Pada dasarnya, kekuasaan para Junta Militer itu mewakili kepentingan Latifundis (klas tuan tanah reaksioner) dan sekaligus sebagai kaki tangan imperialis AS.


Dalam wawancaranya dengan majalah "Der Spiegel", Leonardo Boff mengkritik keras represi yg dilakukan oleh Paus Benedikt XVI terhadap para pengikut Theologi Pembebasan. Pada masa ketika ia masih bernama Ratzinger, sebagai Kepala bidang dogma /ajaran ( Präfekt der Glaubenskongregation ), Ratzinger banyak menjatuhkan hukuman terhadap lebih dari seratus Theolog dan ketika menjabat sebagai Paus Benedikt XVI, nasib para Theolog pengikut Theologi Pembebasan mengalami represi lebih buruk lagi. Sebagai Paus, ia melakukan penghancuran dan pembersihan terhadap benteng2 Theologi Pembebasan dan hanya kaum konservativ yg sesuai dengan garis ajaran dogmatisnya, yang diangkat dalam posisi2 penting dalam rangka memperkuat kedudukannya.


Dilain pihak, Leonardo Boff menyadari sepenuhnya, bahwa perjuangan gigih para pengikut Theologi Pembebasan bersama kekuatan kiri progresip, yang bersatu padu dengan kebangkitan gerakan pembebasan dari penduduk asli Amerika Latin (kaum Indian) adalah tidak sia2 dan telah membuahkan hasil yang membanggakan dengan tampilnya tokoh2 pemimpin pogresip dari kekuatan politik kiri, yang sekarang semakin banyak memegang tampuk pimpinan dibanyak negara2 Amerika Latin. Sebagai contoh, Leonardo Boff menyebut nama2 Lula da Silva, pemimpin Sarikat Buruh Brasilia yang menjadi Presiden dan juga penggantinya sekarang Dilma Rousseff , yg pernah ikut perang gerilya itu, bahwa "keduanya terpengaruh juga dari interprestasi kami ttg. ajaran Kristen sebagaimana yang kami pahami", demikian Boff.

Pokok2 ajaran Theologi Pembebasan, antara lain bisa disimak dalam wawancara Leonardo Boff di majalah "Der Spiegel", di Link berikut ini : http://www.spiegel.de/spiegel/print/d-90049019.html


Di Indonesia, dilingkungan umat Islam. pernah ada seorang tokoh pergerakan melawan penindasan kaum penjajah Belanda, namanya Haji Misbach, yang juga mengajarkan persatuan seluruh kekuatan anti kolonialis dari semua pengikut agama termasuk dengan mereka yang beraliran Komunis. Karena, menurut Haji Misbach, yang lahir tahun 1876 di Yogyakarta, baik Islam maupun Komunis menghendaki dihilangkannya penindasan dan penghisapan oleh sistem Kapitalis ( Ref. Buku "Zaman Bergerak"- Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, karya Takashi Shiraishi ).



Salam,


Arif Harsana

Münster, 27.02.2013


--------------- &&& -------------------


*IN MEMORIAM NOOR DJAMAN*

*IBRAHIM ISA*
*Senin, 25 Februari 2013*
*-------------------------------*


*IN MEMORIAM NOOR DJAMAN*

**


** * **


Keluarga Bung Noor Djaman dan para hadirin Yth.,


Selain keluarga Noor Djaman, khususnya istri beliau : Zus Sumarsih Djaman-Nurdianty -- serta putri-putri serta cucu dan menantu: -- Ida Kartininingsih, Jean Marc Genest, Nouristo, Ulysse, Louis; -- Natalia Ramdhayani dan Frans van Dijk . . . serta semua hadirin yang datang hari ini di sini, maupun yang berhalangan datang, khususnya kawan-kawan yang sudah lama mengenal Noor Djaman, . . . *Semuanya merasa kehilangan* dengan kepergian Bung Noor

Djaman. Merasa terkejut dan bersedih-hati serta berbelasungkawa dengan meninggalnya Noor Djaman tercinta.


Semoga keluarga Noor Djaman yang ditinggalkan bertabah hati melalui masa-masa sedih dan sulit ini.


Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Radjiuun . . . Semoga arwah Noor Djaman diterima disisi Tuhan YME. Amien!


* * *


Sebagai manusia Indonesia yang cinta Tanah Air dan Bangsa, Noor Djaman bercita-cita mulya kebebasan Tanah Air dan Bangsa, keadilan dan kebenaran bagi rakyatnya. Berdasarkan sikap dan pendirian patriotik dan progresif ini Noor Djaman dengan sunggh-sungguh dan tekun serta setia memanifestasikannya dalam menunaikan profesinya. Pada suatu periode Noor Djaman mendapat tugas mendirikan surat kabar di Kalimantan: “Harian Khatulistiwa”. Dengan misi membela kepentingan politik dan kehidupan sehari-hari rakyat serta kepentingan politik nasional bangsa dan tanah air. Selain itu Noor Djaman mengemban tugas di Kalimantan selama tiga bulan mendidik sejumlah calon wartawan muda yang akan meneruskan usaha jurnalistik serta kegiatan media patriotik dan progresif di Kalimantan.


* * *


Pada saat di Indonesia terjadi perubahan besar yang mendadak dengan meletusnya Peristiwa 1965, ketika Indonesia dan rakyatnya dilanda arus sakal berdirinya rezim otoriter Orde Baru yang membawa korban manusia sampai sekitar tiga juta orang tidak bersalah … Noor Djaman dengan tegas mengambil posisi dan sikap yang menentang keras arus sakal rezim Orde Baru.


Justru disebabkan oleh sikap dan pendirian politiknya yang patriotik dan cinta rakyat inilah, Noor Djaman berada di posisi yang berhadap-hadapan, bertolak belakang dengan politik dan kebijakan rezim Orde Baru. Hal ini kontan membawa akibat paspornya sekeluarga dicabut oleh rezim militer Jakarta, . . . . dan menjadilah seperti yang pernah diungkapkan oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid --- “ORANG YANG TERHALANG PULANG”.


* * *


Sebagai orang yang terpaksa bermukim di luar negeri, Noor Djaman sekeluarga bersama banyak kawan senasib lainya tidak tinggal diam, tidak berpeluk tangan. Tapi dengan aktif ambil bagian dalam berbagai kegiatan bersama di luarnegeri. Semua itu diabdikan pada perjuangn rakyat Indonesia untuk tegaknya Hukum, Demokrasi dan Keadilan di Indonesia.


* * *


Selain itu, Noor Djaman meneruskan profesinya, sebagai seorang penulis. Ia menulis dan menulis! Menghasilkan sejumlah novelette dan sajak dan syair, yang diabdikannya pada perjuangn untuk keadilan dan kebenaran di Tanah Air yang dicintainya.


Karya sastra Noor Djaman antara lain adalah sebuah novelette berjudul “Kisah Putri Remaja”, lalu “Nyi Ema Bintang Ronggeng”, dan Tahi Lalat Diujung Bibir”. Agar tulisan-tulisnnya itu bisa dibaca seluas mungkin, Noor Djaman atas upaya jerih payahnya sendiri menulis beberapa novelettenya dalam bahasa Inggris, seperti “It happens in Beijing” dan “Campus Drama”.


Tiga buah novelette Noor Djaman terdapat di Perpustakaan di London.


Suatu ketika, Noor Djaman diundang oleh sebuah organisasi penulis internasional di AS . Bersama istrinya, Sumarsih, mereka memenuhi undangan berkunjung ke Amerika. Di Amerika Noor Djaman memperoleh penghargaan, Award, untuk karya-karya sastranya. Di pertemuan internasional penulis-penulis dan penyair di AS itu, dimana ia mendeklamasikan sajaknya, Noor Djaman diterima sebagai anggota “penyair seumur hidup”.


* * *


Bagi kawan-kawan yang mengenalnya dari dekat maupun yang baru sekali menjumpainya, semuanya berkesan bahwa Noor Djaman orangnya peramah, periang dan selalu hangat terhadap kawan lama maupun baru. Ia tidak segan-segan menyatakan fikiran dan pendapatnya, sekalipun itu mungkin berbeda, bahkan bertentangan dengan fikiran dan pendapat orang yang mendengarnya. Ia juga tidak segan-segan memberikan pendapat yang kritis terhadap siapa saja, dan terhadap segala sesuatu yang menurut keyakinannya tidak benar dan merugikan orang banyak.


* * *


Yang menonjol dari sifat-sifat Noor Djaman a.l adalah kegemarannya bergurau dengan kawan dekat, dengan teman sekerja maupun dengan kawan seperjuangan. Bergurau adalah sehat, kata Noor Djaman selalu pada saya. Bergurau yang mengandung maksud baik dan tujuan tertentu agar yang mendengar memikirkannya. Bukan gurau asal gurau saja. Apalagi gurau yang melewati batas-batas kewajaran. Itu tidak boleh, tokh? Katanya sering pada saya.


Justru dalam guraunya itulah saya sering mendengar celetukan-celetukan politik Noor Djaman yang menunjukkan bahwa ia senantiasa memikirkan tentang Indonesia, --- yang jawabannya belum ditemukannya..


Ketika hidup bertetangga dengan keluarg Noor Djaman dalam waktu panjang di waktu yang lalu, pada waktu senggang kami berdua saja, secara reguler, sering jalan-jalan ke pedesaan yang agak jauh. Berjalan-jalan, bersantai sambil memanfaatkannya sebagai kegiatan olah-raga. Pada waktu jalan-jalan itulah, suatu ketika dengan berguyon, Noor Jaman berkata begini: “Bung . . Andaikata Bung jadi presiden. Apa yang akan Bung lakukan untuk menyelamatkan negeri ini dari bencana nasional yang sedang melanda negeri kita ?”


Wah, saya fikir: Mengapa tiba-tiba Noor Djaman mengajukan pertanyaan pelik seperti itu? Setelah betanya ulang kepadanya apa maksud pertanyaan tsb, barulah jelas bagi saya, bahwa fikiran Noor Djaman selama itu, dipenuhi oleh problim yang ada di Indonesia, yang memerlukan jawaban.


Yang jelas baginya ialah : ---- Rezim otoriter Orde Baru yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, -- tidak boleh dibiarkan terus berlangsung.


Jadi, saya memutar otak untuk memberikan jawaban atas problim besar yang diajukannya itu. Dengan nada bergurau pula, saya jawab : Begini Bung, Pertama-tama, --- Saya akan mengadakan pertemuan dengan seluas mungkin lapisan masyarakat, dengan wakil-wakil masyarakat yang sesungguhnya, dengan orang-orang yang dalam waktu panjang terbukti melakukan kegiatan memperjuangkan kepentingan rakyat. Saya harus bertanya, dan dengan teliti mendengarkan pendapat mereka, minta nasihat pada mereka-mereka itu, bagaimana menyelamatkan negeri ini. . . berunding dan bermufakat.


Dengan jawaban yang bernada gurau tetapi mengandung maksud serius itu, rupanya Noor Djaman merasa pusas dan sedikit terbantu mencari jawaban atas problim yang memenuhi fikirannya selama ini.


Noor Djaman mengatakan: Betul, Bung, harus bertanya dan berkonsultasi terlebih dahulu dengan wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya, barulah merumuskan politik dan kebijakan tertentu!


* * *


Pada waktu bersama berjalan-jalan santai atau bila kapan saja bertemu, --- Kami sering betukar fikiran mengenai situasi tanah air. Jelas, bagi Noor Djaman jarak yang begitu jauh yang memisahkan kita dari Indonesia, samasekali bukan rintangan untuk tetap peduli terhadap perkembangan dan perjuangan untuk terlaksananya perubahn di tanah air.


Dari jurusan manapun kami memulai mendiskusikan suatu problim menyangkut soal-soal di tanah air, Noor Djaman berpegang teguh pada pendirian dan poltik yang kami anut selama ini: Bahwa negeri ini hanya bisa diselamatkan bila dengan sungguh-sungguh dan konsisten melaksanakan politik besar Bung Karno yang dikenal dengan nama *TRISAKTI*. Yaitu, Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi dan Berkepribadian Nasional di Bidang Kebudayaan.


* * *


Mengenangkan Noor Djaman, saya selalu teringat pada pendirian dan keyakinannya mengenai *kebenaran politik Trisakti* dan keharusan bangsa ini merealisasi politik besar nasional tsb .


* * *


Noor Djaman telah mendahului kita.

Bagi kawan-kawan yang mengenalnya dari dekat dan sering bertukar fikiran dengannya: Noor Djaman selalu dikenang sebagai kawan seperjuangan yang dalam keadaan sulit bagaimanapun selalu berpegang teguh pada keyakinannya bahwa akhirnya keadilan dan kebenaran akan mengalahkan kesewenang-wenangan dan kebohongan di tanah air tercinta Indonesia.


* * *








*KIPRAHNYA “KESEDARAN-SEJARAH”*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Jum'at, 22 Februari 2013**
---------------------------*


*KIPRAHNYA “KESEDARAN-SEJARAH”*

“ *Awareness & Sense of Hitory” Bangsa Ini *

*Tak Bisa Dibendung Lagi!!*


** * **


*
*Leila S. Chudori dan *

*Joshua Oppenheimer>*


Suatu kemungkinan bagi orang awam! Juga mungkin bagi sebagian besar masyarakat! Keadaaan seperti berikut ini, . . . . kongkritnya. . . . Disebabkan banyak faktor -- tanpa menyadarinya, . . . . kita kurang memperhatikan perkembangn dalam masyarakat kita dan di dunia internsional, yang sebenarnya amat penting! Bahwa --- “Kesedaran Sejarah” , “Sense of History”, “Awareness” bangsa ini, berangsur-angsur meningkat mantap. Meskipun perkembangan peningkatan itu, belum seperti apa yang diharapkan para sejarawan muda kita yang punya visi dan misi, yang penuh semangat dan amat giat. Sikap dan pandangan mancanegara terhadap masalah ini juga mencerminkan situasi dalamnegeri Indonesia: Ingat diproduksinya film dokumenter Joshua Oppenheimer berjudul “The Act of Killing”.


Situasi dewasa ini memang, belum sampai pada tingkat seperti yang dikehendaki oleh para pejuang dan penggiat Reformasi dan Demokrasi serta HAM,


Namun, tak boleh luput dari perhatian kita, bahwa “Kesedaran-Sejarah”, “Sense of History”, “Awareness” bangsa ini berangsur meningkat terus! Merupakan suatu perkembangan yang memberikan semangat. Membesarkan harapan dan keyakinan kita bahwa ajaran Bung Karno: “JASMERAH!” – “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, semakin dikhayati, menyebar terus, meluas dan mendalam di kalangan masyarakat peduli nasib bangsa.


*Berkiprahnya “Awareness”, “Kesedaran Sejarah” , Sense of History” --- tak bisa dibendung lagi. Suatu pertanda positif bagi haridepan bangsa dan negeri ini.*


* * *


*Rekomendasi KomnasHam 23 Juli 2012*. . .

Pada tanggal 23 Juli 2012, KomnaHAM mengungkap pelanggaran HAM berat oleh aparat negara terutama di sekitar Peristiwa 1965. Gejala ini merupakan salah satu indikasi meningkatnya “KESEDARAN SEJARAH”! Sesungguhnya merupakan kesedaran untuk MELURUSKAN SEJARAH BANGSA ini. Untuk Tidak Meninggalkan Sejarah, seperti kata Bung Karno.


Maka teramat disayangkan, bahkan *AMAT DISESALKAN*. . . . menjadikan kita semua prihatin, gundah dan geram . . . sekitar apa yang terjadi belakangan ini di kalangan pimpinan KomnasHAM di Jakarta.


KomnasHAM, repot dengan urusan pribadinya sendiri, terlibat mengurusi masalah fasilitas pribadi pimpinan dll.


*Sadarlah wahai para Komisioner KomnasHAM yang terhormat akan tanggungjawab dan tugas yang kalian emban demi bangsa dan tanah air!!*


** * **


Meningkatnya “kesedaran sejarah”, “sense of history”, oleh berbagai analisis di kemukakan a.l tercermin dalam kasus-kasus pencerahan berikut ini: Terbitnya novel terbaru sastrawan muda *Laksmi Pamuntjak*, berjudul *“Amba”*. Kita berhadapan dengan Sastrawan Generasi Muda *LAKSMI PAMUNTJAK yang bukan saja memiliki KESADARAN SEJARAH, SENSE OF HISTORY DAN AWARENESS MENGENAI SEJARAH …. tapi juga gairah dan militan.*


** * **

*“*AMBA”********--- Novel Baru Laksmi PAMUNTJAK – ***< Paperback, 496 pages *Published October 2012 **Memasuki Cetakan Ketiga>****mengisahkan Amba dan Bhisma dengan latar belakang sejarah kekerasan tahun 1965: Amba anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah meninggalkan kotanya, belajar sastra Inggris di UGM dan bertunangan dengan Salwa Munir, seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya.


Pada suatu hari di Kediri, ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di sebuah rumah sakit. Percintaan mereka yang intens terputus mendadak di tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Kediri dan Yogya.Bhisma tiba-tiba hilang---ketika Amba hamil.


Beberapa tahun kemudian, setelah Amba menikah dengan seorang peneliti keturunan Jerman, datang kabar bahwa Bhisma meninggal. Ia meninggal di Pulau Buru. Rupanya selama itu, sejak sebuah bentrokan di Yogya, Bhisma, dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke pulau itu, bersama 7000 orang yang dituduh 'komunis' oleh pemerintahan Suharto.


Amba, yang tak pernah berhenti mencintainya, datang ke pulau itu dengan ditemani seorang bekas tapol, seorang lelaki Ambon. Ia berhasil menemukan surat-surat Bhisma yang selama bertahun-tahun ditulisnya untuk dia—tetapi tak pernah dikirimkan, hanya disimpan di bawah sebatang pohon.


Dari surat-surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan ini terungkap bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga tentang pelbagai peristiwa—yang kejam dan yang mengharukan—dalam kehidupan para tahanan di kamp Pulau Buru.


* * *



Untuk menulis karyanya Laksmi Pamuntjak mengadakan penelitian bertahun-tahun dan puluhan interview dan kunjungan ke Pulau Buru, Laksmi menampilkan sejarah Indonesia yang bengis, tetapi justru dengan manusia-manusia yang mencintai. Dalam sepucuk suratnya kepada ayahnya Amba menulis:

Adalah Bapak yang menunjukkan bagaimana Centhini sirna pada malam pengantin... Adalah Bapak yang mengajariku untuk tidak mewarnai duniaku hanya Hitam dan Putih, juga untuk tidak serta-merta menilai dan menghakimi. Hitam adalah warna

cahaya. Sirna adalah pertanda kelahiran kembali.(less) <-www -published="" .goodreads.com="" 2012.="" 496="" book="" br="" october="" page="" paperback="">

Menurut penulisnya, “AMBA” Ingin Mempilkan Sejarah Tentang Orang-Orang Biasa Yang Dilindas Arus Kekerasan di Indonesia.

AMBA adalah sebuah kisah tentang sejarah kekerasan di Indonesia. Yang terjadi setelah Orba mengirim ribuan tahanan politik ke Buru. Pulau itu berubah: bukan komunisme tapi hamparan sawah. Dataran Waeapo yang dulu adalah tempat “permukiman“ para tapol, kini menjadi lumbung padi Maluku.

Lebih dari tiga dekade, orde baru mencekoki para pelajar tentang bahaya laten Komunisme. Hasilnya? Tidak melulu prasangka, meski tentu saja masih banyak orang Indonesia yang membaca 65 dengan kacamata Orba.

Laksmi Pamuntjak, lahir pada tahun 1971, ketika tahanan politik atau tapol golongan ketiga tiba di pulau Buru. Dia lahir pada masa ketika anak-anak diajari mendaras versi sejarah 1965-1966 yang ditulis oleh sang pemenang: orde baru. Tragedi yang oleh dunia disebut sebagai salah satu pembantaian massal paling biadab di abad-20.

Bertahun-tahun, generasi saya hidup dengan versi sejarah yang sepihak dan normalisasi kejahatan. Begitu terus -- hingga bohong dan bungkam menjadi bagian dari watak kehidupan di Indonesia,“ kata Laksmi Pamuntjak kepada /Deutsche Welle/.

“ Saya hanya ingin mencipta ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak terlibat, tapi hidupnya berubah dilimbur arus sejarah,“ kata Laksmi.



* * *



Agar pembaca memperoleh gambaran yang lebih lagi, silakan menelusuri dan mengkhayati novel penting Laksmi Pamuntjak “Amba”, silakan baca sendiri wawancara penulisnya, Laksmi Pamuntjak dengan Radio Jerman DEUTCHE WELLE:

*Survey */*The Jakarta Globe*/*tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya pembantaian massal 1965-1966.*

*Jadi,**Bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin baik!*



** * **



*MENGAPA MENULIS TENTANG 1965 -- *

*Laksmi: MENGAPA TIDAK?*

/*Deutsche Welle:*/

/Mengapa anda menulis tentang 1965?/

/*Laksmi Pamuntjak:*/

/Mengapa TIDAK? Sekarang, hampir 48 tahun setelah tragedi itu, kita melihat kemunduran. 13 tahun setelah (Presiden-red) Gus Dur secara terbuka meminta maaf kepada para korban, dan Komnas HAM mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini, sejumlah ulama NU malah menolak minta maaf dan meminta Presiden mengikuti jejak mereka. Menko Polkam Djoko Suyanto menolak hasil investigasi dan bersikukuh bahwa apa yang dilakukan militer pada waktu itu ‘benar' karena apa yang mereka lakukan adalah memburu “sang musuh negara.” Sementara rekonsiliasi masih jauh dari angan – generasi penerus akan semakin berjarak dari 65 dan berpikir tindakan seperti itu, human rights violations yang disponsori negara, sah dilakukan, karena toh itu sebuah tugas negara. Belum lagi, Survey The Jakarta Globe tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin baik!/

/*Deutsche Welle: *Kenapa anda tertarik untuk menulis cerita tentang pulau Buru?/

/*Laksmi Pamuntjak:*/

/Tugas novel bukan untuk mengoreksi sejarah. Yang jelas bukan untuk mengoreksi sejarah atau menafsirkan siapa yang bertanggungjawab atas pembantaian massal 65. Ketika menjalin persahabatan dengan eks tapol, saya melihat sejarah bukanlah sebuah narasi besar politik, atau Sejarah dengan S besar, tapi sejarah adalah kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Novel membuka kemungkinan untuk menampung ruang-ruang kecil yang sering luput dari Sejarah. Saya merasa terpanggil untuk memanggil ulang ingatan kolektif, bagaimana memahami sejarah kelam di mana saudara dan tetangga saling membunuh. Masa ketika yang menguasai adalah praduga, amarah, dendam dan kebencian. Ketika mendengar kisah (tapol-red) Buru saya terharu, karena seiring derita, ketakutan, putus asa dan rasa sakit, masih ada humor. Kadang-kadang di antara mereka ada rasa syukur atas sebentuk kebaikan atau keindahan yang tak terduga-duga, sesuatu yang menolak dari dendam dan kebencian. Apa yang saya lakukan dengan berbagai bahan dan kenangan yang dibagi secara murah hati oleh mereka yang telah mengalami Buru adalah dengan mendengarkan mereka. Mencoba menyelami seperti apa rasanya diam dibungkam, memendam perasaan begitu lama. All the silences around you. Itu juga bagian dari duka itu sendiri. Sumber utama saya adalah Amarzan Loebis (wartawan senior TEMPO dan eks tapol-red) yang dikirim ke pulau Buru pada November 71. Juga kepada Hersri Setiawan dan Kresno Saroso, sebagai orang-orang yang pada siapa selain Pram, saya berhutang budi./

/*Deutsche Welle: *Ketika pertama datang ke pulau Buru, apa yang anda lihat?/

/*Laksmi Pamuntjak:*/

/Saya kaget, karena saya membayangkan begitu banyak hal menyeramkan. Tetapi ketika sampai di sana yang ada adalah padi di mana-mana. Kesuburan yang merupakan buah kerja keras dan keringat eks tapol yang membuka lahan dan menjadikan Buru sebagai mini Jawa. Tak ada lagi sisa Tefaat (Tempat Pemanfaatan istilah yang dipakai untuk pemukiman tapol-red), kecuali sebuah gedung kesenian yang kalau tidak diberi konteks bahwa ini bagian dari era itu, maka kita samasekali tidak mengerti nilai sejarahnya./

/*Deutsche Welle: *Dari karakter para tapol yang anda pelajari, apakah anda melihat para survivor ini berhasil ditundukkan oleh kekuasaan lewat pulau Buru?/

/*Laksmi Pamuntjak:*/

/Saya melihat ada perbedaan dari masing-masing survivor. Ada yang merasa bahwa mereka menang dengan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan dan mempertahankan harga diri dengan mengadakan berbagai ritual sendiri seperti mengubur surat-surat di dalam tabung bambu dan menyembunyikannya di bawah pohon. Mereka punya cara sendiri untuk melawan. Tapi ada hal menarik yang diungkapkan bekas Asbintal (Asisten Pembinaan Daerah Militer-red) yang juga bekas Kepala Pengawal di Tefaat Buru yang dikenal baik, berpikiran terbuka, dan sering membawa majalah TIME atau TEMPO bagi para tapol. Kami kebetulan bertemu, saat dia ingin mengadakan semacam reuni dengan eks tapol yang tetap tinggal di Buru. Asbintal itu bercerita, saat reuni, tiba-tiba para eks tapol ini berbaris dan body languagenya seperti orang-orang yang dikuasai. Padahal Asbintal ini, dulunya bukan simbol dari kekuasaaan yang paling buruk di pulau Buru…apalagi kini konteksnya berbeda karena para eks tapol ini sekarang manusia bebas dan setara (dengan Asbintal-red), jadi the power game-nya sudah berubah. Tapi body language para eks tapol begitu kental, seperti lapis kulit kedua. Mereka kembali ke insting-insting lama. Jadi sulit mengatakan apakah para survivor Buru ini menang atau kalah. Saya selalu menyadari, bahwa saya menulis tentang sebuah masa lalu yang bukan merupakan “masa lalu” saya. Apapun empati yang tercakup dalam novel, tak pernah akan bisa mereplikasi penuh emosi yang terkandung dalam pengalaman para survivor./

/*Deutsche Welle: *Saat membaca AMBA saya membayangkan Zulfikar adalah Amarzan Loebis. Apakah karakter dalam novel ini terinspirasi dari orang-orang dekat anda?/

/*Laksmi Pamuntjak:*/

/Secara tipe mungkin ya. Misalnya saya selalu bisa membayangkan dengan mudah siapa orang yang senang membaca seperti karakter Bhisma (yang di dalam novel adalah kekasih AMBA-red). Orang-orang yang selalu mengalami dilema dan tidak pernah bisa berpihak. Tidak pernah belonging. Dia selalu berada di tengah-tengah dan selalu gelisah mengenai ide-ide dan kenyataan di depan batang hidungya. Tapi di antara karakter yang paling kental memang Zulfikar./

/*Deutsche Welle: *Menurut anda, apa yang membedakan anda dengan Pramoedya Ananta Toer dalam melihat tragedi 65?/

/*Laksmi Pamuntjak:*/

/Sulit ya… karena dia (Pram-red) terlibat. Sementara saya bisa menulis AMBA justru karena berjarak, dan menggunakan pengalaman orang seperti Pram sebagai titik tolak untuk memahami 65. Ego atau ke-Aku-an saya tidak besar, karena (AMBA-red) tidak datang dari sudut pandang saya sendiri. Soal style beda, karena dasarnya saya punya tempramen puitis. Saya juga selalu suka apa yang tidak hitam putih, yang selalu di tengah-tengah, yang remang-remang. Mungkin itu juga yang membuat saya menulis tentang 65, karena itu adalah episode sejarah kita yang remang-remang tapi selalu dihitam-putihkan. (Sumber : DEUTSCHE WELLE)/



* * *

*Novel Leila S. CHUDORI --- “ P U L A N G “*

Terbitnya novel oleh *Leila S. CHUDORI*, berjudul *“ P U L A N G ”*. juga meupakan indikasi meningkatnya 'kesadaran sejarah”.Mengapa?

Karena penulis Leila S, Chudori, (tutur sutradara *Riri Riza a.l) *adalah sebuah karya

yang merupakan salah satu tantangan besar karena menceritakan tahun-tahun bersejarah di Indonesia. "Ini sebuah tantangan menceritakan sebuah era sejarah Indonesia tahun 1965 dan 1998. Dan pada saat yang sama juga menceritakan tentang keluarga," .

/Novel ///Pulang///menceritakan tentang Dimas Suryo, seorang eksil politik Indonesia bersama tiga sahabatnya yang terhalang balik ke Indonesia setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965. Paspor mereka dicabut. Latar belakang novel ini pun berganti ke bulan Mei 1968 tentang gerakan mahasiswa yang berkecamuk di Paris. Kemudian berlanjut ke Mei 1998 di Indonesia dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Novel ///Pulang///mulai ditulis pada 2006-2012. Leila dua kali ke Paris untuk mewawancarai eksel politik yang mendirikan Restoran Indonesia dan mendapatkan buku-buku serta literatur untuk menyangga novelnya itu./



*Novel “Pulang”, Menggugah Ingatan tentang Indonesia*

Novel Pulang adalah paparan mengenai kesadaran orang-orang Indonesia yang tidak dihitung masuk himpunan Indonesia semasa Orde Baru. Mereka adalah orang yang terus-menerus berjuang menjadi orang Indonesia di tengah penolakan rezim Soeharto. Adalah eksil politik Indonesia di Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Di Paris, mereka tetap mencintai Indonesia, bertahan hidup layak sambil memberi manfaat bagi Indonesia dengan mengelola Restoran Tanah Air, sebuah restoran Rue Vaugirard di pinggir Paris. Restoran ini menyediakan makanan dan kegiatan yang mempromosikan Indonesia.

Tokoh utama dalam novel Leila, bukan semata keinginan dikubur di Karet yang dimiliki Dimas, melainkan juga mempertahankan dirinya sebagai orang Indonesia dan memiliki wewenang untuk mewariskan Indonesia.

* * *

Kisah tokoh-tokoh yang dimuat di dalamnya memberikan pemahaman kepada kita bahwa keindonesiaan merupakan sebuah ikhtiar yang intensional. Ia tak ditentukan oleh tempat kelahiran atau penerimaan pemerintah. Keindonesiaan tak hilang ketika kita meninggalkan wilayah Indonesia.

Pulang, adalah "…sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Dan itu semua tersaji dalam narasi yang tertata apik. Leila S. Chudori berhasil meramu unsur-unsur naratif secara meyakinkan dalam novel ini. . . .

. . . . . Membaca novel yang tergolong tebal ini saya mendapat kenikmatan sekaligus pekerjaan tambahan. Saya menikmati jalinan naratifnya yang tertata rapi dan memberi penghayatan baru. Tapi efek yang ditinggalkannya membuat saya memikirkan lagi keberadaan dan identitas saya sebagai orang Indonesia. . . . Seperti masuk ke kenangan pribadi sekaligus sejarah Indonesia mutakhir dan menemukan banyak ruang kosong yang gelap di sana, juga ruang kusut. Kenangan itu menggugah saya, bahkan menggugat, untuk membenahinya. Tapi novel ini juga membantu kita menemukan apa yang mesti dibereskan dalam ingatan kolektif Indonesia untuk dapat menjawab apa makna menjadi orang Indonesia, apa makna menjadi Indonesia. ( dari a.l. Tuisan **Bagus Takwin, ***pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam Tempo.co, JakartaSelasa, 18 Desember 2012 > *


“Kesedaran sejarah”, “sense of history” , “awareness” masyarakat kita berkembang sejalan dengan meningkatnya “kesedaran dan tanggungjawab” sebagai “warganegara”. Ini nyata tampak dengan terpilihnya Jokowi dan Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta.


Dalam kehidupan politik sehari-hari hal itu bisa disaksikan dalam kasus terpilihnya “Jokowi” dan “Ahok” sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta Raya. Mereka bukan mantan jendral, pula bukan turunan petinggi TNI. Bukan pengusaha besar ataupun keturunan bapak-bapak penegak dan pemimpin bangsa. Sebelujmnya boleh dikata mereka itu adalah “nobodies”. Bukan “siapa-siapa”. Mereka bukan “elite” atau “celebrity”. Juga bukan tokoh-tokoh yang dibacking oleh penguasa atau konglomera ini atau itu. Bukan bos group-media atau TV!


Namun, ada hal-hal yang teramat penting! Yang fundmentil yang ada pada mereka! Dan sulit ditemui pada banyak pejabat umumnya.


Mereka: -- Jokowi dan Ahok, -- adalah orang-orang yang j u j u r , t r a n s p a r a n , m u d a , g i a t , e n e r g e t i k , dan dekat dengan rakyat. Tidak korup. Punya dedikasi besar mengabdi pada masyarakat. Hal mana sudah dibuktikannya dalam praktek ketika mereka menjadi pejabat di tempat kerja sebelumnya. Itulah sebabnya mereka memperoleh kepercayaan mayoritas pemilih kota Jakarta Raya.


Tidakkah INI MEMBUKTIKAN bahwa “Kesedaran”, “awareness” sebagai warga-negarqa, sebagai pemilih, telah jauh meningkat! Bukan lagi kekuasaan dan uang yang menentukan siapa uang terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta Raya!


* * *

*“*The Act of Killing”**

**Karya Film Joshua OPPENHEIMER:**

*Yang banyak diangkat sebagai a.l pertanda kiprahnya “awareness” tentang sejarah pelanggaran HAM berat di Indonesia, adalah tanggapan para peduli bangsa atas film yang dibuat oleh warga Amerika, ***Joshua Oppenheimer***, producer film dokumenter sekitar Peristiwa 1965, dimana aparat negara terlibat dan bergelimang dalam pembantaian masal terhadap warga tak bersalah yang PKI, dituduh PKI, yang simpatisan PKI dan mereka-mereka pendukung Presiden Sukarno. *



*Joshua orang asing, dia juga adalah salah satu penccerminan “awareness” di kalangan mancanegara sekitar Periwtiwa 65. Di lain fihak Joshua adalah pelaku mancanegara yang mendorong maju “awareness”, “kesedaran sejarah” tentang Indonesia di dunia internasional..*



*“*The Act of Killing” menggondol Tiga Awards ***di Berlin International Film Festival. Joshua Oppenheimer dinilai telah berhasil menampilkan tindakan-tindakan atau pengalaman manusia sesuai ajaran agama, berhasil dalam menggugah penonton pada nilai-nilai spirituil atau nilai-nilai sosial. Film ini memperoleh perhatian internaional ketika dilayarkan di Toronto Fim Festival September tqahun lalu. Dinilai berhasil mempersentsikan suatu trgedi, dimana Anwar Congo, seorang preman (gangster) ketika ia direkrut oleh militer Indonesia ambil bagian dalam pembunuhan masalah terhadap orang-orang yang dianggap komunis atau pro/simpatisan komunis. Yang menelan korban antara 500.000 sampai dua juta jiwa orang tak bersalah,*



*Dewan Juri Festival Film Berlin dalam komentarnya menyatakan a.l -- Film “Act of Killing” yang amat menggoncangkan ini, mengungkapkan pembunuhan masaal biadab yang terjadi di Indonesia tahun 1965. Dan membongkar kebiadaban kejahatan ini. Ia telah membuka luka dalam dengan suatu keyakinan bahwa adalah berfaedah untuk mengungkap kekejaman-kekejaman seperti itu.*



** * *
*



*-- “ARSIP BANGSA KOK DISEMBUNYIKAN” *

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Senin, 18 Februari 2013**
------------------------------*


*Prof Dr Asvi Warman Adam: *

*-- “Jangan Sampai Ada Arsip Yang Disembunyikan Lagi Seperti Terjadi Pada Masa Orde Baru”*


*-- “ARSIP BANGSA KOK DISEMBUNYIKAN” *


* * *


Prof Dr Asvi Warman Adam, Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam sebuah artikelnya baru-baru ini --- mengingatkan lembaga negara ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (ANRI), agar :


*Jangan Sampai Ada Arsip Yang Disembunyikan Lagi Seperti Terjadi Pada *

*Masa Orde Baru. *


Salah satu kasus teramat penting yang diangkat oleh Asvi Warman Adam adalah kasus disembunyikannya arsip sekitar pidato-pidato Bung Karno sejak 30 September 1965. Bahan-bahan sejarah itu ada di Arsip Nasional tetapi tidak bisa diakses publik. Padahal di situ terdapat bahan-bahan dan dokumentasi yang sangat penting misalnya sekitar *penegasan Presiden Soekarno bahwa pemberian Supersemar bukanlah */*transfer of authority.*/**


Sungguh tepat peringatan yang dikemukakan oleh Prof Dr Asvi Warman Adam!


Bukankah justru disitu letaknya latar belakang yang selama ini dirahasiakan, yaitu bagaimana yang sesungguhnya sekitar lahir dan berdirinya rezim Orde Baru Jendral Suharto. Suatu rezim yang merupakan hasil suatu komplotan KUDETA MERANGKAK terhadap pemerintahan Presiden Sukarno dan terhadap Presiden Sukarno sebagai kepala negara, Panglima Angkatan Bersenjata Repuiblik Indonesia dan Mandataris MPRS.


Pidato-pidato Presiden Sukarno tsb merupakan penjelasan terdokumentasi, bahwa pembubaran PKI oleh Jendral Suharto dan penggeseran Presiden Sukarno, --- serta keluarnya TAP MPRS No XXV Th 1966, --- naiknya Jendral Suharto jadi Presiden RI ---- *SEMUANYA ITU **SEPENUHNYA ILEGAL, TAK PUNYA DASAR HUKUM KETATANEGARAAN Republik Indonesia SAMASEKALI! *


* * *


Marilah kita telusuri bersama artikel penting Pro Dr Asvi Warman Adam di bawah ini. Mudah-mudahan pimpinan Arsip Nasional,*TERGUGAH* dan menjadi sadar akan tanggungjawabnya, berani bersama kekuatan Reformasi dan Demokrasi lainnya, bersama-sama berdiri di barisan depan dalam pengabdiannya kepada bangsa. Dengan berani dan tulus MEMBUKA SELURUH ARSIP NASIONAL KEPADA PUBLIK, --- demi melaksanakan fungsinya sebagai MEMORI KOLEKTIF BANGSA.


Tanpa mengenal dengan sebenar-benarnya sejarah bangsa sendiri, berarti tidak mengenal identitas bangsa sendiri. Berarti terdapat kekurangan amat besar dalam KESEDARAN BERBANGSA.


Disinilah perlunya mencamkan serta mengkhayati ajaran Bung Karno:

*JAS MERAH !!* . . . . Jangan Sekali-kali Meninggalkan sejarah!!


*(Catatan WIKIPEDIA) :*

*Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah*atau disingkat *"Jasmerah"*adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Presiden Sukarno dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ultah Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1966. Pidato ini di-blackout oleh Jendral Suharto.

Presiden memberi judul pidato itu sbb:

“/*Karno Mempertahankan Garis Politiknya Yang Berlaku "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah"*/*. *

Dalam pidato itu Presiden menyebutkan antara lain bahwa kita menghadapi tahun yang gawat, perang saudara, dan seterusnya. Disebutkan pula bahwa MPRS belumlah berposisi sebagai MPR menurut UUD 1945. Posisi MPRS sebenarnya nanti setelah MPR hasil pemilu terbentuk.



* * *


“*ARSIP BANGSA KOK DISEMBUNYIKAN”*

*Oleh: Prof Dr Asvi Warman Adam *

* *


Dalam kunjungan ke ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) di Jalan Ampera Raya Jakarta, 28 Januari 2013, Ketua MPR Taufik Kiemas mengatakan  bahwa "arsip nasional sangat bermanfaat bagi generasi muda terutama anak sekolah agar tahu sejarah bangsanya. Kalau perlu semua arsip sejarah yang masih tercecer di mana-mana diserahkan ke arsip nasional. Ini penting untuk masa sekarang, masa lalu dan

masa depan.”


Pernyataan Ketua MPR itu tepat karena sampai sekarang masih ada arsip-arsip yang terdapat di mana-mana misalnya pada keluarga, seperti  beberapa dokumen yang tersimpan di rumah Rachmawati Soekarnoputri. Beberapa tahun yang lalu, saya bersama Dr Kartono Mohammad pernah berkunjung ke sana dan diperlihatkan beberapa bundel catatan harian perawat yang merawat mantan Presiden Soekarno di Wisma Jaso Jakarta.



Saya kurang tahu apakah dokumen itu sudah diserahkan kepada ANRI. Persoalannya apakah arsip itu bila diserahkan ke sana menjadi tidak dapat diakses publik ? Penggelapan sejarah merupakan pengalaman pahit sejarah pada masa Orde Baru. Entah Sekretariat Negara atau ANRI yang menyembunyikan, yang jelas pidato-pidato Bung Karno sejak 30 September 1965 sampai peralihan kekuasaan Februari 1967 idak bisa diakses oleh publik. Baru pada era reformasi arsip itu ditemukan di ANRI oleh Bonnie Triyana dan Budi Setiyono yang mengumpulkan dan menerbitkannya.  Padahal di situ terdapat sumber yang sangat penting misalnya penegasan Presiden Soekarno bahwa  pemberian Supersemar bukanlah transfer of authority.

Arsip Nasional mengabadikan perjalanan sejarah bangsa dari masa ke masa. Sejalan dengan kemajuaN teknologi informasi, bentuk arsip yang di simpan di ANRI tidak hanya dalam bentuk konvensional (tekstual dan kartografik) melainkan juga dalam bentuk media baru (film, video, rekaman suara, foto, mikrofilm, dan ragam format

lainnya). Volume khasanah arsip konvensional yang ada di ANRI hingga saat ini

berjumlah sekitar 20 kilometer linier, yang terdiri atas :  arsip masa VOC (1602 - 1799 ), arsip Periode Hindia Belanda (1800 - 1942 ), Periode Inggris (1811 - 1816), Periode Jepang (1942 - 1945), Periode Republik Indonesia (1945 - 2000)


Undang-Undang tentang Kearsipan no 43 tahun 2009 juga menetapkan DPA.  Bila pada pihak kepolisian ada DPO (daftar pencarian orang), maka DPA adalah daftar pencarian arsip. Ke dalam DPA tentu dapat dimasukkan arsip asli Supersemar yang belum ditemukan sampai sekarang. Menurut Atmaji Sumarkidjo selain arsip asli Supersemar Jenderal Jusuf juga mengatakan pernah memiliki draft pertama surat itu serta surat yang diberi coretan oleh Bung Karno sebelum akhirnya diketik ulang. Itu pun  sebetulnya penting untuk ditemukan karena dengan membaca ketiga dokumen itu kita dapat mengetahui perkembangan negosiasi yang tampaknya cukup alot antara Presiden Soekarno di Istana Bogor dengan ketiga jenderal yang datang dari Jakarta.


Anggota Komisi II DPR, Salim Mengga menguatirkan pembukaan arsip tentang G30S akan menimbulkan kegaduhan baru pada publik. Salim mengatakan ini saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan ketua ANRI, M Asichin. Rapat tersebut juga

dihadiri MenPan Azwar Abubakar, Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Badan

Kepegawaian Negara (BKN) di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (29/1/2013).


Pada masa Orde Baru hanya boleh ada versi tunggal tentang Gerakan 30 September 1965, namun setelah era reformasi beredar berbagai versi tentang percobaan kudeta

yang gagal tersebut. Terbukanya arsip mengenai peristiwa 1965 itu akan memperkuat

versi yang lebih faktual dan masuk akal. Sebetulnya itu yang dibutuhkan

masyarakat agar memperoleh kejelasan yang sesungguhnya tentang suatu peristiwa

yang krusial dan mengenaskan  dalam sejarah bangsa. Pada gilirannya ini juga penting untuk kepentingan pengajaran sejarah di sekolah.


Sekitar 10 tahun yang lalu saya diberitahu oleh Dr Muchlis Paeni Kepala ANRI saat itu bahwa pada ANRI sudah ada arsip tentang Pemuda Rakyat,  BTI (Barisan Tani  Indonesia) dan Gerwani. Arsip Gerwani tersebut penting misalnya untuk menulis tentang sejarah gerakan perempuan sebelum tahun 1965. Arsip BTI tentu berhubungan juga dengan gerakan reforma agraria yang terjadi tahun 1960-an.


Sebelumnya dalam sebuah seminar di Bandung, Kepala ANRI mengatakan  bahwa

untuk membuka arsip G30S dibutuhkan payung hukum dan Indonesia saat ini belum

memiliki payung hukum tersebut. Menurut hemat saya, payung  hukumnya adalah Undang-Undang Kearsipan itu sendiri. Menyelenggarakan sistem kearsipan nasional, mengumpulkan dan memberi akses kepada publik merupakan tugas ANRI yang sudah diatur dalam Undang-Undang Kearsipan no 43 tahun 2009. Bahkan dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa arsip statis dapat dibuka setelah berusia 25 tahun. Sementara itu arsip-arsip tentang peristiwa 1965 sudah berusia sekitar 50 tahun. Demikian pula dengan arsip mengenai Timor Timur dari tahun 1975 sampai dengan 1988.


Bahkan ada arsip yang dapat dibuka sebelum 25 tahun bila 1) tidak menghambat proses hukum, 2) tidak bertentangan dengan Hak kekayaan Intelektual 3) tidak

membahayakan pertahanan dan keamanan negara, 4) tidak merugikan ekonomi

nasional, 5) bukan data yang bersifat pribadi. Jadi arsip mengenai tragedi Mei

1998 bisa dibuka dengan memperhatikan ketentuan di atas.


Dapat  disimpulkan bahwa dokumen yang terdapat pada ANRI merupakan salah satu memori kolektif bangsa. Bangsa ini perlu tahu sejarahnya, oleh sebab itu jangan sampai ada arsip yang disembunyikan lagi seperti terjadi pada masa Orde Baru.


(Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI)


* * *


*BUKU, PENERBIT, MISI DAN . . . . . KOMERSIALISASI . . . *

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Sabtu, 16 Februari 2013*
*------------------------*


*BUKU, PENERBIT, MISI DAN . . . . . KOMERSIALISASI . . . *


Mulai membaca buku *Memoar Utami Suryadarma : "SAYA, SOERIADI & TANAH AIR", *terkilas fikiran, hendak menulis tentang buku Ibu Utami tsb. Dan sudah dimulai dengan menulis Kolom, tertanggal 13 Februari y.l , berjudul Memoar Utami Suryadarma. Tokh terlintas hendak menulis lagi tentang buku Memoar Utami tsb. Maksudnya akan mengutip bagian-bagian tertentu dari buku. Misalnya mengenai Bab 14, berjudul "Kaum Perempuan dan Perjuangannya Mempertahankan Kemerdekaan".


* * *


Lalu . . . . , aku teringat sebuah "resensi", 12 Oktober 2006, (yang ditulis dimaksudkan sebagai "kind of appreciation") tentang bukunya sahabatku Brigadier Generaal BD, B. Bouman: berjudul -- *"IEDER VOOR ZICH EN DE REPUBLIEK VOOR ONS ALLEN".*
< *"Masing-masing Untuk Dirisendiri, dan Republik Untuk Kita Semua"*>. Tulisanku itu bisa diakses bagi yang mau, di .


* * *


Masalah yang kuhadapi sama: Mengenai masalah " kutip-mengutip" dan/atau "memperbanyak" dari buku yang sedang dibicarakan: Perhatikan: ADA PENGUMUMAN PENERBIT. Bilamana hendak mengutip apa saja dari buku tsb ,*harus minta izin terlebih dulu dari penerbitnya*. Ini kendala, fikirku! Larangan ini merupakan hambatan untuk menyebarkan fikiran yang diyakini relevan dengan usaha p e n c e r a h a n . Yang amat diperlukan bagi masyrakat Indonesia. Karena, selama 32 tahun di bawah rezim Orba, fikiran warga dikontrol, dibatasi, di "disiplin" harus berfikir sesuai "pengarahan Bapak Presiden (Suharto)".


Larangan penerbit itu kongkritnya, sbb: "Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penerbit". Tidak disebut jika melanggar peringatan Penerbit, AKAN DIVONIS HUKUMAN YANG BAGAIMANA, atau BERAPA DENDANYA?? Ini betul keterlaluan! Namun, katanya beginilah "toto-kromo" dan aturan di dunia dewasa ini bersangkutan dengan masalah penerbitan.


Semakin jengkel perasaan ini, setelah melihat bahwa dalam Edisi Indonesia yang direvisi dari buku Bung Karno, berjudul:*"BUNG KARNO Penyambung Lidah Rakyat Indonesia"*, juga ada larangan serupa. Notabene buku Bung Karno yang Edisi Revisi itu, diterbitkan oleh Yayasan Bung Karno, yang Ketua Umumnya adalah putra Bung Karno: Guruh Sukarno Putra. Apakah komersialisasi di bidang penerbitan sudah merasuk pula ke tata-hidup Yayasan Bung Karno . . . ? Lebih aneh lagi sikap penerbit Yayasan Bung Karo, karena dalam buku aslinya yang berbahasa Inggris TIDAK ADA PERINGATAN PENERBIT!!


Bung Karno mengisahkan riwayatnya kepada Cindy Adams; Bukankah dengan maksud agar bisa dibaca oleh seantero rakyat Indonesia yang sudah 'melek-huruf'? Buikankah lebih baik, jika buku itu tersebar seluas mungkin. Sehingga setiap warga bisa memperbanyak dan menyebarkannya TANPA SEIZIN PENERBIT? *Semoga Yayasan Bung Karno tidak terjangkit kopmersialisasi penerbitan!*


Tidakkah *Guruh Sukarno Putra *dan penerbitnya Yayasan Bung Karno, telah menarik pelajaran dari sikap*Prof. Dr. John Roosa*. Yang menulis buku*"Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto"*, terbitan Institute Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008. Seperti termuat di judulnya, Buku John Roosa adalah tentang sejarah Indonesia di 1965, sekitar G 30 S.


Pada 23 Desember 2008,*Kejaksaan Agung Republik Indonesia melarang peredaran*lima buku yang satu di antaranya adalah *Buku John Roosa.*


Tapi John Roosa, menulis buku dengan tujuan untuk dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Ia tidak mundur karena larangan Kejaksaan Agung RI itu. John Roosa*kontan melepas copyrighnya ke publik*. Dan buku tersebut telah di-upload oleh pihak ketiga di banyak link-link yang mudah diakses GRATIS. Yang belum punya buku tersebut dan penasaran tentang isinya, bisa memperolehnya gratis dari media internet. Antara lain di http://issuu.com/lawanpelaranganbuku/docs/dalihpembunuhanmassal
http://www.scribd.com/doc/24511270/DalihPembunuhanMassal


* * *


Seyogianya YAYASAN BUNG KARNO (namanya tercantum sebagai co-penerbit Memoar Utami Suryadarma), yang punya misi penting a.l menyebarkan AJARAN-AJARAN BUNG KARNO, juga menarik pelajaran dari sikap sebuah website bernama *WIKIPEDIA*. Siapa saja boleh mengutip dan memperbanyak bahan apa saja yang disiarkan oleh Wikipedia dengan menyebut sumbernya. Pendirian Wikipedia ialah *setiap insan di bumi ini harus punya hak dan kesempatan untuk mengakses informasi, termasuk ilmu pengetahuan dan teknik. Baik yang kaya maupun yang miskin, yang beruang dan yang tidak beruang.*


* * *


Ketika menulis tentang buku Brigadir Jendral Bouman, aku sengaja tidak peduli dengan peringatan penerbitnya yang melarang megnutip tanpa seizin penerbitnya. *Langgar saja!*Silakan mengadukannya ke mana saja, tulisku. Ini yang kutulis sehubungan dengan itu:


"/Tadinya aku ragu untuk menulis apapun mengenai peluncuran buku Bouman.
Ini terutama sesudah membaca tulisan di halaman 4 dari buku Bouman, sbb:

"No part of this book may be reproduced in any form by print,
photoprint, microfilm or any other means, without written permission
from the publisher".Singkatnya tak satu kalimatpun dari buku ini yang
boleh disiarkan tanpa izin t e r t u l i s dari penerbitnya. Terus
terang, membaca teks ini jengkel dan dongkol hatiku dibuatnya.

Kalau tokh ada bagian-bagian tertentu yang aku siarkan kembali, itu
semata-mata karena penghargaan dan rasa hormatku pada penulisnya B.
Bouman. Aku ingin memperkenalkan buku khas ini kepada pembaca dan
seluruh dunia. Untuk menyatakan:

Baca buku ini, isinya adalah bahan studi yang serius dan oleh
penulisnya diusahakan seobyektif mungkin. Penulisnya hendak
memperlihatkan kepada masyarakat Belanda hasil studinya mengenai segi
lainnya dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945. Sikap Bouman jelas bersahabat dengan Indonesia. Buku
ini menstudi segi logistik, dari REVOLUSI INDONESIA. Ini bukan buku
yang ditulis si Jan dari Belanda, yang mengisahkan kekejaman dan
kebiadaban beraksinya 'pemuda-pemuda ekstremis' pada 'jaman
BERSIAP'. Atau si Peter yang menostalgikan 'zaman keemasan VOC'
seperti yang dikemukakan oleh Perdana Menteri Belanda Balkenende di
muka sidang Tweede Kamer baru-baru ini.

Buku Bouman ini berusaha menunjukkan aspek lainnya dari perjuangan
bangsa Indonesia untuk kemerdekaan yang jarang tampak ada di negeri
Belanda, terutama bila itu ditulis oleh 'veteran-veteran' dari
kalangan militer Belanda yang terlibat dalam aksi militer Belanda
terhadap Republik Indonesia. Buku ini diharapkan akan mendorong
saling pengertian antara kedua negeri dan bangsa atas dasar sama
derajat dan sama hak.

* * *

*Aku hendak menulis dengan bertolak dari sikap yang positif sambil
mengutip bagian-bagian tertentu dari buku ini. Tetapi oleh penerbitnya
dituntut ---- harus terlebih dulu dapat izin t e r t u l i s dari penerbitnya. Wah, gawat ! Syarat yang demikian seperti itu tak bisa kuterima, kapanpun. Sikap penerbit yang mungkin saja itu suatu kebiasaan yang 'businesslike' di dunia
penerbitan, kiranya adalah suatu sikap yang kebablasan. Bayangkan
proses birokrasi yang harus dilakoni, bila akan memenuhi persyaratan
penerbit tsb.*

Apa dikira orang yang dengan 'good will' mau menulis tentang
bukunya Bouman itu hendak mencari keuntungan finansil? Kira-kira dong.

*Kupikir, aku tetap akan tulis resensi ini. Tanpa mempedullikan
syarat-syarat yang diajukan penerbitnya. Dan aku kutip bagian-bagian
tertentu dari buku Bouman tsb. Silakan menggugat sikapku itu, jika itu
dianggap sebagai suatu 'pelanggaran hukum internasional'.*Aku
bertahan, apa yang kulakukan ini, semata-mata demi persahabatan dan
penghargaanku terhadap penulis B. Bouman, demi memajukan saling
mengerti dan menghargai antara dua bangsa.

Buku Bouman adalah suatu karya studi ilmiah, maka harus
diperlakukan sebagai hasil karya ilmu. Ilmu jangan dicampur adukkan
dengan dunia business. Haraplah tidak mengkomersialisasi karya-karya
ilmu. Jadikanlah hasil karya ilmu milik seluruh umat manusia. Harus
dapat dimanfaatkan oleh seluruh ummat manusia 'free of charge'!/


* * *

Nah, sekian dulu komentar mengenai soal persyaratan yang diajukan
penerbit dalam mengutip dsb.


Bouman memberikan reaksi amat simpatik. Penulis membenarkan sikap yang kuambil. Anggap sepi saja peringatan penerbit itu!


* * *


Apakah aku akan mengutip bagian-bagian yang kuanggap penting dari Memoar Utami Suryadarma? Ya, aku kulakukan itu TANPA SEIZIN PENERBITNYA!!


* * *